Kamis, 09 Mei 2019

Pengungsian Selanjutnya

Harga diriku kembali tergigit oleh rasa tidak di inginkan.

Sekian tahun memahami rahasia yang di peluk kehidupan tidak lantas membuatku kebal pada efek samping yang di hadirkannya. Beberapa kali aku tersuruk pada kegelapan, keputusasaan, dan yang paling menyeramkan dari semuanya adalah ketika yang menjatuhkanku justru adalah harga diriku sendiri.
Kamu mungkin tidak pernah tahu betapa kesempurnaan adalah sesuatu yang tidak hanya menjadi tujuan selama pencarian jati diriku. Betapa kesempurnaan adalah puncak yang selalu ingin ku rengkuh dari semua aspek kehidupan. Jangan tanyakan tentang dedikasi, karena aku memahami itu sebaik aku memahami setiap jengkal bagian tubuhku. Aku tahu betul apa arti sebuah perjuangan. Bukan hanya air mata yang pernah ku gandeng untuk melaluinya, tapi juga tetesan darah dan irisan keping hati. Aku selalu mendedikasikan seluruh dayaku untuk setiap liku jalan yang ada di hadapanku. Tapi beberapa kali, tapi dalam beberapa cerita, jalan takdirku mau tidak mau harus juga bersinggungan dengan manusia lain, kepribadian lain, kepala yang lain. Bayangkan, dalam beberapa cerita keberadaanku justru menjadi ancaman bagi beberapa dari mereka. Kesempurnaan dan totalitas yang telah melebur dalam nadiku mendadak mendapatkan batu sandungannya. Mereka yang beririsan itu justru manusia-manusia baik yang sebagian keberadaannya kupuja dan kukagumi.

Andai semua manusia di bumi ini saling terbuka antara satu dengan yang lain, andai tidak pernah ada perasaan yang tersembunyi di antara mereka. Akan menjadi sangat indah tak terkiranya bumi ini. Tapi sayangnya semua itu hanyalah angan-angan. Karena hampir semua makhluk hampir selalu mengenakan topeng di wajah mereka. Sebagian bahkan menanggalkannya hanya jika kedukaan tengah melanda.

Itulah kenapa kepercayaan adalah sesuatu yang tak pernah terbeli olehku, seberapapun murah harganya, aku tidak pernah tertarik untuk membeli atau menjualnya pada dan dari siapapun. Aku tertempa menjadi sepicik dan sekeras itu. Aku tumbuh menjadi makhluk semengerikan itu. Dan sebagian dari mereka mengira aku senyata topeng yang selalu ku kenakan. Tidak. Aku tidak hanya ingin, atau mencoba, tapi terobsesi untuk menjadi sempurna. Aku tidak pernah bisa percaya pada kata kepercayaan. Aku benci rasa kasihan hingga tulang sumsum terdalam. Aku jauh dari kata cacat, dan satu-satunya cacat yang ku dekap adalah ketidaktahuanku tentang betapa besar sebenarnya cacatku itu. Aku terobsesi untuk menjadi dewa, menjadi manusia sempurna, menjadi anak baik, menjadi ibu yang sempurna. Dan dalam ketidak luasan bumi ini, hampir selalu semua jalanku berimpitan dengan manusia lain. Sekalipun aku tidak menginginkannya, sekalipun aku kerap menghindarinya. Mereka selalu saja berhasil menyatu dengan liku setapakku. Mengetahui jatuh bangunnya proses berjalanku, mengetahui sejarah dari betapa jauhnya perjalananku. Dan ketika dengan segenap daya aku mencoba untuk menjadi sempurna, mereka mendadak mendapat ancaman dari keinginanku satu itu.

Tidak, jangan, aku tidak ingin kembali terbuang, hanya karena tingginya standar dayaku.
Tidak, jangan, sekalipun masih dalam hitungan jari, tapi terlempar lagi dalam perasaan tergigit karena kenyataan tidak di inginkan itu sangat dan sangat menyakitkan. Jangan biarkan aku kembali merasakan pahitnya menikmati sebuah puncak tujuan yang di impikan. Aku berjuang, aku menangis, nadiku berpacu di luar garis normalnya, darahku memompa secepat yang ia bisa, lalu hanya karena aku berhasil untuk bisa, kalian merasa keberadaanku mulai mengancam dan perlahan kursiku mulai di lengserkan. Tolong, jangan bentuk aku menjadi lebih keras dari yang  sudah ada saat ini.

Amu pernah menjadi tahanan di dunia yang sempat ku nyatakan sebagai milikku. Aku sempat di pasung oleh ketakutan mereka akan ancaman karena keberadaanku. Dan jalan yang ku tempuh saat itu adalah mengungsikan diri ke daerah baru, lingkungan baru, dunia baru. Dan beradaptasi bukanlah hal yang dapat di lakukan dengan semudah membalik telapak tangan. Aku sempat dan selalu terserak dalam lingkungan baru. Bangun bukan hal yang mudah juga, tapi aku selalu bisa. Dan seperti sebuah kutukan yang tak habis dalam satu putaran jalan, takdir yang sama selalu menghadangku di depan sana. Aku tidak bisa membaca masa depan, tapi situasi yang menangkapku bukanlah sesuatu yang sulit untuk di raba, aku semakin mengenali jalan hidupku seperti halnya mengenali bentuk kuku jempol kaki atau bentuk kelingkingnya.

Harus menjadi apa aku agar bisa terlepas dari lingkaran perasaan itu? Menurunkan standar, harga diri dan tujuan? Jauh-jauh hari aku di tempa agar menjadi sekeras baja, bukan hanya memakan waktu setahun atau lima tahun, hampir seluruh hidupku di habiskan oleh takdir dengan cobaan. Sekalipun kesadaran masihlah surga yang baru bisa ku nikmati belum lama ini, tapi tertidur bukan berati terlepas dari semua ikatan, dan tempaan terus datang meskipun saat itu yang bisa kulakukan hanyalah mengaduh dan meminta pertolongan serta belas kasihan. Sesuatu yang saat ini memamerkan diri menjadi sesuatu yang paling kubenci di dunia ini.

Tolong, kepada siapapun kaki tangan Tuhan yang bertugas mencatat jalan hidup seseorang, asingkan saja aku bila perlu ke dalam belukar nyaman tapi tak berpenghuni. Karena aku mulai benci adanya sentuhan, irisan,,pemahamanku mulai mengenalkanku pada sosok lama tapi baru, sosok yang sulit untuk di ajak bekerja sama apalagi bergandengan dengan mesra. Sosok yang membahayakan dan tanpa punya tudung untuk menyembunyikan betapa nyatanya bahaya itu di dalam bola matanya. Sosok yang patut diungsikan ke daratan terjauh sekalipun. Hanya agar tidak ada siapa lagi yang akan merasa terancam dengan keberadaannya. Hanya agar tidak ada siapa lagi yang akan kembali menerima luka. Dan membiarkan perasaan tergigit karena tidak di inginkan menjadi bekal yang kelak akan menemani dan mengenyangkannya dalam cara ajaibnya, seperti perasaan luka-luka lain sebelumnya.