Rabu, 26 Juli 2017

Dewa Kucing Dan Cacatnya

Aku adalah salah satu makhluk dengan cacat terbanyak di muka bumi ini. Jika manusia lain hidup dengan bertopang pada udara dan kinerja jantung juga paru-parunya, maka aku lain. Insting adalah penunjuk arah, langkah dan juga cara bernapasku. Orang lain akan melihat bahwa aku adalah manusia dengan senyum terpelit di dunia. Padahal tidak. Aku tidak pelit, hanya tidak bisa. Memiliki kemauan tapi tak bisa melakukannya.
.
Raut wajah adalah area yang sangat nyata untuk melihat suasana hati. Dan wajahku tak pernah lebih bisa menyembunyikan apapun yang insting bisikkan padaku. Ini adalah pernyataan lamaku, tapi kebenarannya tidak pernah kuragukan. Detik pertama aku melihat mata seseorang, aku akan bisa membaca akankah selanjutnya seseorang itu akan membawa dampak buruk atau baik. Aku membaca gelagat hanya dari tarian tangannya. Aku menangkap sinyal hanya dari lengkungan bibirnya. Dan mata, adalah sudut terfavoritku. Tak ada yang bisa menyembunyikan apapun disana, dariku.
.
Aku mungkin saja normal, seperti kalian, seperti manusia kebanyakan. Tapi cacatku membuat pengecualian. Aku memang berbeda. Bola mata, insting dan raut wajahku seketika akan bekerja sama dengan tingkat ketelitian yang super detail ketika mulai berhadapan dengan seseorang. Dan ketika sinyal mulai mengirim tanda negatif, maka disinilah pertaruhan di mulai. Cacatku mulai menunjukkan diri. Aku tidak ingin bereaksi, sama sekali tidak ingin menggubris apa yang insting mulai bisikkan padaku. Bukankah kita tidak bisa dengan begitu cepat mengambil keputusan untuk menilai seseorang hanya dari tatapan pertamanya ? Jatuh cinta pada pandangan pertama sering kudengar, tapi membenci pada pandangan pertama adalah sesuatu yang tak kusukai yang sialnya justru sering kualami. Cacat terbesarku selalu muncul secara tiba-tiba. Aku tak pernah bisa berpura-pura. Ketika insting mulai membisikkan tanda kurang baik, seketika wajahku akan bereaksi. Menarik keras otot-otot senyum di bibir. Bahkan otakpun akan terkena imbasnya dengan mulai melancarkan perkataan-perkataan dingin nan sarkastik. Aku membenci sisi cacat diriku. Aku kewalahan untuk menerapkan pada diri sendiri pernyataan bahwa manusia tak boleh menilai sebuah buku hanya dari sampulnya.
.
.
Seringnya, aku hanya bisa memaki diri sendiri. Memaki kenapa tak bisa berpura-pura. Menyembunyikan sedikit saja rasa tak suka dan menukarnya dengan seulas senyum. Aku menderita, karena bisikan-bisikan dari dalamku yang tak pernah mau menyumpal mulutnya.
.
Satu kenyataan yang tak bisa untuk kupungkiri hingga saat ini adalah, kenyataan bahwa instingku selalu membisikkan petunjuk-petunjuk yang hampir selalu benar. Ragaku seakan tidak di desain untuk kecewa. Karena ketika pandangan pertamanya saja berhasil mengirim tanda, petunjuk agar aku mempersiapkan diri selanjutnya.
.
.
Terkadang aku mulai berpikir, apa asyiknya hidup ini tanpa misteri ? Tidak semua manusia memiliki niat baik di dalam hatinya. Lalu kenapa ? Kenapa aku harus terburu-buru untuk tidak menyukai seseorang ? Dan kenapa pula aku harus terlahir dengan cacat besar di gendongan ?
.
Orang akan berpikir aku masuk dalam jajaran manusia-manusia normal. Padahal tidak. Selalu ada percakapan dan pertikaian di dalam kepalaku. Jika memungkinkan, bahkan bisa kupastikan ada sesuatu yang tengah berperang pula di dalamnya. Dan jika ternyata keinginan menjadi normal adalah hal sia-sia, maka keinginanku selanjutnya hanyalah satu. Aku ingin bisa berpura-pura. Dengan senyum dan mata berbinar yang tak pernah meninggalkan wajah. Aku ingin bisa berpura-pura. Dengan jalan terus mengabaikan apa yang insting selalu bisikkan padaku. Tak peduli kenyataan bahwa apa yang selalu ia tunjukkan adalah sebuah kebenaran. Karena aku bosan di cap sebagai pemurung, dan pemarah. Meski telah kusiasati dengan melaksanakan sebuah jurus jitu yakni menjadi pendiam, tetap saja tak ada yang bisa menutupi perasaan apapun pada reaksi raut wajah. Akankah ini keinginan normal ? Kenapa kata normal mendadak menjadi ambigu setelah catatan ini hampir menyentuh akhir ? Wajarkah jika aku mulai berkata bahwa aku adalah manusia separo dewa ? Bukankah dewa tak memiliki kepintaran untuk menyembunyikan kenyataan ? Lalu bagaimana jika ternyata aku ini manusia separo kucing, karena setelah kuingat-ingat, kucingpun hampir memiliki kemiripan yang sama dengan cacat besarku. Ia akan menatap bengis pada apapun yang kiranya ingin mengacau harinya. Ia akan berlari dalam pelukan begitu sang majikan menebar aura positif dan menyenangkan. Insting kah yang menuntun hidupnya ? Atau sesuatu yang lain ? Aku harap kali ini aku memiliki cukup kewarasan untuk mengakhiri paragraf ini. Termasuk ketika harus mengakui bahwa ada kemungkinan aku adalah manusia dengan darah separo dewa kucing yang pada masanya dulu memiliki kemampuan untuk meraba dan melihat aura. Ouh..pernyataan yang terlalu mengerikan sepertinya. Tapi aku menyukai pemikiran tentang kemungkinan itu. Sekian.

Selasa, 25 Juli 2017

Kado Yang Terlambat Datang

Dua tahun. Bukan lagi satu tahun sekian bulan, atau dua tahun kurang beberapa minggu. Tapi ini benaran dua yang utuh. Dan sepertinya aku telah sedikit menemukan kendali atas diriku kali ini. Tidak bermaksud sengaja memperpanjang kesabaran Ari hingga angka dua itu benar-benar utuh, tapi kemungkinan aku yang lelah untuk terus menentang.
.
Sinar temaram yang terus menerangi hari pernikahan kami, mendadak mendapat pasokan energinya secara tiba-tiba. Seperti separo gelas sirup yang terdesak oleh bongkahan es batu besar-besar. Dahagaku terpuaskan dalam umur kedua yang masih dikategorikan muda. Entah siapa yang memulai, tapi aroma rumah ini tak lagi seberingas ketika keberadaan Ari baru memasuki hitungan minggu dan bulan. Panas yang dulu terbakar pada malam pertama kedatangannya kian membara setiap harinya. Terus memuncak hingga kemudian angka dua menemukan keutuhannya. Tak ada lagi panas yang menyengat, yang ada tinggal bara yang menghangat. Dan aku menyukai itu.
.
Entah apa alasan di balik semua ini, tapi Ari terlihat lunak dan semakin manis akhir-akhir ini. Dan si kepala batu ini pun sepertinya tengah dalam separo jalan mengikis keras dirinya. Apalagi yang lebih membahagiakan ketimbang dua manusia yang tengah berusaha melunakkan diri agar lebih bisa saling terikat ? Dan Ari adalah pemenang. Bersamanya membuatku kembali ingin bermimpi, bersamanya membuatku tak lagi ngeri untuk berangan. Ari tak hanya membuatku terbang, tapi juga menumbuhkan sayap-sayap di punggung agar kelak aku bisa terbang tanpa bantuan.
.
.
Bukankah akan selalu ada cuaca cerah setelah badai menerjang ? Dan masa kritis momen romantisku berada pada dua ambang bulan. Yakni pada urutan ke tujuh dan ke delapan. Agustus adalah akhir. Berhentinya cerita cinta yang bahkan tak sampai di ujung lidah. Garis semu yang hampir saja kutapaki dengan membabi buta dan menghalalkan segala cara. Tapi bebarengan dengan momen sesakral tujuhbelasan, telah kutelan semua rasa cinta, kagum, sedih, kecewa dan berharap semuanya akan menjadi sampah dan berakhir di tempat dimana kotoran seharusnya berada. Mungkin ini telat untuk di ungkapkan. Tapi aku menyukai momen di mana aku merasa teriris hanya karena melihat sebuah nama bersanding dengan kekasihnya. Aku menyukai momen di mana Ari ada dan datang di saat yang tepat dan tak terduga. Bukan datang, tapi aku yang meminta lebih tepatnya. Tuhan membuatku menyadari tujuan-Nya setelah dua tahun berlalu. Ari bukanlah sebuah kebetulan yang menjadi nyata. Hari dimana aku memintanya untuk menemani duniaku adalah insting pertama yang berhasil kuraba untuk mengobati patah hati yang akan datang beberapa hari ke depan. Bahkan aku sudah bisa lebih peka dengan tidak secara sengaja menyentuh pintu instingku. Tapi ternyata tidaklah segampang itu, dibutuhkan angka dua yang utuh untuk menyadari bahwa keberadaan Ari bukanlah penambal dinding hatiku yang koyak. Ari tidak berfungsi dan tidak di desain untuk seperti itu. Ari adalah setebal namanya. Menjadikanku memilih di antara dua. Membiarkanku menjadi godam yang kelak menghancurkan kerasku sendiri. Ari dengan cara uniknya menunjukkan bahwa ia berharga. Dan aku menyukai itu.
.
.
.
Tiga, dan akan ada empat, lima, tujuh, dan seterusnya. Bersama Ari membuatku kembali berani menarikan lidah dan mengucap kata-kata berpemanis lebih. Sekalipun ia dan bahkan aku adalah makhluk fana, tapi dalam kesemuan yang membingungkan ini, aku ingin menjadi sebuah pasti bagi langkah-langkah Ari. Sebuah pasti yang di harapkan bisa menghentikan langkah ragu dan gundahnya. Aku ingin menjadi jawaban untuk Ari. Bagi semua pertanyaan yang terus membelit di sepanjang perjalanan hidupnya. Namun jika semua itu terlalu muluk dan berat untuk terlaksanakan, maka sebuah harapan tersingkat adalah keinginanku untuk membuatnya bahagia sekalipun aku tak memberikannya apa-apa. Aku telah menyerah untuk menjadi diriku yang sekeras batu. Aku ingin terus kembali melunakkan diri agar bisa setidaknya menyamai kelenturan Ari. Agar ketika raga kami berpelukan, tak ada sesuatu apapun lagi yang menghalangi dan mengganjal.
.
.
Hari jadi kami yang kedua bergulir begitu saja tanpa terucap banyak keinginan muluk. Merayakan tidak ada dalam daftar pernikahan kami sepertinya. Dua makhluk kaku yang tak pernah tahu bagaimana cara menghormati sebuah tanggal. Dan kado dariku selamanya tak akan berubah menjadi sesuatu yang layak di makan. Karena memang aku tak pernah memberi apa-apa. Dan hanya kata. Pengakuan bahwa aku telah bahagia. Pengakuan bahwa aku telah berhenti menganggap kedatangan Ari adalah sebuah kebetulan yang tidak di sengaja. Pengakuan bahwa aku merasa telah dalam separo jalan mengikis diri. Pengakuan bahwa aku tak lagi menginginkan apapun hal di dunia kecuali bersama dan melihat keluarga kami bahagia. Pengakuan bahwa mungkin, keluarga kami telah dalam separo tangga jalan menuju keluarga terharmonis sedunia.
.
Apalagi yang perlu kucari lagi setelah ini ? Ari memuat segala syarat untuk menuju bahagia. Dan dia adalah milikku. Hanya milikku.

Minggu, 23 Juli 2017

Kipas Angin Tanpa Baling

Kita bukan lagi sebuah kawanan. Yang berkerumun dan berkelana mencari makan. Kita bukan lagi dua orang teman. Yang saling mengganggu dan bertukar pikiran. Dulu kita pernah saling memimpikan untuk mendiami rumah yang sama, melahapi putaran jarum jam dengan aktivitas yang sama pula. Tak apa, karena memang sejalan bukan berati harus terus bergandengan.
.
Mata adalah penyebab dari semuanya. Jika milikku melihat jalanan kita adalah semak belukar, maka matanya justru menangkap bahwa itu adalah aspal mulus tanpa sedikitpun hambatan. Bola kecil putih dengan lingkaran hitam di dalamnya tak sanggup untuk saling bergandengan. Untuk itulah kenapa jarak ini harus ada.
Tapi tak apa, bukankah bersama tidak harus selalu selamanya ?
.
Mesra adalah salah satu kata yang sangat tepat untuk menggambarkan betapa lekatnya kedekatan kita. Tak ada satupun borok milikmu yang tak kuketahui dan kutertawakan tanpa adanya ampunan. Begitupun sebaliknya. Tapi kini, engkau lebih memilih untuk selangkah lebih erat pada pelukan sunyi. Sementara aku telah mendapatkan pengganti. Siapa yang salah ? Tak ada. Dan memang sekali lagi, tak apa. Jalan hidup seseorang tak ada yang akan tahu, seberapa kuatpun kita pernah saling terikat, akan ada saat dimana semuanya terasa lengang dan menghambar. Tak terkecuali untuk hubungan kita ini.
.
Kalimat-kalimat yang kutulis malam ini, tak pernah berarti apa-apa, hingga rasa itu kemudian datang. Tak apa kawan, tak apa jika kita tak lagi harus sejalan. Tak apa jika kita tak lagi bisa bergandengan tangan. Teruslah berjalan seperti jarum jam yang tak rusak. Teruslah berputar seperti kipas angin yang tak rusak. Ada satu kalimat yang perlu ku ralat pada paragraf di atas. Aku tidak tengah dalam keadaan telah menemukan pengganti. Ariku tidak berfungsi seperti itu, karena memang..seperti kaus kaki, Ari adalah kaus kaki untuk kaki kiri, yang memang di tempatkan di sana dan bertugas menghangatkan daerah kiri. Dan engkau tak lain adalah kaus kaki untuk sebelah kanan. Tak ada yang salah bukan ? Kerenggangan kita jelas meninggalkan lubang. Aku bisa saja memindah kaus kaki sebelah kiri untuk menghangatkan kaki kananku, tak ada yang tak akan tahu, tapi bukankah kenyamanan tak bisa di manipulasi dan di paksakan ? Tak apa jika aku harus melanjutkan hidup dengan hanya satu kaus kaki. Tak apa, selama kepergianmu adalah demi menemukan kaki yang tengah kedinginan. Tak apa, selama kepergianmu bukan dalam rangka menuju kesunyian yang lebih pekat. Karena seperti yang dulu pernah kukatakan selagi kita masih mesra. Bahwa bahagiamu adalah milikku juga.
.
Rumah itu tak pernah ada, bahkan ketika kini aku telah memiliki segudang uang untuk membangunnya. Rumah impian, dimana kita akan selalu bersama, menempatkan meja dan sofa pun bersama, bahkan membersihkan remah pecahan piring pun akan sama-sama juga. Rumah itu tak pernah ada bahkan ketika engkau memiliki sepetak luas tanah yang lebih dari cukup untuk menjadi alas bagi rumah impian kita. Karena memang tak ada satupun mata manusia yang tercipta sama dengan manusia yang lain. Tak peduli semirip apapun mereka, akan ada celah yang membedakan, yang memisahkan.
.
.
.
Tak apa kawan, jika kita bukan lagi sebuah kawanan. Bukankah makanan kita tetap sama ? Dan lihatlah, ada ribuan petak ladang di sepanjang mata kita memandang. Mungkin, suatu hari nanti. Mungkin, entah di petak ladang yang mana, kita akan kembali di pertemukan. Kita akan kembali bisa berjalan bersisian. Dan saat hari itu datang, mungkin tak akan ada lagi kemesraan sehangat yang dulu pernah kita ciptakan. Tak ada lagi rumah impian. Tapi mungkin akan ada bara lain yang akan saling kembali menghangatkan. Membakar bongkahan es yang terlanjur memalung semenjak hari kerenggangan kita.
.
Teruslah berjalan kawan. Seperti jarum jam yang tak rusak. Sekalipun tak pernah ada kata selamat tinggal yang kita ucapkan, jangan bersedih untuk alasan di balik itu. Karena memang, sejalan tak berati harus selalu bergandengan. Berhenti terus mempererat dekapanmu kepada sunyi. Karena itu hanya akan memperlambat waktu kembalinya kita untuk saling bertemu di ladang entah mana. Kenapa aku begitu percaya diri dengan mengatakan bahwa kita akan saling bertemu ? Karena kita pernah terikat. Karena keberadaanmu pernah menghangatkan salah satu bagian tubuhku. Karena rasa nyaman itu pernah ada. Untuk itu janganlah terlalu erat dalam memeluk sunyi yang kian memekat. Lihat aku, sangat jelas mataku memendam lubang. Jejak hilang yang kau tinggalkan karena kerenggangan. Tapi aku tak pernah beralih dan bermuram lalu membabi buta mengarahkan pedang. Ari bukanlah alasan kawan. Ari bukanlah satu-satunya yang bersalah. Waktu telah mengatur dirinya sedemikian rupa. Lihatlah aku, tentu saja aku merasakan kehilangan. Tanpamu, aku seperti kipas angin yang kehilangan baling-baling. Tapi ketahuilah, bahagia tak datang hanya dari satu arah saja. Dan aku tak pernah pergi kemana-mana. Pesanku kali ini kawan. Berhenti mencari maka kau akan menemukan.

Jumat, 14 Juli 2017

Melepas Jabatan

Mungkin ini adalah saat yang tepat bagi kita untuk bertemu dan berbicara. Setelah sekian lama, setelah sekian banyak luka menganga, masihkah engkau bernafsu untuk menjabat tanganku lagi ? Masihkah aku semenggiurkan itu untuk kau rangkul ?
.
Aku bahkan tak tahu harus memanggilmu sebagai apa, dan memperlakukanmu sebagai siapa. Keberadaanmu tak pernah lebih jauh dari selebaran jengkalan tangan. Mengikuti seperti bayangan hitam. Dan seperti juga ia, maka kita pun terkadang menyatu ketika terik tepat berada di atas kepala. Engkau sama sekali tak terlihat, atau justru aku yang menghilang, tak lagi jelas semua hanyalah samar.
.
Kali pertama aku mengenalimu, kukira engkau adalah sesosok kawan. Karena memang semua yang membuatku merasa nyaman, telah berhasil engkau menangkan. Lalu kemudian aku menyadari bahwa sosokmu tak lebih dari sebongkah bara yang terkadang berubah ujud menjadi monster mengerikan. Aku memelihara satu monster di dalam raga, dan hingga kini aku masih sering linglung untuk membedakan yang mana ucapanku dan yang mana aumannya.
.
Tidak hanya sekali aku melukai, bahkan tidak hanya Ari, semua yang pernah beririsan denganku bisa dipastikan akan merasakan seperti apa bara panas yang ku luapkan. Dua puluhlima tahun, atau mungkin lebih. Dan ini adalah kali pertama aku merasa kewalahan. Aku kalah untuk bisa menjadi pemegang tali kekang monster yang kupelihara sendiri. Aku tak hanya melukai, tapi juga mulai menyakiti. Mangsaku tak mengenal batas. Dan seringnya aku hanya bisa meringis ketika cakaranku tepat mengenai raga orang yang ku sayang.
.
Orang akan dan selalu mengira bahwa aku sempurna. Aku memegang jiwa yang di puja juga di puji oleh kebanyakan manusia. Setiap tuturku menjadi lilin bagi mereka yang merasa tengah berada dalam jalan penuh kegelapan. Mereka tidak tahu, bahwa aku sebenarnya bukanlah keturunan dewa. Aku tidak memiliki kecakapan apapun untuk bisa di sebut sebagai keturunannya. Sekalipun memang, aku selalu menjunjung Ayahku setara dengannya. Tapi, memang siapa yang tidak mengerti tentang garis miring pada nama Ayahku ?
.
Sekian lama, dan aku semakin merasa ragaku akan menjadi dua bagian yang terpisah dan berbeda. Aku menangis di saat tandukku mulai menggoresi siapapun yang berada di sekitaranku. Aku mulai berputus asa ketika cakarku mulai mengenai tak hanya raga tapi juga hati para nama-nama yang ku puja dan ku cinta.
.
.
Hari ini, kesabaranku telah menyentuh garis akhir. Hari ini, kesadaranku mulai menguap dan mengerjapkan mata. Tak seharusnya kupasrahkan tali kekang pada makhluk peliharaanku sendiri. Engkau tak seharusnya menapaki garis batas dan mengetes lebih kesabaranku. Aku telah berputus asa, karena terlalu lama membiarkan diri ini menelan kecewa, karena terlalu lama membiarkan diri ini berprasangka. Aku telah berputus asa, karena hampir saja atau mungkin telah dalam separo jalan membuat Ari terluka dan memaksanya harus memilih di antara dua. Andai bisa kubicarakan ini dengan gamblang. Bahwa selalu ada satu masa dimana aku akan merasa malu akan semua yang pernah kulakukan dan kuucapkan. Andai bisa ku jelaskan bahwa aku tak ingin membusuk bersama makhluk peliharaanku yang sialnya terlalu enggan untuk menjauhi raga ini. Dan kepada sebuah nama yang mendasari pernyataan ini tercipta. Ia menjadi perantara dan menjadi pintu bagi kedatanganku. Kata maaf mungkin tak akan berarti apa-apa, aku hanya ingin ia mengerti dengan siapa ia tengah berdiri, dan siapa pula yang telah ia ciptakan dari separo darah dan nyawanya.
.
.
.
Engkau telah melihat semuanya bukan ? Aku telah menjadi apa yang selama ini kau ingini, aku mengeraskan tak hanya kepala tapi juga hatiku, aku berprasangka, aku mulai menimbang demi bisa menemukan adanya ketimpangan, aku menekan kuat-kuat hulu retina agar tak menjatuhkan air beningnya, aku kecewa, dan aku selalu mengakui diri sebagai keturunan dewa. Apalagi yang perlu kujelaskan sekarang ? Namaku telah hancur dalam 5000 karakter kali ini. Tak ada si bijak yang akan menyalakan lilin ajaibnya. Tak ada si ceria yang tak pernah merasakan ketidak bahagiaan. Engkau puas sekarang ? Jadi kali ini, di kesempatan yang sesejuk ini, mari kita berjabat tangan. Jangan seperti pengecut yang akan selalu berdiri di belakang dan membuntutiku, memanfaatkan terik matahari untuk menyembunyikan diri atau justru membuatku menghilang. Jangan menjadi pengecut sayang, pandanglah diriku dan lihat betapa keputus asaan telah melenyapkan semuanya dari wajahku. Senyumku terasa menghambar, hanya karena air mata yang terlalu lama menggenang permukaan. Jadi sayang, bisakah kita saling melepaskan ? Aku lelah mengasuh sekaligus menjadi pengikutmu. Aku lelah mencari pemenangan yang seharusnya memang tak ada.
.
Ketika Hara besar nanti, aku ingin ia mengerti dan memahami bahwa Ibuny bukan sosok yang tepat untuk di idolai, aku merasa cacat untuk separo ragaku yang di tali kekang oleh musuhku. Musuh yang dulu ku anggap sebagai kawan, dan pernah pula kuangkat ia sebagai makhluk peliharaan yang ku elu dan ku sayang.

