Kamis, 30 Oktober 2014

Ketika Tinta Mulai Meleleh

Aku melepas terlalu banyak orang untuk beberapa waktu terakhir ini. Beberapa dari mereka pernah kuharapkan tetap ada hingga akhir masa. Selebihnya pernah diharapkan tetap terjaga baik hingga aku menutup mata. Sosok-sosok yg tak lagi muat untuk kukenali namanya, tapi hafal aroma ketika mereka mulai berada dalam jangkauan indraku. Dan dari kesemuanya, hanya satu yg tak akan kulepas apapun pertimbangannya.
Ia adalah yang terlahir dihari yg sama denganku. Melangkah dalam waktu juga langkah yang terkadang tak sejalan, tapi apapun dan kemanapun aku menuju..kaki-kaki ini selalu hanya akan kembali padanya.
Ah..patner hidup yang manis.

.

Sebelum hari ini, pernah kujaga hati agar tak goyah pada apapun yg sekiranya terbumbui kata, 'hilang'. Pernah kutegarkan jiwa agar tak terlalu limbung pada adanya penopang yg terpaksa melakukan undur jabatan sebelum mati terkapar. Pernah kurapatkan telinga, mata, bahkan segala indra agar ketika nanti harus kulangkahi hari sendiri tak ada efek drama yg membuat semuanya terasa mengerikan. Persiapan menyambut teman agung bernama kesenyapan. Dan ketika masa itu datang tak pernah kuduga jika kehilangan yang berturut-turut sanggup menjadi parasetamol bagi tubuh yang senantiasa merindukan adanya kenormalan. Aku mencari teman, mengumpulkan banyak nama dari berbagai belahan dunia. Berharap dari jalinan yang terikat diantara semuanya sanggup menghadirkan satu saja kelengkapan jiwa. Aku berbagi rasa, berbagi nyawa dengan segelintir umat yang sekiranya sanggup memenuhi kriteria untuk kuserahi sebungkus kado bernama kepercayaan. Dan sejauh ini aku masih dikecewakan. Tak ada yang sanggup bertahan lebih lama dari apa yg pernah dilakukan ia, patner hidupku.

.
.

Hilang pernah menjadi sebuah misteri. Bagaimana waktu menjulurkan lidah demi mengucap adanya janji, dan waktu juga yang merontokkan segala asa hingga akhirnya tak ada remah yg tersisa. Jangan pernah merasa tersakiti pada adanya janji yang tak terpenuhi. Jangan mengizinkan dirimu terlukai pada adanya perubahan adab yang seringnya menggoresi gumpalan daging bertekstur lembut berjuluk perasaan. Tak ada yg akan tetap berpijak seperti ditempat awal kehadiran karena memang tak ada yg bisa abadi dalam dunia nan maya ini. Termasuk juga engkau yang tengah berharap pada adanya kekekalan. Sadarkah betapa egomu memaksa terlalu dalam sebuah kehadiran? Dan sejatinya tak ada keberadaan yang lebih diharapkan dari ia yang rela datang dengan kealamian. Tak ada yang pernah berhasil memahami esensi satu ini. Memaknai kata bahwa mengalir berarti harus sejalan. Memaknai kata bahwa bersama adalah kemutlakan.
Aku tak sepemikiran. Dan kalian tak paham.
Hilang pernah menjadi misteri yg sangat diminati para penggemar drama kehidupan. Menangisi adanya kehilangan adalah hal terwajar dalam siklus satu itu. Dan yeah..aku manusia, kita sama..aku juga pernah diterjang badai kehilangan seperti kalian. Dan pertahanan terhebatku menghadapinya adalah dengan menjadi monster berke-egoisan giga, menjalani trik para jawara gulat didunia. Memukul sebelum terpukul. Hilang sebelum dihilangkan. Dan berpura-pura tegar sebelum mati terjerembab karena dirobohkan. Aku memilih untuk tidak menangisi, aku memilih untuk memetik buah pengetahuan. Karena pada dasarnya kehilangan adalah simbol lingkaran pada adanya kehidupan. Sesuatu yg tumbuh harus bersiap mati. Tapi jangan sekalipun izinkan dirimu ikut mati bersama ia yang pernah hidup. Maafkan aku yang terlalu keras membentengi diri dari ke-mainstream-an kehidupan. Menjadikan engkau, ia dan mereka adalah jalanan aspal yang harus dilalui dan bukan persinggahan terakhir yang tengah kucari. Mengajakmu memahami ini akan sedikit berat juga merepotkan. Dan berharap pada kalian agar paham ketika masa datang untukku menghilang sebelum dihilangkan adalah sesuatu yg wajar, sejauh ini pula jawaban yang kuterima masih mengecewakan. Let go, let flow.

.
.

Jangan membebani setiap pertemuan dengan terus melibatkan perasaan. Jika engkau tergores karena harus membaca kejujuran malam ini, ketahuilah yang tengah kulakukan sebenarnya adalah tengah merengkuhmu dan mengajakmu melakukan persiapan. Jangan merasa tersakiti ketika harus kujadikan aspal lintasan. Setidaknya kulalui engkau beserta waktumu dengan mendedikasikan daya terbaikku untuk mengisinya. Kecewa dan marahlah pada ia atau bahkan dirimu yang memaknai setiap adanya pertemuan adalah satu pintu pengharapan akan adanya yg kekal. Kebohongan yg fana berlipat memiliki tajam lebih ketimbang kejujuran yg datang menyakitkan.

.

Maafkan aku untuk berkata setegar ini, sekalipun sejujurnya ketika datang ombak dimana satu-demi satu diantara kalian menghilang ditelannya, aku tetaplah menjelma bak bocah kecil dengan segala keterbatasannya. Membanjiri guling dengan ingus juga limpahan airmata, memaki diri karena tak kunjung memahami dan sadar bahwa seharusnya tak kusandarkan harapan pada adanya kekekalan. Menjadikan semuanya pelajaran dan kembali melangkah bersama diriku yg kusembunyikan. Aku, patner hidupku.

Sabtu, 25 Oktober 2014

Season In The Sun

Musim semi menyapa, angin berhembus sejuk dari waktu matahari terbit hingga terbenam. Bahkan malam adalah saat yang manis sekaligus tenang untuk sekedar menikmati pelataran. Burung-burung berkicau dikala siang, mengitari hamparan langit membiru dengan sedikit awan, dan taman juga jalanan terpenuhi oleh anak-anak dengan tangan kotor lumpur, tapi lihatlah tawa mereka mendera tulus dan penuh kealamian.
Selamat tinggal teman kecilku..kita telah saling mengenal baik dari umur lima atau enam tahunan. Bersama kita mendaki bukit, menuruni jurang, memanjat pohon, juga menyeberangi sungai. Waktunya sudah berlalu sangat lama ketika kita pertama kali bersama belajar mengeja cinta, tangan kita berlari menggunduli semak dan menggali aksara. Dan dari kesemuanya, hati kita terkadang harus tergores karenanya, lutut kita mengatuk batu jalanan tapi tawa sehalus kapas tak pernah berhenti hadir mewarnai hari. Tak jarang kita berdebat juga bermusuhan. Tapi pada akhirnya kita akan saling bergandengan.
Selamat tinggal teman dekatku, terasa sulit harus mengucapkan perpisahan disaat musim justru tengah dalam masanya untuk tumbuh dan berkembang. Lihatlah keatas, tempat matahari tersenyum dan awan menari-nari menyapa, juga lihatlah burung berputar menyanyikan keriangan. Ketika esok datang pangeran tampan menghampirimu dan mengetuk pintu rumah juga hatimu. Saat itu ingatlah aku maka aku akan datang memberimu pelukan dan kita akan menikmati masa bahagia bersama. Atau jika esok gelombang dan dinginnya musim mendatangimu bergantian, saat itu ingatlah aku maka aku akan disana memberimu penguatan bahwa engkau tidak sendirian. Karena aku tau, dingin selalu membekukan tubuh dan membirukan wajahmu. Aku menyukai dingin, tapi engkau bermusuhan dengannya. Dan tanganmu selalu berhasil menghangatkanku disaat aku terlalu lama menggenggam butiran salju, dan bara diwajahmu selalu bisa menyalurkan kehangatan. Kebahagiaan.

.

Kita telah bersama..memasuki musim semi yang lalu, menggigil bersama dimusim dingin yang lain. Dan tertawa mendaki bukit ketika musim panas menyapa.
Selamat tinggal teman baikku. Sungguh tidak mudah untuk mengucapkan kata perpisahan. Dan sekalipun aku tidak menyukainya aku harus mengucap itu sekarang dan kau harus terus mengulang untuk mendengarnya agar perpisahan ini terjadi dengan kealamian. Seperti musim panas tahun lalu saat kita masih menyempatkan bergandengan, sebelum musim dingin datang dan kita harus berpisah demi tugas yang masih menumpuk hingga akhir musim datang. Kita bersenang-senang, kita bersenda gurau, kita tertawa menikmati datangnya musim panas. Dan hingga saat musim itu berakhir, berganti dengan musim lain kita tak menyadari dan lupa mengucapkan selamat jalan.

