Jumat, 04 Maret 2016

Elemen Penyirep

Hal yang paling aku ingat tentang pantai adalah ketenangannya. Aku selalu menyukai air, bukan sekedar air yang tertampung dalam ember-ember di belakang rumah, tapi air yang bernyawa, hidup dan mengalir. Tak terhitung seberapa sering aku menyatroni jembatan hanya untuk menikmati air yang berlarian di bawag sana, tak terhitung pula berapa kali aku mengikrarkan cita-cita bahwa suatu saat aku akan memiliki hunian di pingir pantai, tak lain jelas agar aku bisa dengan puas memandangi air laut tanpa batasan waktu. Aku sebegitu tergila-gilanya terhadap objek air, hingga pernah suatu ketika salah satu teman iseng berkata bahwa aku telah terkena sirep si penjaga sungai. Kurang ajar.
.
Bagiku elemen air adalah yang paling menawan diantara beberapa lainnya. Ia dengan segala tenang dan keganasannya mempesona hingga batas kalap. Aku selalu mengira elemen satu itu adalah sosok dewa tampan yang menjelma dalam ujud persembahan alam.
.
Tak terhitung sudah berapa banyak waktu yang ku habiskan untuk berlama-lama menatapi mesranya air laut yang bergelung dengan pasir pantai. Tanpa lelah, tanpa mengenal rasa terpuaskan.
Melalui laju gulungan ombaknya, aku merasa seperti diriku bukanlah si raga yang tengah berdiri menikmati hening yang di semburkan angin pantai. Aku lebih luas dari sekedar bongkahan daging bertangan dan berkaki belang. Ombak yang menghantam persendian seperti membangunkan sadar, apapun yang tengah mengganggu pikiran, apapun yang tengah menghinggapi kepala tak lain hanyalah remah-remah tak terbaca. Aku lebih luas dari apa yang bisa kurasa. Aku adalah semesta ini.
.
Mungkin benar kata salah satu temanku, penjaga sungai telah meniupkan mantra padaku. Terbukti tak hanya kepada aliran tenang sungai, kepada ganasnya ombak di laut pun telah membuatku linglung dan kasmaran. Aku jatuh cinta pada elemen yang hakikatnya akan melebur hilangkan diriku. Tanah.
Aku dengan sadar merelakan di dekap dalam aliran sihirnya.
.
.
.
Bagi sebagian orang, berdiam diri di atas jembatan atau justru tergolek pasrah di bangku pinggir pantai adalah hal yang menyia-nyiakan. Tapi untukku memiliki makna berbeda. Memandangi debur ombaknya selalu bisa memancing penghuni terdalamku untuk memuntahkan segala penyebab tersumbatnya aliran nutrisi otak. Tanpa tedeng aling-aling, tanpa basa-basi juga. Kepadanya dan hanya kepadanyalah aku sanggup keluar dari kepalaku yang pengap. Membagi apapun yang mungkin menurutnya pasti hanya sekedar remah-remah tak berguna. Hanya kepadanya pula aku sanggup mengoceh dari cerita manis hingga mendongeng yang sanggup membuat pipi beranak pinak.
.
Tak ada yang bisa memahami bagaimana air telah dengan sangat sempurnanya memahami apa yang tak sanggup terpahamkan oleh sesama. Sedalam itulah hubunganku dengan elemen bercorak biru muda.
.
.
.
Dan hari ini adalah tepat menjadi hari terlamaku tak menginjakkan kaki di tepian pantai, aku telah dengan sangat lama tak mengunjungi obat penenangku. Bukan karena terdesak waktu, tapi memang belum ada keresahan yang menguliti hingga habis sabar. Seseorang telah datang menggantikan keberhargaan air pantai. Meskipun sosoknya tidak sesempurna itu menempati ruang pasnya, tapi setidaknya ia hadir dan menuntaskan keresarahan dalam ujud pelepasan yang berbeda. Ari menggantikan perjalanan melelahkanku mengunjungi pantai dengan satu saja dekapan. Ari menggantikan penat yang menggantung di ufuk barat dengan banyak senyuman. Ia tidak setepat itu tentu saja dalam melengserkan kecintaanku pada air. Sihir yang ditiupkan Ari masih kalah adu dari mantra yang di rapal penjaga sungai. Alam tetaplah sang juara. Tak peduli jika kucuran dana berhenti mengairi kantong-kantong lapar, tak peduli jika hangat dekapan harus perlahan luntur tergantikan dingin yang mencekam. Alam tetaplah sang juara yang tak terkalahkan.
.
Mungkin karena aku adalah tanah. Elemen pangkal yang selalu manut pada ketukan. Sehingga ketika kepolosan air menyirami hingga lubang pori, terjatuhlah aku pada suatu pengakuan. Seakan didunia ini, hanya airlah satu-satunya elemen yang pas denganku. Seakan didunia ini, akulah satu-satunya elemen yang akan berhasil menuntunnya pada tahap keabadian. Karena pada dasarnya tanah adalah sebuah unsur, yang sanggup menyimpan namun juga meluluh lantahkan. Dan air adalah kepingan pas yang selalu berhasil membuaku luluh dan luruh tanpa harus terhanyut.
.
Oh alam, kandunganmu terasa begitu mengagumkan. Dan baris tema kali ini seperti membangunkan lagi keinginan terpendam yang kian dalam masa tanamnya, yakni sebuah cita-cita muda untuk memiliki hunian di pingir pantai. Jelas agar kelak jika aku memerlukan pengaduan, hanya dengan membuka daun jendela maka ia ada. Berlarian sepanjang nafas menari tanpa mengenal kata lelah. Karena memang aku menyukai air, bukan pada air yang tertampung di ember-ember belakang rumah. Tapi pada air yang mengalir, bernyawa dan hidup. Semoga ungkapan cintaku tersampaikan meski ini adalah rentang terlama aku tak berkunjung di jembatan ataupun di pinggiran pantai nan jauh disana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar