Sabtu, 01 Juli 2017

Si Buta Pemaksa

Dua tahun. Dan kami berjalan seakrab jembatan dan sungai di bawahnya. Sekalipun beberapa orang mulai bertanya kenapa kami selalu baik-baik saja. Tak ada yang pernah bisa terjelaskan. Karena aku telah menelan semuanya dalam diam. Rakus adalah pesan terakhir yang bisa ku saring dari semua petuah yang keluar dari mulut pendahuluku. Tak peduli seberapa banyakpun mereka, aku hanya perlu menelan dan dengan rakus menghabiskan semuanya.
.
Beberapa dari kalian mungkin akan bertanya tentang apa dan kenapa. Yaa..aku baik-baik saja. Dan beberapa dari kalian juga telah benar dalam menebaknya. Ini adalah tentang Ari. Bukan Ari si pengacau itu. Tapi ini adalah Ari lain yang keberadaannya tepat selalu di belakang Ari yang kupuja dan kusukai. Yang tanpanya, Ari favoritku hanyalah makhluk mati dan tak berguna.
.
Dua tahun. Dan aku menelan semuanya dalam diam. Kekakuan. Perlakuan timpangnya. Dingin dan juga panasnya yang membakar. Aku kehilangan diriku yang sebenarnya. Bersamanya, membangunkan lagi rasa kaku, dan juga kupu-kupu di dalam perut yang keberadaannya setara dengan kegugupan yang nyata. Dua tahun, dan aku terus bertahan untuk pura-pura. Demi Ari lain.
.
Dua tahun. Dua dan bukan satu. Aku menimbun duka di dalamnya. Sesuatu yang tak akan sudi ku bagi dengan Ari atau Ari yang lain. Agar semua tetap terlihat baik-baik saja. Muntahanku hanya tercecer di sepanjang beranda rumah ini. Tempat yang semua sisinya adalah ruang pribadi, dan sekalipun tak ada ranjang atau sofa di sini, aku telah merasakan kenyamanan yang pas untuk bersandar.
.
Apa aku sedikit membingungkan ? Atau mengkhawatirkan ? Tidak, jangan sebut bahwa aku ini terlihat seperti sesuatu yang membutuhkan dekap kasihan. Karena aku benci rasa kasihan. Terlalu benci, hingga kadang, pada satu titik aku merasa diriku ini memiliki gangguan semacam mati rasa yang tak terdeteksi.
.
Dua tahun. Jika saja perlu ku rinci semuanya, maka kurasa tempat inilah yang paling aman untuk pertama mengetahuinya. Tidak ada yang pernah tahu, kerikil apa saja dan berapa banyak yang pernah kutelan sebelumnya. Tak ada yang tahu, dan tidak pula kali ini, termasuk Ari dan Ari yang lain. Lambungku mungkin tidak hanya baret karena adanya kerikil-kerikil itu. Aku bahkan sempat mengira beberapa organ pengusungnya ada yang berhenti, menyerah untuk mengoperasikan diri. Karena memang, gejala-gejalanya pernah kurasakan dan karenanya hampir saja membuatku kehilangan waras yang sialnya hanya bersisa separo dari jumlah sewajarnya. Anak kecil, adalah salah satu jenis yang ku benci keberadaannya di dunia ini. Karena apa ? Mereka polos. Mereka menangis. Mereka tertawa. Mereka putih. Mereka berisik. Mereka manja. Mereka berbelas kasih. Dan yang terpenting dari semuanya, mereka bergantung pada satu atau beberapa tiang penyangga. Dua tahun, dan aku berusaha merubah diriku menjadi sesuatu yang ku benci itu. Semua remeh yang selama ini kuhindari jauh-jauh dari hidupku, mendadak menempel seperti magnet yang bertemu lawan jenisnya. Dan memang benar bahwa Ari adalah lawan jenis. Aku masih perempuan, kan ?
.
Aku berpura-pura lemah. Berpura-pura polos. Berpura-pura tertawa. Berpura-pura menangis. Berpura-pura berisik. Berpura-pura berbelas kasih. Dan yang paling menjijikan dari semuanya adalah bahwa aku memaksakan diri untuk terlihat seperti tuna netra yang hendak menyeberang jalan. Buta dan butuh bantuan. Demi Merlin yang namanya sangat eksis dalam sejarah novel bertema sihir. Aku benar-benar amnesia ! Aku tidak lupa siapa namaku, dan warna apa favoritku. Tapi aku lupa siapa sebenarnya diriku yang dua tahun ini bersanding bersama Ari. Jenis amnesia apakah ini ?
.
Aku dulu bukan dan tidak seperti ini. Sepanjang yang bisa ku ingat, aku diam, aku kuat, aku terbang. Aku..aku tidak bahagia.
Dua tahun ini, tidak lantas membawa perubahan yang menyenangkan. Karena jujur saja. Aku mulai lelah untuk berpura-pura. Aku lelah menjadi nama lain yang nantinya justru akan membuat Ari yang lain bahagia dan semuanya akan tetap terlihat baik-baik saja. Satu pertanyaan yang terus muncul selama dua tahun belakangan ini. Dua dan bukan satu. Apakah aku bahagia ? Aku benar-benar merasa seperti tuna netra yang memaksakan diri hendak menyeberang jalan. Lalu ketika takdir membawa si buta ini ke sisi jalan yang lain, langit tetiba saja menuangkan air yang di kandungnya dalam ukuran giga. Membuatku kelimpungan untuk menentukan kemana sebenarnya kaki harus melangkah, dan haruskah aku mengucap syukur atau merutuk yang tertuju kepada entah siapa. Ari yang lain telah mencemplungkanku dalam kebingungan. Aku kehilangan nama, sekalipun masih bisa kulafalkan namaku diluar kepala. Dua tahun. Dua dan bukan satu. Yang telah merubahku menjadi manusia super peka. Dan super-super yang lainnya. Haruskah aku menangisi kepura-puraan yang melelahkan ini ? Atau justru berterimakasih ? Sekali lagi si buta ini menghadapi masalah terbesarnya. Aku perlu melihat. Kembali melihat seperti yang kulakukan sebelum dua tahun ini datang. Agar aku tak membutuhkan uluran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar