Kamis, 21 Maret 2019

Manusia Setengah Hitungan

Apa kalian tahu seperti apa beratnya mempunyai adik seorang berkebutuhan khusus? Apa kalian tahu seperti apa sedihnya mempunyai seorang adik dengan kebutuhan khusus? Setiap orang berkata mereka bersimpati, setiap orang seperti menunjukkan bahwa seolah mereka merasa kasihan. Tapi apa kalian tahu perlakuan seperti apa yang selalu di terima oleh adikku? Semua orang memperlakukannya seperti ayam, bahkan terkadang dalam keterbatasanku, akupun secara tidak sadar memperlakukannya seperti demikian. Dia di awasi, di kejar, di batasi, di usir, bahkan dalam beberapa tenggat masa yang telah lalu aku melihat sekelompok anak kecil melempari adikku dengan batu. Jangan tanya seperti apa kondisi hatiku hari itu, karena hancur bukanlah lagi kata yang bisa mewakilinya. Beberapa orang mungkin benar-benar bersimpati dan juga baik terhadapnya, dan ketulusan tak terhingga mungkin benar-benar mampir dalam kehidupan adikku itu dari segelintir orang di sekitar kami, dan menebaknya bukanlah sesuatu yang etis dan lagi aku tidak memiliki kecakapan lebih untuk bisa mendalami isi hati juga pikiran seseorang.

Terkadang, aku merasa tengah memiliki seorang penjahat di dalam pelukan, setiap orang merasa terancam, terbebani, terganggu, bahkan terusik dengan keberadaannya, tentu saja sebagian orang akan berkata bahwa mereka bail-baik saja, tapi sekali lagi, manusia memiliki ketulusan hati yang tidak bisa di kira dalamnya. Dan setelah aku mengibaratkan adikku seperti ayam dan penjahat, ada satu lagi kenyataan tak terkatakan yang di terima oleh adikku sejauh ini, dan meskipun aku sempat merasa tidak akan sanggup menulis ini, tapi faktanya adalah beberapa orang memang melihat adikku seperti manusia dengan keutuhan yang di ragukan, beberapa orang melihatnya seperti sebuah puzzle dengan gambar separuh saja di dalamnya, dan memang dari awal tercipta begitu tanpa ada lagi kepingan di luar sana yang bisa menempati ruang kosongnya, beberapa orang memperlakukan dengan nyata adikku sebagai manusia setengah hitungan.
Jangan tanya seperti apa bentuk hatiku hari ini, karena sekali lagi aku mengakui, dalam keterbatasanku sebagai manusia, akupun pernah melihat dengan jalur seperti sebagian orang di atas.
Dan ada lebih banyak waktu untukku memaki semua keterbatasanku ketimbang hanya menyesalinya saja.

Aku menulis malam ini bukan karena keresahan itu datang secara tiba-tiba, tapi mereka sebenarnya telah ada dan menemuiku dalam kurun waktu yang lama, merongrong kesudianku untuk membuka mata, memaksa belas kasihku untuk menimpangi semua keterbatasan yang kian memberatkan. Aku tidak yakin jika ini adalah sebuah ketulusan, dan apakah sebuah ketulusan yang begitu agung masih mengandung cacat di dekapannya? Tapi harus di akui dalam tenggat waktu tertentu, di mana adukan emosi yang terjadi hanya berisi kesedihan dan ketidakberdayaan, di antara rasa simpati yang berlebih dan kemurnian darah dari seseorang yang sudah bertahta sebagai ibu, pemikiran ingin untuk menggantikan keberadaannya pernah mampir bukan hanya sekali di dalam benak. Tapi bukankah itu sesuatu yang musathal bisa terjadi? Sudah menjadi garis takdir adikku untuk menjadi seseorang yang istimewa, dan pun, sudah menjadi garis takdirku untuk menjadi kakak yang secara otomatis bertanggung jawab menjadi penjaganya juga. Aku bukan satu-satunya di dunia ini, ada banyak di luaran sana yang menempati posisi sepertiku, pasti ada banyak dan aku sejauh ini tidak menemukan apapun bentuk tiang yang bisa dijadikan pegangan. Karena seberapa bijakpun aku mencoba, menjadi kakak yang baik seperti sesuatu yang berada dalam luar batasan, seperti khayalan untuk meraih awan, di perlukan lebih dari sekedar penghayatan untuk bisa merasai kesolidannya.

Aku mempunyai banyak nama yang kulabeli dengan sebutan adik, tanpa benar-benar menempatkannya sebagai demikian, aku mengajari mereka dan selalu berpesan untuk tumbuh menjadi orang baik, aku menyuntik mereka dengan pemahaman yang mungkin hanya bisa di pahami oleh segelintir orang saja, tapi dalam lubuk hati terdalam sebenarnya aku menaburkan banyak mantra dan harapan, agar kelak jika sesuatu terjadi padaku, ketika kewarasan atau bahkan raga milikku tidak mempunyai daya untuk menjaganya, dari sedikit nama yang kulabeli adik itu, ada di antara mereka yang mau dengan sudi menggantikan peranku. Sekali lagi hal yang tidak mungkin terjadi ku sebutkan di sini. Tapi kengerian yang membayangi setiap waktu dengan memikirkan seperti apa keganasan masa depan di depan mata, mau tak mau membuatku mengharapkan hal-hal yang berada di luar jangkauan. Aku merasa perlu mempersiapkan dunia yang berisikan manusia-manusia dengan kebaikan dan syukur lagi ketulusan di dalamnya. Aku merasa perlu setidaknya memberi tempat aman untuk adikku tinggal jika kemudian hari aku harus meninggalkannya sendirian. Aku tidak sendirian mendekap pemikiran ini sebenarnya, ada ibuku di sisi lain, dan mungkin hanya kami berdua saja. Tapi ibu adalah sebuah pengecualian, meskipun keterbatasan juga menyelimutinya, tapi ibu adalah seorang ibu dari adikku. Aku tidak berani dengan begitu lancang meragukan kasih seorang ibu, meragukan ketulusan juga pemikiran bagusnya untuk masa depan. Jadi dalam paragraf ini aku hanya ingin melibatkan diriku seorang, manusia bercacat yang tengah berusaha memperbaiki dunia dengan jalan memperbaiki diri sendiri, agar kelak setidaknya ada meskipun hanya sejengkal daratan yang tercipta dengan keamanan juga kenyamanan penuh bagi seseorang dengan kebutuhan istimewa.

Jika ternyata terlalu sulit untuk membuang sama sekali keterbatasanku sebagai manusia, maka hal terakhir yang kuinginkan adalah mengubah dunia. Ya, aku kesulitan untuk mentransformasi diri menjadi dewa, aku memiliki cacat besar yang bahkan bisa dengan mudah di temukan oleh manusia. Dan hal terakhir yang berani kucita-citakan adalah memberikan sejengkal daratan yang di landasi oleh kebaikan dan juga ketulusan, supaya adikku bisa sepenuhnya berdiri dengan kakinya sendiri tanpa harus ada lagi pemaksaan, tekanan, batasan, pembedaan dan hinaan. Semoga saja.