Sabtu, 06 Desember 2014

Kerak Jawa Dan Sudut Sumatra

Titik.

.

Apapun kata pembuka dari cerita ini, aku hanya merindukan adanya titik.
Satu, dua, empat, waktu berjalan selalu seperti sekejap mata. Aksara-aksara yang menjadi getaran penghantar dikala nada tak lagi berkuasa menyalurkan suara. Dan sesekali aku berharap sanggup menyapa tanpa harus perlu otak mencerna.
.
.
Surabaya..ia masih sekawanan dengan daratan yang kusinggahi. Guncangan lokal dikotanya bisa jadi tak akan sampai merambat dikediaman nyamanku. Tapi aku mendengar, aku membaca dan kulayangkan sejumput doa melalui udara. Guncangan lokal adalah sejenis efek kejut bagi jiwa-jiwa yang senantiasa terlelap damai. Sementara aku, melalui mantra kuterbangkan jiwa melalang buana kesetiap penjuru sendi, kuterbangkan jiwa melalang buana kesetiap sudut keping nyawa. Aku terkenyangkan dengan adanya ketakutan yang tak wajar. Dan dari kesemuanya menyuntikkan padaku satu serum keabnormalan yang tak akan sanggup dicerna oleh kata. Termasuk oleh si dataran Surabaya.
Surabaya..ia masih dalam jangkauan langkah kaki. Menyambanginya dengan berjalan hanya membuat lemah hingga berangsur mati. Sementara berlari tak akan membantu apapun, aku tak memiliki energi cukup untuk menempuh jarak. Sekalipun pasokannya membanjiri, tubuhku seringnya merengek ketika tujuan terlalu lama juga terlalu jauh dari pelupuk mata.
Surabaya yang malang, kujadikan ia persinggahan dikala jiwaku mulai menunjukkan kemuakkannya pada apapun yang disebut normal, sementara ia membenci adanya perbedaan. Surabaya yang bersuka cita, karena pernah aku bersedia mengiringi langkahnya dalam jalanan menuju tempat gemerlap bernama impian.
Surabaya..dataran sama yang senantiasa alpa disapa hujan. Melalui kerak Jawa, air yang mengaliri kota kami bisa jadi beraroma sama. Melalui kerak Jawa, bahasa menjadi semacam ayam petelur yang menyampaikan semuanya tanpa harus berfikir esok ia akan menjadi apa, karena yg dibutuhkan peternak hanya telur-telurnya.
Surabaya..tempat persinggahan yang nyaman sebelum akhirnya datang sadar cuacanya membuatku kegerahan.
.
.
Pati..ia berada lebih dekat dari apapun dan siapapun. Hallo dataran sunyi nan mengagumkan, apa kabarmu tadi malam? Tak ada yang sanggup kucecap lagi indahnya dataranmu. Kita sama, dan kemisteriusanmu menempati ruang pas dalam kotak karakterku. Ya, seharusnya siapapun sadar, persamaan dan perbedaan bukanlah hanya dua-duanya perekat yang ada dimuka bumi ini. Tapi anomali, sudut yang tersembunyi dari ucapan juga lekuk senyuman juga adalah lem untuk keterikatan yang datang tanpa keterpaksaan. Pati..dataranmu hanya dalam jangkauan jengkal, tapi menekuri langkahmu sesulit menyusuri labirin diujung paru. Sekalipun aku sanggup membaca, engkau selalu lupa bahwa aku menyajikan apa yg kiranya tengah engkau laparkan. Dan aku bersyukur kita tetap sejalan.
.
.
Sumatra..
Aku ingin bernafas sebentar, menyusuri gorong-gorong sekresi ingatan memang sangat melelahkan. Dan untuk perjalanan menyebarang satu ini, selayaknyalah aku membutuhkan peristirahatan. Bernafas, menikmati udara yang membiusku dalam lelap. Bernafas, mengamati laju angin yang tanpa lelah hilir mudik melalui jalanan rumit bernama organ dalam badan.
Sumatra..aku harap titik yang tengah kucari berhenti disatu dataran luas ini. Ia tau betapa lelahnya aku berkelana selama ini. Menyibak semak, membabati belukar yg dengan kuat memagari hati juga jiwa-jiwa para kurcaci. Selayaknyalah ia tau rekor terjauh lembaran jiwaku mengelilingi bumi adalah dataran berkelok miliknya. Harus ku seberangi perairan, jalanan yang lebih terjal ketimbang hanya merangkak dan berjalan. Sementara untuk terbang..ah, aku terlampau lelah juga untuk menjelajah angkasa. Sekian tahunku mengoreki sudut langit membuatku merasakan kerinduan yg teramat pada adanya fungsi kaki. Aku ingin berjalan, aku ingin meresapi sapaan tanah, aku ingin memperjuangkan langkah, menjejak tiap inchi bumi sebagai makhluk layak edar bernama manusia dan sekali lagi kutegaskan, aku bosan melayang. Terbang hanya membuat kaki-kakiku ngilu karena terlalu jarang digunakan. Sementara nanti, ketika aku mati..kaki-kaki jasadku haruslah membubur dalam gundukan tanah suci, bukanlah terbakar dan menjadi abu untuk kemudian melayang hilang ditelan cerobong asap kapal.
Sumatra..ia masih dalam pelukan langit sama seperti tanah singgahku. Bahasa dan kata adalah justru sesuatu yg mendekatkan tanpa adanya pengampunan. Dan hey..masihkah engkau ingat bahwa garis merah dari adanya segala keterikatan ini adalah hanya sebatas sadar?

.
.
Aku gagal mencari titik didataran penghujung Indonesia. Titik dari segala kata pembuka cerita ini tak ada dimanapun langkahku menyapa dataran. Bukan di Surabaya, Pati atau mungkin Sumatra. Bukan dimana-mana. Tapi titik itu ada disini, ditiap ujung pori yang menyebar disepanjang tubuhku. Titik itu ada dalam niat dan inginku. Tak ada yang perlu diakhiri. Perjalanku sejauh ini mengajari, titik terkadang diperlukan bagi paragraf lain yg memerlukan adanya bait berjalan. Mungkin beda sapaan, tapi tetap satu tema bacaan.

Kamis, 04 Desember 2014

Cerita Pagi

Ini adalah satu cerita singkat tentang dua anak mikroba, terlahir dalam agungnya tetesan embun di pucuk daun bambu.
.
.
Ini surga, tanpa harus menjelaskan kenapa.
Ini surga, tanpa harus ada pertanyaan bagaimana.
Ini surga, karena kami memilih untuk berkata bahwa ini surga, meski ruang memaparkan didepan mata bahwa ini sesungguhnya adalah neraka.
Siapa yang peduli, tak ada yang perlu peduli dengan dua anak mikroba seperti kami.. terlahir di banyaknya kealamian pucuk halus mengerikan daun bambu, aku harus membahasakan itu sebagai apa agar dunia paham..sebuah kealamian yang di gariskan ada untuk kami tapaki.
.
Tak ada yang harus mempedulikan dua anak mikroba seperti kami, hanya perlu menikmati sejuk yang sesekali turun dari hasil endapan embun yang tak sanggup lagi ditahan. Dan jatuh.
.
Ini tentang dua cerita..kenapa kita ada, meski kurang bermakna namun mungkin sanggup untuk saling menguatkan.