Rabu, 12 Juli 2017

Baret Dan Lebam

Tiga, mungkin empat, atau malah kita memang tidak pernah saling bertegur sapa ? Tapi baret dan luka itu terlihat nyata. Atau memang lagi-lagi aku mengalami sindrom yang bernama jatuh cinta sendiri ?
Yang aku tahu hari-hari bersamamu terlewati dengan begitu indahnya. Namamu tidak terlalu sulit untuk di sandingkan dengan cinta, karena memang kenyamanan yang kau tawarkan sebanding dengan seceruk sumber air di gurun sahara. Aku tidak tahu pastinya, gurun sahara itu memang eksis dalam peta dunia atau hanya ada dalam dongeng saja. Tapi tetap saja, namamu akan terlalu tinggi jika di paksa di pajang diujung hati. Namamu selalu di rindukan, begitu juga dengan kenakalan-kenakalanmu yang kadang berada di luar nalar. Kenapa aku bisa terjebak dalam permainan menyakitkanmu ? Ini bukan kiasan, aku memang merasakan sakit yang nyata ketika harus berada di dekatmu. Baret, memar adalah hal lumrah yang entah kenapa justru terasa lucu dan menggemaskan. Lagi-lagi aku curiga tengah menderita sindrom jatuh cinta sendiri. Bahayakah ? Tidak, karena hatiku sudah terlatih patah hati. Dan bukan hanya sekali aku pernah melewati masa-masa ini. Karena si cicak, si zebra, si tinta pernah berada di dalamnya.
.
.
Dear si pemilik nama pada abjad kedua, bersamamu membangkitkan lagi jiwa patriot yang selalu tumbuh dalam jiwa manusia-manusia terlalu muda. Aku tertawa. Aku melupakan dunia. Aku sakit. Aku terluka. Dan aku bahagia. Seperti yang pernah kukatakan sebelumnya, namamu tak akan terlalu sulit untuk bersanding dengan cinta, terlebih rindu, karena jujur saja kepalaku masih memutar ingatan tentang bagaimana baret dan semua lebam itu tercipta. Aku merindukan masa dimana aku bisa melupakan dunia, lalu menangis dan kemudian tertawa. Paket komplit yang jarang di suguhkan oleh siapapun nama di dunia. Hanya rindu saja, karena aku tidak bisa membayangkan lebih tentang apa yang akan terjadi jika memang benar-benar ada cinta di antara kita. Dua manusia dengan kenakalan di ambang batas, yang memiliki hobi sama yakni menggoreskan baret dan lebam di tubuh manusia. Dan cinta ? Siapa dia ?
.
.
Aku tidak pernah tahu jika namamu akan sesulit ini untuk ku bahasakan. Lihat ? Aku tak menghasilkan apa-apa selain paragraf konyol ini. Tujuh, hampir tujuh mungkin, namamu hilir mudik dalam padatnya lalu lintas kepalaku dalam jangkauan tahun tersebut. Tidak layakkah jika kerinduanku di golongkan pada nama cinta ? Tapi untuk apa ? Di jadikan pajangan, bahwa aku si konyol ini ternyata memiliki nama idaman untuk yang kesekian ? Hubungan ini telah lama berakhir sebenarnya. Sama sekali murni berakhir tanpa terselip nama cinta yang terbawa ke masa mendatang. Tapi aku tak bisa berhenti untuk ingin mengetahui, siapa sebenarnya si pemenang itu, sudah adakah ? Atau mungkin kau homo ? Jenis seperti apakah yang berhasil menaklukkan makhluk sepertimu ? Berapa beruntungnya ia, atau mungkin kesialan baginya ? Karena mendapatkan makhluk sepertimu ?
.
Tenang kawan. Sekalipun kita tak pernah lagi saling bicara. Sekalipun bahasa terakrab yang pernah mengikat kita hanyalah baret dan lebam menggemaskan itu, aku mengerti siapa dirimu. Aku pernah terpesona dan hampir ingin membuntuti kehidupan pribadimu. Apa aku terdeteksi tengah jatuh cinta ? Hampir dan itu semua sudah berlalu bukan ?
.
Namamu tak pernah cocok untuk di sandingkan dengan kata suami idaman. Tapi percayalah, namamu akan sangat tepat jika disandingkan dengan kata sahabat. Aku bahkan akan rela jika harus menukar semua temanku demi seorang kau untuk menemani di sepanjang masa tuaku. Tak apa jika harus kudapati lagi baret dan lebam menggemaskan itu, keduanya tak akan sebanding jika harus kutukar dengan kenikmatan akan kenyataan bahwa aku bisa melupakan dunia di masa-masa senja yang erat dengan kepasrahan. Denganmu kutemukan semangat hidup yang terus menggebu dan meminta peluapan. Enam, atau mungkin tujuh. Berapa lama sebenarnya kita telah terpisah ? Kenapa baret itu masih begitu nyata ? Aku mungkin gila, atau mungkin salah satu kenakalanmu di masa lalu telah melengserkan sedikit kewarasanku. Kenyamanan bukankah sesuatu yang tak bisa di buat dan di paksa ? Dan kenyataan bahwa namamu dan namaku pernah menjadi selengket bekas permen karet yang menempel di antara semak rambut, sedikit membuatku tercengang. Kenapa kita hanya harus bertemu dalam waktu yang berkurun sedikit itu ? Kenapa kita harus menemui kata perpisahan ? Bukankah kata satu itu tak layak bersanding dengan manusia yang sanggup melupakan apa itu dunia ? Tak apa, sama sekali tak apa jika hitungan itu hanya sampai pada angka tujuh atau enam. Karena pada kenyataannya. Kita hidup dalam memori masing-masing bak memori usang selama bertahun-tahun setelahnya. Apa aku terlalu percaya diri dengan mengatakan bayanganku pun masih hidup dalam kepalamu sampai sekarang ? Bukankah sudah kukatakan bahwa aku mengenalmu ? Aku melihatmu, dan membaca matamu. Jika baret dan lebam saja tak sungkan untuk kau toreh di atas tubuhku, kenapa tidak dengan cerita tentang siapa dirimu. Sekian.

Selasa, 11 Juli 2017

Paragraf Manis

Hari-hari terakhir masa jabatku di dunia terlewati dengan sangat manis dan menggigit. Melalui jari-jemari dengan kulit yang kian mengeriut ini, aku telah melukis banyak cerita. Bersama nama yang menua dan memikun bersama. Sebuah nama yang 50 tahun lalu pernah dan tak hanya sekali kuragukan perasaan juga besar cintanya. Sebuah nama yang rela bertahan pada satu jalan cerita dengan begitu telatennya.
.
Aku tak pernah menyangka jika hari ini akhirnya datang juga. Masa di mana aku akan rela menyembah syukur kepada Sang Pencipta untuk sebuah akhir yang datang menjemput. Bukan secara tiba-tiba, tapi dengan sukarela. Ya. Apalagi yang perlu kutawar dan kuminta dari Sang Pencipta ? Ketika Ia telah memberiku dunia penuh bahagia. Ketika Ia telah dengan sangat berbaik hati menyandingkanku dengan lelaki yang begitu telaten menuntunku, dengan lelaki yang begitu sabar menjemputku pada kedewasaan. Lelaki yang sekarang tengah terlelap di atas ranjang kebesarannya dengan taburan buku di pangkuan. Aku sama sekali tak menyangka, jika ternyata kebiasaanku membawa buku di atas ranjang akan menularinya. Tapi aku sangat berbahagia untuk kebiasaannya yang satu itu. Lelakiku terlihat begitu tampan dan manis ketika tengah berkutat dengan bacaannya. Sekalipun dengan uban yang memenuhi hampir seluruh batok kepala, dan juga gelambir-gelambir di wajahnya. Sama sekali tak mengurangi ketampanan yang di milikinya. Jangan bertanya berapa usia kami sekarang, dengarlah keluar, celoteh anak kecil begitu rame terdengar. Itu cucu-cucuku. Penerus kami.
.
.
Bukankah kami pasangan yang begitu sempurna ? Aku adalah seorang penulis, dan tetap demikian hingga umurku yang kesekian dan dengan rambut penuh uban. Lelakiku adalah pembaca yang baik dan setia. Dia adalah yang pertama, dan selalu, yang membaca dan mengetahui apa yang kiranya akan ku bagi kepada para pembacaku yang selalu menanti. Dia adalah editor pribadi, yang akan menyaring dan memilah apapun untuk memilik kelayakan edar. Bukankah kami pasangan yang sempurna ? Di usia kami yang sudah menginjak senja, kami tetap mesra dalam menelurkan banyak karya. Lalu apalagi yang perlu kuminta ? Bahkan jika kontrak hidupku di dunia berakhir hari ini pun aku bersedia. Lelakiku tak pernah suka jika aku mulai berkata tentang perpisahan. Terlebih yang menyangkut perbedaan dunia. Seakan ia tak pernah rela jika aku atau dia harus terpisah sementara oleh helaan napas. Seakan detak nadi akan memutus pula rasa kasihku jika ternyata ia harus berhenti berdetak. Satu yang terus kurutuki dan kumaki keberadaannya, adalah kenyataan bahwa ia terlalu mencintaiku lebih dari sewajarnya. Apa ini terdengar berlebihan ? Semoga saja tidak, karena memang aku menulis apa yang pernah kutapaki dan kurasakan.
.
.
Dulu, dulu sekali, entah pada putaran umur yang keberapa, aku hanya mengingat kilas kejadian dan bukan waktunya. Masa-masa terberat dalam pernikahan kami. Tak pernah ada pertengkaran yang terjadi, karena memang aku yang selalu memulai dan terus berusaha memprovokasi. Saat itu aku masih berpikir seperti anak dengan umur 6 tahun, yang akan takut jika miliknya di minati orang lain, yang akan takut jika harus berbagi dengan orang lain. Aku terlalu kekanakan dalam memaknai kata cinta dan pernikahan. Aku terlalu kekanakan dalam menyikapi semuanya, tanpa sadar jika justru ketakutan dan rasa mengekangku yang akan merenggangkan hampir memutus segalanya. Satu-satunya yang terbaik yang pernah kuterima adalah rasa sabar yang dimiliki oleh lelakiku. Hari-hari manis dan indah yang kunikmati pada masa berubanku adalah buah tangan terbaik yang pernah di berikan olehnya. Aku tidak ingin berandai-andai, karena itu hanya akan mengotori paragraf manisku kali ini. Aku hanya tak pernah bisa berhenti mengucap syukur karena telah bersanding dengannya, menemani dalam suka dukanya. Sesekali pula aku bersyukur karena pada masanya dulu, aku pernah patah hati pada sebuah nama. Nama yang telah melegenda pada banyak judul di dalam rumah kesayanganku ini.
.
Benar jika ada yang berkata, masa tua adalah masa untuk berbahagia dan berdoa. Karena telah kuhabiskan hampir separuh hidupku untuk keduanya, berbahagia bersamanya juga keturunan kami, dan berdoa untuk kelenturan cinta yang sanggup menelusuri hati anak-anak kami. Aku tidak ingin anak-anakku menuruni kepala batuku, aku tidak ingin mereka telat menyadari limpahan kasih dari pasangan masing-masing, sama sepertiku. Hampir seperenam perjalanan hidupku terbuang sia-sia, hanya untuk mengekori rasa kecewa, rasa sedih dan curiga. Aku membuang waktuku yang berharga. Sesuatu yang dulu sangat eksis dalam paragraf panjangku.
.
.
.
Gelap tetaplah teman, bahkan hingga umur senjaku menjelang. Ceritaku tak akan berakhir di sini, hari ini. Anak-anakku akan membaca dan menelusuri semua yang pernah tertuang di dalamnya. Dan ketika hari itu tiba. Satu yang pasti, aku tak ingin mereka mengutukku karena pernah hampir menyia-nyiakan pasangan hidup sesempurna ayah mereka. Itu saja.