.
.

Selamat tinggal ayah tolong berdoalah untukku. Aku mungkin pernah menjadi arang untukmu. Engkau telah mengajarkan padaku tentang mana yang baik dan mana yang buruk. Memukul tanganku jika aku salah dan menghardikku ketika aku terlalu banyak membantah. Selamat tinggal ayah. Untukmu, berlipat lebih sulit untuk mengucapkan perpisahan terlebih setelah puluhan musim terlewatkan tanpa adanya alpa kebersamaan. Dan aku kagum ketika kita ternyata bisa melalui banyak airmata juga tawa selama ini.
Selamat tinggal ayah, tengok ladang halamanmu dan lihatlah kelangit atas, tempat kita biasa menghabiskan hari membabati rumput, menamani sayuran atau sekedar berlarian. Juga tempat kita menikmati sepiring kue hangat sambil menontoni langit oranye diufuk barat. Ketika engkau mendatangi taman diujung jalan atau dimanapun yang kiranya kau dapati banyak anak tengah bermain dan tertawa, maka tersenyumlah karena aku tengah ada bersama mereka. Tersenyumlah bersama mereka karena aku juga tengah menikmati musim yang terus bergulir seiring langkah mereka.

.

Kita telah bersama. Melewati banyak malam, melalui tak terhitungnya siang. Terlalu banyak minuman tertuang, juga lagu yang terputar untuk dijadikan latar kita menertawakan kehidupan.
Sungguh tidak mudah untuk mengucap kata perpisahan. Dan sekalipun aku tidak menyukainya aku harus mengucap itu sekarang dan kau harus terus mengulang untuk mendengarnya agar perpisahan ini terjadi dengan kealamian.

.

Kita bersenang-senang, kita bersenda gurau, kita tertawa menikmati datangnya musim panas. Dan hingga saat musim itu berakhir, berganti dengan musim lain kita tak menyadari dan lupa mengucapkan selamat jalan.

Jumat, 24 Oktober 2014

Menyandera Malaikat [Catatan Terakhir]

Alunan nada menyapa tanpa suara, membiarkan nuraniku mengeja apa yang tengah sebenarnya ingin disampaikan pada dunia. Tentang kisah, cinta, tentang dia makhluk tunggal yang terus membekap hingga mulut hati.

.

Hembusan dingin mulai menyapa lirih permukaan pori tanganku. Meremangkan dalam hening bulu-bulu halus tanpa identifikasi lengkap dipintu utama lapisan kulitku. Hari itu berbeda, hari itu bahkan aroma yang terhisap rongga batinku pun tak sama seperti sebelumnya. Semua terasa lebih sarat makna seperti hendak menyambut datangnya sang agung yang detik nanti menyapaku dalam balutan sempurnanya. Symphoni lembut menuntun untukku menutup mata erat dan lebih erat lagi. Memaksa juga untukku terus memaki sendiri karena tak kunjung juga menemukan titik nyawa. Satu titik yang diharap itu adalah awal untuk kehidupan yang lebih hidup milikku. Dan lima tahun datang, tetap dalam aroma yang tak menua, dalam balutan yang terlihat sangat nyata bersama dengan kepak sayap merumbai malu di balik punggung tak bercela. Aku pernah mendekap makhluk bersayap.

.
.
.

Senyumnya kembali terukir ketika aku menghela nafas mencari sebuah sentuhan dicelah hembusan paru. Kusentuh perlahan dagu mencuatnya. Lekuk gores Tuhan yang sangat sempurna. Sungguh tak lagi terhitung berapa banyak kekaguman yang terucap hanya dengan menikmati untuk menyentuh makhluk tanpa asa itu. Namanya..aku tak mengetahui namanya, sosok indah yang tengah terpejam terlihat sangat meresapi usapan tanganku. Menelusuri garis indah wajahnya..sosok yang kutemukan lima tahun lalu tergeletak manis penuh bertabur bulu sayap yang mengoyak karena terlalu menukik jatuh bukan dialamnya. Tanganku kembali menari menghabiskan segala keindahan yang tersaji dengan khayalan meluber.


"Terima kasih sayang untuk telah turun ke bumi kecil milikku. Terima kasih sayang untuk senyum yang terus terpaku disana tanpa harus mempertanyakan satu saja jawaban keberadaannya. Lima tahun aku memilikimu, dengan tanpa batas menikmati setiap bahkan satu saja titik peluh yang mencair dari ujung porimu. Kulitmu teramat sensitif. Ketersensitifan yang tak kunjung kutemukan celanya. Bahkan dalam gempuran atmosfer yang berbeda kau tetap tak apa..menyunggingkan gigi rapi tanpa ada ringis kesakitan, dan ketidak sempurnaanmu ada pada tak ditemukannya titik celamu..."


Kepak-kepak sayap besarnya dengan perlahan mengembang menunjukkan kuasanya padaku. Dalam kemayaan yang menyelubungi pasti detik sayapnya menyapa udaralah saatnya untukku terkagum memasangkan wajah terbodoh mungkin.

Ia malaikat, satu hal yang tetap tak bisa ku pungkiri irasionalnya kenyataannya. Lima tahun aku menyekap malaikat indah nan elok disekat ruangku, iya..hanya didalam sekat milikku. Menyapanya kapanpun aku mau. Menikmati setiap jengkal lengan kekar miliknya untuk kujadikan sandaran disaat aku lelah. Menuangkan segala apa yang tak bisa kubagi dengan makhluk lain yang selalunya hanya bisa meninggalkan rekam jejak mengerikan untukku. Dengan tanpa batas juga mengecupi setiap incian manis permukaan tanpa sudut miliknya. Berbagi segala penat berbincang tanpa henti dan tanpa mengenal waktu juga. Meski yang terlihat hanyalah diam hampa tanpa ada sekelumitpun pembicaraan yang tercipta tapi nyatanya kita memang tercipta ajaib. Saling mengucap dalam bahasa hati. Sebuah candaan lepas yang seringnya datang malu-malu dibalik wajah sebuah Memorandum of Quantum. Menyisakan senyum masing-masing yang menyapa hangat secara nyata.
Jangan mempertanyakan ataukah dia tak memiliki daya untuk memberontak dari sekapan paksaku. Karena satu nafas takdir telah dengan sangat rumitnya menyimpul matikan ikatan mutlak tanpa formalitas milikku. Lima tahun untukku ketika harus terjebak manis dalam hidup pengap sebuah pita suara satu sosok bersayap. Lima tahun untukku ketika harus mengendap-endap sembunyi dari mata dunia hanya agar tak seorangpun tau bahwa aku memiliki segalanya disekat kecil milikku..kekasihku, keajaibanku, bantal hangatku, malaikat tampanku, bintangku, dan segala apa yang hanya bisa menjadi khayalanku ada dibalik tangannya.
Bukankah jika kubukakan mata hati mereka dengan secuplik cerita tentang keberadaan semua itu hanya akan menyudutkanku pada penggeseran mutlak sel kewarasanku? Aku terlalu benci untuk sekedar mendengar cacian apapun yang memperjelas ke-abnormalanku.

.

Terimakasih sayang, untuk perisai yang terhunus manis pada apapun yang selalunya mengendap melumpuhkan pertahananku karena terlalu sempurna untuk bisa menyandra satu sosok indah bernama malaikat dalam kehidupan nyata. Satu bingkisan terima kasih yang tak akan terhenti terucap begitu saja meski semua nada berhenti menyuarakan aroma lembutnya. Satu ucapan terima kasih karena telah dihadiahi kesempatan memiliki sebelum akhirnya dunia murka karena mengetahui dan berakhir mengalir, tanpa lagi ada satupun hembusan yang tersisa. Dengan pasti meninggalkan lembaran kanvas penuh beralaskan guratan kenangan..sel kecil yang menempel lekat pada nadi waktu yang mati. Lepas. Namun tidak hilang.

Sabtu, 18 Oktober 2014

Kiamat Personal

Angin berhenti menyapa. Darah mengental dan bergumul diareal yang tak berguna. Ketika harapan sirna, adakah yang lebih mengerikan dari sebuah manekin tanpa kepala?

.

Bulan dipenghujung tahun seperti baru menyapa dalam beberapa hitungan harinya. Tapi aroma yang tercipta seperti bau buku tua dengan segala kebosanannya. Lama. Lama sekali.
Aku mencermati hari ini, kemarin, lusa seperti lomba lari tanpa adanya aba-aba. Begitu banyak manusia pergi dalam beberapa hari ini. Aku yang tak berkawan semakin linglung ditelan kesunyian mencekam. Begitu banyak sel tak peduli dengan alarm darah beku. Aku yang tengah sekarat hanya mampu meredam rintihan dalam bunyi tetes yang terlelehkan.
Malam semakin mengigau dalam balutan selimut pekat. Siang berlalu tanpa adanya nyawa berdenyut ditempat yang seharusnya. Dan sungguh tak ada yang lebih menjengkelkan dari depresi yang datang tanpa alasan.

.

Aku kenapa. Siapa aku. Kemana mereka. Suatu pagi pernah kutawarkan matahari untuk tidak berotasi. Suatu petang pernah kuyakinkan matahari untuk tidak menyembunyikan diri dari peradaban. Dan yang kudapati adalah jawaban sia tanpa makna. Siapa aku hingga beraninya menawarkan bangku peristirahatan kepada yang terus bersinar? Siapa aku hingga beraninya menawarkan selimut kepada ia yang tak mengenal cuaca? Bukan ia. Tapi aku yang membutuhkan adanya pelukan. Tanpa batasan hari, tanpa batasan akal.

.

Aku kenapa. Siapa aku. Kemana mereka. Aku merindukan terlalu banyak nama. Hanya nama, karena mungkin jika nafas mereka yang ku leburkan, sudah lama aku mati karenanya. Kenapa semua menjadi seperti bom terencana? Aku menginginkan kehangatan, juga kebersamaan. Tapi aku terlalu memaksakan diri untuk meyakinkan bahwa mereka juga menginginkan hal yang sama. Pagi datang tanpa senyuman. Siang berlalu tanpa ada alasan pasti untuk menjemput malam. Dan ketika malam datang, kesemuanya kembali mengalir dalam lelehan yang tak bisa dicegah. Aku berbicara tentang rekan kerja, tentang rekan bermimpi, tentang rekan berimajinasi, juga tentang rekanku kelak menata hidup.
Harapan mati, mata tak lagi sanggup meneliti. Bahkan tangan seakan dipaksa untuk berkontribusi dalam depresi kali ini, tak ada paragraf tercipta. Bukan karena tak ada tema, tapi karena terlalu banyak aliran yang sulit untuk dicerna.
Kemanakah aku seharusnya melaju? Tujuan kehilangan sinar setelah sekian lama mempertahankan nyala. Kemana aku seharusnya bercerita? Jika ternyata yang kubutuhkan saat ini adalah nyawa. Nyawa yang utuh tanpa cela. Aku mulai mendamba adanya kematian sepertinya.
Ingin ku berteriak lantang, menerjang jatuhnya hujan, melewati serbuan angin yang menyelimuti awan. Dan tetap. Keruntuhan tercipta ada didalam sana, tak ada suara yang sepertinya sanggup membahasakan kengerian runtuh puingnya.

.

Matahari berotasi. Tetap seperti itu sekalipun aku merajuk, atau mengajaknya berempati. Matahari tetap pada lajunya seperti tak ada daya untuk menumbuhkan sedikit saja daun semangatku. Matahari tetap pada kegiatannya seperti tak ada peka untuk sekedar membagi hangat juga panasnya. Ah..mungkin tidak seharusnya aku membutakan mata pada adanya perbedaan hakikat. Bahwasanya aku dan matahari berbicara pada bahasa yang tak saling dimengerti.

.

Tetes. Dan lagi tetes itu menyerbu ulu milikku. Melayangkan tinjunya hingga menggoreskan tajam tatapnya pada si daging hati. Aku ingin menyerah. Aku ingin menyerah. Bukan kepada seseorang. Tapi kepada kehidupan. Tawa hambar tak juga menyadarkan mereka untuk kembali pada hangat yang pernah tersaji. Sementara disini aku membeku menanti sinar matahari, atau bahkan kiamat personal. Tak apa..tak apa jika yang terakhir adalah yang harus menghampiri. Karena jujur saja, aku mulai bosan akan adanya pernafasan. Aku mulai lelah pada adanya harapan dan harapan.
Kosong, dan yang kutatap adalah kosong. Diam, dan yang kutangkap adalah hanya kebekuan. Dingin, dan yang kudekap adalah kesunyian tak berjudul. Dan yang ku harap adalah sesuatu yang tumpul berjubah beludru tajam.

