Sabtu, 23 November 2019

Tanah dan Hujan

Apa kau mendengarku? Aku bersuara melalui banyak cara, melihat melalui banyak mata, tapi percakapan itu selalu hanya ada di dalam kepalaku. 
Apa kau mendengarku? Ketika derasnya hujan mengalahkan segala suara yang ada, bahkan keheningan pun terasa kian membungkam. 

Aku berjalan menembus hujan. Berharap bisa menemukan lagi kesejukan yang dulu selalu berhasil mengguyur kepolosanku. Mengabaikan dimana jalan setapak, karena dalam keremangan semua daratan terlihat datar dan seperti bisa di jadikan pijakan. Tapi cacatnya jalanan selalu bisa memerangkap kaki-kaki yang lengah. Tapi air menyamarkan jalanan berlubang dan seakan membisikkan kata aman. 

Waktu berlalu sudah sangat lama ketika hujan berkekuatan mendatangkan senyuman. Waktu berlalu sudah sangat lama sejak terakhir kali bisa tertawa riang di bawah pelukan hujan sebelum akhirnya dingin datang. 
Sekarang banyak drama yang terjadi dan terjalani. Dari yang hanya meruapkan rasa bahagia hingga yang mengucurkan air mata.

Kini, tak ada lagi yang peduli bahkan jika aku harus menjadi layu dalam dekapan hujan. Kini semua mata menyiratkan satu ekspresi sama, berupa kebekuan. Tidak terlalu tajam tapi berhasil menusuk sasaran. 

Tanah bukankah tidak seharusnya mengikatkan diri terlalu akrab dengan air? Atau semuanya akan lenyap dalam sekali sapaan panjang. Tanah bukankah harus membatasi pengetahuan tentang jati diri? Karena terkadang memang ketidaktahuan adalah hal terbaik yang pernah ada dan palig baik dari segalanya. 
Angan, harapan, tergusur air yang di tumpahkan oleh tangan besar di atas langit sana. Angin, air, hanya bisa memandang, mengamati bagaimana tanah tersapu hujan sebelum akhirnya terkikis lalu menghilang. 

Perasaan itu seperti tak terbahasakan. Yang hadir melalui celah rapat deretan air hujan. Menetes bergantian dengan si bintang utama. Menyelipkan banyak kenangan dan pesan. Tapi mata selalu lelah memandang sesuatu yang monoton membosankan. Tapi telinga selalu menghindar untuk menerima adanya sinyal-sinyal. 

Sudah seberapa lama tanah satu ini menjauh dari peradaban? Menontoni semuanya dan semakin merasa nyaman di bangku berlengan. Tidakkah ia merindukan sapaan-sapaan? Sudah berapa lama sejak terkahir kali si tanah mencoba mengerti percakapan antara angin yang bertiup ke utara dan hujan yang menyapu daratan di bagian selatan. Hitungan waktu mendadak menghilang, semu, samar, semuanya beraduk dalam keterlenaan. 

Tanah tidak seharusnya mencoba terbang. Sekalipun ketika kemarau melanda beberapa terpaksa harus merasakan udara secara singkat, tapi membayangkan gumpalan-gumpalan tanah beterbangan melintasi langit biru adalah sesuatu yang sedikit mengerikan. Jangan kesana lagi, udara, walaupun kadang terlihat menggiurkan memang tak senyata yang di bayangkan. Udara, tempat segala yang berpindah, tempat segala yang bergerak. Tak ada ketetapan, tak ada keteguhan. Tolong, jangan kembali lagi kesana. Tempatmu bukan di tengah-tengah antara langit dan daratan. Tempatmu jelas, menapak, berujud dan tak berpindah-pindah. Sangat maklum ketika melihat sesuatu yang baru dan lain lalu kita akan merasa takjub hingga kemudian mencobanya. Tapi terbang bukanlah sesuatu yang semudah itu, di butuhkan lebih dari sekedar mengayun lalu mengkhayalkan agar bisa benar-benar mengangkat kaki lalu melangkah nyaman tanpa pijakan. Butuh lebih dari sekedar niat dan keinginan untuk benar-benar bisa berlari melintasi banyak partikel-partikel kasat mata, tanpa warna, ujud dan aroma. 

Adakah yang menunggumu di atas langit sana? Siapa? Engkau tidak bertanggung jawab atas apa yang menimpa langit dan mencemari udara, sekalipun mendung gemar sekali menggantung di ujung sana, meski udara tak lagi seringan bulu-bulu angsa yang di terbangkan. Engkau tidak bertanggung jawab atas apa yang terjadi di lintas kuasamu. Sekalipun aku yakin kegatalan untuk mengatasi semuanya sudah begitu kentara. Sekalipun aku yakin engkau memang tidak sepadat ujudmu, rasamu hadir sehalus udara yang tak teraba, rasamu hadir senyaman air yang mengalir melalui arusnya. Hanya mereka yang tidak paham tentang dirimu yang beranggapan tanah adalah sesuatu yang hanya patut untuk di injak dan di bentuk sedemikian rupa. 

Lalu hujan, dimana mereka akan memuara jika bukan dalam dekapan dan pelukanmu. Lalu hujan, dimana mereka akan menemukan tempat peristirahatannya kalau bukan dalam genggaman dan rengkuhanmu? Mereka mengira tanahlah yang membutuhkan air untuk bisa melahirkan kehidupan. Mereka mengira tanahlah yang berpangku tangan menerima segalanya demi lahirnya sebuah nadi baru. Mereka mengira tanahlah yang menjadi perantara terciptanya cinta antara angin yang berlarian menuju utara dan air yang merembesi wilayah di sebelahnya. 
Karena nyatanya tidak seperti itu, nyatanya tidak semudah itu. Tanah bekerja dengan ribuan kalkulasi. Bertengkar dengan tak terhingganya kemungkinan. Bergandengan dengan ketidak nyamanan. Semua yang terlihat begitu diam tidak selalu tak bersuara, semua yang terlihat begitu rentan tidak selalu membutuhkan uluran, semua yang begitu terlihat beku tidak selalu membahayakan. Hanya karena mereka tidak memahami bagaimana aku bercanda dan berbicara tidak lantas aku bisa begitu saja di jadikan objek pengasingan.

Hanya satu yang selalu ingin kusemat dan sampaikan. Air hujan tidak selalu membawa arus emosi yang sama meskipun volume air yang di tumpahkan tertakar sama. Air hujan tidak selalu membawa keheningan seperti yang khasnya akan selalu dihadirkan. 

Senin, 18 November 2019

Catatan Singkat

Untuk sekali ini saja, bisakah kita berbicara seperti layaknya dua teman? Mari sejenak lupakan ikatan pengandung dan yang dikandung antara kita. 

Ketika kamu mulai memahami ketikan ini dan juga tulisan-tulisan yang lainnya, aku mungkin sudah mencapai surga atau sebaliknya sedang terseok di ujung neraka.

Namamu berarti unsur penting dalam sebuah kehidupan. Dan memang begitulah adanya dirimu. 
Memahamiku tidak semudah membaca halaman demi halaman buku, memahamiku tidak segampang menghapal rute perjalanan. 

Awal kedatanganmu adalah sebuah keajaiban. Kita di pertemukan untuk mempererat dua ikatan yang hampir melonggar. Dan tahukah kamu bahwa aku telah lebih dari sekali untuk menyerah dari Ari? Dan tahukah kamu bahwa hingga saat ini aku masih berpendapat bahwa kalian berdua layak mendapatkan teman yang lebih dan jauh lebih baik dari pada si brengsek satu ini? 

Ada kalanya aku seperti mengenali diriku sendiri, dan waktu lainnya benar-benar membuatku bertanya siapa aku sebenarnya. Beberapa waktu terasa lebih menakutkan ketimbang halaman terburuk dari episode yang paling mengerikan. 
Berapa kali dalam pertemuan singkat kita aku telah mengeluarkan auman dan juga cakaran? Berapa kali aku melukaimu sebelum akhirnya benar-benar merobek lembar kehidupanmu? 

Dulu aku selalu berangan-angan akan menjadi teman terbaik sedunia. Dulu aku selalu berharap agar kehadiranmu bisa menenangkan pertarungan di dalam kepala. Tidak harus selalu menjadi pemenang, karena aku hanya ingin sebuah ketenangan.
Setahun, lima tahun, entah sudah berapa waktu aku menyadari bahwa kepalaku bertanggung jawab untul sekian banyal drama, yang selalu membuatku tersudut, terasing dan sampai akhirnya terbuang. Ya, aku bukan orang baik jika kau ingin tahu. Aku adalah sesuatu yang buruk dengan jenis perasaan yang lebih peka ketimbang paus sekalipun ataupun makhluk lain di alam semesta. Awalnya aku mengira itu sebuah kewajaran yang selalu dimiliki kaum perempuan, tapi nyatanya bukan. Aku mengandung  hal yang tidak bisa kupahami atau kumengerti di dalam tubuh ini.
Ari beruntung jika masih bisa hidup sampai kau benar-benar bisa memahami tulisan ini nantinya. 

Ingatkah kau pada malam-malam sepi bersama kita? Ketika orang lain menyanyikan lagu-lagu manis untuk mengantarkan tidur anaknya, aku justru melakukannya dengan membisikimu banyak maaf. 
Ingatkah kau pada air mata yang selalu merebak hanya di depanmu? Ya, aku takut terlihat tidak sempurna, namun semakin aku takut justru semakin terus kulakukan hal yang sebaliknya. Dunia mendadak berbalik muka semuanya. Aku yang awalnya tidak berteman dan berkubang dalam kesendirian harus mengakui bahwa yang terburuk masih ada dan menyergapku pada akhirnya. 

Jika ada hal lain yang harus kukatakan, maka itu adalah maaf (lagi). Aku melukai yang lain juga selain dirimu, Ari tak terkecuali. Ada sesak yang tak pernah ku bagi dengan siapa-siapa yang akhirnya hanya bisa kulepaskan dalam ujud air mata. 
Normalnya orang akan berubah menjadi lebih baik bukankah? Tapi padaku, hal yang sebaliknya justru yang terjadi. Bekal yang dulu pernah kuucapkan akan di selipkan pada saku milikmu, mendadak lupa daftar. Bekal yang dulu sudah kusiapkan meski hanya seadanya, mendadak kehilangan arah dan tujuan. Aku pernah mengarahkanmu bukan menjadi sesuatu yang kuinginkan, tapi menjadi sesuatu yang baik menurut pengalaman dan juga yang pernah dunia standarkan. Tapi apakah itu akan terpatri di ingatanmu?
Hal yang kutahu adalah aku ingin benar-benar menyerah pada semua hal. Berhenti menjadi manusiawi dan hanya terus bernapas tanpa pernah benar-benar memikirkan apa yang kumau dan apa yang dunia butuhkan. 

