Senin, 21 Desember 2015

Kamu

Aku tidak memiliki tempat untuk berbagi jika itu adalah tentangmu.
Aku tidak memiliki pendengar untuk sekedar melegakan jika itu adalah tentangmu.
Karena burukmu adalah sesuatu yang harus kudekap.
Karena burukmu adalah sesuatu yang harus kutelan.
Karena burukmu adalah burukku juga semenjak kita terikat satu.
Bagaimana bisa kubiarkan siapapun tahu tentang celah kurangmu.
Bagaimana bisa...sedangkan celahmu adalah sebagian dari kurangku.

Minggu, 20 Desember 2015

Lighters dan Aku

Pertengahan 2012,
.
.
.
.
.
.
Lighters
.
.
Kau mengenal lagu ini ? Kau menyukainya ?
Apa kau juga merasakan sebuah kedamaian lebih dari dentingan piano yang tersamarkan oleh suara cepatnya Eminem ?
Kau tidak akan menyadari betapa nada-nada -yang tersamarkan- itu benar-benar melemparkan rintik kecil bernama air yang perlahan meresap melalui dinding-dindingbercelah saluran sel darah bernama hati.
Denting-dentingtersamarkan yang selalu membuatku seperti terlempar pada jurang yang paling mendasar, sebuah perasaan yang teramat halus dimana tak ada sebuah kata apalagi sesosok tangan yang bisa menyentuhnya.
Sebuah perasaan yang ketika itu terusik maka akan menciptakan sebuah petaka batin yang tak terselesaikan.
Kau akan mengetahui itu dalam situasi yang berbeda mungkin.
.
.
Disana, diantara denting-dentingtersamarkan itu, bahkan aku seperti tengah mendengar sebuah lolongan,
sebuah kepasrahan yang tak terselesaikan. Bukan sebuah teriakan, hanya sayup-sayup kecil penuh syarat.
Aku tau suara itu tidak ada..bahkan ketika aku membuat semacam riset terhadap beberapa telinga, dan jawabannya sangat mencengangkan, suara ? denting piano ? yang mereka dengar hanyalah berisiknya si rapper itu. Mereka menganggapku berhalusinasi untuk suara penuh syarat itu,
dan berakhir pada aku yang akan memilih terdiam kini. Jangan mengatakan telingaku juga memiliki perbedaan. Sebut saja mereka yang tak mendengar suara itu. Aku juga terkadang tidak mendengarnya, hanya ketika hatiku tengah berada dalam jangkauan ketenangan paling akutlah suara itu akan teraba.
.
.
.
Apa yang ingin ku ketik sekarang ? terlalu banyak yang ingin ku sampaikan hingga semuanya membias dan menghilang, aku membenci saat-saat seperti ini.
Aku hanya tengah merasa.. sebuah mimpi telah menjeratku dengan rantai waktu yang tak mengenal akhir. Sebuah pelemparan sembarang akan pengarahan pola pikir terrencana tapi penuh halusi.
.
.
Pemenang, apa yang kau artikan dalam sebuah kata pemenang ? ataukah dia yang mengangkat trofi berkilau emas, ataukah dia yang berhasil memeluk dengan erat sesuatu yang menjadi objek berharga itu ?
"Pemenang adalah dia yang berhasil memiliki hatiku" itu kalimat yang keluar dari mulut seorang Cho Kyuhyun.
Aku sepenuhnya menyetujui kalimat itu..tapi dalam artian yang lain, ketika aku berhasil memenangkan hatiku sendiri, maka saat itulah aku berhak berteriak aku pemenang !
.
.
.
.
.
.
.
.
Dan sebuah kekeringan pun datang. Sebuah musim yang selalu berhasil membuatku terjebak dalam masa keruntuhan karena dinginnya. Aku benci musim kemarau, aku membencinya karena dia selalu menghadirkan dingin terbaik daripada musim lain yang menghadirkannya.
Aku membenci itu sama halnya ketika aku membenci bahkan mengutuk sendiri karena tak dapat menghentikan diri dari sebuah ketercanduan.
Aku berkata aku berhenti untuk melakukan hal paling menyenangkan itu, berhenti memandang tetes demi tetes aliran kehidupan yang tejilat dengan penuh napsunya oleh lidah-lidah tajam itu.
Aku berjanji aku akan berhenti pada mereka -tanpa mereka tau sebuah janji itu yang tengah membantuku berhenti- dan kemudian perlahan mereka mati..ataukah aku justru yang membunuh diri sendiri ? Aku tidak yakin,
mereka tidak memahami ini bahkan ketika aku telah mengatakannya, mereka tidak mengetahui dan tetap tidak tau apa-apa sampai mungkin nanti lidah tajam
akan mengatakan kepada mereka dengan teramat gamblang alasannya. Dan karena ini hidup, akan selalu ada yang mati bukan ?
Kebingungan ini, kesendirian yang tak pernah untuk seseorang bisa memasukan dalam kamus hidup mereka. Sebuah kesunyian yang selalu sukses tertuang dengan indah dan rapi dalam sebuah cerita, ataukah sebuah perasaan yang terwakili oleh senyapnya dentingan piano yang tersamarkan dalam sebuah komposisi bernama lighters. Kehidupan ini melahirkanku, dan setelahnya mereka membunuhku.
Aku benaran tidak yakin tengah menyelami kehidupan yang seperti apa. Aku tidak tau bahwa akan ada sebuah emosi yang membuat aliran darah menuju jantung terasa seperti tersumbat seperti ini.
Aku tidak pernah mendapatkan sesuatu, sekalipun hanya memegangnya, dan salahkan saja perasaan ini yang dengan sepenuhnya merasakan telah memiliki mereka dengan sepenuhnya.
Salahkan saja hembusan waktu yang juga telah menyematkan sebuah kata dalam tanda petik, bahwa kenyataan memang ditakdirkan untuk hidup lebih lama dari pada aku , yang notabene bernafas dari pada kenyataan itu sendiri.
.
.
.
.
Perasaan ini, kembali menyudutkan aku pada sebuah pagi yang penuh dengan aroma ketakutan disudut kamar pengap dan teracak dengan sangat sempurna. Perasaan ini, kembali melemparku dalam pagi dimana sebuah tangis menyergapku tanpa sebuah kata permisi sebelumnya. Dan pada akhirnya, biarkan aku merangkak menangis untuk meminta siapapun membiarkanku mengubur kembali dari telapak tangan yang dingin ini sampai berakhir pada tak terlihatnya aku.. seluruh tubuhku.

Selasa, 01 Desember 2015

Celoteh Sang Pemenang

Usia kita terpaut hanya beberapa tahun saja. Dilihat dari kecakapanmu berceloteh, sanggup kusimpulkan bahwa engkau mengenal isi dunia ini lebih jauh dan lebih luas daripada aku. Tapi pepatah sang bijak tak pernah salah, bahwa jam terbang adalah kendaraan paling baik demi memberi pengalaman. Dan dengan izin alam, aku menang. Atas sekian tahun milikku yang terpaut diatasmu. Hari ini aku tidak ingin berbicara tentang alam, malam, ataupun tentang cicak di dinding kamar. Tapi tentang engkau atau beberapa makhluk yang setara denganmu.
.
.
.
Sekalipun jika rasa percaya akan adanya teman adalah sesuatu yang mustahal. Tapi tidak bisa dipungkiri jika dunia ini terlalu luas untuk bisa ditaklukkan sendiri. Ya, sekalipun aku tidak bisa percaya pada kata 'teman' atau bahkan memilikinya. Tapi..tetap saja, Tuhan tak akan membiarkan aku tertatih sendiri di kehidupan yang membingungkan ini. Dengan segala ketidakrelaan, kubiarkan satu demi satu nama terpikat pada(entah apa)ku. Dan mengikat satu kata 'teman'. Dirimu termasuk dalam daftar yang tertarik untuk menjadikanku teman.
.
.
.
.
Selamat datang. Engkau dengan segala ketidaktahuanmu tentang aku, tentang darah apa yang mengiliri hingga berbagai penjuru selku, atau tentang siapa sebenarnya yang memakai topeng sebagai aku. Engkau hanya bisa bertindak sebagai manusia normal, yang menyamaratakan segala jenis raga. Dan aku membenci ketidaktahuanmu itu. Tapi memang siapa aku ? Hingga engkau dituntut untuk bisa serinci itu tahu tentangku ? Lihat betapa ini sangat menggelikan. Aku ingin tertawa. Dari segala probabilitas yang mungkin bisa kau temui didunia ini. Dan itu aku, kenapa harus aku ? manusia yang menganggap dirinya istimewa, padahal sesungguhnya ia tak lebih dari seorang anomali. Dan kau terlena dengan keanomalianku, mungkinkah ?
.
.
.
.
Aku tidak memilihmu, seperti aku tidak memilih siapapun diantara beberapa mereka. Engkau datang dengan kerelaan, bukankah ?
Dan ketika datang hari dimana topengku terjatuh, terkuaklah siapa diriku. Dan engkau mulai membenciku ? Menyalahkan aku, mengarang sebait cerita seakan-akan aku telah melakukan pengkhianatan besar abad ini. Oh dewa...aku pemenang. Lupakah kau untuk satu garis takdir itu ? Aku pemenang, untuk sekian tahun milikku yang terpaut diatasmu.
.
.
Bahkan jika aku terlahir kemarin sore, akan kupastikan benar bahwa beberapa baris kata yang kuyakini sebenarnya adalah mantra. Bahwasanya, hanya aku dan Tuhan..dua-duanya yang bisa kupercayai didunia ini. Hanya aku teman terbaikku didunia ini. Tidak ada makhluk yang akan sanggup menjabat kedudukan itu selain diriku. Hanya diriku.
.
.
.
Engkau mungkin akan bertanya, aku ini makhluk apa. Bukankah ?
Tidak, jangan kau putar lagu yang sama seperti yang mereka selalu lakukan sebelumnya. Aku hanyalah aku. Yang sadar mempesona namun tak ingin terikat dengan judul apapun. Aku adalah aku. Yang sadar istimewa namun tak ingin digurui oleh siapapun.
.
.
.
Dunia begitu membosankan teman. Tidak, bukan karena aku membenci adanya kehidupan. Aku hanya merasakan jenuh pada para pecundang-pecundang dalam balutan dandanan menor, pada para bajingan. Dan mungkin kau termasuk dalam jajaran mereka teman. Aku berkata jujur, dan kau mengerikan.
.
.
.
Nama-nama menyimpan mantra. Dan dari sekian ribu pilihan yang disediakan, kenapa juga tanah harus menjadi yang menarik bagi mereka ? Untukku pula . Mungkinkah jika mereka telah mengetahui bahwa aku bukan manusia biasa bahkan sebelum aku sempat menginjak tanah ? Kenapa tanah ? Karena mereka berharap aku akan siap ? Karena mereka berharap aku akan manut ? Manut untuk dijadikan dasar. Siap untuk dibentuk, digali, ditumpuk dan bahkan diinjak ?
Bagi siapapun yang tak paham, termasuk engkau. Mungkin akan mendeskripsikan tanah hanyalah sedangkal itu. Kalian tak paham. Bahwa aku juga mempunyai tugas untuk melumat. Tak peduli seberapa dalam kalian bersembunyi, kuasaku akan terus membayangi. Dalam tanganmu, aku bisa hadir dalam ujud lucu. Dengan kakimu, aku sanggup terpijaki sekuat itu. Dengan kekuatanmu, aku bisa menjadi apapun yang kiranya sanggup memenuhi harapan dan hasratmu. Tapi dalam kuasa dan mantra yang dibekalkan padaku, engkau dan mereka semua tak akan pernah bisa menolak dan lepas dari tangan, ketika aku mulai jengah, ketika aku mulai paham kenyataan, ketika aku mulai sadar.
.
.
.
Bukan aku yang memilihmu. Bukan aku yang memaksamu. Tapi ketidaktahuanmulah yang aku benci. Tapi ketidaktahuanmulah yang ingin ku maki. Dalam gelap, dalam terang. Aku sanggup menelan, meluluhlantahkan. Tanpa seizinmu sekalipun, karena aku adalah yang ditakdirkan menang. Aku pemenang, untuk sekian tahun yang terpaut diatasmu.
Andai ada satu pertanyaan yang kuingin kalian jawab tanpa harus melewati proses gila, pasti adalah sebuah tebakan asal. Berapa usiaku ?
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Pada kenyataannya. Ketidaktahuan, terkadang memang lebih berarti dari segalanya.