Kamis, 26 Mei 2016

Wasiat Kepagian

Aku tidak pernah berbagi keresahan ini dengan siapapun. Dengan Ari ataupun juga Ibu, seseorang yang bahkan tidak pernah mengetahui keresahan-keresahanku sebelumnya. Tidak ada yang cukup gila untuk bisa mendengarkan kegilaanku sepertinya, jika sudah tak tertahankan lagi, yang bisa kulakukan hanyalah menangis diam-diam atau menulis.
.
Dunia ini, samsara yang sebentar lagi akan ditapaki oleh Alfa ataupun Zarah, atau mugkin keduanya. Terlalu mengerikan dan juga memekakan. Aku takut telinga keduanya tidak sanggup menahan gempuran kasat mata yang keberadaannya telah teraduk sempurna bersama udara. Perlahan, dan secara pasti meracuni hingga sumsum dan sendi. Manusia beralih fungsi menjadi racun berjalan seiring dengan bergantinya jaman. Jangan mengira racun itu berupa seperti bubuk pekat dengan aroma menyengat, sudah kubilang sebelumnya..ia kasat mata. Terasa hadir hanya jika hati terbuka, hanya jika isi kepala mampu bersinkron dengan hati dan melangkah bersama-sama. Kesadaran mutlak. Sesuatu mahal yang ingin ku wariskan kepada anak-anakku bahkan semenjak mereka masih meringkuk dalam kandungan.
.
Tidak ada yang mengerti ini, tapi terkadang satu-satunya hal yang kuinginkan adalah muntah. Dunia ini terlalu sepat untuk sekedar kuresapi udaranya. Kemunafikan, kepura-puraan, keserakahan, kesombongan, dan segala penyakit yang tengah mewabah dewasa ini. Aku tidak ingin muluk-muluk membahas tentang kedamaian dunia, atau tentang lunturnya daratan es di kutub sana. Otakku tidak cukup mampu untuk menggapai keresahan itu, atau mungkin bahasakulah yang mempunyai kendala untuk menerjemahkan bahasa sekarang.
.
Aku tidak percaya pada adanya saudara, seerat dan sekuat ketika aku menaruh pasrah kedua pundak pada orang yang aku pilih. Aku tidak percaya pada uang, aku tidak percaya pada bibir dan juga lidah, aku tidak percaya pada kaki. Aku hanya percaya pada mata. Karena ia akan bercerita lebih jujur ketimbang apapun anggota tubuh yang dimiliki manusia.
Aku melihat senyum menjijikan, aku melihat tawa memuakkan. Mata dan telingaku cukup peka untuk menangkap keganjilan dan kepura-puraan. Mereka berdua tercipta dengan cukup sensitif untuk bisa mendeteksi adanya ganjil yang menyamar dalam kesempurnaan. Untuk inilah aku menangis, kenapa hanya aku yang bisa melihat berbagai macam kebobrokan umat manusia ? Kenapa hanya aku yang disuguhi semua remah-remah tahi dunia ? Dengan apa aku akan membekali anak-anakku nanti agar bisa cukup peka menyadari semua ini ? Bahkan dalam kebenaran pun masih kudapati sesuatu yang meresahi, bahkan dalam ketulusan pun masih kudapati benih-benih racun menyeraki. Karena memang ia tak kasat mata, meramu diri dengan udara sedemikian hebat. Dan apa jadinya manusia jika tidak bernafas ?
.
Ini gila, atau aku yang terlanjur kurang waras. Tak ada yang peduli, aku terlalu nyaman berada dalam kubangan area ini. Aku hanya terlalu takut dengan samsara yang akan ditapaki oleh Alfa, Zarah ataupun keduanya. Aku takut mata mereka tidak cukup peka untuk menangkap setiap geliat pekatyang tengah mendekat, aku takut lidah mereka tidak cukup kuat untuk menangkap getir pahit yang terbungkus tebalnya manis. Aku takut kulit mereka tidak cukup kuat untuk menghalau racun yang memaksa masuk lewat pori dan menerobos nadi. Dengan apa aku harus membekali mereka sebelum akhirnya kaki-kaki mungil itu menapaki sendiri dunia ini ? Aku terlalu gila untuk bisa menjadi ibu bagi mereka. Ari, bisakah kau mendengarku ? Keresahan ini kadang juga tentangmu, tapi mereka..bekal apa yang kau simpan untuk memupuki pertumbuhan mereka sayang ?
.
Aku tidak pernah melakukan tindakan berarti untuk dunia ini, aku tidak pernah menanam pohon untuk masa depan, aku tidak mencoblos dengan benar waktu pemungutan sidik suara. Yang bisa kulakukan dan satu-satunya hanyalah dengan terus belajar sadar, lalu dengan caraku menyemai satu benih pada yang bersedia atau memang ku paksa. Tak ada yang tahan berlama-lama denganku, tak ada yang bisa bertahan dengan semua ocehanku. Keresahan ini telah awalnya hanyalah sebuah sandungan kecil, yang lalu menyuburkan diri melingkupi hati, perlahan merangkak naik kepermukaan, naik dan terus naik ke kerongkongan. Hingga pada satu titik, lidahpun mengelu tak lagi mengerti apa yang harus dibicarakan, mata memburam tak sanggup lagi menahan terjangan ombak dibalik pelupuk. Dan DORRR! balonpun akan memecahkan diri pada masanya.
.
.
Oh samsara, oh udara..persiapkanlah diri kalian untuk menjelang adanya kehadiran. Mereka yang akan datang bukanlah sejenis dengan manusia kebanyakan. Karena mantra yang ku ramu semenjak mereka masih dalam kandungan, telah menyebar sempurna dan tengah dalam proses pemulihan dan pembangunan. Dan betapapun muaknya aku padamu wahai dunia, aku tetap menyelipkan doa untuk masa bersih, masa jernih, masa bangun dan masa sadar para penghuni-penghunimu.

Selasa, 17 Mei 2016

Duka Tanah

Tanah berduka untuk ketidakberdayaan mengangkat mendung yang menaungi seekor cacing dipelukannya.
.
.
.
.
Kata siapa menjadi tempat bernaung adalah sebuah beban ? Tanah menjawab keraguan itu dengan tanpa berpikir lagi, karena memang ia telah membuktikannya. Bagi seluruh penghuni rimba disepucuk daratan nan terasing ini, tanah adalah ibu merangkap ayah yang tak hanya mengemban seberapapun menjulangnya dahan, sekaligus juga menjadi bank bagi pasokan makanan dan minuman mereka. Pohon-pohon dengan lingkar badan mencapai hingga lima pelukan manusia dewasa, sampai jamur dan lumut yang kadang tak tersadari keberadaannya, mereka menjadikan tanah sebagai pembimbing bagi setiap permasalahan rimba yang ada. Untukku tak terkecuali, aku adalah seekor kupu-kupu, saat itu usiaku tergolong muda jika dibandingkan makhluk rimba yang lain. Terlahir dari kepompong yang menggelantung didahan pohon besar ditengah lebatnya rimba, tak lantas menjadikanku kupu-kupu istimewa. Aku tahu, sebagian besar teman-temanku melewati masa kepompongnya dengan bergulung manis dipucuk daun pisang, tumbuh dewasa dengan sayap-sayap cantik berwarna cerah menantang matahari, sedangkan aku..sayapku tak lebih indah dari kulit pohon tua yang mengelupas, belum lagi corak abstrak yang dipilih pencipta menjadikanku kian merasa buruk rupa. Berhari-hari setelah masa lahirku sempurna, yang terus ku lakukan hanyalah diam menempel di atas rerumputan, aku tak sepede teman-temanku berkeliling hutan, warna dan corak sayapku terlalu mencolok untuk tidak ditertawakan. Berdiam adalah cara terbaik untuk mengutuki diri, membiarkan pepohonan riuh bergosip tentang gagak yang pongah, mengacuhkan pula sekumpulan jamur yang tak henti-henti berbisik sembari sesekali melempar tawa ngeri, entah apa yang mereka bicarakan. Aku hanya ingin diam dan menghilang. Terlahirkan hanya memberiku beban, mungkin selamanya menggelantung dalam kepompong lalu mengering dan mati akan lebih baik ketimbang harus melihat alam raya beserta isinya. Saat itu sungguh aku masih terlalu muda agar bisa memiliki rasa percaya untuk sekedar menegakkan kepala. Dan dalam hening yang tak ku sangka-sangka, ternyata tanah mendengarkan tangisanku. Selama ini aku selalu berpikir bahwa semua penghuni alam raya terlalu sibuk dengan kehidupan masing-masing. Terlebih untuk menggubris kupu-kupu muda yang tengah bermasalah dengan kepercayaan dirinya. Tapi tanah mengerti, melalui tetes air mata yang jatuh membasahi badannyalah ia mulai meraba dan membaca. Ia memanggilku adik kecil. Tak disangka, daratan yang hampir selalu menjadi pijakan bagi siapapun kaki, daratan yang hampir selalu bersembunyi dibalik terangnya hijau lumut itu adalah dewa. Bagaimana tidak, setiap ucapannya seperti dibubuhi mantra, setiap wejangannya selalu menggenapi apa yang selama ini kucari. Jawaban itu ada dibawah sana, terkubur dibawah licinnya gerombolan lumut dan sekawanan jamur. Ternyata benar desas-desus yang beredar selama ini, jika hanya ibu lah yang sanggup menjadi pendengar dan juga sumber kekuatan. Ibu itu engkau, tanah. Ibu yang merangkap sebagai ayah dan juga kawan. Ia tetap memanggilku adik kecil, bahkan hingga hari ini, saat dimana aku telah bermutasi dari kupu-kupu lemah menjadi si mental baja yang berhasil mengitari lebih dari separo badan rimba. Dan yang menyenangkan dari semuanya adalah, ketika pada akhirnya aku sadar bahwa aku tak pernah sendirian. Badan tanah membujur seluas rimba. Kemanapun dan setinggi apapun aku mengepakkan sayap, maka tanah selalu ada, siap sedia dibawah sana, seakan membayangi langkahku. Alam raya ini tak semengerikan yang dulu kubayangkan. Ketika pagi hari aku membuka mata, maka aroma tanahlah yang kuciumi hingga sesak paru-paru. Ia yang dengan keluasan hatinya sanggup rela menjadikan dirinya pijakan, tempat bersarang, bahkan tempat buang kotoran para binatang. Aku tidak kaget jika hampir seluruh penghuni alam raya mengagungkan keberadaannya. Namanya menggemakan kedamaian dan kesadaran.
.
.
.
Aku terlalu memuja tanah, begitu yang selalu para burung cicitkan setiap kali mendengarku berdongeng untuk kupu-kupu kecil. Mereka tidak sepenuhnya salah, karena memang, bagiku keberadaan tanah sangat berharga. Terkadang aku bahkan sudi menangis jika banjir mulai datang dan meluruh permukaannya. Ia selalu bersedih ketika air sekitar mulai meluap. Ia takut menghilang dan penghuni alam akan kehilangan pijakannya. Sedihnya adalah duka bagiku, termasuk rasa kepada seekor cacing istimewa. Sudah menjadi rahasia umum jika tanah memiliki adik kesayangan, seekor cacing tanah buta. Kepadaku duka itu pernah terbagi, bagaimana ia akan sudi mempertaruhkan apapun demi secercah cahaya bagi si cacing adiknya, bagaimana ia bercita-cita tinggi demi sanggup ada hingga adiknya itu tiada, dan yang terus bisa dilakukannya hanyalah mempersembahkan pelukan teraman dan juga doa. Tanah kebanggaanku menyimpan lara. Duka berkepanjangan yang kuduga mendasari adanya jawaban dari pertanyaan, kenapa ia bisa menjadi pribadi yang sebegitu rela.

Sabtu, 14 Mei 2016

Isi Lambung Basi

Namaku Tanah. Bukan nama samaran. Umurku setara dengan perjalanan hidup pohon jati berdahan lima. Bukan pula dahan yang akan patah ketika dipanjati kaki tupai, tapi lima dahan yang tetap kokoh menampung berat pijakan kaki-kaki orang dewasa. Makanan kesukaanku bukanlah mereka yang tersaji cantik berkat ramuan dan racikan. Dapur adalah salah satu ruang ajaib yang kubenci di dunia ini. Aku menolak apapun bentuk kepura-puraan, dan menurutku manusia zaman batu lebih memiliki nilai seni ketimbang manusia zaman robot dalam hal makanan. Tomat yang tergantung didahan, apel yang ditumpangi ular, sawi yang sebagian tubuhnya terkubur pupuk kotoran hewan, terung yang meliuk manja diantara kerubutan lompatan ayam, mereka semua tampak jauh lebih menawan dan menggiurkan ketimbang ketika sudah tersaji dalam piring-piring dengan bentuk beraneka ragam. Aku membenci kepura-puraan sama halnya ketika aku terkadang menolak untuk menyukai saat ini. Tidak, aku tidak membenci adanya kehidupan, aku hanya tidak bisa menyukai garis dan batasan yang manusia terapkan. Upacara kematian, upacara memperingati hari sakral, upacara menjelang kelahiran, dan yang terkonyol dari semuanya adalah ketika manusia dengan berbagai upaya mengadakan apa yang sebenarnya tiada. Tidakkah itu terasa memberatkan ? Aku tidak sedang mengoreksi apa yang leluhurku mulaikan. Mereka pasti memiliki nilai mulia ketika pertama kali menggagas semua hal yang tengah kukuliti ini. Perputaran waktu dan kemajuan pola manusia lah yang membuat tujuan mulia itu tertumpangi keserakahan dan berubah menjadi sebuah pemberatan. Aku meragukan masih adanya keikhlasan didunia yang sekarang ini. Aku meragukan masih adanya kemurnian didunia yang kian mengabu-abu ini. Dan disaat ular tak lagi sudi hinggap di licinnya kulit apel, disaat humus kotoran hewan tak lagi mampu menembusi tulang-tulang tanaman, disaat alam pun mulai ditaburi berbagai kepura-puraan. Hijaunya ladang sekarang bukan lah karena rapatnya dedaunan bergandengan tangan. Tapi hijaunya ladang sekarang adalah berkat atau justru akibat lihainya tangan-tangan memulas tanah gersang dengan crayon mainan. Lalu kemanakah makhluk sepertiku harus merapat sekarang ? Bumi ini sudah tak lagi aman. Bumi ini sudah tak lagi menyenangkan. Pisau-pisau dari dapur yang tak pernah berhenti mengepulkan asap berkeliaran menebangi alam. Panci-pancinya bertugas diruangan dan mematangkan semua bahan. Menyulapnya menjadi ramuan dengan beraneka rupa nama.
.
.
.
Terlepas dari segala kepura-puraan yang menyebari seluruh lantai bumi, aku masih bisa berbangga untuk keprimitifan yang terus kupegang. Mereka menyebutku manusia tak tahu aturan, manusia aneh, manusia butuh hiburan. Aku tidak merasa bahwa aku setragis itu. Hanya karena aku memilih untuk tetap nyaman berkubang dalam prinsip-prinsip lawas sedangkan mereka mengikuti perkembangan zaman.
Dan jika memungkinkan. Aku ingin melebur total menjadi anomali yang berserakan diantara batu kali. Tidak lagi terikat oleh adat ataupun dijerat oleh aturan. Norma bagiku adalah lelucon, batasan yang diciptakan oleh manusia demi bisa mengungguli manusia lain. Mereka ditantang untuk berlomba, barang siapa berhasil mengumpulkan poin terbanyak dalam menaati aturan, maka ia lah yang pantas untuk diagungkan. Aku membenci batasan. Aku membenci garis kasat mata yang tak hanya melingkupi tapi juga menjerat pernafasan. Manusia bukankah tidak serta merta diboyong ke dunia ini dengan segala ketololan ?
.
.
Apa yang sebenarnya tengah aku tulis ini ? Sampahkah ? Keresahan yang mana yang sebenarnya ingin kubeberkan kepada kalian. Bersusah payah aku berjalan mendaki waktu hingga zaman batu, sementara aku adalah hasil ciptaan hari ini, atau sebelumnya pernah terlahir sesuatu yang menyerupai aku ? Siapakah dia ? Pernahkah ia mempertanyakan jawaban akan keresahan yang tengah ku korek hari ini ? Pernahkah makhluk lain bertanya ? Minimal, pertanyaan kenapa mereka ada ? Tak perlu jauh-jauh merisaukan adat dan norma yang bagi pendahuluku telah melebur hingga isi sumsum, tak perlu pula jauh-jauh membongkari gundukan sampah yang dimata mereka telah menjelma bak hunian bintang lima. Andai kalian tahu, aku hanya sedang muak. Ingin muntah menghabiskan tak hanya isi lambung tapi juga memerahnya hingga titik terkering. Semua ini..PUEH! Pahit. Siapa sebenarnya yang tengah membajak jiwa normalku pagi ini ? SIAPA ! Dunia ini neraka. Surga hanyalah kentut yang hadir selewat saja lalu pergi tanpa permisi. Andai aku bisa dengan total mendedikasikan diri dan diterima saja menjadi si anomali. Melompati adat, mematahkan norma, memberaki aturan..anggap saja itu normal. Oh samsara.

Kamis, 05 Mei 2016

Sekuali Racikan Hujan

Ari. Satu suku kata. Hidup. Dan berdenyut.
.
.
.
Petang itu langit membayangi dengan payung kelabunya. Menyirami tanah kelahiran dengan aroma tanah menusuk khas bebauan yang menguar di hujan pertama. Aku tidak pernah menyukai hujan sebelumnya, hingga kemudian mereka datang. Kumpulan rintik yang perlahan membanjur genteng mengerontang hingga meluapkan semua cita dalam ujud rintik besar-besaran. Petang itu tanah beserta para penghuni perutnya berpesta. Hujan yang sekian lama didamba akhirnya menyapa. Dahaga yang sekian waktu harus tercukupkan dengan panjatan mantra mendadak terluapi. Dan Ari datang selaksa hujan. Menggenapi keping yang terserak dalam misteri bernama kelahiran. Ari datang sesejuk hujan. Melunturkan semua jenis mantra, menyirami dan menggantinya dengan cinta. Seperti juga para penghuni perut bumi yang bersuka cita menyambut kedatangan hujan pertamanya, seperti itulah juga euforia yang selaras hadir membekapku dalam menjelang kehadirannya.
.
Tidak ada yang akan bisa terpahamkan hanya dengan kata-kata mungkin. Karena memang, sejuk hanya bisa terungkap jika bersinggungan sendiri dengan pori. Dan hatiku tengah dalam masa mekarnya. Retak yang diakibatkan oleh musim kemarau sebelumnya, kerontang yang menguasai hampir seluruh jati diri. Dan tetes perdana Ari seketika menggenapi hingga tanpa sadar memuaikan apa yang sempat kuanggap itu sebagai hal yang mustahal. Kebahagiaan tak pernah dengan mudahnya tertuang dalam paragraf. Ari tidak hanya sekedar ini. Karena ia hidup. Dan berdenyut. Memompakan kekuatan dan juga mencairkan kebekuan. Pernahkah melihat api meleleh ? Aku adalah sejenis bara, dengan segala dayaku yang sanggup tak hanya membakar namun meluluh lantahkan dalam kekal. Dan tetesan itu adalah Ari. Ariku.
.
Hujan pertama datang dengan begitu mengejutkannya. Menjadikan dirinya salam pembuka yang pas bagi hujan kedua dan hujan selanjutnya. Sebagian kudengar mereka mulai mengeluhkan datangnya hujan, yang mulai mampir tanpa aba-aba, yang mulai menyalami map-map, baju dan tas mereka. Dan hujan ternyata tak hanya menyiramiku dengan kesejukkan air yang dibawanya, tapi ia juga mengajariku pelajaran berharga. Bahagia bisa pula menjelma bak rintik gerimis dikala matahari tengah berada dalam puncaknya. Turun seketika lalu menghilang begitu saja. Aku harus memerah otak monsterku. Mengolah sekuali cinta yang disuguhkan Ari dan memasaknya dalam tungku penuh bara. Agar kebahagiaan ini tidak hanya tersaji dalam hitungan jari, agar puncak dari kesejukan ini bisa dinikmati tak hanya dalam sekejap mata. Aku ingin mengukuhkannya selama mungkin, sepanjang mungkin.
.
Ari mungkin tak mengerti, bahwa aku tidak pernah terkesima pada keindahan warna-warni pelangi. Aku tak pernah benar-benar terpukau pada keajaiban yang disajikan oleh hujan sekejap mata. Aku lebih menyukai rintik hujan yang telaten membasahi, menggenapinya dengan membubuhkan beberapa imaji pada sesi-sesi melamun sembari menikmatinya. Aku ingin mengolah seberapa kecilpun bahan yang disuguhkan Ari. Dalam dapur agung milikku, dimana keajaiban yang lebih menyilaukan ketimbang pelangi diharapkan sanggup terhidang dimeja saji sebelum akhirnya diantara kami mati. Aku ingin meresapi, membumbui kepolosan cinta Ari dan sekali lagi meramunya dalam kuali diatas bara api. Aku tidak sanggup lagi mendustai apa yang terus menerus menjadi layangan di kepalaku. Aku mencium aroma kekekalan disetiap nafas yang di hembuskan Ari, aku mengendus adanya keabadian dari binar-binar matanya. Entah apa nanti yang terjadi jika hujan berhenti menyirami, entah apa nanti yang akan terjadi jika Ari mati. Aku tengah berkubang didataran penuh bahagia, bukan puncak karena memang tak pernah kuinginkan adanya jurang. Aku tengah berkubang didataran yang keluasannya terus kuperbesar. Satu rintik, dua rintik, jika hujan nanti mulai lelah mengairi, jika nanti Ari mulai menginginkan berhenti. Maka sekuali besar racikan kuharap sanggup menjadi pelepas dahaga. Sekuali besar racikan kuharap sanggup menjadi tongkat yang mengucurkan mantra pelekat. Agar hujan senantiasa rindu untuk kembali, agar Ari tak pernah memiliki secuilpun niat untuk berhenti.
.
.
.
Petang tidak pernah datang sendirian, bisa dipastikan ia selalu hadir membawa secuil remang. Menguliti setiap debur pekat dan menjadikannya pelajaran bagi yang sanggup dan menginginkan. Termasuk langit berpayung kelabu petang itu, yang mengajarkan dan menawariku sesuatu yang baru. Sekuali besar racikan. Lebih dari sekedar secangkir kopi panas yang menyenangkan, tapi ia justru mengenyangkan. Dalam pelajaran-pelajaran yang sebelumnya tak pernah terpikir akan menjadi sesuatu, terlebih menjadi sajian. Otak monsterku berputar secepat derasnya tetes hujan. Mengolah resah dan menjadikannya segulung adonan. Agar hujan senantiasa rindu untuk datang. Agar Ari selalu tahu kemana dirinya harus pulang.