Rabu, 13 November 2019

Abu Yang Lain

Harusnya semua hal tentangmu telah lama hilang dari ingatanku. Harusnya semua ingatan tentangmu telah lama menjadi debu seiring dengan padamnya bara yang dulu menyala dengan begitu hebatnya. Tapi nyatanya disinilah aku, terseok dalam langkah sendiri, memunguti remah-remah ingatan tentangmu yang berjatuhan dengan begitu derasnya seperti tetesan hujan di luar. Aku bahagia karena ketika akhir menyentuh hubungan kita, hanya hal baik yang menyelimuti kenangannya. Sepuluh,  sebelas, berapa angka yang kau suka sekarang? Apakah masih tigabelas seperti dulu itu? Apakah tidak terlalu naif untuk mempertahankan keutuhan ketika kepingan dan keretakan telah nyata hadir di depan mata? Atau justru itu cara terakhirmu untuk mempertahankan kehidupan? 

Harusnya aku hidup berbahagia dengan pilihan yang sekian waktu lalu kubuat. Dan memang seperti itu adanya. Tapi kebahagiaan mendadak hadir sebagai kepingan puzzle ketika aku mengenalmu lalu pergi dan kemudian menemukannya. Bukankah kebahagiaan harusnya adalah sebuah perasaan tunggal dan utuh? Bukannya sesuatu yang terbagi dan bisa di bongkar lalu di pasang ulang? Aku mendadak linglung dalam memahami mode emosi yang satu itu. Karena tidak bisa di pungkiri, aku masih bisa merasakan sentuhan hangat dalam kehadiran samarmu. Bukankah semua ingatan tentang sentuhanmu harusnya juga ikut menghilang seiring dengan kuatnya tekadku meninggalkanmu? Tapi nyatanya kenangan hadir dalam caranya sendiri, yang harus di akui begitu unik dan mengagumkan. 

Lihatlah, aku terlihat seperti anak umur belasan, yang ragu dengan perasaannya sendiri, gamang untuk menjabarkan apa yang ada di dalam hati atau dengan sesuatu yang samar mengganggu pandangan. 

Apakah kau ingat ketika aku mengenalmu dalam umur belasan? Awal dari pertemuan kita. Obsesi sekaligus api pertamaku. Aku lupa apa panggilan pertamaku untukmu, atau bagaimana ejaan pertamaku dalam memanggil namamu. Semua begitu abu, tapi kepingan masa ketika aku akhirnya mengakui jatuh cinta dan tergila-gila denganmu adalah sesuatu yang saat ini terasa jelas terlihat seperti tegasnya warna biru di atas langit tanpa awan, atau sejernih hijaunya rumput tanpa selimut embun yang dinginnya selalu membekukan. Aku pernah jatuh cinta dengan begitu hebatnya, seperti melihat putaran video tentang dua kaki dengan tarian yang sangat indah, sementara sekarang memandang dua kaki itu terdiam membuat pertanyaan tentang benarkah aku pernah melakukannya? merasakannya? Semuanya terlalu nyata untuk hanya di anggap angan. 
Apa kau ingat sekian tahun yang terlewati untuk mengobservasi dan juga menemukanmu? Bahkan sekarang masih bisa kurasakan mekarnya kuntum cantik itu di dalam dada. Perasaan berbunga-bunga yang selalu membuat iri siapapun yang mendengarnya. 
Apa kau ingat tentang buku bersampul biru bergambar lautan yang pernah kubuat dulu? Aku punya dua dan belum selesai juga membacanya, entahlah, mungkin titik puncakku dalam mengobservasi dan menemukanmu ada pada saat proses pembuatan buku-buku itu, menuliskan pengalaman cinta adalah sesuatu yang sangat menakjubkan, hingga kesalahan-kesalahan pun akan terlihat seperti ornamen lain penghias halaman, bukannya sesuatu yang mengganggu pandangan. Baru beberapa waktu terakhir ini aku menyadari bahwa buku itu mengandung banyak kesalahan, bukan lagi terlihat seperti buku menggemaskan dengan banyak hiasan yang sedap dipandang. Aku terlalu telanjang, meskipun malu tetap harus di akui bagaimanapun juga. Tentang vulgarnya penulisanku saat itu mengenai perasaanku kepadamu. Ketika orang lain mengakui cinta monyetnya yang begitu membekas dengan dijadikan ajang untuk saling ledek dan banyolan. Aku memperlakukan kenangan cinta monyetku dengan cara mengemasnya dalam buku absurd penuh pengakuan-pengakuan memalukan. Apa kataku saat itu? Percaya pada kata selamanya? Tidak ada kata akhir yang ada hanyalah kata selanjutnya? Dan disinilah aku sekarang, meringis ngeri sendiri sambil memunguti remah-remah kenangan. Karena kita telah berakhir tentu saja, karena hubungan kita menemui kata selanjutnya tapi dengan nama tokoh dan latar belakang yang berbeda. Namamu masih hidup tapi hanya sebagai catatan kaki semata. Maaf untuk mengakuinya seperti itu, tapi seperti yang selalu kukatakan pada mereka yang haus pada peneranganku, bahwa tersesat pada dalamnya lubang cintamu adalah sesuatu yang patut untuk dikemas dan dikenang. Bukan hal yang aneh untuk menempatkan cinta monyet sebagai hal tergila dalam perjalanan hidup seseorang, karena bagaimanapun setiap orang akan melewati fase satu itu, dan aku berterimakasih kepada siapapun pembuat skenario hidup karena menempatkanmu sebagai bahan untuk dikenang.
Lalu apa kau ingat tentang waktu-waktu intim ketika kita bersama? Entah dalam sesi melamunku di dalam sebuah perjalanan ataupun malam-malam panas di sepertiga malam yang selalu kita lewatkan. Karena aku mengingat semuanya. Aku bukan hanya si pemantik tapi juga nyala api itu sendiri, akulah bara yang kemudian beralih menjadi abu itu sendiri. Aku melalui semuanya dan mengingatnya. 


Awalnya aku mengira hanya luka yang bisa disembuhkan oleh waktu, tapi ternyata rasa rindu pun bisa diobati olehnya. Sekian tahun memunggungi, beberapa kali memungkiri, tapi sekarang kakiku berdiri tegak dan mengakui lantang, bahwasanya semua putaran video yang datang sejelas warna kabut di kejauhan ternyata memiliki warna tunggal dan nama terang. Yakni kerinduan. Semua terjelaskan akhirnya petang ini, kenapa abu yang harusnya telah lama hilang terbawa waktu mendadak menempelkan diri di setiap ujung helai rambut yang ada di sekujur tubuh. Karena abu itu tidak pergi kemana-mana, benar si pemantik telah menyalakan dirinya sendiri untuk membuat api, benar bara telah tersulut dengan begitu mudah tanpa adanya bantuan, tapi abu adalah sesuatu yang lain, dia mati namun selalu memiliki cara untuk menampakkan diri, dia mati namun keluasan udara justru membuatnya bisa pergi kemanapun sesuka hati, termasuk juga memasuki sudut antartika lalu kembali kesini, relung hati yang pernah membuatnya terdiam nyaman. Kembali padaku. 


Apa kau lihat itu? Seberapa mudah aku mengingat semuanya jika itu tentangmu. Betapa akhir masihlah menjadi misteri karena kisah selanjutnya pastilah selalu ada, betapa selalu ada spasi panjang di belakang titik yang jelas-jelas membawa tanda untuk mengakhiri kalimat atau sebuah cerita. Semuanya jelas karena selalu ada kesempatan untuk membuat cerita yang lain, kisah yang lain, dan meskipun ceritaku berlanjut sekarang, dan meskipun si buku biru bersampul gambar lautan pada akhirnya nanti memiliki 'adik kecilnya', tapi tentangmu, kisah unik denganmu memilki judul tersendiri yang tak mungkin bisa untuk digabung dengan judul yang lain. Itulah kenapa kabahagiaan seperti sebuah puzzle sekarang, karena ada banyak tema cinta, ada banyak alasan untuk berbahagia, entah yang datang dari masa lampau dalam ujud kenangan, atau yang datang dari masa kini dalam ujud kenyataan, atau justru yang hadir dari masa mendatang dan berujud harapan atau impian. Semua tergantung pada pilihan kita untuk berbahagia pada kisah yang mana, untuk alasan kenapa dan pada siapa. 

Untukku, namamu adalah yang paling tepat mengisi celah kepingan di dalam sana. Tempat yang tak mungkin kau datangi tapi akan selalu kujaga. 

Selasa, 12 November 2019

Membuat Setapak Baru

Jalanan tidak pernah begini lengang sebelumnya. Bahkan suara jangkrik pun tak terdengar. Desau angin yang biasa menjadi penanda kesunyian hanya menghembuskan napasnya pelan. Kemana perginya semua orang? Kemarin masih kujumpai mulut-mulut berjalan dengan ludah tercecer di belakangnya. Kemarin masih kulihat topeng-topeng yang menyemburkan sapa dalam beraneka rupa. 

Aku masih tergolong baru dalam menapaki jalanan asing satu ini, biasanya aku akan melangkah ke jalan dimana disana ada banyak bekas tapak mengering, pertanda di depanku sudah banyak yang melangkah lebih dulu. Tapi terlalu sering mencari belas tapak membuatku akhirnya di landa kebosanan, mengikuti jalan yang di buat oleh orang lain tidak lagi senikmat yang dulu pernah kurasakan. Aku ingin membuat bekas tapakku tercetak sebelum yang lainnya, aku ingin berhenti mengikuti tapi menjadi yang pertama. Bahkan ketika pintu di belakang tertutup rapat untuk bisa membiarkan siapapun mengikuti langkahku, mencari bekas tapakku. Bahkan ketika jalanan di depan sana masih penuh alang-alang sebatas dada bahkan mungkin melampaui batas penglihatan. Aku ingin terus berjalan. 

Langkah pertama yang ingin kulakukan sebelum benaran memasuki jalanan adalah mempersiapkan bekal. Mengemas semua pelajaran yang bisa di ambil dari masa lampau, mengikat erat tangan pada satu tongkat yang akan menjadi pegangan, bahkan aku mulai ahli dalam membebat ikatan yang dulu selalu longgar di batas betis dan lututku. Jalan di depan tak mungkin lebih buruk dari yang pernah tertapaki,  bahkan jika yang terburuk pun masih berani menghampiri, setidaknya aku bisa dengan gagah mengakui bahwa keputusan itu adalah mutlak milikku, aku yang menanggung penuh segala beban yang mungkin terhampar, tanpa perlu menyalahkan bekas tapak milik orang lain yang berani menuntunku ke dalam jurang. 

Banyak orang mungkin akan bertanya kenapa aku yang sekarang berubah menjadi begitu pahit, meski jika harus kujelaskan semua itu tidak semudah menggelembungkan balon udara. Ada proses berat yang akhirnya memutus semua sisi sosial dalam diriku yang enggan kubagi dengan siapa-siapa. Aku ingin menjadi manusia seutuhnya. Itu adalah alasan yang pertama. Memang selama ini menjadi apa? Siapa pemilik si lidah manis itu? Siapa pemilik si mata nanar itu? Aku pernah bermutasi menjadi sesuatu yang ingin orang lain lihat, dan orang lain harapkan. Menggantung syarat-syarat untuk menjadi  manusia seutuhnya seperti terlihat bahagia, buruk, kejam,  beringas dan sebagainya. Ada batas tertentu tentang perilaku manusia di dunia ini dan cara mengekspresikannya yang diciptakan dan di populerkan entah oleh siapa dan jujur saja beberapa sangat tidak bisa di terapkan olehku. Kekangan dalam ujud pemikiran adalah awal matinya seseorang. Dan sejak kapan atau berapa kali aku mati sejak terlahir ke dunia ini? Hitungannya adalah tak terhingga. Aku benci mengakui, tapi harus melakukannya atau aku akan terjebak dalam kekangan selama berapa kalipun aku terjun dalam siklus hidup mati ala manusia. 

Jalanan lengang yang menyapa langkah pertamaku tidak lantas menyuarakan apa-apa. Sebelum ini aku telah membiasakan diri di makan senyap, kesendirian dan pengap. Tanpa suara bukanlah sesuatu yang menakutkan, malah lebih seperti menghadirkan rasa nyaman. Lihat, bahkan atmosfir jalanan pun mengapresiasi pilihanku untuk membuat setapak baru. Tentu itu adalah awal yang bagus. Tidak ada yang lebih menyenangkan selain mendatangi tempat baru yang langsung memperkenalkan diri sebagai teman. Aku berteman dengan seluruh isi bumi kecuali mungkin manusia. Kenapa begitu? Perasaan lelah mungkin adalah jawabannya. Aku tidak perlu merasa takut di khianati oleh akar pohon yang menjalar, tidak perlu merasa takut untuk di kecewakan oleh sinar matahari yang mengelantang. Seluruh isi bumi menyambut uluran tanganku dengan tanpa memberi secuilpun harapan, dan itu adalah yang terbaik dari yang terbaik. 


Lalu apa kiranya hal yang membuatku mungkin takut untuk melangkah? Jawabannya adalah kehabisan bekal. Meskipun sanggup mendedikasikan diri untuk memahami kayu, atau melihat seluruh manusia sebagai batu, tapi habis bekal adalah sesuatu yang lain. Jika asupanku berupa makanan akan lebih mudah persoalannya. Asupanku adalah pemikiran yang awalnya mentah lalu kemudian di panaskan, terus di panaskan hingga bahannya habis lalu hanya menyisakan pelajaran. Butuh waktu tidak sebentar untuk menggodok bekalku agar siap makan. Lalu apa kiranya yang sanggup mengikis bekal tanpa bentuk itu? Aku tidak berani membayangkan apalagi memberi jawaban. Sekalipun aku benci batasan dan lingkup mengekang, tapi ada satu hal yang garisnya benar-benar tidak berani kusentuh terlebih kulangkahi, yakni jalan kesadaran. Jalanan yang hanya bisa di tapaki dengan satu syarat mutlak yakni sabar. 

Satu-satunya hal yang tersisa dan berani kuharapkan adalah ujung akan segera terlihat selagi bekalku masih bisa cukup menghilangkan lapar dan dahaga.

Satu-satunya hal yang tersisa dan berani kuharapkan adalah ketetapan hati ini untuk melangkah dalam sunyi, nyaman dan menenangkan namun sendirian. Sekali lagi kuingatkan, sendiri bukanlah hal yang baru kutemui, tapi mencari langkah yang tepat untuk dijadikan pijakan adalah sesuatu yang baru dan sepertinya sulit tapi jelas menantang.

Dear akhir, akankah kita semakin dekat, atau justru langkahku makin tersesat? 

Senin, 28 Oktober 2019

Hampir

Sekarat bukanlah kata yang tepat untuk menggambarkan manusia yang masih bisa tertawa dan bernapas, terlebih lagi bagi manusia yang mengaku cinta pada alam semesta.

Tapi nyatanya disinilah aku, tersudut di tempat nan gelap dan juga pengap. Jauh di dalam sana, masih bisa kudengar degub jantung memompa napas,  jauh di dalam sana, masih bisa kudengar tawa dan perdebatan yang enggan meninggalkan kepala. Tapi rasanya semua itu begitu jauh dari jangkauan kesadaran. Aku sekarat oleh ketiadaan sinar alih-alih terkepung di tengah-tengah debu di penghujung musim panas. 

Dimana matahari, dimana kehangatan, dimana denyut nadi. Semua lenyap begitu saja sekarang dari pandangan, dari jangkauan. Kakiku melangkah terseok mengejar nalar, mengejar zaman, tapi tak bisa kurasakan solidnya tanah pijakan. Kemana gerangan perginya kerikil yang biasa menghadang? Kemana perginya jurang yang tak pernah luput dari pandangan? 

Terlalu lama aku berjalan dengan memejamkan mata, menyusuri jalan menuju rumah bukan dengan melihat tapi dengan menghapal, satu belokan ke kanan, dua langkah kecil, dua napas sedang, belok selatan, begitulah biasanya aku akan pulang. Rumahku bukan berupa bangunan, tidak selalu berujud seperti itu, kadang berada di sudut jalur melintang di atas sungai panjang, kadang berupa gundukan tanah yang mencuat begitu saja di sisi ladang, kadang pula berada di jalanan panjang tanpa nama yang terus di susuri tanpa tujuan pasti. Rumahku tersebar di banyak tempat, atau sesekali pula tidak di mana-mana. Seanomali itu hidupku jika kalian ingin tahu. Tapi sekian tahun terakhir rumahku menetap dalam ujud nyawa dan badan. Bernama Ari yang kemudian mendatangkan nama lain, yakni Hara. Dua rumah yang selalu menahan langkahku agar berdiam dan beristirahat. Bersama keduanya aku menjadi seseorang yang utuh dan terkendalikan. Berada dalam naungan keduanya menghadirkan padaku sinar bulan dan matahari secara bersamaan. Aku jauh dari kata kedinginan, jauh dari kata pengap yang selalu mendekap. Ari dan Hara adalah manusia lengkap, manusia berbahagia yang bisa dengan mudah menularkan tawa dan kehangatan. Berada di dekat mereka membuat si manusia sekarat pun perlahan kembali terisi nyawa. Tapi apakah sang gelap benar-benar meninggalkannya? Atau dia hanya menyingkir sebentar tak tahan dengan silau gabungan matahari dan bulan? Jawaban kedua adalah yang paling benar. Karena begitu Ari menjauh pergi, meski bayangannya tak pernah lepas menaungi, tapi nyatanya dingin kembali merayap dengan begitu cepat. Aku ketakutan, merasa terkikis sekaligus terbakar. Ari tak pernah begitu mengenali gejala sekaratku. Dia mungkin hanya akan berujar semua kata rinduku adalah jalan untuk menyambung hubungan, mempererat ikatan yang terrenggangkan oleh jarak. Ingin sekali rasanya menjelaskan konsep sekarat pada makhluk yang tak pernah benar-benar hidup kepada Ari. Suatu saat nanti mungkin akhirnya Ari akan terpahamkan, tentang betapa nasib buruk telah mengikatnya dengan diriku dalam sebuah tema pernikahan. Ya, aku selalu merasa terlalu buruk rupa untuk bisa bersanding nyata dengan Ari yang baik dan terlalu manusia. Dia pantas untuk terikat dengan seseorang yang tidak hanya bertahan hidup dari sinarnya, tapi juga siap menyalakan sendiri cahayanya untuk menerangi Ari. Bersamaku hanya akan ada hubungan simbiosis parasitisme dan bukannya mutualisme. Tapi Ari bertahan, tabah, dan meski terkadang menjengkelkan namun dia terpesona, pada kemampuanku tidak bisa menghasilkan cahaya. Semoga ketabahannya bisa bertahan hingga kemampuannya untuk membaui bisa merasai sekaratku. Makhluk-makhluk yang hanya bisa mengagumi alam semesta tanpa bisa menyerupai apalagi mewarisi sedikit saja keajaibannya. 
Sedangkan Hara, ia adalah pemilik nyala abadi, di awal pertemuan kami, kurasakan perkenalan yang teramat canggung, hingga kemudian dia dengan telaten mengarahkanku, mengajariku untuk berjalan menuju sinar terang di tengah-tengah kegelapan. Pelajaran baru yang memantik antusias berlebih, hingga nyaris saja aku tergoda untuk meluluskan diri sebelum pelajaran itu sendiri usai. Dia pengajar yang hebat, terlalu hebat untuk murid yang terlalu haus akan pelepasan dahaga. Cahaya dan gulita dengan perlahan mulai berjalan bersisian, tak ada lagi ungkapan habis napas, ketika sekejap saja pelukannya sanggup menghadirkan hangat sekekal bara. Aku benar-benar terpesona akan kelihaiannya menyentuh palung terjal. Terpesona pada kekuatan ajaibnya dalam menghadirkan cahaya. Lalu, apakah kali ini gelap itu telah benar-benar lenyap? Kenapa aku masih bisa merasakan gaung suaranya di balik gejolak jantung yang kian membara? Kenapa aku masih bisa menggigil sesekali ketika alam mimpi mulai menjemput dan memisahkanku dari Hara? Halo gelap...tidak cukupkah dengan membuatku hanya sekarat? Aku ngeri memikirkan ini, tapi nampaknya engkau terobsesi untuk melenyapkanku dari dunia ini. Kenapa? Apa karena aku menyukai alam semesta? Atau karena aku tak pernah bisa menghasilkan cahaya, sementara dia adalah satu-satunya yang selalu engkau takuti? Engkau telah berhasil menyekap diriku di dalam kepalaku sendiri, hingga aku tak pernah bisa keluar darinya, bahkan untuk sekedar membela diriku sendiri. Aku muak dengan segala percakapan dan perdebatan itu, aku muak dengan segala sedu sedan yang selalu menjadi kambing hitam bagi perilaku diluar nalarku. Aku ingin bertemankan manusia dan bukan hanya tumbuhan, angin atau hewan. Aku ingin bertemankan siapapun yang tak pernah mengingatkan bahwa aku ini makhluk cacat yang tak bisa menghasilkan cahayanya sendiri. Aku ingin mereka, rumah-rumahku yang berderet normal di setiap ujung dan persimpangan. Aku ingin terlepas dari suara-suara yang tak pernah berhenti berdengung di kepalaku, merapalkan mantra agar aku terbiasa untuk menelan semua percakapan ketimbang meludahkanya keluar.

Ari tolong kembali, berikan lagi padaku sinar nyalamu yang begitu hangat dan menghidupkan. Dia mendekapku lagi, getir, pengap nan menyesakkan yang tak pernah berhasil untuk kuutarakan dalam bahasa yang bisa kau pahami. Ari tolong kembali, bantu Hara dalam menunaikan habis pelajarannya. Sekarat ini seperti akan merenggutku paksa, aku telah berhenti berbicara, berhenti bercanda dan juga tertawa, apa itu cukup untuk di jadikan alasan bagimu untuk kembali? Ari tolong kembali, karena aku mulai melukai Hara, dengan segala kegusaran dan ketidaksabaranku. Aku melukainya dengan itu. 

Jalanan tidak akan pernah menemui titik akhir selama denyut nadi masih bergelayut menemani, jalanan tidak akan berhenti untuk menjalari selama degub jantung masih terdengar riang di setiap desahan, seberapa jauhpun suara itu terdengar, seberapa jauhpun suara itu bergaung. Menyisakan penderitaan tak terkatakan bernama sekarat yang berkepanjangan. 

Jumat, 27 September 2019

Separo Waktu

Dulu, ketika air lautan masih terasa hangat meski kucelupkan kakiku ketika gelap melanda.
Dulu, ketika masih bisa kulahap setiap makian sebagai candaan.
Waktu seperti telah berlalu sangat lama sejak hari itu.

Engkau yang pertama mengulurkan tangan, menyambutku dalam tawa penuh terimakasih dan juga bahagia. Engkau yang pertama mengetuk hatiku agar mau kita bergandengan. Engkau yang pertama memperkenalkanku pada duniamu yang sekarang menjadi dunia kita.
Aku tidak serta merta mengulurkan tanganku waktu itu, jelas saja. Aku menimbang teliti tentang bagaimana aku akan bisa melanjutkan kehidupanku selanjutnya. Tapi kau meyakinkan keraguanku dalam genggaman yang tereratkan. Hingga kemudian kita berjalan beriringan. Melewatkan separo siang dan separo malam lebih lama untuk bersama ketimbang dengan siapapun nama. Apa kau ingat cerita tentang kesalahan-kesalahan itu? Apa kau ingat tentang waktu buruk yang lalu itu? Ya aku bersamamu, dan aku mengingatnya. Apa kau juga ingat perjalanan panjang menelan malam yang kita lalui bersama? Apa kau juga mungkin ingat ketika kita bersama menyusuri tiap sudut jalanan demi satu tujuan? Ya, aku menyertaimu, dan mengingat itu. Aku mengingat semua suka duka itu meski aku percaya kepalamu berisi sebaliknya.

Terkadang, kita merasa telah berhasil menemukan jalan menuju kehidupan yang damai menyenangkan. Tapi terkadang, jalanan lengang yang menyapa kita justeru tidak akan membawa kita kemana-mana, sekalipun kita tabah menapakinya hanya ada kebuntuan di depan sana. Jalan kehidupan tidak pernah tercipta sebagus dan semulus itu, dan bagi siapapun tercipta sama, hanya memiliki liku dan jenis kepanjangan yang saling berbeda.

Aku mengira hubungan ini akan mengekal untuk selamanya. Aku mengira keberadaanku telah naik status menjadi semacam saudara, aku bahkan sempat mengira akan kau rangkul dengan lebih mesra, setelah banyaknya duka yang kita lalui bersama. Tapi nyatanya aku keliru. Jalanan berliku yang semula terlihat sebagai jalan hidupku ternyata masih saja menemui jalan buntu, sekali lagi aku salah mengartikan isi takdir tuhan, karena selain meragu sekarangpun tekadku kian menguat untuk bisa melepaskan.

Perjalanan panjang ini bukannya tidak memberikan padaku pengaruh apa-apa, karena itu sangat berharga. Sedih mengatakan ini tapi perjalanan panjang kita seperti harus menemui titik akhirnya. Kebahagiaan kita menemui titik buntu, aku merasa ragu, dan yang terpenting dari semuanya adalah jarak panjang yang secara tak sadar terus engkau ciptakan. Aku mengabulkan permintaanmu yang kedua, aku akan berusaha untuk berjalan teratur mundur dari jajaranmu, dari patner langkahmu, dari separo siang dan malammu.

Semua orang nanti akan mengira berakhirnya hubungan kita karena lemahnya keinginanku untuk terus bertahan, kelemahan terbesarkulah yang mengacaukan segalanya. Ya semua orang paham bagaimana mudah tersentuhnya diriku, terlahir sebagai nama dengan perasaan yang lebih sensitif dari siapapun, dengan hati yang begitu rentan untuk menghadapi kondisi apapun. Nyatanya, sebelum ini telah kutempa diriku menjadi sekuat baja, perjalanan panjangku sebelumnya telah menitipkan padaku kekuatan tersembunyi yang masih enggan kubagi-bagi. Tapi seberapa kuatpun aku berusaha untuk menjadi manusia baja, tetap saja kudapati goresan luka muncul di setiap percakapan yang menggulir di beberapa waktu bersama kita. Ya, aku yang berdarah dan tengah merangkak mundur untuk menghindari luka yang lebih menganga.

Tapi apakah kau sadar tentang hal itu? Kau pasti mencium juga keenggananku akhir-akhir ini, kau pasti juga merasa sesuatu yang tak baik tengah melanda hubungan kita. Dan sekali lagi aku terluka oleh ketiadaanmu merespon semua yang tengah menerpa. Kau bertindak seakan semuanya baik-baik saja. Itulah satu-satunya hal yang menyakitiku, andai kau ingin tahu.

Tentu saja aku ingin kita bisa memperbaiki semuanya, waktu yang sekian lama terlewati tak ingin begitu saja  terbuang tanpa makna. Dan lagi-lagi ragu itu datang lebih cepat dari kedipan mata. Aku meragu untuk langkah di depan kita, aku meragu untuk ketulusan yang pernah kau tawarkan di muka. Akan sulit tentu saja mengakhiri kebiasaan, terlebih yang terbentuk oleh separo siang dan separo malam, tapi aku akan bertahan, lupa di anggap ada bukanlah hal baru dalam babak hidupku, lupa di anggap berharga bukanlah sesuatu yang pertama menjumpai perjalananku. Aku akan baik-baik saja. Mungkin memang bukan engkau yang menggariskan jarak di antara kita, aku yang melakukannya. Mungkin bukan engkau yang mengiris disetiap pertemuan kita, tapi akulah yang memegang pisaunya.

Ya, dengan berbekal kejujuran itu, maukah kau melepaskanku? Maukah kau berbaik hati menghapusku dari separo siang dan malammu? Karena sebuah paksaan tidak akan menghasilkan apa-apa, karena sesuatu yang terbumbui ragu tidak akan menghasilkan hidangan, karena meski tidak pernah tertulis di atas kertas tapi seperti telah menjadi ciri khas diriku untuk tetap melanjutkan langkah yang pernah ku ambil. Dan aku memilih untuk memutar langkah, menjauhimu beserta duniamu, meninggalkannya meski tanpa rela. Sekali lagi aku ingin engkau menjawab semua keraguanku, maukah kau melepasku dari separo siang dan malammu?

Senin, 23 September 2019

Pepesan Angan

Pada malam-malam tertentu dimana otak milikku bergeser beberapa senti dari letak normal, adalah waktu favoritku untuk menggerecoki kepala Ari dengan banyak ocehan-ocehan di luar nalar.
Sudut bibir Ari juga adalah tempat kesukaanku untuk mendaratkan ciuman-ciuman ringan. Dan bertumpukan sebelah tangan dan juga dadanya aku bisa mengocehkan apa saja yang terlintas dalam kepala meski itu hanya pepesan angan atau justru lipatan kenangan.

Aku selalu suka mengenang bagaimana dulu aku dan Ari pertama bertemu, dalam sebuah reuni akbar yang tidak hanya melibatkan satu kursi angkatan tapi membaris dari tahun berapapun yang bersedia hadir untuk ikut memeriahkannya. Aku memegang jabatan sedikit penting selain sebagai seksi konsumsi, yakni sebagai salah satu pencetus ide tentang reuni tersebut, mengobarkan semangat para teman-teman adalah pekerjaanku ketika masih di lingkup maya, aku dekat dengan semua anggota tak terkecuali, tapi ketika turun dalam ranah nyata api yang selalu tergenggam di telapak tangan mendadak mati seketika, aku bertemu orang-orang baik, tapi lupa bahwa diri sendiri adalah anomali yang selalu canggung dan gagal dalam bersosialisasi. Keberadaan Ari saat itu tidak serta merta menyelesaikan permasalahan, dia sama seperti yang lain, melihatku sebagai anomali namun tidak memiliki kekuatan memboyongku untuk keluar dari sana, interaksi terintim kami saat itu hanyalah sebatas duduk di atas sepeda motor berdua, dalam rangka mencari isian kardus snack yang di nilai kurang memadai.

Aku di kenang sebagai sosok yang pendiam, begitulah Ari selalu akan menimpali jika tengah berbincang tentang reuni kala itu. Dia mengutarakan dengan tepat, tapi mendengar orang lain mengucapkannya benar-benar terdengar aneh, seperti ada makhluk lain yang menjawab di dalam diriku, bahwa pendiam bukan kata yang tepat karena aku lebih dari sekedar itu. Aku hampir menganggap diriku tidak normal ketika momen reuni terjadi. Kegagalan yang mengiringi acara reuni, setidaknya itulah yang selalu kuingat, menjadi beban besar yang mendadak jatuh tepat di atas kedua bahuku. Bagaimana bisa aku mengacaukan segalanya? Aku gagal bersinar secemerlang ketika masih di dunia maya, aku mendadak menjadi abu yang teringin sekali tertiup angin lalu pergi ke mana saja asalkan tidak berada satu tempat dengan mereka, para korban kobaran apiku. Aku adalah bintang cemerlang yang sengaja menjatuhkan diri dan bukan karena kehilangan gravitasi.
Momen menghilangku pernah beberapa kali di pertanyakan Ari, tapi aku menyahutinya dengan menjadi abu, jawaban tanpa semangat dan tercecer kemana-mana.

Sekian tahun berlalu mengaburkan pula kabar Ari dari radarku, dia terkenang hanya sebagai si hitam berambut keriting yang selalu berisik dan sedikit nakal. Selain itu, aku melupakannya seperti aku melupakan anggota pengurus reuni yang lainnya. Zaman reuni berganti menjadi zaman korea. Aku menyentuh Ari lagi, melalui tatapan dan komentar sinis karena perbedaan yang merambati kami, dia anak rebel yang benci segala hal tentang korea, sesuatu yang saat itu tengah kuanut dan kusembah mati-matian, keberadaannya menjadi semacam tongkat pentungan yang siap melambai-lambai di depan mata ketika aku mulai mengumandangkan setiap bait mimpi dan khayalan. Aku benci dia yang selalu menarik paksa kakiku untuk menjejak tanah ketika hasrat untuk terbang tengah dalam dekapan. Keberadaannya tak semanis ingatan pertama kami bertemu. Dia mengacaukan kenangan manis yang pernah tersemat di antara tumpukan pahitnya ampas kopi. Tapi sesuatu menarikku untuk tetap berada dalam jangkauan radarnya. Entah kenapa.