Sabtu, 01 Juli 2017

Si Buta Pemaksa

Dua tahun. Dan kami berjalan seakrab jembatan dan sungai di bawahnya. Sekalipun beberapa orang mulai bertanya kenapa kami selalu baik-baik saja. Tak ada yang pernah bisa terjelaskan. Karena aku telah menelan semuanya dalam diam. Rakus adalah pesan terakhir yang bisa ku saring dari semua petuah yang keluar dari mulut pendahuluku. Tak peduli seberapa banyakpun mereka, aku hanya perlu menelan dan dengan rakus menghabiskan semuanya.
.
Beberapa dari kalian mungkin akan bertanya tentang apa dan kenapa. Yaa..aku baik-baik saja. Dan beberapa dari kalian juga telah benar dalam menebaknya. Ini adalah tentang Ari. Bukan Ari si pengacau itu. Tapi ini adalah Ari lain yang keberadaannya tepat selalu di belakang Ari yang kupuja dan kusukai. Yang tanpanya, Ari favoritku hanyalah makhluk mati dan tak berguna.
.
Dua tahun. Dan aku menelan semuanya dalam diam. Kekakuan. Perlakuan timpangnya. Dingin dan juga panasnya yang membakar. Aku kehilangan diriku yang sebenarnya. Bersamanya, membangunkan lagi rasa kaku, dan juga kupu-kupu di dalam perut yang keberadaannya setara dengan kegugupan yang nyata. Dua tahun, dan aku terus bertahan untuk pura-pura. Demi Ari lain.
.
Dua tahun. Dua dan bukan satu. Aku menimbun duka di dalamnya. Sesuatu yang tak akan sudi ku bagi dengan Ari atau Ari yang lain. Agar semua tetap terlihat baik-baik saja. Muntahanku hanya tercecer di sepanjang beranda rumah ini. Tempat yang semua sisinya adalah ruang pribadi, dan sekalipun tak ada ranjang atau sofa di sini, aku telah merasakan kenyamanan yang pas untuk bersandar.
.
Apa aku sedikit membingungkan ? Atau mengkhawatirkan ? Tidak, jangan sebut bahwa aku ini terlihat seperti sesuatu yang membutuhkan dekap kasihan. Karena aku benci rasa kasihan. Terlalu benci, hingga kadang, pada satu titik aku merasa diriku ini memiliki gangguan semacam mati rasa yang tak terdeteksi.
.
Dua tahun. Jika saja perlu ku rinci semuanya, maka kurasa tempat inilah yang paling aman untuk pertama mengetahuinya. Tidak ada yang pernah tahu, kerikil apa saja dan berapa banyak yang pernah kutelan sebelumnya. Tak ada yang tahu, dan tidak pula kali ini, termasuk Ari dan Ari yang lain. Lambungku mungkin tidak hanya baret karena adanya kerikil-kerikil itu. Aku bahkan sempat mengira beberapa organ pengusungnya ada yang berhenti, menyerah untuk mengoperasikan diri. Karena memang, gejala-gejalanya pernah kurasakan dan karenanya hampir saja membuatku kehilangan waras yang sialnya hanya bersisa separo dari jumlah sewajarnya. Anak kecil, adalah salah satu jenis yang ku benci keberadaannya di dunia ini. Karena apa ? Mereka polos. Mereka menangis. Mereka tertawa. Mereka putih. Mereka berisik. Mereka manja. Mereka berbelas kasih. Dan yang terpenting dari semuanya, mereka bergantung pada satu atau beberapa tiang penyangga. Dua tahun, dan aku berusaha merubah diriku menjadi sesuatu yang ku benci itu. Semua remeh yang selama ini kuhindari jauh-jauh dari hidupku, mendadak menempel seperti magnet yang bertemu lawan jenisnya. Dan memang benar bahwa Ari adalah lawan jenis. Aku masih perempuan, kan ?
.
Aku berpura-pura lemah. Berpura-pura polos. Berpura-pura tertawa. Berpura-pura menangis. Berpura-pura berisik. Berpura-pura berbelas kasih. Dan yang paling menjijikan dari semuanya adalah bahwa aku memaksakan diri untuk terlihat seperti tuna netra yang hendak menyeberang jalan. Buta dan butuh bantuan. Demi Merlin yang namanya sangat eksis dalam sejarah novel bertema sihir. Aku benar-benar amnesia ! Aku tidak lupa siapa namaku, dan warna apa favoritku. Tapi aku lupa siapa sebenarnya diriku yang dua tahun ini bersanding bersama Ari. Jenis amnesia apakah ini ?
.
Aku dulu bukan dan tidak seperti ini. Sepanjang yang bisa ku ingat, aku diam, aku kuat, aku terbang. Aku..aku tidak bahagia.
Dua tahun ini, tidak lantas membawa perubahan yang menyenangkan. Karena jujur saja. Aku mulai lelah untuk berpura-pura. Aku lelah menjadi nama lain yang nantinya justru akan membuat Ari yang lain bahagia dan semuanya akan tetap terlihat baik-baik saja. Satu pertanyaan yang terus muncul selama dua tahun belakangan ini. Dua dan bukan satu. Apakah aku bahagia ? Aku benar-benar merasa seperti tuna netra yang memaksakan diri hendak menyeberang jalan. Lalu ketika takdir membawa si buta ini ke sisi jalan yang lain, langit tetiba saja menuangkan air yang di kandungnya dalam ukuran giga. Membuatku kelimpungan untuk menentukan kemana sebenarnya kaki harus melangkah, dan haruskah aku mengucap syukur atau merutuk yang tertuju kepada entah siapa. Ari yang lain telah mencemplungkanku dalam kebingungan. Aku kehilangan nama, sekalipun masih bisa kulafalkan namaku diluar kepala. Dua tahun. Dua dan bukan satu. Yang telah merubahku menjadi manusia super peka. Dan super-super yang lainnya. Haruskah aku menangisi kepura-puraan yang melelahkan ini ? Atau justru berterimakasih ? Sekali lagi si buta ini menghadapi masalah terbesarnya. Aku perlu melihat. Kembali melihat seperti yang kulakukan sebelum dua tahun ini datang. Agar aku tak membutuhkan uluran.