Rabu, 16 Agustus 2017

Wajah Yang Lain

Aku kembali lagi kesana. Setelah berhari-hari pergi meninggalkannya. Sebuah tempat yang tak pernah kutahu itu di mana. Bersama orang-orang yang tak asing dan lagipun mereka memang tengah beririsan denganku secara nyata selama beberapa hari terakhir. Dengan kekuatan yang teramat mustahal untuk kumiliki namun tak bisa menyangkal bahwa aku memang menyimpannya. Kami berenam, atau mungkin berempat, tak lagi jelas menyoal hitungan yang tepat. Yang pasti kami adalah sekumpulan orang-orang yang terlempar. Sekumpulan orang-orang yang keluar dari perimeter dengan bukan tanpa alasan. Rasanya menyenangkan mengetahui bahwa aku tidak sendirian. Berada dalam dunia yang tak kukenal dan kami mulai berjalan menuju..mungkin pulang.
.
Disana, beberapa wajah tak dapat kukenali dengan pasti. Tapi bisa sangat kupastikan bahwa hati mereka tak asing dan pernah kukenal. Yang satu seorang laki-laki berwajah asing dengan hati yang ku kenal. Sementara yang lain adalah sebuah wajah yang tak hanya kukenal tapi juga merupakan bagian nyata dalam dunia nyataku. Sisa-sisa wajah di sana, adalah sosok yang tak pernah kutahu dan tak pernah kulihat sebelumnya. Berparas cantik, gagah dan tampan, tapi sayang mereka hanya manusia biasa dengan jiwa mengenaskan, yang kutahu itu setelah beberapa kali berpapasan dan kemudian mereka mulai menunjukkan jati dirinya tak lama setelah kami yang berempat atau berenam ini pergi. Dan yang terakhir. Wajah tak asing yang melatari kenapa tulisan ini tercipta. Bahkan setelah separo sesi tidur malam terlewati. Dan wajah itu telah datang kepadaku dua kali dalam kurun waktu mungkin satu minggu terakhir ini. Wajah yang tak mungkin kulupa bagaimana ekspresinya ketika mencoba menjegal pergerakan kakiku untuk menjejak tanah sebelum akhirnya terbang. Aku menemukan diriku yang tak kukenali di tempat asing itu. Dan. Ya! Aku terbang! Bukankah pernah kukatakan sebelumnya bahwa aku memiliki kekuatan yang diriku sendiri tak tahu bahwa telah menyimpannya. Terbang. Aku bukan satu-satunya. Orang-orang yang terlempar dari perimeter pun memiliki kekuatan yang sama. Hanya kami saja. Berempat atau berenam, karena memang disana hitungan terlihat seperti kasat mata.
.
.