Dan ini adalah bagian favoritku untuk mengingatnya. Malam tergila dari semua malam-malam gila yang pernah mampir dalam hidupku. Aku dan Ari terikat dalam hubungan pacar, bukan karena kita jatuh cinta, tapi tepatnya adalah karena sadar sama-sama manusia gila. Zaman korea hampir berakhir sekarang, ketika lambat laun aku mulai sadar ikatan, masih belum jatuh cinta, lebih tepatnya pemanfaatan pada fasilitas yang di sebabkan karena ikatan itu sendiri. Aku menyukai lautan, selalu lautan, dan Ari tidak paham awalnya, sampai kemudian kami mendatangi kaki gunung dan aku tergugu dalam dekapannya karena setengah mati menahan dingin yang seketika melelehkan air mata, mengguncang raga. Memalukan bukan? Karena itu barulah kaki gunung, bagaimana kalau badan gunung? Kepala gunung? Musnah sudah harapan untuk bisa berduaan di daratan di atas awan. Ari tahu kelemahanku. Setelahnya dia paham akan melajukan kendaraan kemana ketika aku mulai memasang wajah kurang senyuman. Selalu lautan, dan akan terus seperti itu.

Di lain waktu, ketika Ari tengah terlalu sibuk mendalami peran sebagai orang normal aku akan menggerecoki dia dengan angan-angan. Sungguh, aku bertransformasi menjadi perempuan tanpa urat malu dan tak tahu diri sejak menikahi Ari. Obsesiku yang lain selain mengikat Ari semalam suntuk di atas ranjang, jangan dulu berpikiran macam-macam, aku memerlukan dia untuk menghangatkan badan karena tidak peduli seberapapun suhu normal berkisar anehnya aku akan selalu merasa kedinginan. Dan obsesi itu adalah bisa berkeliling dunia, menyambangi padang-padang bunga berukuran giga dengan warna-warna menggoda yang akan selalu memanjakan mata. Aku terobsesi bisa merasai sapuan padang canola, terobsesi pula untuk merasai seperti apa ujud lautan ketika gelap melanda. Hitam pekat bukan alasan, karena aku bisa menikmatinya melalui indera yang lain, tentang bagaimana aroma hasrat berterbangan di sela-sela debur ombak menghantam karang, tentang bagaimana dingin pasir malam bisa menghangatkan manusia yang hampir tak pernah merasa kegerahan. Aku tergoda untuk mencicipi bagaimana rasanya berkendara membelah malam, mengejar satu bintang dan meninggalkan bintang lain di belakangnya, aku benci angin malam tentu saja, apalagi alasannya kalau bukan karena mereka selalu menaburkan dingin tak berperi kemanusiaaan di sekeliling badanku, dan anehnya hanya sekeliling badanku, karena sejauh yang ku tahu Ari selalu memilih telanjang jika kupaksa berdiam diri mendekapku di atas ranjang, alasannya jelas, dia kepanasan.
Selain lautan, dan bunga canola aku juga tertarik untuk mencicipi sungai, tebing, garis pantai, dan pedesaan. Semua hal berbau alam selalu bisa menyirep minat dan penglihatanku, Ari paham betul sisiku satu itu.
Aku terobsesi memiliki satu kendaraan, dengan warna dan jenis yang sudah berkali-kali di bicarakan dengan Ari, tidak peduli kapan kami bisa memilikinya atau apakah kesempatan untuk memilikinya bahkan masih ada atau tidak, tapi aku selalu menyebutkan satu nama itu, warna hitam akan sangat manis jika di sandingkan dengan warna kuning bunga matahari atau bahkan jika beruntung deretan canola, bukankah? Ya, aku memimpikan warna hitam yang benar-benar hitam yang akan menemani masa tua kami menjelajahi berbagai hidangan alam. Bahkan sepertinya tak masalah jika akhirnya aku dan Ari akan berakhir tak dimanapun tapi berada dalam rapatnya baris jejeran bintang dalam kegelapan, yang memantul di atas permukaan air tenang hingga jika sekejap aku memejamkan mata lalu membukanya kembali akan terasa seperti aku tengah berdiri di tengah udara. Atau mungkin aku akan merelakan untuk tertelan dalam lingkaran hidup tanaman canola, memandanginya ketika musim berbunga, mengucapkan sampai jumpa ketika musim panen tiba, lalu bersuka cita ketika si kecil tanaman canola mulai tumbuh menyapa. Atau jika keduanya akan terlalu indah untuk menjadi kenyataan, aku sunggup rela hanya menghabiskan tua dengan terus berkendara, membelah malam, menelan siang, meninggalkan bintang, mengejar matahari.

Menurutmu apa yang lebih menyenangkan daripada menemukan sosok yang rela di hujani berbagai angan? Ketabahan Ari untuk mengimbangi sisi berimajiku benar-benar patut di hadiahi pujian,
Mungkin itulah alasan terpendam kenapa dulu aku menikahinya, berhasil mengendus kesabaran seseorang meskipun untuk menghadapi rangkaian isi otak yang jika di jabarkan panjangnya akan menghabiskan semua sudut semesta.
Menurutmu apa yang lebih menenangkan ketimbang memiliki sosok yang siap menua bersamamu bahkan sebelum waktunya? Aku memilikinya, nama yang selalu sigap melahap setiap pepesan angan dan kenangan dan tidak hanya itu, dia pun berani memberi bumbu tambahan dan sedia menghangatkannya kapanpun aku hendak makan. Betapa menyenangkan.

Minggu, 22 September 2019

Promise You

Mudah sekali mengumbar janji ketika sedang jatuh cinta, bukankah? Ya karena cinta adalah sesuatu yang positif, menebarkan pula aura positif. Seluruh harapan dan impian terasa berlipat kali lebih mudah untuk di raih ketika kita sedang jatuh ke dalam lubang satu itu. Tidak salah ketika akhirnya angan-angan tentang banyak hal pun terbangun dengan sendirinya.

Seperti saat itu, ketika engkau masih hidup di pelupuk mataku, seperti saat itu ketika menyeberangi lautan terasa seringan memejamkan mata.
Aku lupa apa saja janji yang pernah ku buat untukmu, apa kau ingat? Akan berdiri di sampingmu apapun yang terjadi, umur hanyalah angka, percaya pada kata selamanya, lalu apalagi? Aku lupa, seiring besarnya tekadku untuk menjauh darimu, membuatku lupa apa-apa saja janji yang pernah kuucapkan dulu.
Apa kabarmu sekarang? Ya, aku masih bisa mendengarmu, kukira sekian tahun bertekad untuk melupakanmu akan melengser pula kekuatan terbesarmu, tapi nyatanya suara itu masih sama, menyentuh, seperti yang pernah berhasil kau lakukan sekian waktu dulu.
Aku harus menyebutmu sebagai apa sekarang? Maaf karena harus pergi dari sisimu, bukan karena patner hidupku tidak mengijinkannya, bukan karena dia takut akan kehilangan banyak perhatian dariku, tapi aku yang memilih untuk seperti itu, aku paham benar sebesar apa obsesiku terhadapmu, dunia milikmu, bahkan dulu sampai pernah ku dedikasikan satu buku penuh perasaanku kepadamu, apa kau ingat? Kau mungkin tidak akan pernah membaca buku itu, tapi aku tahu ikatan kita telah melewati batasan ruang waktu. Aku berbicara kepada hatimu melalui buku itu, dan hati tidak mengenal perbedaan bahasa.
Aku yang saat itu memilih untuk melepasmu, karena tidak mungkin lagi kubagi hati untuk mereka yang keberadaannya nyata, denganmu telah kulatih diri untuk berbagi, dengan ribuan pengagummu dan juga berbagi dengan akal sehatku. Aku setengah gila mengejarmu saat itu, meski tahu tidak akan pernah tercapai meski hanya berujud sentuhan ringan, meski sadar tidak akan pernah tergapai meski hanya memandangmu tanpa penghalang. Batasan untuk berbagi dengan akal sehatku sebatas itu saja, sebatas kegilaan yang melampaui kegilaaan itu sendiri. Aku yang saat itu memilih untuk melepasmu.

Aku saat itu buta, mencintaimu dalam kegelapan yang nyata. Bukan terang yang menaungi kita, apalagi perasaanku, melangkah maju seperti mempertaruhkan semua nyawa, bahkan jika aku tetap berani untuk melakukannya, raga ini tidak akan patuh pada perintah yang tidak biasanya, aku selalu berjalan di garis aman, walaupun tidak selalu benderang tapi melangkah dalam gelap adalah sesuatu yang benar-benar baru untuk di lakukan. Dan aku mengalah pada ketakutanku, andai saja aku tahu bahwa belenggu itu akan melepaskan dirinya, andai aku tahu ikatan kita akan terurai setelah beberapa waktu, mungkin setidaknya engkau atau aku akan hidup lebih baik sekarang, dengan menggenggam ingatan seperti apa wajah nyatamu, seperti apa suara tanpa megaphonemu, akan ku jadikan kenangan itu sebagai bekal untuk hidup lebih lama dalam senyuman dan dalam kedamaian, saat itu aku benar-benar terlalu percaya pada kata selamanya untuk bisa meraba adanya kemungkinan kita berpisah jalan kedepannya. Kegelapan yang sekarang melanda akan mendapatkan titik terangnya, dan meski hanya setitik tetap berarti besar untukku.

Aku hidup dengan baik sekarang, apa kaupun iya? Aku mendapat pendamping hidup yang tidak hanya membuatku begitu damai dalam tidur, tapi juga membuatku berani memiliki mimpi, lagi. Karena jujur saja, berpisah denganmu membuat nyalaku padam seketika, pelita yang selalu menemaniku bahkan sampai bisa memberi terang pada sekelilingnya benaran telah mencapai titik habisnya. Aku terantuk, merangkak dalam kegelapan, hingga kemudian dia datang. Dia menyelamatkan langkah agar tidak terjatuh lebih jauh, dia memperkenalkanku pada lautan, sesuatu yang sangat lama hanya bisa menjadi angan, dia tidak hanya memperkenalkanku padanya sebenarnya, dia membuatku hidup di dalamnya. Membawaku terus kembali kepada lautan adalah satu-satunya cara untuk membuatku hidup dan dia selalu disana, menggenggam tanganku erat dalam kecemasan serta kehati-hatian. Hatiku kembali tersentuh oleh ketulusan genggamannya, sesuatu yang dulu selalu kau lakukan dengan melodi dan suaramu, sekarang bisa kumiliki dalam ujud penuh dari raga hingga nyawa. Aku bahagia, sangat berbahagia. Apa kau juga terus hidup bahagia setelah kepergianku. Meski keberadaanku hanya satu dari sekian ribu tapi seperti yang telah kukatakan tadi, aku mengepak hatiku dalam sebundel buku. Kepada hatimu aku berbicara melewatinya.
Satu yang terus mengusik sejak keputusanku untuk menjauh darimu, janji-janji itu, aku mengingkarinya. Apa kau marah? Kau berhak melakukannya. Aku melupakan semua daftar janji itu tapi ketahuilah bahwa aku hidup setelahnya dengan perasaan menyesal karena telah melakukannya. Aku bukan jenis orang yang suka mengingkari janji, tapi kepadamu, aku melakukannya. Maaf.

Aku telah bangkit dari cintamu dan sekarang merelakan diri untuk terjatuh lagi pada lubang namun milik sosok yang berbeda. Dia tidak seromantis dirimu jika kau ingin tahu, namun dia nyata, ya, sepertiku kau juga harus memilkinya, sosok nyata yang akan menemani hari-hari hingga tuamu, sosok nyata yang akan membangunkan tidur nyamanmu dengan kecupan pagi, sosok yang akan mengenyangkan perutmu dengan masakan-masakan penuh cintanya, sosok nyata yang akan melihat kekurangan dan keburukanmu dan tidak hanya melihat tapi juga mendekapnya, sudah lama aku merisaukan hal itu untukmu.

Pernikahan adalah sesuatu yang baik, sudah waktunya untukmu melangkah kesana, bukankah? Mulai lakukan sesuatu untuk dirimu, jangan terus mengabaikan hati, berada dalam genggaman lampu sorot memang menyenangkan, kau akan sangat kehilangan dan merindukan itu ketika nanti melangkah dalam jenjang yang kusarankan. Pernikahan adalah sesuatu yang baik, pengagummu akan berbahagia dengan kebahagiaanmu, cobalah dengan perlahan mulai menjauhi lampu sorot itu, perlihatkan dirimu dalam dekapan remang, akan ada banyak orang yang tetap menjagamu meskipun engkau jauh dari kata benderang, akan ada banyak orang yang tetap akan memelukmu meski engkau melangkah dalam remang.

Sudah berapa tahun sejak hari pertama engkau memulai? Sepuluh? Atau dua puluh? Dan berapa lama engkau berencana akan hidup? Permasalahannya adalah kematian tidak datang saat engkau memanggil dan menginginkannya, dia selalu datang dalam kejutan, sekali lagi cobalah lakukan sesuatu untuk dirimu, jangan terus mengabaikan hatimu karena dia pasti membutuhkan teman.

Jika saat keputusanmu untuk pernikahan tiba, aku berharap agar tidak ada yang akan kecewa apalagi putus impian, mereka harus terus mencintaimu juga meski engkau tidak lagi berada di bawah lampu sorot yang terang. Mereka harus melihat bahwa angkamu telah menyentuh batas wajar untuk sebuah pernikahan. Aku tidak berhak menyuruhmu untuk menghentikan perjuangan, tapi memang apalagi yang hendak engkau cari? Keberadaanmu telah mengentaskan banyak nyawa dari proses perusakan oleh ganasnya jaman, keberadaanmu telah menyuntikkan semangat yang tidak berhasil di dapat dari sekeliling nyawa-nyawa itu, keberadaanmu telah menurunkan garis impian agar lebih mudah di pegang, keberadaanmu lebih berarti dari yang pernah engkau harap dan bayangkan. Terimakasih.

Dan untuk semua janji-janji yang pernah terucap olehku, bisakah jika kuganti semuanya dengan doa - doa saja? Jika iya, biar kususun dulu semuanya sebelum kupanjatkan kepada Yang Maha Tinggi, karena aku benar-benar lupa apa saja yang pernah kuinginkan terjadi pada kita, hanya sekelumit ingatan bahwa aku berjanji akan menemanimu sampai menua, sampai tiada, sampai selamanya, dan karena aku telah menemukan sosok istimewa selain dirimu untuk kutemani sampai menua, sampai tiada, sampai selamanya, maka ku biarkan kau memilih satu nama dari beribu lawan jenis yang menurutmu paling menarik dan berpotensi membuatmu bahagia, hingga keberadaannya mampu memberimu terang meski engkau telah meninggalkan lampu sorot dan melangkah dalam remang, hingga keberadaannya mampu mengalihkan pandanganmu dari silaunya permata dunia, dan hanya satu itu saja. Bahagiakan dia seperti engkau memberi kebahagiaan padaku dan yang lainnya dulu. Pantaskan aku sebagai pengagummu yang baik dengan menjadi lelaki yang baik untuk wanita-wanitamu, yakni pasangan dan anak-anakmu. Semoga harapanku tersampaikan dengan sama baiknya seperti ketika engkau mendekapku dengan melodi dan suaramu.

Jumat, 20 September 2019

Bunga Matahari

Kuncup bunga matahari mulai menyapa pagi, kemarin kulit hijau masih membungkusnya, tapi hari ini dia mulai berani memperlihatkan diri. Aku menantikan kedatangannya untuk waktu yang terasa sangat lama. Di tengah pelukan musim kemarau panjang, kuperlakukan ia bak putri kesayangan, merawatnya tumbuh tidak pernah terasa menjadi beban. Siapa yang akan pernah terbebani oleh cantiknya calon bunga matahari? Aku secara khusus menyukai warna kuning, membayangkan diri berdiri memandang berhektar-hektar ladang tanaman satu itu membuatku merasa istimewa.

Tapi milikku hanya satu, atau mungkin baru satu. Kudapatkan dari seseorang yang tidak hanya paham tapi benar-benar mengerti karakter jenis bunga satu itu. Ia pernah berkata bahwa bunga matahari akan mengajak siapapun yang menyayanginya untuk bersinar, dan ya, walaupun masih berujud kuncup aku mulai mempercayai kebenaran kata-katanya, sebelumnya hari-hari berlalu hanya sebatas lompatan angka, 1,2,3,4, dan seterusnya. Lalu berganti menjadi lingkaran bulan yang juga hanya berlalu tanpa makna. Tapi semenjak benih bunga berada dalam genggamanku, sebelum akhirnya ku tabur dalam sekotak lahan di pekarangan, sesuatu telah merebut perhatian bahkan sebelum aku benar-benar menyadarinya. Dari yang semula hanya pohon kecil rapuh berdaun sepasang, hingga kemudian tumbuh menjadi semakin tinggi dan terus menjulang, aku seperti tersirep oleh pesona pohon berdaun lebar satu itu, waktu melayang, bukan lagi tanpa makna tapi bertabur harap dan semangat, ya, aku begitu bersemangat menantikan tumbuh kembang kuncup bunga sebelum nanti tiba saatnya untuk mekar dan bersinar. Waktu menuntunku dengan begitu teliti, sehati-hati saat kujaga lingkungan sekitar untuk menyambutnya, dia istimewa, begitu istimewa.

Musim penghujan yang menanti di ujung ufuk adalah sambutan yang tepat bagi mekarnya bunga satu itu, dia tidak akan lagi merasakan buasnya angin berbalut debu, dia tidak akan lagi merasakan tanah gersang di sekitar karena begitu kurangnya pengairan, dia akan tumbuh secerah matahari pagi, dia akan tumbuh menjadi secantik yang pernah ku bayangkan, esok yang panjang mungkin dia akan bertemu sekumpulan indahnya, entah tanaman jenis baru atau justru yang serupa, dia akan memiliki teman seperti yang selalu ku angankan. Pekaranganku mungkin tidak seluas hamparan ladang impian, tapi di sana akan bertumbuh banyak tanaman sampai cukup untuk menemaniku menua. Bunga matahariku akan tumbuh menjadi yang tercantik dari semuanya, si istimewa akan tetap menjadi istimewa ketika kelak berbaur dengan banyak tanaman lain, karena memang dari awal kehidupannya tidak hanya air yang mengaliri dahaganya, tapi juga sesuap tulus dan rasa sayang yang mungkin tidak di dapat oleh teman-temannya.
Hanya satu yang mungkin ingin kubisikkan kepadanya, pesan kepada sang bunga yang keutuhannya begitu memesona. Bahwa dia bukanlah apa-apa dan tidak akan menjadi siapa-siapa tanpa kasih sayang dari semesta. Meskipun aku telah dengan begitu bangga berkata bahwa akulah sang empunya, bahkan telah kurawat ia setelaten kujaga anakku, tapi semesta tetaplah semesta, ia adalah ibu dari segala yang bertumbuh di permukaan dunia, aku tidak bisa dengan begitu lancang merebut hak-hak pengakuannya.
Aku ingin bunga matahariku kelak tumbuh menjadi sesuatu yang menyenangkan, kendati kemanapun pandangannya selalu merujuk pada arah matahari, dan seharusnya hal itu tidak lantas membuatnya jadi besar kepala, merasa lebih bisa dan lebih berharga.
Karena kesombongan adalah sejenis lubang yang akan menenggelamkan siapapun yang membuatnya, dan hal itu berlaku bagi seluruh makhluk hidup di dunia. Tak terkecuali bagi tumbuh-tumbuhan.

Bunga matahari akan tersenyum menyambut pagi, menebarkan kesejukan bagi siapapun yang memandang, bersama mentari keduanya akan menciptakan melodi yang begitu pas dalam meniupkan kebahagiaan.

Kamis, 19 September 2019

Pemahaman Terakhir

Aku pernah menginjakkan kaki di sini, tanah gersang bermandikan tanaman mati. Mungkin saja bukan tempat ini, tapi ketiadaan kehidupan bukanlah sesuatu yang baru untuk kutapaki. Dingin, bukankah ini tidak wajar? Karena sekarang siang dan bukan malam. Sebelumnya sinar matahari tidak pernah gagal menghangatkan makhluk di pelukannya. Tapi entah anomali apa yang tengah melanda daratan mati satu ini, atau justru akulah sang anomali itu?

Aku benci mengakui, tapi air mata mulai mengawali pengakuan itu. Semuanya mengalir nyaman dalam sedu sedan yang tak terhentikan. Aku akan terus menangis jika itu mampu menghidupkan tanaman mati yang terus menyerbu pandangan, aku akan terus menangis jika itu mampu memberikan lagi kepada sang tanah kehidupan, aku akan terus menangis jika itu mampu mengetuk matahari untuk kembali membawa kehangatan, aku akan terus menangis meski sudah tak bisa lagi merasa.

Aura kematian merembes sama cepat seperti udara berlalu. Dalam sekejap aku mulai kehilangan akal, sedu sedan saja tak lagi dapat menyampaikan karena setelahnya aku harus meraung mengerikan. Apa kalian mengerti kesedihan ketika harus menjadi satu-satunya yang hidup ketika semuanya beranjak mati? Aku seperti mengendarai raga milik orang lain. Ketika tiba-tiba saja semua terasa seperti berdenyut, tanah gersang, tanaman mati, bahkan matahari, mereka hidup untuk menyambut setiap langkahku, langkah yang tak ku rencanakan dan kusadari. Kematian merespon ketulusanku untuk berbagi.

Entah luka atau tawa yang tengah ku dekap, karena semua jenis emosi mendadak kehilangan wajah mereka. Mengantisipasi adalah hal terbaik yang bisa kulakukan, mengosongkan perasaan adalah syarat mutlak untuk bisa menjabarkan. Ya, aku ingin suaraku terdengar, dalam kepungan tanah gersang dan matinya tanaman. Aku ingin suaraku terdengar, meski hanya gaung yang memberikan jawaban.
Meski hanya gaung yang berani memberikan jawaban.

Bila mungkin, aku ingin siapapun membawaku keluar dari sini, area penuh kematian menyesakkan pernafasan, hawa dingin yang semakin pekat memberatkan perjalanan. Tapi sejauh mata memandang selalu hanya mereka yang terlihat, matahari yang kehilangan arti, tanaman mati, dan tanah gersang. Mereka yang dalam goyahku rela menghembuskan tanda-tanda kehidupan, entah memang seperti itu atau hanya aku yang menginginkan mereka seperti itu.

Satu, dua, tiga, kusampaikan rintik air mata terakhir yang masih tersisa, kembali mengetuk raga yang telah mati rasa. Sepertinya inilah akhir dari segalanya, kekecewaan, harapan, mimpi, berapa banyak nama yang terlibat dalam lingkaran ini? mereka yang memberi andil dalam kecewa yang tak terkatakan, mereka yang memulai dari akhir mengejutkan ini. Langkahku hanya akan berputar-putar di area ini, seberapa kuatpun aku ingin mengakhirinya, karena ternyata tanpa kusadari, raga ini telah mengikatkan diri pada tema pertemanan dengan keadaan sekitar. Rautku meneduhkan tanaman mati di sekelilingnya, tanganku mulai bergandengan dengan matahari dalam memutar poros kerjanya, bahkan bayang hitam di belakang pun tak mau ketinggalan menyumbangkan andil bagi senyumnya si tanah gersang.

Sesuatu sekarang mulai terpahamkan. Kematian tak membutuhkan teman, kesedihan tidak hanya bisa di tangisi tapi juga di cicipi lalu di daur ulang, bahkan jika semua nafas menjauhimu bukan berati engkau sendirian. Karena terkadang, situasi terburuk pun bisa menjadi teman, sesuatu yang tak hidup pun bisa menghapus kesendirian, yang perlu di lakukan adalah mencoba mengulurkan tangan, tidak peduli jika yang menyambutmu adalah tanah gersang, matahari yang telah kehilangan daya, tanaman tanpa nyawa. Tidak peduli jika yang menyambutmu adalah kematian.

Jumat, 14 Juni 2019

Iba Membawa Petaka

Jika kamu mengira kebencian itu terbentuk dalam waktu dekat bahkan akhir-akhir minggu ini, kamu salah. Jika kamu mengira mata seorang anak kecil tidak mampu merekam pandangan penuh syarat kebencian, maka kamu salah. Jika kamu masih bertanya-tanya kenapa hubungan ini menjadi sepahit empedu, kuminta untuk berkaca pada masa kecilmu. Masa lalu yang menyisakan ampas pahitnya untuk hari ini, untuk saat ini.

Tidak ada yang tahu betapa berat menjadi seorang anak kecil yang selalu di suguhi pemandangan sekarat di depan mata. Mengejang dan memekik adalah nyanyian yang biasa terlantun di rumah dulu. Sebelum ia pergi. Ayahku memang manusia luar biasa, di ciptakan tubuhnya dengan adonan separo dewa, agar supaya ia bisa kembali menjadi manusia setelah berkali-kali meregang nyawa. Agar supaya ia masih bisa menghela napas meski berkali-kali menyentuh batas ajal. Iba seorang Ibu merengkuhku pada dunia yang baru. Aku separo mengira dia melimpahkan sayang berlebih padaku karena menebus kepahitan yang di hadirkan oleh anaknya, ayahku. Mata baru, dunia baru, kebahagiaan baru. Hari-hari yang semula hanya abu dan abu, mendadak mendapat pasokan warna yang lain, warna yang lebih beraneka dan menyala. Namun pendarnya tidak serta-merta membutakan, setelah akhirnya aku mendapati sebuah keganjilan. Tatapan syarat kebencian, melayang nanar di antara dua bola mata yang menyala gahar. Saat itu umurku belum terlalu fasih untuk membedakan antara kepura-puraan dan ketulusan, belum bisa membedakan antara putih yang benar-benar putih, dan hitam yang benar-benar hitam. Di suguhinya aku tatapan syarat dendam, aku tak tahu kenapa, tapi perlakuannya selalu menggiringku pada dunia penuh abu-abu. Dunia penuh tanda tanya, tentang kenapa dirinya selalu menyuguhiku tatapan itu, tentang kenapa jalanku selalu di hadang untuk bisa selangkah lebih dekat dengannya. Apa yang bisa kamu harapkan dari anak kecil yang terlatih pada tatapan penuh kebencian?

Aku tidak tahu jika gelombang itu menuntunku hingga hari ini, dengan hati-hati ia mendaratkanku pada sebuah kesadaran bahwa kehadiranku tidaklah terlalu mendapat sambutan. Rasa iba yang membuat petaka. Meruntuhkan dinding yang selama ini hampir berhasil memisahkanku pada kenangan masa silam. Akankah ini tangan karma yang sedang bekerja? Atau memang kebencian itu memang masih ada?
Rasa iba yang membuat petaka, memanaskan waktu tanpa melihat sudah seberapa dalam kenangan tergenang.

Kepadamu yang masih bertanya kenapa, kepadamu yang masih mengira sesuatu telah menimpa ikatan kita, ketahuilah pemahaman yang ingin kujelaskan. Aku dan karma tidak memiliki hubungan mesra apalagi dekat. Menyentuhnya adalah hal terjauh yang pernah kubayangkan. Tapi dia adalah sebuah hukum yang tunggal, tidak di pengaruhi atau menerima pengaruh dari siapapun makhluk di semesta ini. Apa yang kamu tabur akan kamu tuai pada waktu yang telah di tentukan, tidak ada yang bisa menolak atau mengundurkan waktu penetapan. Dia bekerja secara teliti, dia bekerja sesuai dengan kalkulasi, tanpa tercampuri emosi apalagi perasaan, dan sesuatu yang saat ini tengah menimpa ikatan kita, harus di akui dan hanya jika kamu mau mendengarkan, api itu bukan aku yang menyalakan. Seluruh tubuhku memang mengandung bara, tapi percik yang membuatnya nyala bukanlah berasal dari bagian tubuhku yang manapun. Itu adalah karma. Dia di gariskan untuk mendatangi lalu membakar kita pada waktu yang memang telah di tetapkan. Aku tidak membencimu, rasa ini adalah cermin yang bertahun-tahun lalu mendatangiku, dalam ujud tatapan penuh rasa benci dan kemurkaan. Sekarang kamu melihatnya, memahami betapa bingungnya menjadi seorang anak kecil penuh kepolosan yang selalu bertanya-tanya kenapa dirinya mendapatkan perlakuan kurang mengenakkan. Dunia berwarna yang saat itu baru ku cecap dalam waktu singkat, yang kemudian kau robek dan menarik paksaku lalu mencemplungkannya lagi ke dalam lingkaran penuh abu-abu, akhirnya kau merasakan kebingungan dan kekecewaan itu. Walaupun mungkin reaksi yang kau tunjukkan sedikit berbeda, tapi aku lega, bola itu akhirnya menemui masanya untuk menyala juga. Hanya tinggal menghitung hari tentang kapan ia akan padam atau justru mengekal. Aku tidak mempunyai harapan, pada manusia-manusia yang pernah mengecewakan. Aku tidak mempunyai harapan, pada pemahaman lain bahwa kemungkinan putusnya ikatan kita karena salah alam.

Kamis, 09 Mei 2019

Pengungsian Selanjutnya

Harga diriku kembali tergigit oleh rasa tidak di inginkan.

Sekian tahun memahami rahasia yang di peluk kehidupan tidak lantas membuatku kebal pada efek samping yang di hadirkannya. Beberapa kali aku tersuruk pada kegelapan, keputusasaan, dan yang paling menyeramkan dari semuanya adalah ketika yang menjatuhkanku justru adalah harga diriku sendiri.
Kamu mungkin tidak pernah tahu betapa kesempurnaan adalah sesuatu yang tidak hanya menjadi tujuan selama pencarian jati diriku. Betapa kesempurnaan adalah puncak yang selalu ingin ku rengkuh dari semua aspek kehidupan. Jangan tanyakan tentang dedikasi, karena aku memahami itu sebaik aku memahami setiap jengkal bagian tubuhku. Aku tahu betul apa arti sebuah perjuangan. Bukan hanya air mata yang pernah ku gandeng untuk melaluinya, tapi juga tetesan darah dan irisan keping hati. Aku selalu mendedikasikan seluruh dayaku untuk setiap liku jalan yang ada di hadapanku. Tapi beberapa kali, tapi dalam beberapa cerita, jalan takdirku mau tidak mau harus juga bersinggungan dengan manusia lain, kepribadian lain, kepala yang lain. Bayangkan, dalam beberapa cerita keberadaanku justru menjadi ancaman bagi beberapa dari mereka. Kesempurnaan dan totalitas yang telah melebur dalam nadiku mendadak mendapatkan batu sandungannya. Mereka yang beririsan itu justru manusia-manusia baik yang sebagian keberadaannya kupuja dan kukagumi.

Andai semua manusia di bumi ini saling terbuka antara satu dengan yang lain, andai tidak pernah ada perasaan yang tersembunyi di antara mereka. Akan menjadi sangat indah tak terkiranya bumi ini. Tapi sayangnya semua itu hanyalah angan-angan. Karena hampir semua makhluk hampir selalu mengenakan topeng di wajah mereka. Sebagian bahkan menanggalkannya hanya jika kedukaan tengah melanda.

Itulah kenapa kepercayaan adalah sesuatu yang tak pernah terbeli olehku, seberapapun murah harganya, aku tidak pernah tertarik untuk membeli atau menjualnya pada dan dari siapapun. Aku tertempa menjadi sepicik dan sekeras itu. Aku tumbuh menjadi makhluk semengerikan itu. Dan sebagian dari mereka mengira aku senyata topeng yang selalu ku kenakan. Tidak. Aku tidak hanya ingin, atau mencoba, tapi terobsesi untuk menjadi sempurna. Aku tidak pernah bisa percaya pada kata kepercayaan. Aku benci rasa kasihan hingga tulang sumsum terdalam. Aku jauh dari kata cacat, dan satu-satunya cacat yang ku dekap adalah ketidaktahuanku tentang betapa besar sebenarnya cacatku itu. Aku terobsesi untuk menjadi dewa, menjadi manusia sempurna, menjadi anak baik, menjadi ibu yang sempurna. Dan dalam ketidak luasan bumi ini, hampir selalu semua jalanku berimpitan dengan manusia lain. Sekalipun aku tidak menginginkannya, sekalipun aku kerap menghindarinya. Mereka selalu saja berhasil menyatu dengan liku setapakku. Mengetahui jatuh bangunnya proses berjalanku, mengetahui sejarah dari betapa jauhnya perjalananku. Dan ketika dengan segenap daya aku mencoba untuk menjadi sempurna, mereka mendadak mendapat ancaman dari keinginanku satu itu.