Jumat, 03 Oktober 2014

Kandang Imajinasi

Andai bumi ini adalah selembar kertas. Maka udara yang menjadi partikel mutlak adanya kehidupan adalah banyaknya cakrawala aksara yang membumbung terbang disetiap lipatan.
Menulis adalah tentang pelepasan. Menyalurkan adanya hasrat terpendam dari adanya imajinasi yang meluber. Menulis adalah tentang bercinta. Mengawini dunia aksara hingga kemudian mencapai titik cukupnya dalam ujud paragraf akhir. Mungkin ini terdengar sedikit berlebihan, tapi aku tau. Menulis tidaklah segampang apa yang retina kita cerna. Kendati menulis juga tidak serumit apa yang tersembunyi dibalik langit untuk meminta dibahasakan. Seperti halnya kelahiran. Dalam sudut penglihatanku bukanlah sesuatu yang instan untuk bisa disebut penulis. Dan disana juga tak ada bakat untuk mau dijadikan dasar sebagai penulis. Yang ada hanyalah cinta, kasih, tekad dan ketelatenan. Mengibaratkan bayi yang baru lahir, seperti itulah adanya kita. Awal kali mungkin hanyalah kesenangan untuk membaca, menyimak atau sekedar merunuti gambar lucu per halaman. Kemudian terbersit tanya akankah aku bisa? Sanggupkah aku menjadi sebuah nama yang nantinya akan diabadikan oleh sejarah? Dan proses menapaki dewasa hingga kemudian menemukan jati diri adalah paradok yang sama ketika masa itu juga harus dilalui seorang penulis. Dulu aku bertanya, membaca begitu banyak buku dari pelajaran sampai koran bekas bungkus makanan sekalipun. Minatku saat itu pada adanya tulisan sangatlah besar dan berkobar. Belajar, melihat, mengetahui hingga akhirnya proses terakhir dalam perjalanan pun dimulai. Memilih. Aku tidak tau jika penulis lain juga merasakan ini, tapi sungguh diantara beribu pencipta karya hingga sekedar deretan tulisan dipapan. Aku tau, seseorang dari mereka mengetuk jiwaku, menggetarkan roh yang selama ini tertidur pulas dalam awan, mengguncang keberanian untuk menyeberang. Aku tau, satu diantara mereka memiliki tempat istimewa yang karyanya tak hanya enak untuk dilahap mata, tapi juga lezat bagi jiwa..juga mengenyangkan syaraf otak yang selama ini dehidrasi akibat krisis nutrisi berkepanjangan. Aku tau, satu diantara mereka sanggup membangkitkan gairah untuk segera memindai, mencari, menyentuh bahkan menelanjangi imaji dalam bentuk aksara. Aku tau aku mulai gila. Tapi menelan setiap karya 'si satu' ini adalah seperti sebuah candu untuk berciuman. Ya, kita tidak pernah bisa membedah sensasi apa yang tersaji dalam sebuah ciuman bukan?

.
.

Menulis adalah menyembuhkan, mengalirkan lagi hormon yang rela digodok lebih lama ditengah jalan hanya karena sang empunya kepala tengah dalam beban pikiran. Menulis adalah menyehatkan. Jajaran aksaranya tercipta bak amunisi cinta yang memenuhi rongga dada. Menaburkan tabir bahagia sekalipun sebenarnya kita tengah terkepung duka. Dan nyatanya..tak akan ada sebuah tulisan jika pemegang penanya sendiri tak mencintai apa yang tengah ia garapi. Setiap orang bisa saja memenuhi halaman dengan penuh paragraf. Tapi tidak semuanya bisa menyelesaikan sampai titik akhir hingga hasil keringatnya bisa disebut tulisan. Sebuah karya pun butuh nyawa. Sebuah karya pun meminta untuk dimanusiakan agar bisa dicerna manusia. Seringnya ketika tanganku tengah terpekur bersama goresan-goresan tinta, kudapati seakan kertas dihalamanku kemudian menjulurkan tangan. Menggapai jemariku dan bersama kami saling bercengkerama, meninggalkan (kewajiban) kegiatan menulis. Aku dan tangan tak terlihat itu meniti huruf demi huruf, membiarkannya mengaliri paragraf tanpa harus aku bersusah payah menciptakan plot juga judul. Ah..saat indah yang langka. Aku menyebutnya adalah 'moment percintaan', membiarkan waktu membungkus kami yang tengah bergumul dalam lumatan spasi. Membiarkan waktu menjadi saksi betapa sebenarnya aku tidaklah hanya diri ini, betapa sebenarnya aku dan imaji adalah pola induk yang sanggup menciptakan dunia hanya dengan mantra, betapa sebenarnya aku harus mengakui bahwa bercinta memang adalah benar, 'surga dunia'. Alam yang menyaksikan percintaanku bersama aksara seringnya dibuat linglung dengan gelombang yang menyerbuku, menggulung diriku dalam lebur yang tak berperi. Hingga akhirnya saat datang ketika klimaks itu menghampiriku, detik kala jari-jemariku mengisyaratkan lelah, detik ketika titik besar merengek mohon agar aku membiarkannya keluar dan mengakhiri sebuah tulisan. Ah aku gila, aku tidak tau bagaimana bisa sebesar ini kuapresiasikan rasa cintaku pada cakrawala aksara. Aku gila ketika harus menjauhi kertas-kertas kosong, dan merasa siap terjun disaat justru tak kutemukan ruang juga waktu untukku menggumuli 'kekasih aksara'ku. Disana adalah tempat. Surga dimana air mengalir meluberi tiap cekungan sungai, surga dimana api sanggup menyala dan tertangkap retina hanya dalam ujud bara saja. Adakah emosi yang sanggup merekah tanpa harus memercikkan bara? Godok ia dalam paragraf panjang, lumuri ia bersama secangkir koma juga sesendok tanya. Adoni ia dengan sepenuh cinta. Adoni ia dengan menambahkan sebutir kasih sayang. Ah..aku penulis.

Kamis, 02 Oktober 2014

20111102

Hujan dan dingin,


Aku hanya terduduk manis dibalik jendela kamarku,
suaramu.. memenuhi ruanganku seperti biasa-
tiga hari , lima hari atau mungkin seminggu lebih aku tidak menyapa siapapun dan tidak disapa siapapun, ya itulah yg sepertinya kuingat..
hari-hari berlalu hanya antara aku dan khayalanku, semua terasa begitu indah, aku dan kau, aku kau dan mereka.. tanpa kalian.


Aku yg menginginkan seperti ini, dan aku tak akan berjalan mundur sekalipun semua teriak langkahku salah,
aku dan khayalanku.. melangkah jauh kemanapun tempat yg ku inginkan, tempat yg tak bisa ku tuju ketika bersama kalian..
khayalanku membawaku semakin menjauh dari kalian, apa kalian merasakannya..
aku hanya menulis bukan bertanya.


Setitik sakit secercah ketakutan dan segaris lelah adalah partikel utama pembentuk khayalanku,
aku terperangkap dalam imajinasi yg semakin mengasingkanku dari dunia nyata,

Suatu tempat yg tak terjamah oleh siapapun..

Mencuri Kedamaian Alam

Ia hadir dalam seperempat hariku. Menyuguhkan seringai seujung kuku yang terbit bersama matahari diufuk peraduan. Langkahku memanjang pasti seakan memang seharusnya ku jemput ia dalam terjangan pelukan.
Ari. Nama yang membungkus hari singkatku sebagai manusia. Nama yang menyandingkan nalar dengan tawa hambar kegilaan.

.

Aroma pagi kelahiran masih bisa kucecap dalam mulut ingatan. Memaki kepala untuk tidak menyimpannya dalam ujud kenangan adalah hal sia-sia. Haruskah ku bekukan waktu demi menjaga frekuensi Ari agar tetap dalam jangkauan? Sepertinya tidak beretika memang, tapi itulah kenyataan. Bahwa menghirupi sisa campuran sampo, keringat dan bekas parfumnya adalah sebuah ketercanduan.

.

Lusa lalu, kujemput alam dalam gengaman. Tapi semua berjalan tanpa adanya satupun sentuhan. Harusnya kusambut ia dalam gelak tawa yang sangat ku hafal. Harusnya kusambut alam dengan telanjang. Membiarkan kulit mencerna betapa hadirnya sangat mengagumkan. Tapi demi Ari, dengan alasan awal bahwa ingin kuhabiskan seluruh hari hanya dengannya..maka untuk pertama kali dalam hidup aku melaju dalam setapak abnormal. Kucampakkan alam beserta debur merdu nyanyian airnya. Dear alam..engkau yang menyatukanku dengan Ari, menghadirkannya dalam ujud yang lebih nyata, dan aku paham engkau tak akan lebih merasa bahagia ketika melihatku bersama imun ciptaanmu semakin menyatu. Sekalipun tetap harus ada yang tersingkirkan. Dear alam, aku tau engkau memahami ilmu ikhlas lebih dari siapapun. Dan alam, ketika nanti datang hari dimana Ari harus pergi, bersediakah engkau menemani kesepian berkaratku ini? Hari ini, lusa lalu, bahkan malam tadi Ari bertanya padaku, meminta restu untuknya kembali meracuni hari. Hariku lebih tepatnya. Ia tidak tau alam, ia sangat mengetahui apa isi jawabanku. Berpura membuka tutup saji dengan alasan aku akan lebih bereaksi. Kenapa manusia senang sekali mempertanyakan sesuatu yang ia sendiri telah ketahui jawabannya? Tidakkah diam adalah yang paling baik dari segalanya? Bukankah ketika pada akhirnya jawaban datang dibungkus ketidak tepatan dengan harapan hanya akan menyisakan kekecewaan? Kenapa manusia memiliki ketercanduan yang tak lazim? Memunguti kekuatan dari tiap tutur yang keluar dari mulut manusia lain. Tidakkah ia sendiri yakin dengan kekuatannya bahkan sekedar untuk menjatuhkan pilihan? Pada akhirnya aku harus mengakui kebenaran lama. Bahwa manusia memang terlahir untuk mengurai. Menyekap rumit dari kepolosan bumi. Memaksa isi kepala menjabarkan setiap tanya dan menciptakan tanya itu sendiri hingga akhirnya mati.

.
.

Dear Ari, aku membenci saat-saat ini. Ketika kita ternyata harus mengakhiri, ketika kita harus kembali menyapa sepi, ketika kita harus kembali mengencani ketiadaan. Tidakkah rautku berhasil menyajikan satu saja isyarat? Bahwa aku ingin kau agar tetap tinggal? Seperti lusa yang telah mengakar, menyambangi tiap jengkal bumi dengan goresan cerita milik kita. Menapaki seutas tali yang disuguhkan malam dengan banyak gempa lokal. Dear Ari..tidak bisakah menghadirkan lagi untukku beberapa jam saja dalam format hari milikmu? Membiarkan gempa lokal kembali mengguncang kebersamaan kita dalam euforia.

.

Terik hari seperti melayangkan tamparan manisnya. Utusan alam yang membisikkan pesan agar aku tak memiliki izin untuk ketergantungan. Ya alam, Ari sekarang telah menjelma menjadi tali sepatu. Mengikatku dalam pasti dan meyakinkan bahwa langkahku akan lebih kuat ketika bersamanya. Ari sekarang telah menjelma menjadi akar. Menggerogoti pasti dan menciptakan keraguan. Akankah esok akan beraroma sama ketika ia memutuskan sejenak hilang dari pandangan? Akankah asaku sanggup menahan untuk sebentar saja berhenti menyalurkan? Semoga daging tak bertulangku bisa mencerna ucapan.
Terik panas yang menghantarkan, dari imaji kepada nyata, kepada harap, kepada ego, kepada rela yang terlahir paksa. Dan Ariku tak setangguh alam. Yang akan tetap diam sekalipun hanya ku pandangi dalam jarak setelah sekian lama tangan tak bersua. Dan Ariku ternyata lebih gila dari alam. Menyulap ribuan kagum dari udara kosong, menatanya dalam meja sakral bernama ketercanduan. Ah..kata itu lagi, aku sebenarnya membenci ketika harus mengucap untuk kesekian kali. Tapi sungguh, belum kutemukan padanan lain untuk kehadiran sebentar Ari dalam menemani waktu singkatku sebagai manusia.
Letupan manisnya, bisikan bergiginya, serta ilmu-ilmu lain yang membuatku sanggup menguasai mantra seketika.
Alam, tidakkah sekarang aku telah menjadi sesuatu yg utuh dan sempurna? Kehadiran yg melahirkan banyak agenda. Frekuensi dicuri dari dimensi lain demi menyeimbangkan absensi. Melepas sebentar lagi saja Ari untuk bersembunyi dari jangkauan retina bukankah adalah sesuatu yang gampang? Tidak setelah aku terkontaminasi ketercanduan. Tidak setelah aku mulai berani menginginkan. Tidak setelah tanganku dan tangan Ari berhasil menyingkap sedikit adanya rahasia kehidupan. Dan sepertinya mulai malam ini aku harus kembali lagi, untuk terbiasa bercinta dengan alam.