Mungkin sebagian dari kalian akan mengerutkan kening demi memahami ketikan dalam separo lebih malam ini. Ya, akupun demikian halnya. Nafasku begitu terengah-engah ketika baru saja terlempar dari tempat itu. Setelah beberapa waktu lalu berhasil membuat diriku yang lain- namun dengan jiwa yang tak kukenali meringkuk kalah dengan wajah memar dan hidung teraliri darah. Siapa dia ? Aku yang lain itu, kenapa begitu inginnya menjegal langkahku untuk terbang bersama orang-orang yang terlempar dari perimeter dan hendak pulang. Aku menyimpan dengan erat ekspresi itu. Wajah terengah penuh luka dengan ringis kesakitan yang begitu mendalam. Di tempat yang tak kutahu, dengan bangunan-bangunan tinggi menjulang, aku menemukan diriku yang lain tengah berusaha menjegal pergerakan langkahku. Namun dalam satu kesempatan setelah perjalanan yang begitu melelahkan, aku berhasil memadu padankan kekuatan melayangku dan hantaman kepalan tangan. Aku berhasil membuat diriku yang lain bersimbah darah dan meringkuk penuh sakit di tanah di bawah sana. Ya, karena setelah pertarungan yang aneh itu, aku berhasil menjejak tanah dengan segera. Aku terhuyung-huyung dalam menjejaki udara tentu saja. Pertarungan itu, entah bagaimana telah menguras tenagaku. Bahkan bisa kurasakan kedua tanganku menggenggam erat atap bangunan tua, agar aku bisa menjejak dengan kuat pergi ke atas sana dan meninggalkan aku yang lain tengah terkapar. Tidak. Sedetik sebelum aku benar-benar menjejak udara untuk mengangkasa lebih tinggi, kusempatkan diri untuk menengok aku yang lain di bawah sana. Memastikan ataukah benaran sosok itu adalah diriku atau bukan. Dan ternyata memang benar. Namun dengan keanehan yang lain, di raut wajahnya, tak kudapati sosok yang beberapa waktu lalu mengerang kesakitan. Luka yang terkopyok jelas dalam bulatan matanya mendadak hilang tergantikan dengan mata yang lebih teduh dan menyenangkan. Lebam itu masih ada, berhias lelehan merah dari kedua lubang hidungnya. Dan wajahnya tersenyum. Demi apapun! Diriku yang lain itu tersenyum kepadaku, setelah meringkuk kesakitan dengan ekspresi wajah yang tak akan pernah kulupakan. Siapa dia ? Benarkah sosok itu adalah aku ?
.
.
Waktuku di tempat asing itu masih dalam separo jalan. Kenapa aku bisa tahu ? Karena aku pernah berada di sana sebelumnya. Bukankah pernah kukatakan di awal ? Dan tentang lelaki asing yang kukenali hatinya, juga wanita tak asing yang memang adalah bagian nyata dalam kehidupanku di dunia. Keduanya seperti cermin yang membuatku linglung setengah mati demi memahami yang mana keaslian dunia ini. Keduanya yang tanpa kuminta telah menjejalkan bekal beserta ketulusan di dalam saku yang lagi-lagi membuatku hampir kehilangan separo kewarasan tersisa untuk memahami yang mana sebenarnya keaslian dunia ini. Kasur yang tengah kutiduri, atau tempat asing itu.

Senin, 14 Agustus 2017

Keajaiban Selanjutnya

Juli telah berlalu setelah berhasil memutar banyak angka penuh makna. Agustus datang dan telah beranjak hingga separo perjalanan. Dan aku bahkan belum menandakan dalam satu judulpun di bulan ini. Entahlah, setiap kali aku ingin mulai untuk menulis, sesuatu seakan membisiki telinga hatiku, "Tidak saat ini." aku bisa apa memangnya ? Sementara memaksa tidak apa pernah menghasilkan apa-apa. Otakku sepertinya tengah dalam upaya istirahat untuk mendeskripsi. Ia bahkan tak membiarkanku untuk berpujangga seperti sebelum-sebelumnya. Keresahan bukannya tidak ada, dia selalu nampak tapi dalam kondisi yang tersamar acak. Dan seperti biasanya, aku selalu sulit untuk bisa menangkap garis merah dari sinyal yang samar dan lemah. Jadilah dalam separo bulan ini, kuhabiskan apapun dengan cara menikmati. Seperti pula negeri ini, aku pun memiliki cerita spesial di bulan ini. Semua orang tahu, sebuah klimaks akan sesuatu yang kusebut penyiksaan diri paling elegan telah terjadi di angka dalam separo bulan ini. Agustus dengan banyaknya rentetan cerita, dan aku terlalu bingung untuk memulainya dari mana. Ari akan menabokku keras-keras jika tahu aku menjadikannya lagi sebagai intisari dari tema kali ini. Aku telah lama mencium aroma keengganan darinya jika menyangkut hal-hal yang berbau puitis dan dramatis. Tapi memang selama ini tulisanku berbumbu seperti itu ? Rasanya tidak, kan ? Entahlah. Tapi keengganan itu tak pernah mau beranjak dari perkiraanku. Mungkin karena aku berekspetasi terlalu tinggi, berharap Ari pun akan bersedia membalas kekagumannya pada diriku dengan cara yang sama, yakni menuangkan dalam ujud cerita. Aku telah salah paham kepadanya untuk angan yang satu itu. Karena Ari adalah Ari. Sebuah nama yang tak akan bisa bersanding dengan kata-kata romantis dan juga bunga. Sebuah nama yang terlalu sulit untuk bersanding dengan cinta. Tapi Ari selalu ada, dan menjaga.
.
Berbicara mengenai Ari akan sulit jika tidak menyinggung keturunannya. Cetak biru dari Ari yang selalu bisa membuatku menggelengkan kepala. Sebuah nama yang dalam satu tahun terakhir telah mematenkan diri untuk menjadi sebuah tema yang konsisten hilir mudir di tempat ini. Hara. Ketika manusia-manusia lain menyambut semburat keemasan di ufuk timur sana dengan berbagai usaha dan perjuangan. Maka aku akan di sibukkan dengan cara yang lain. Yakni mencintai. Aku sibuk mengagumi bayi mungil yang tengah beranjak menjadi gadis kecil milikku. Cetak biru Ari yang begitu cantik dan menggemaskan. Hari-hari terlalui bersamanya dengan sangat menggembirakan. Setiap keajaiban akan jatuh bersamaan dengan gerak-gerik dan tutur kata yang keluar dari mulutnya. Aku tidak sedang berandai dan melebihkan. Karena memang itu nyata adanya. Jiwaku telah terbelah menjadi dua semenjak ia ada. Tapi aku baru benar-benar menyadarinya beberapa waktu belakangan ini. Rasa sakit seperti tercabik saat dulu harus melahirkannya telah terhapus secara perlahan dari ingatan. Waktu bergulir dengan sangat cepat dan Hara adalah sebuah keajaiban. Hadiah terbesar yang pernah kuterima selama keberadaanku di dunia. Ia membuatku berhenti menginginkan. Namun alih-alih membuatku mandek, ia justru membuatku berangan tentang masa depan. Sebuah masa dimana nanti disana yang ada hanyalah cinta. Aku akan memaksa Ari untuk kembali berpujangga, agar dunia tahu betapa menakjubkan perkembangan dari cetak birunya. Aku bahkan kembali berpikir untuk bisa menghadirkan lagi yang seperti Hara. Tentu saja aku akan rela, rela melewati masa tercabik itu lagi, rela membagi lagi jiwa yang hanya tinggal separo ini, rela menghabiskan waktu-waktu menuju tuaku untuk mengurus mereka. Apapun untuk keajaiban yang ke dua. Ari mungkin akan tertawa jika aku mengutarakan niat ini. Tapi tak apa, aku rela di tertawakan olehnya. Karena aku yakin Ari pun memendam niat yang sama, menciptakan keajaiban yang ke dua. Hanya dua. Karena mungkin aku tak akan sanggup lagi untuk membopong bahagia yang terlampau besar jika saja ada keajaiban yang ke tiga, ke empat dan seterusnya. Ari benaran akan menertawakanku setelah ini.
.
Dan untuk rumah ini, kepada pengikut yang hampir selalu ada untuk sekedar mampir atau mengagumi setiap keping sajian. Jangan bertanya kenapa aku tahu bahwa kalian ada. Cukup pahami ini, bahwa aku telah menghabiskan banyak cerita bahkan hampir separo dari satu keutuhan bulat yang pernah terjadi dalam hidupku. Aku berbahagia ? Tentu saja. Rumah ini berperan penting dalam menjagaku agar tidak serta-merta menjadi gila. Endapan sampah yang kutuang tema demi tema adalah proses untuk menjagaku tetap bersih dan sehat. Ya, ketika manusia lain menjaga keduanya dengan cara mandi dan berolah raga, aku cukup dengan menulis. Penghematan besar-besaran bukan ? Kehadiranku di tempat ini mungkin akan semakin menjarang setiap waktunya. Karena seperti yang selalu kukatakan, aku tak bisa menghasilkan tulisan apa-apa ketika tengah berbahagia. Dan aku tengah mengantisipasi hal itu seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan Hara. Sekian.