Tidak, jangan, aku tidak ingin kembali terbuang, hanya karena tingginya standar dayaku.
Tidak, jangan, sekalipun masih dalam hitungan jari, tapi terlempar lagi dalam perasaan tergigit karena kenyataan tidak di inginkan itu sangat dan sangat menyakitkan. Jangan biarkan aku kembali merasakan pahitnya menikmati sebuah puncak tujuan yang di impikan. Aku berjuang, aku menangis, nadiku berpacu di luar garis normalnya, darahku memompa secepat yang ia bisa, lalu hanya karena aku berhasil untuk bisa, kalian merasa keberadaanku mulai mengancam dan perlahan kursiku mulai di lengserkan. Tolong, jangan bentuk aku menjadi lebih keras dari yang  sudah ada saat ini.

Amu pernah menjadi tahanan di dunia yang sempat ku nyatakan sebagai milikku. Aku sempat di pasung oleh ketakutan mereka akan ancaman karena keberadaanku. Dan jalan yang ku tempuh saat itu adalah mengungsikan diri ke daerah baru, lingkungan baru, dunia baru. Dan beradaptasi bukanlah hal yang dapat di lakukan dengan semudah membalik telapak tangan. Aku sempat dan selalu terserak dalam lingkungan baru. Bangun bukan hal yang mudah juga, tapi aku selalu bisa. Dan seperti sebuah kutukan yang tak habis dalam satu putaran jalan, takdir yang sama selalu menghadangku di depan sana. Aku tidak bisa membaca masa depan, tapi situasi yang menangkapku bukanlah sesuatu yang sulit untuk di raba, aku semakin mengenali jalan hidupku seperti halnya mengenali bentuk kuku jempol kaki atau bentuk kelingkingnya.

Harus menjadi apa aku agar bisa terlepas dari lingkaran perasaan itu? Menurunkan standar, harga diri dan tujuan? Jauh-jauh hari aku di tempa agar menjadi sekeras baja, bukan hanya memakan waktu setahun atau lima tahun, hampir seluruh hidupku di habiskan oleh takdir dengan cobaan. Sekalipun kesadaran masihlah surga yang baru bisa ku nikmati belum lama ini, tapi tertidur bukan berati terlepas dari semua ikatan, dan tempaan terus datang meskipun saat itu yang bisa kulakukan hanyalah mengaduh dan meminta pertolongan serta belas kasihan. Sesuatu yang saat ini memamerkan diri menjadi sesuatu yang paling kubenci di dunia ini.

Tolong, kepada siapapun kaki tangan Tuhan yang bertugas mencatat jalan hidup seseorang, asingkan saja aku bila perlu ke dalam belukar nyaman tapi tak berpenghuni. Karena aku mulai benci adanya sentuhan, irisan,,pemahamanku mulai mengenalkanku pada sosok lama tapi baru, sosok yang sulit untuk di ajak bekerja sama apalagi bergandengan dengan mesra. Sosok yang membahayakan dan tanpa punya tudung untuk menyembunyikan betapa nyatanya bahaya itu di dalam bola matanya. Sosok yang patut diungsikan ke daratan terjauh sekalipun. Hanya agar tidak ada siapa lagi yang akan merasa terancam dengan keberadaannya. Hanya agar tidak ada siapa lagi yang akan kembali menerima luka. Dan membiarkan perasaan tergigit karena tidak di inginkan menjadi bekal yang kelak akan menemani dan mengenyangkannya dalam cara ajaibnya, seperti perasaan luka-luka lain sebelumnya.

Kamis, 21 Maret 2019

Manusia Setengah Hitungan

Apa kalian tahu seperti apa beratnya mempunyai adik seorang berkebutuhan khusus? Apa kalian tahu seperti apa sedihnya mempunyai seorang adik dengan kebutuhan khusus? Setiap orang berkata mereka bersimpati, setiap orang seperti menunjukkan bahwa seolah mereka merasa kasihan. Tapi apa kalian tahu perlakuan seperti apa yang selalu di terima oleh adikku? Semua orang memperlakukannya seperti ayam, bahkan terkadang dalam keterbatasanku, akupun secara tidak sadar memperlakukannya seperti demikian. Dia di awasi, di kejar, di batasi, di usir, bahkan dalam beberapa tenggat masa yang telah lalu aku melihat sekelompok anak kecil melempari adikku dengan batu. Jangan tanya seperti apa kondisi hatiku hari itu, karena hancur bukanlah lagi kata yang bisa mewakilinya. Beberapa orang mungkin benar-benar bersimpati dan juga baik terhadapnya, dan ketulusan tak terhingga mungkin benar-benar mampir dalam kehidupan adikku itu dari segelintir orang di sekitar kami, dan menebaknya bukanlah sesuatu yang etis dan lagi aku tidak memiliki kecakapan lebih untuk bisa mendalami isi hati juga pikiran seseorang.

Terkadang, aku merasa tengah memiliki seorang penjahat di dalam pelukan, setiap orang merasa terancam, terbebani, terganggu, bahkan terusik dengan keberadaannya, tentu saja sebagian orang akan berkata bahwa mereka bail-baik saja, tapi sekali lagi, manusia memiliki ketulusan hati yang tidak bisa di kira dalamnya. Dan setelah aku mengibaratkan adikku seperti ayam dan penjahat, ada satu lagi kenyataan tak terkatakan yang di terima oleh adikku sejauh ini, dan meskipun aku sempat merasa tidak akan sanggup menulis ini, tapi faktanya adalah beberapa orang memang melihat adikku seperti manusia dengan keutuhan yang di ragukan, beberapa orang melihatnya seperti sebuah puzzle dengan gambar separuh saja di dalamnya, dan memang dari awal tercipta begitu tanpa ada lagi kepingan di luar sana yang bisa menempati ruang kosongnya, beberapa orang memperlakukan dengan nyata adikku sebagai manusia setengah hitungan.
Jangan tanya seperti apa bentuk hatiku hari ini, karena sekali lagi aku mengakui, dalam keterbatasanku sebagai manusia, akupun pernah melihat dengan jalur seperti sebagian orang di atas.
Dan ada lebih banyak waktu untukku memaki semua keterbatasanku ketimbang hanya menyesalinya saja.

Aku menulis malam ini bukan karena keresahan itu datang secara tiba-tiba, tapi mereka sebenarnya telah ada dan menemuiku dalam kurun waktu yang lama, merongrong kesudianku untuk membuka mata, memaksa belas kasihku untuk menimpangi semua keterbatasan yang kian memberatkan. Aku tidak yakin jika ini adalah sebuah ketulusan, dan apakah sebuah ketulusan yang begitu agung masih mengandung cacat di dekapannya? Tapi harus di akui dalam tenggat waktu tertentu, di mana adukan emosi yang terjadi hanya berisi kesedihan dan ketidakberdayaan, di antara rasa simpati yang berlebih dan kemurnian darah dari seseorang yang sudah bertahta sebagai ibu, pemikiran ingin untuk menggantikan keberadaannya pernah mampir bukan hanya sekali di dalam benak. Tapi bukankah itu sesuatu yang musathal bisa terjadi? Sudah menjadi garis takdir adikku untuk menjadi seseorang yang istimewa, dan pun, sudah menjadi garis takdirku untuk menjadi kakak yang secara otomatis bertanggung jawab menjadi penjaganya juga. Aku bukan satu-satunya di dunia ini, ada banyak di luaran sana yang menempati posisi sepertiku, pasti ada banyak dan aku sejauh ini tidak menemukan apapun bentuk tiang yang bisa dijadikan pegangan. Karena seberapa bijakpun aku mencoba, menjadi kakak yang baik seperti sesuatu yang berada dalam luar batasan, seperti khayalan untuk meraih awan, di perlukan lebih dari sekedar penghayatan untuk bisa merasai kesolidannya.

Aku mempunyai banyak nama yang kulabeli dengan sebutan adik, tanpa benar-benar menempatkannya sebagai demikian, aku mengajari mereka dan selalu berpesan untuk tumbuh menjadi orang baik, aku menyuntik mereka dengan pemahaman yang mungkin hanya bisa di pahami oleh segelintir orang saja, tapi dalam lubuk hati terdalam sebenarnya aku menaburkan banyak mantra dan harapan, agar kelak jika sesuatu terjadi padaku, ketika kewarasan atau bahkan raga milikku tidak mempunyai daya untuk menjaganya, dari sedikit nama yang kulabeli adik itu, ada di antara mereka yang mau dengan sudi menggantikan peranku. Sekali lagi hal yang tidak mungkin terjadi ku sebutkan di sini. Tapi kengerian yang membayangi setiap waktu dengan memikirkan seperti apa keganasan masa depan di depan mata, mau tak mau membuatku mengharapkan hal-hal yang berada di luar jangkauan. Aku merasa perlu mempersiapkan dunia yang berisikan manusia-manusia dengan kebaikan dan syukur lagi ketulusan di dalamnya. Aku merasa perlu setidaknya memberi tempat aman untuk adikku tinggal jika kemudian hari aku harus meninggalkannya sendirian. Aku tidak sendirian mendekap pemikiran ini sebenarnya, ada ibuku di sisi lain, dan mungkin hanya kami berdua saja. Tapi ibu adalah sebuah pengecualian, meskipun keterbatasan juga menyelimutinya, tapi ibu adalah seorang ibu dari adikku. Aku tidak berani dengan begitu lancang meragukan kasih seorang ibu, meragukan ketulusan juga pemikiran bagusnya untuk masa depan. Jadi dalam paragraf ini aku hanya ingin melibatkan diriku seorang, manusia bercacat yang tengah berusaha memperbaiki dunia dengan jalan memperbaiki diri sendiri, agar kelak setidaknya ada meskipun hanya sejengkal daratan yang tercipta dengan keamanan juga kenyamanan penuh bagi seseorang dengan kebutuhan istimewa.

Jika ternyata terlalu sulit untuk membuang sama sekali keterbatasanku sebagai manusia, maka hal terakhir yang kuinginkan adalah mengubah dunia. Ya, aku kesulitan untuk mentransformasi diri menjadi dewa, aku memiliki cacat besar yang bahkan bisa dengan mudah di temukan oleh manusia. Dan hal terakhir yang berani kucita-citakan adalah memberikan sejengkal daratan yang di landasi oleh kebaikan dan juga ketulusan, supaya adikku bisa sepenuhnya berdiri dengan kakinya sendiri tanpa harus ada lagi pemaksaan, tekanan, batasan, pembedaan dan hinaan. Semoga saja.