Sabtu, 05 Maret 2016

Suku Cadang Tersembunyi

Aku tidak mengerti apa itu arti kata dari samsara. Atau ketidakseimbangan yang biasa disebut chaos. Aku tidak benar-benar memahami arti kata mereka, yang aku paham, mereka indah ketika harus bergandengan dengan aksara-aksara lainnya.
.
Hari ini seorang teman datang membukakan mata, ia adalah termasuk jenis manusia yang disirikkan banyak lainnya. Ia memiliki kelengkapan nilai materialistik yang sempurna, kakinya jarang menyentuh tanah dikarenakan banyaknya lapisan semen yang mendasari kesehariannya. Aku adalah salah satu yang dulu pernah mengangankan betapa indahnya jika aku bisa menggantikan posisi mewahnya. Sebelum akhirnya suatu hari aku sadar, kekayaan ada karena datangnya rasa cukup. Aku yang dulu selalu mengeluh sakit kaki karena perjalanan panjang yang harus di tempuh hanya untuk sekedar urusan mandi, justru mulai menikmati bahkan mencintai urusan satu itu. Aku bisa lebih lama bercengkerama dengan alam, karenanya bisa pula lebih lama berakrab-akrab ria dengan tanah. Yang notabene adalah leluhurku.
.
Aku kaya karena merasa cukup dengan apa yang aku miliki. Misi dan visi hidupku yang tidak pernah muluk-muluklah yang menciptakan kekayaan itu. Aku selalu merasa bahwa aku hanya akan hidup hari ini. Esok adalah teka-teki, misteri yang terlalu indah untuk dirusak dengan adanya rencana. Kata orang Jawa bilang aku ini manusia kelewat 'ndableg'.
.
Untuk semua segi aku menerapkan pandangan itu, maka maklum saja jika yang kukenakan konstan kaos bersablon yang lama-lama memolos dengan sendirinya plus ventilasi di ujung sana-sini. Bukan karena ketidak mampuanku membeli, tapi kenyamananlah yang berat untuk ditinggalkan. Maka maklum saja jika suatu hari salah satu dari kalian menemukanku melenggang santai di jalan raya dengan sendal beda warna bahkan beda ukuran. Hidupku tidak mengusung konsep gengsi atau kesempurnaan. Kenyamanan adalah yang utama, sekalipun nyaman tetaplah memiliki elastisitas lalu apa salahnya berjalan dengan jepit beda warna ?
.
Sekali lagi aku merasa kaya. Bukan karena tidak ada kerikil-kerikil nakal yang menghalangi jalananku. Tapi karena mungkin aku sudah lolos dari lubang satu itu, dengan entah cara apa yang aku sendiri sudah lupa, dengan metode apa pula aku bisa melangkah hingga sejauh hari ini.
.
Aku merasa cukup dengan memasrahkan masalah perut pada apapun yang di racik dan di masak Ibu, sesekali request pastilah wajar. Aku merasa cukup dengan memasrahkan segala angan tercantel manis di awan. Bukannya tidak memiliki keinginan lebih untuk meraih apa yang diingini. Tapi aku merasa sudah cukup memiliki masa untuk bermimpi, aku hari ini ingin hidup sehidup-hidupnya. Menikmati kegiatan bernapas yang bagi sebagian lain adalah remah semata, menikmati kegiatan melihat juga merasa lebih intens ketimbang sebelumnya. Aku merasa cukup dengan memasrahkan urusan hari esok pada satu nama. Ari. Nama yang seringnya memboyong realita pada pondok abu-abu saja. Sama seperti halnya aku pasrah pada apa yang akan di jejalkan Ibu untuk masalah perutku, seperti itu jugalah aku selalu manut pada apa yang akan disajikan Ari untuk masa mendatang. Aku yang terlalu goblog atau terlalu tidak punyai semangat hidup ? Sampai-sampai masa depanpun dititipkan pada seseorang. Pasti karena seseorang itu bukanlah nama dengan sembarang pangkat. Ari adalah sebagianku. Ia berhak atas sepenuhnya aku, lalu jika aku ingin memasrahkan tidak hanya diri tapi juga harapan apa itu salah ? Ayahku sudah lama pulang ke rumah abadinya. Dan satu keresahan yang terus menghantui hingga hari ini adalah karena pernah merindukannya selagi Ayah masih ada di depan mata. Tak terkira betapa lebar lubang yang menganga akibat kehilangannya. Aku harusnya masih menuntut hakku untuk sekedar sesuap makan. Tapi Ayah justru pergi membisu tanpa seucap kata. Kepergiannya otomatis memindah penuhkan pikulan yang dulu masih setengah-setengah kubawa. Tanggung jawab itu ada di pundakku bahkan sejujurnya sudah jauh lama ada disana. Kematian Ayah adalah peresmian perpindahan dari pundak ke pundak itu.
.
Menemukan Ari seperti oase tersendiri bagiku. Mungkin ia bisa kuajak berbagi beban yang ku pikul selama ini. Dan masa kehamilan adalah kompensasi yang pas untuk ditukar dengan masa rehat totalku dari dunia uang. Sekali lagi aku memasrahkan masa mendatangku padanya. Ari adalah sebagianku. Sekalipun tetap saja terkadang ia bertanggung jawab akan rasa nyeri yang melanda hati. Bagaimana tidak, kedekatan dengan keluarga besarnya terkadang menyisakan cemburu tak beralasan bagiku. Dalam alam raya seluas ini aku hanya memiliki satu yaitu Ari dan masih pula harus bisa berbesar hati untuk berbagi Ari dengan mereka yang memiliki dua, tiga bahkan lengkap ? Untuk alasan satu yang kurasa cukup itukah aku dilarang marah ? Ari memang tak selalunya memahami. Ia tak pernah paham telah sepenuh apa kuserahinya pikulan tak hanya perkara sandang dan pangan tapi juga masa depan. Sepenuh aku menyerahkan diri dan harapan. Karena bagiku Ari adalah mutlak milikku. Meski ia tak paham dan tak sadar.

Jumat, 04 Maret 2016

Elemen Penyirep

Hal yang paling aku ingat tentang pantai adalah ketenangannya. Aku selalu menyukai air, bukan sekedar air yang tertampung dalam ember-ember di belakang rumah, tapi air yang bernyawa, hidup dan mengalir. Tak terhitung seberapa sering aku menyatroni jembatan hanya untuk menikmati air yang berlarian di bawag sana, tak terhitung pula berapa kali aku mengikrarkan cita-cita bahwa suatu saat aku akan memiliki hunian di pingir pantai, tak lain jelas agar aku bisa dengan puas memandangi air laut tanpa batasan waktu. Aku sebegitu tergila-gilanya terhadap objek air, hingga pernah suatu ketika salah satu teman iseng berkata bahwa aku telah terkena sirep si penjaga sungai. Kurang ajar.
.
Bagiku elemen air adalah yang paling menawan diantara beberapa lainnya. Ia dengan segala tenang dan keganasannya mempesona hingga batas kalap. Aku selalu mengira elemen satu itu adalah sosok dewa tampan yang menjelma dalam ujud persembahan alam.
.
Tak terhitung sudah berapa banyak waktu yang ku habiskan untuk berlama-lama menatapi mesranya air laut yang bergelung dengan pasir pantai. Tanpa lelah, tanpa mengenal rasa terpuaskan.
Melalui laju gulungan ombaknya, aku merasa seperti diriku bukanlah si raga yang tengah berdiri menikmati hening yang di semburkan angin pantai. Aku lebih luas dari sekedar bongkahan daging bertangan dan berkaki belang. Ombak yang menghantam persendian seperti membangunkan sadar, apapun yang tengah mengganggu pikiran, apapun yang tengah menghinggapi kepala tak lain hanyalah remah-remah tak terbaca. Aku lebih luas dari apa yang bisa kurasa. Aku adalah semesta ini.
.
Mungkin benar kata salah satu temanku, penjaga sungai telah meniupkan mantra padaku. Terbukti tak hanya kepada aliran tenang sungai, kepada ganasnya ombak di laut pun telah membuatku linglung dan kasmaran. Aku jatuh cinta pada elemen yang hakikatnya akan melebur hilangkan diriku. Tanah.
Aku dengan sadar merelakan di dekap dalam aliran sihirnya.
.
.
.
Bagi sebagian orang, berdiam diri di atas jembatan atau justru tergolek pasrah di bangku pinggir pantai adalah hal yang menyia-nyiakan. Tapi untukku memiliki makna berbeda. Memandangi debur ombaknya selalu bisa memancing penghuni terdalamku untuk memuntahkan segala penyebab tersumbatnya aliran nutrisi otak. Tanpa tedeng aling-aling, tanpa basa-basi juga. Kepadanya dan hanya kepadanyalah aku sanggup keluar dari kepalaku yang pengap. Membagi apapun yang mungkin menurutnya pasti hanya sekedar remah-remah tak berguna. Hanya kepadanya pula aku sanggup mengoceh dari cerita manis hingga mendongeng yang sanggup membuat pipi beranak pinak.
.
Tak ada yang bisa memahami bagaimana air telah dengan sangat sempurnanya memahami apa yang tak sanggup terpahamkan oleh sesama. Sedalam itulah hubunganku dengan elemen bercorak biru muda.
.
.
.
Dan hari ini adalah tepat menjadi hari terlamaku tak menginjakkan kaki di tepian pantai, aku telah dengan sangat lama tak mengunjungi obat penenangku. Bukan karena terdesak waktu, tapi memang belum ada keresahan yang menguliti hingga habis sabar. Seseorang telah datang menggantikan keberhargaan air pantai. Meskipun sosoknya tidak sesempurna itu menempati ruang pasnya, tapi setidaknya ia hadir dan menuntaskan keresarahan dalam ujud pelepasan yang berbeda. Ari menggantikan perjalanan melelahkanku mengunjungi pantai dengan satu saja dekapan. Ari menggantikan penat yang menggantung di ufuk barat dengan banyak senyuman. Ia tidak setepat itu tentu saja dalam melengserkan kecintaanku pada air. Sihir yang ditiupkan Ari masih kalah adu dari mantra yang di rapal penjaga sungai. Alam tetaplah sang juara. Tak peduli jika kucuran dana berhenti mengairi kantong-kantong lapar, tak peduli jika hangat dekapan harus perlahan luntur tergantikan dingin yang mencekam. Alam tetaplah sang juara yang tak terkalahkan.
.
Mungkin karena aku adalah tanah. Elemen pangkal yang selalu manut pada ketukan. Sehingga ketika kepolosan air menyirami hingga lubang pori, terjatuhlah aku pada suatu pengakuan. Seakan didunia ini, hanya airlah satu-satunya elemen yang pas denganku. Seakan didunia ini, akulah satu-satunya elemen yang akan berhasil menuntunnya pada tahap keabadian. Karena pada dasarnya tanah adalah sebuah unsur, yang sanggup menyimpan namun juga meluluh lantahkan. Dan air adalah kepingan pas yang selalu berhasil membuaku luluh dan luruh tanpa harus terhanyut.
.
Oh alam, kandunganmu terasa begitu mengagumkan. Dan baris tema kali ini seperti membangunkan lagi keinginan terpendam yang kian dalam masa tanamnya, yakni sebuah cita-cita muda untuk memiliki hunian di pingir pantai. Jelas agar kelak jika aku memerlukan pengaduan, hanya dengan membuka daun jendela maka ia ada. Berlarian sepanjang nafas menari tanpa mengenal kata lelah. Karena memang aku menyukai air, bukan pada air yang tertampung di ember-ember belakang rumah. Tapi pada air yang mengalir, bernyawa dan hidup. Semoga ungkapan cintaku tersampaikan meski ini adalah rentang terlama aku tak berkunjung di jembatan ataupun di pinggiran pantai nan jauh disana.

Lepaskan Saja Kawan

Bertahun-tahun menjadi orang yang kau sandangi pangkat kawan membuatku paham, bola birumu tak pernah sesukses itu memendarkan kesedihan. Lingkaran bening disana selalu bisa membuatku berkaca, melihat lagi jalan sesat yang mungkin hendak ku tapaki. Lewat matamu engkau berbicara, menjagaku dengan pergerakan lincah bola biru di tengahnya. Dan hari itu merubah segalanya. Aku melihat duka, kejernihan yang selayaknya kaca tengah terkopyok lara. Aku sanggup melihat duka dimatamu. Tergambar jernih, sejelas aku membaca not patah yang jatuh menumpangi air asin dari pelupukmu. Sahabatku tengah terseok memunguti kekuatan, untuk menerima lalu tertatih belajar mengikhlaskan.
.
Bertahun-tahun menjadi nama terdekat yang tidak hanya paham wangi tapi juga aroma borokmu, membuatku sedikit mengerti tentang duka yang tengah mengeroyokmu. Engkau adalah pemilik rasa termurni yang pernah aku tahu, namanya tak pernah alpa hadir dalam doamu sebelum mimpi menyapa, bahkan nama itu telah menyatu padu bersama detak jantung dan setiap perjalanan darahmu. Aku seperti tidak pernah melihat orang sejatuh dirimu, ledakan perdanamu tak segemerlap apa yang di angankan, kembang apimu tak memental jauh ke langit melainkan tersulut dengan kecepatan diatas ambang batas hingga tanpa sadar api itu justru membakarmu, melukaimu.
.
Aku memahami kedalaman yang sempat menelanmu sekonyong-konyong. Senyuman mata itu memang terlalu mematikan untuk sekedar dianggap angin lewat, engkau terpeleset tepat di lingkaran hitam retinanya, senyumnya mendorongmu untuk tersuruk jatuh dalam dan lebih dalam lagi. Si astronot amatir dalam penerbangannya yang gagal sebelum sempat lepas landas. Bulan itu tak tercapai, langkahmu tertahan di bumi namun kini pijakannya ratusan kali lebih membebani ketimbang sebelumnya. Sahabatku adalah astronot malang yang kini merangkul pijakan besar
.
.
.
Sudah lepaskan saja kawan, relakan ia untuk menjadi milik dari nama yang masuk dalam jajaran kesayanganmu. Relakan saja ia bertualang, hingga suatu saat sadar bahwa engkaulah daratan yang tercipta paling pas untuk pendaratannya. Tak perlu mengulum sesal, karena memang tak ada cinta yang hadir tanpa meninggalkan buah tangan. Tak perlu menggenggam dendam, ia yang sekarang mendapatkan buruanmu adalah murni sebuah keberuntungan, jangan membenci faktor beruntung dari siapapun, karena bola itu suatu saat tiba tepat di pangkuanmu. Pada saatmu.
.
Lepaskan saja kawan, lepaskan dan lepaskan. Jika engkau tahu aku bahkan masih bisa ikut merasakan nyerimu itu. Tak ada yang akan sebanding dari sebuah keikhlasan. Karena konon itulah level pembelajaran tertinggi umat manusia. Lepaskan saja kawan, lepaskan. Ia yang engkau relakan adalah tebing tertinggimu, tebing yang belum tentu sanggup di daki oleh dirinya yang beruntung itu. Engkau telah berada dalam puncak berbeda dari siapapun mereka, dan karena ketangguhanmu itu patut kuhadiahi sujud takjub padamu. Lepaskan saja kawan, biarkan langkahmu melenggang ringan menapaki ketinggian.
.
Karena aku tak sanggup lagi melihat duka itu bersarang di matamu. Mengetahuinya seperti akan sanggup meremuk redamkan hingga persendian. Sungguh tak pernah kutemui satupun makhluk yang sejatuh dirimu. Aku tahu engkau mulai bosan bernafas di bawah bayang-bayang. Cinta itu masih bersarang dan bersemayam dengan nyamannya disana, aku masih bisa melihat rindu menetes di setiap ujung bibirmu ketika ia mulai melemparkan sapa. Bahkan kekaguman itu masih menempati ruang pas dengan sangat manisnya. Lepaskan saja kawan, nama itu telah termiliki oleh seseorang. Lepaskan saja kawan, ia hadir di hidupmu tertakdir bukan untuk menjadi penghuni hatimu, tapi ia adalah tamu sayang, dan sungguh tak sopan menahan seorang tamu yang masuk hanya sekedar menandaskan dahaga lalu di paksa untuk tetap tinggal. Biarkan tsunami yang engkau sembunyikan itu berlalu, karena nama itu telah damai menjalani hidup dengan seseorang yang lain. Relakan, relakan dan relakan. Biarkan hantu yang mendiami sudut hatimu pergi, bersamaan membawa cinta yang belum tersampaikan itu. Biarkan hantu yang bercokol di tiang penyanggamu itu terbang, terbawa angin lalu tertelan awan. Sungguh kawan, tak ada jalan yang lebih mulia ketimbang belajar merelakan. Tak ada jalan yang lebih menggembirakan timbang rasa yang terikhlaskan. Jangan malu, jangan menangis, jangan bersedih kawan. Cinta pertamamu mengajarkan tentang pelajaran paling mahal. Bagaimana mungkin engkau harus berduka menerimanya ? Cinta pertama menghadiahimu ciuman terdalam. Melumat segala nafas hingga tanpa sadar engkau tercekik dan menangis terbuai nikmat yang disajikannya. Tak apa kawan, relakan dan relakan. Biarkan ia bahagia bersama layang-layang miliknya. Bukankah engkau pernah berkata jika bahagianya adalah bagian dan milikmu juga ? Lepaskan duka itu dari bola birumu. Tak tahan lagi aku melihatmu tersiksa. Tercekik cinta yang enggan lepas dari dekapan. Terlumat lara yang enggan turun dari gendongan.
.
.
.
Lepaskan saja ia kawan, lepaskan.