Jumat, 14 Juni 2019

Iba Membawa Petaka

Jika kamu mengira kebencian itu terbentuk dalam waktu dekat bahkan akhir-akhir minggu ini, kamu salah. Jika kamu mengira mata seorang anak kecil tidak mampu merekam pandangan penuh syarat kebencian, maka kamu salah. Jika kamu masih bertanya-tanya kenapa hubungan ini menjadi sepahit empedu, kuminta untuk berkaca pada masa kecilmu. Masa lalu yang menyisakan ampas pahitnya untuk hari ini, untuk saat ini.

Tidak ada yang tahu betapa berat menjadi seorang anak kecil yang selalu di suguhi pemandangan sekarat di depan mata. Mengejang dan memekik adalah nyanyian yang biasa terlantun di rumah dulu. Sebelum ia pergi. Ayahku memang manusia luar biasa, di ciptakan tubuhnya dengan adonan separo dewa, agar supaya ia bisa kembali menjadi manusia setelah berkali-kali meregang nyawa. Agar supaya ia masih bisa menghela napas meski berkali-kali menyentuh batas ajal. Iba seorang Ibu merengkuhku pada dunia yang baru. Aku separo mengira dia melimpahkan sayang berlebih padaku karena menebus kepahitan yang di hadirkan oleh anaknya, ayahku. Mata baru, dunia baru, kebahagiaan baru. Hari-hari yang semula hanya abu dan abu, mendadak mendapat pasokan warna yang lain, warna yang lebih beraneka dan menyala. Namun pendarnya tidak serta-merta membutakan, setelah akhirnya aku mendapati sebuah keganjilan. Tatapan syarat kebencian, melayang nanar di antara dua bola mata yang menyala gahar. Saat itu umurku belum terlalu fasih untuk membedakan antara kepura-puraan dan ketulusan, belum bisa membedakan antara putih yang benar-benar putih, dan hitam yang benar-benar hitam. Di suguhinya aku tatapan syarat dendam, aku tak tahu kenapa, tapi perlakuannya selalu menggiringku pada dunia penuh abu-abu. Dunia penuh tanda tanya, tentang kenapa dirinya selalu menyuguhiku tatapan itu, tentang kenapa jalanku selalu di hadang untuk bisa selangkah lebih dekat dengannya. Apa yang bisa kamu harapkan dari anak kecil yang terlatih pada tatapan penuh kebencian?

Aku tidak tahu jika gelombang itu menuntunku hingga hari ini, dengan hati-hati ia mendaratkanku pada sebuah kesadaran bahwa kehadiranku tidaklah terlalu mendapat sambutan. Rasa iba yang membuat petaka. Meruntuhkan dinding yang selama ini hampir berhasil memisahkanku pada kenangan masa silam. Akankah ini tangan karma yang sedang bekerja? Atau memang kebencian itu memang masih ada?
Rasa iba yang membuat petaka, memanaskan waktu tanpa melihat sudah seberapa dalam kenangan tergenang.

Kepadamu yang masih bertanya kenapa, kepadamu yang masih mengira sesuatu telah menimpa ikatan kita, ketahuilah pemahaman yang ingin kujelaskan. Aku dan karma tidak memiliki hubungan mesra apalagi dekat. Menyentuhnya adalah hal terjauh yang pernah kubayangkan. Tapi dia adalah sebuah hukum yang tunggal, tidak di pengaruhi atau menerima pengaruh dari siapapun makhluk di semesta ini. Apa yang kamu tabur akan kamu tuai pada waktu yang telah di tentukan, tidak ada yang bisa menolak atau mengundurkan waktu penetapan. Dia bekerja secara teliti, dia bekerja sesuai dengan kalkulasi, tanpa tercampuri emosi apalagi perasaan, dan sesuatu yang saat ini tengah menimpa ikatan kita, harus di akui dan hanya jika kamu mau mendengarkan, api itu bukan aku yang menyalakan. Seluruh tubuhku memang mengandung bara, tapi percik yang membuatnya nyala bukanlah berasal dari bagian tubuhku yang manapun. Itu adalah karma. Dia di gariskan untuk mendatangi lalu membakar kita pada waktu yang memang telah di tetapkan. Aku tidak membencimu, rasa ini adalah cermin yang bertahun-tahun lalu mendatangiku, dalam ujud tatapan penuh rasa benci dan kemurkaan. Sekarang kamu melihatnya, memahami betapa bingungnya menjadi seorang anak kecil penuh kepolosan yang selalu bertanya-tanya kenapa dirinya mendapatkan perlakuan kurang mengenakkan. Dunia berwarna yang saat itu baru ku cecap dalam waktu singkat, yang kemudian kau robek dan menarik paksaku lalu mencemplungkannya lagi ke dalam lingkaran penuh abu-abu, akhirnya kau merasakan kebingungan dan kekecewaan itu. Walaupun mungkin reaksi yang kau tunjukkan sedikit berbeda, tapi aku lega, bola itu akhirnya menemui masanya untuk menyala juga. Hanya tinggal menghitung hari tentang kapan ia akan padam atau justru mengekal. Aku tidak mempunyai harapan, pada manusia-manusia yang pernah mengecewakan. Aku tidak mempunyai harapan, pada pemahaman lain bahwa kemungkinan putusnya ikatan kita karena salah alam.