Kamis, 02 Oktober 2014

Mencuri Kedamaian Alam

Ia hadir dalam seperempat hariku. Menyuguhkan seringai seujung kuku yang terbit bersama matahari diufuk peraduan. Langkahku memanjang pasti seakan memang seharusnya ku jemput ia dalam terjangan pelukan.
Ari. Nama yang membungkus hari singkatku sebagai manusia. Nama yang menyandingkan nalar dengan tawa hambar kegilaan.

.

Aroma pagi kelahiran masih bisa kucecap dalam mulut ingatan. Memaki kepala untuk tidak menyimpannya dalam ujud kenangan adalah hal sia-sia. Haruskah ku bekukan waktu demi menjaga frekuensi Ari agar tetap dalam jangkauan? Sepertinya tidak beretika memang, tapi itulah kenyataan. Bahwa menghirupi sisa campuran sampo, keringat dan bekas parfumnya adalah sebuah ketercanduan.

.

Lusa lalu, kujemput alam dalam gengaman. Tapi semua berjalan tanpa adanya satupun sentuhan. Harusnya kusambut ia dalam gelak tawa yang sangat ku hafal. Harusnya kusambut alam dengan telanjang. Membiarkan kulit mencerna betapa hadirnya sangat mengagumkan. Tapi demi Ari, dengan alasan awal bahwa ingin kuhabiskan seluruh hari hanya dengannya..maka untuk pertama kali dalam hidup aku melaju dalam setapak abnormal. Kucampakkan alam beserta debur merdu nyanyian airnya. Dear alam..engkau yang menyatukanku dengan Ari, menghadirkannya dalam ujud yang lebih nyata, dan aku paham engkau tak akan lebih merasa bahagia ketika melihatku bersama imun ciptaanmu semakin menyatu. Sekalipun tetap harus ada yang tersingkirkan. Dear alam, aku tau engkau memahami ilmu ikhlas lebih dari siapapun. Dan alam, ketika nanti datang hari dimana Ari harus pergi, bersediakah engkau menemani kesepian berkaratku ini? Hari ini, lusa lalu, bahkan malam tadi Ari bertanya padaku, meminta restu untuknya kembali meracuni hari. Hariku lebih tepatnya. Ia tidak tau alam, ia sangat mengetahui apa isi jawabanku. Berpura membuka tutup saji dengan alasan aku akan lebih bereaksi. Kenapa manusia senang sekali mempertanyakan sesuatu yang ia sendiri telah ketahui jawabannya? Tidakkah diam adalah yang paling baik dari segalanya? Bukankah ketika pada akhirnya jawaban datang dibungkus ketidak tepatan dengan harapan hanya akan menyisakan kekecewaan? Kenapa manusia memiliki ketercanduan yang tak lazim? Memunguti kekuatan dari tiap tutur yang keluar dari mulut manusia lain. Tidakkah ia sendiri yakin dengan kekuatannya bahkan sekedar untuk menjatuhkan pilihan? Pada akhirnya aku harus mengakui kebenaran lama. Bahwa manusia memang terlahir untuk mengurai. Menyekap rumit dari kepolosan bumi. Memaksa isi kepala menjabarkan setiap tanya dan menciptakan tanya itu sendiri hingga akhirnya mati.

.
.

Dear Ari, aku membenci saat-saat ini. Ketika kita ternyata harus mengakhiri, ketika kita harus kembali menyapa sepi, ketika kita harus kembali mengencani ketiadaan. Tidakkah rautku berhasil menyajikan satu saja isyarat? Bahwa aku ingin kau agar tetap tinggal? Seperti lusa yang telah mengakar, menyambangi tiap jengkal bumi dengan goresan cerita milik kita. Menapaki seutas tali yang disuguhkan malam dengan banyak gempa lokal. Dear Ari..tidak bisakah menghadirkan lagi untukku beberapa jam saja dalam format hari milikmu? Membiarkan gempa lokal kembali mengguncang kebersamaan kita dalam euforia.

.

Terik hari seperti melayangkan tamparan manisnya. Utusan alam yang membisikkan pesan agar aku tak memiliki izin untuk ketergantungan. Ya alam, Ari sekarang telah menjelma menjadi tali sepatu. Mengikatku dalam pasti dan meyakinkan bahwa langkahku akan lebih kuat ketika bersamanya. Ari sekarang telah menjelma menjadi akar. Menggerogoti pasti dan menciptakan keraguan. Akankah esok akan beraroma sama ketika ia memutuskan sejenak hilang dari pandangan? Akankah asaku sanggup menahan untuk sebentar saja berhenti menyalurkan? Semoga daging tak bertulangku bisa mencerna ucapan.
Terik panas yang menghantarkan, dari imaji kepada nyata, kepada harap, kepada ego, kepada rela yang terlahir paksa. Dan Ariku tak setangguh alam. Yang akan tetap diam sekalipun hanya ku pandangi dalam jarak setelah sekian lama tangan tak bersua. Dan Ariku ternyata lebih gila dari alam. Menyulap ribuan kagum dari udara kosong, menatanya dalam meja sakral bernama ketercanduan. Ah..kata itu lagi, aku sebenarnya membenci ketika harus mengucap untuk kesekian kali. Tapi sungguh, belum kutemukan padanan lain untuk kehadiran sebentar Ari dalam menemani waktu singkatku sebagai manusia.
Letupan manisnya, bisikan bergiginya, serta ilmu-ilmu lain yang membuatku sanggup menguasai mantra seketika.
Alam, tidakkah sekarang aku telah menjadi sesuatu yg utuh dan sempurna? Kehadiran yg melahirkan banyak agenda. Frekuensi dicuri dari dimensi lain demi menyeimbangkan absensi. Melepas sebentar lagi saja Ari untuk bersembunyi dari jangkauan retina bukankah adalah sesuatu yang gampang? Tidak setelah aku terkontaminasi ketercanduan. Tidak setelah aku mulai berani menginginkan. Tidak setelah tanganku dan tangan Ari berhasil menyingkap sedikit adanya rahasia kehidupan. Dan sepertinya mulai malam ini aku harus kembali lagi, untuk terbiasa bercinta dengan alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar