Sabtu, 14 Mei 2016

Isi Lambung Basi

Namaku Tanah. Bukan nama samaran. Umurku setara dengan perjalanan hidup pohon jati berdahan lima. Bukan pula dahan yang akan patah ketika dipanjati kaki tupai, tapi lima dahan yang tetap kokoh menampung berat pijakan kaki-kaki orang dewasa. Makanan kesukaanku bukanlah mereka yang tersaji cantik berkat ramuan dan racikan. Dapur adalah salah satu ruang ajaib yang kubenci di dunia ini. Aku menolak apapun bentuk kepura-puraan, dan menurutku manusia zaman batu lebih memiliki nilai seni ketimbang manusia zaman robot dalam hal makanan. Tomat yang tergantung didahan, apel yang ditumpangi ular, sawi yang sebagian tubuhnya terkubur pupuk kotoran hewan, terung yang meliuk manja diantara kerubutan lompatan ayam, mereka semua tampak jauh lebih menawan dan menggiurkan ketimbang ketika sudah tersaji dalam piring-piring dengan bentuk beraneka ragam. Aku membenci kepura-puraan sama halnya ketika aku terkadang menolak untuk menyukai saat ini. Tidak, aku tidak membenci adanya kehidupan, aku hanya tidak bisa menyukai garis dan batasan yang manusia terapkan. Upacara kematian, upacara memperingati hari sakral, upacara menjelang kelahiran, dan yang terkonyol dari semuanya adalah ketika manusia dengan berbagai upaya mengadakan apa yang sebenarnya tiada. Tidakkah itu terasa memberatkan ? Aku tidak sedang mengoreksi apa yang leluhurku mulaikan. Mereka pasti memiliki nilai mulia ketika pertama kali menggagas semua hal yang tengah kukuliti ini. Perputaran waktu dan kemajuan pola manusia lah yang membuat tujuan mulia itu tertumpangi keserakahan dan berubah menjadi sebuah pemberatan. Aku meragukan masih adanya keikhlasan didunia yang sekarang ini. Aku meragukan masih adanya kemurnian didunia yang kian mengabu-abu ini. Dan disaat ular tak lagi sudi hinggap di licinnya kulit apel, disaat humus kotoran hewan tak lagi mampu menembusi tulang-tulang tanaman, disaat alam pun mulai ditaburi berbagai kepura-puraan. Hijaunya ladang sekarang bukan lah karena rapatnya dedaunan bergandengan tangan. Tapi hijaunya ladang sekarang adalah berkat atau justru akibat lihainya tangan-tangan memulas tanah gersang dengan crayon mainan. Lalu kemanakah makhluk sepertiku harus merapat sekarang ? Bumi ini sudah tak lagi aman. Bumi ini sudah tak lagi menyenangkan. Pisau-pisau dari dapur yang tak pernah berhenti mengepulkan asap berkeliaran menebangi alam. Panci-pancinya bertugas diruangan dan mematangkan semua bahan. Menyulapnya menjadi ramuan dengan beraneka rupa nama.
.
.
.
Terlepas dari segala kepura-puraan yang menyebari seluruh lantai bumi, aku masih bisa berbangga untuk keprimitifan yang terus kupegang. Mereka menyebutku manusia tak tahu aturan, manusia aneh, manusia butuh hiburan. Aku tidak merasa bahwa aku setragis itu. Hanya karena aku memilih untuk tetap nyaman berkubang dalam prinsip-prinsip lawas sedangkan mereka mengikuti perkembangan zaman.
Dan jika memungkinkan. Aku ingin melebur total menjadi anomali yang berserakan diantara batu kali. Tidak lagi terikat oleh adat ataupun dijerat oleh aturan. Norma bagiku adalah lelucon, batasan yang diciptakan oleh manusia demi bisa mengungguli manusia lain. Mereka ditantang untuk berlomba, barang siapa berhasil mengumpulkan poin terbanyak dalam menaati aturan, maka ia lah yang pantas untuk diagungkan. Aku membenci batasan. Aku membenci garis kasat mata yang tak hanya melingkupi tapi juga menjerat pernafasan. Manusia bukankah tidak serta merta diboyong ke dunia ini dengan segala ketololan ?
.
.
Apa yang sebenarnya tengah aku tulis ini ? Sampahkah ? Keresahan yang mana yang sebenarnya ingin kubeberkan kepada kalian. Bersusah payah aku berjalan mendaki waktu hingga zaman batu, sementara aku adalah hasil ciptaan hari ini, atau sebelumnya pernah terlahir sesuatu yang menyerupai aku ? Siapakah dia ? Pernahkah ia mempertanyakan jawaban akan keresahan yang tengah ku korek hari ini ? Pernahkah makhluk lain bertanya ? Minimal, pertanyaan kenapa mereka ada ? Tak perlu jauh-jauh merisaukan adat dan norma yang bagi pendahuluku telah melebur hingga isi sumsum, tak perlu pula jauh-jauh membongkari gundukan sampah yang dimata mereka telah menjelma bak hunian bintang lima. Andai kalian tahu, aku hanya sedang muak. Ingin muntah menghabiskan tak hanya isi lambung tapi juga memerahnya hingga titik terkering. Semua ini..PUEH! Pahit. Siapa sebenarnya yang tengah membajak jiwa normalku pagi ini ? SIAPA ! Dunia ini neraka. Surga hanyalah kentut yang hadir selewat saja lalu pergi tanpa permisi. Andai aku bisa dengan total mendedikasikan diri dan diterima saja menjadi si anomali. Melompati adat, mematahkan norma, memberaki aturan..anggap saja itu normal. Oh samsara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar