Kamis, 26 Januari 2017

Penyu Kecil

Pagi menyambut dengan sangat cerahnya. Aroma harum pasir mengundang siapapun untuk menggerakkan kaki, mulai berlari. Hari ini adalah detik pertamaku melihat dunia. Menurut cerita yang pernah ku curi dengar ketika beberapa burung lewat di atas cangkang telurku, bahwa dunia yang kelak kutapaki adalah sesuatu yang menakjubkan. Aku tak tahu akan semenakjubkan apa, sementara selama ini berada dalam dekapan cangkang telur adalah hal terindah yang pernah kutemui. Dan hari ini aku melihatnya, untuk kali pertama betapa mewahnya dunia baruku. Siraman mentari pagi adalah sarapan yang sangat pas, terlebih bersanding dengan debur air asin yang luas menghampar di depan sana. Aku bahagia. Untuk dunia yang belum ku tahu seperti apa isinya. Aku bahagia, karena hari istimewa ini akhirnya mendatangiku. Bersama semangat yang di salurkan lewat debur ombak di depan sana, aku bersiap. Tak akan ada yang bisa menghentikan langkahku. Si penyu kecil di pinggiran pantai, yang menanti masa depannya juga akan seindah mimpi-mimpinya.

Sabtu, 21 Januari 2017

Penyihir Malang

Seorang penyihir tengah dalam masa dukanya. Burung hantu yang selalu ada disampingnya kini telah tiada. Terlahap api yang membakar tidak hanya kandang tapi juga rumah majikannya. Sungguh bukan hari yang baik. Penyihir malang kehilangan segalanya, dari mulai hunian yang nyaman, buku-buku mantra, jubah favorit hingga tongkat sakti yang selama ini menjadi perpanjangan tangannya. Tak ada yang tersisa, bahkan kekuatannya. Duka telah mengisap segala termasuk kebahagiaan yang menjadi sumber dari semua kekuatan sihirnya. Dan burung hantu itu, teramat berharga. Mungkin tak apa jika si api hanya melalap hunian dan barang-barang miliknya. Tapi burung hantu itu, makhluk menggemaskan yang telah ia angkat layaknya seorang anak. Duka itu bersumber darinya. Bukankah tidak ada kata yang bisa menggambarkan sepahit apa duka seorang Ibu ketika harus ditinggalkan anaknya ? Sungguh penyihir malang.

.
.
.
Hari berlalu dan penyihir malang tengah beradaptasi dengan kehidupan barunya. Ia harus berlarian di dalam rumah hampir separo malam untuk mengusir tikus-tikus yang berlarian di lantai dan atap rumahnya. Ia harus menyalakan tungku perapian untuk menghangatkan lagi masakannya sebelum menjadi basi. Ia bahkan harus bersusah payah merakit tangga untuk ia gunakan menutup celah di antara dinding kayunya yang bergeser. Hal-hal kecil yang dulu menurutnya remeh dan jentikan tongkat saktinya selalu bisa membantunya dalam sekejap mata. Dan kini, semuanya tak akan memperbaiki dirinya sendiri tanpa penyihir itu bertindak dan melakukannya. Waktu berlalu dengan sangat hampa, ia tak mau mengingat apa saja hal hilang yang menyangkut burung hantu kesayangannya. Itu hanya akan membuat lukanya kembali terbuka, sekalipun duka lama tak sekalipun beranjak dari tempatnya. Dentang mulut kapak yang beradu dengan kayu adalah salah satu musik tersisa yang kini bisa ia nikmati, keringat tak pernah sederas ketika sebelum ia kehilangan kemampuannya. Dan secara perlahan penyihir malang menikmati jalannya. Benar adanya jika ada pepatah yang berkata bahwa garis hidup manusia sejalan dengan berputarnya bumi ini. Sesuatu yang awalnya terlihat sebagai musibah tak lain dan tak bukan adalah jenis bahagia yang tengah melemparkan sebuah canda. Tuhan memiliki selera humor, dalam ketentuannya, duka adalah jenis masakan baru yang patut dicoba. Setidaknya, itulah yang tengah penyihir malang terapkan dalam pemikirannya. Ketika hidup mulai menyodorkan sepiring luka maka sendoki mereka tanpa menghiraukan rasanya.
.
.
.
Hidup penyihir malang pernah dalam masa emasnya. Apa yang disebut dongeng oleh manusia biasa adalah kehidupan normal yang dijalaninya. Apa yang di sebut keajaiban oleh manusia lainnya adalah hal biasa yang sehari-hari ditelannya. Dan kalimat 'Pada zaman dahulu ' itu bukanlah keterangan waktu yang valid; lalu 'Dikerajaan yang sangat jauh' itu bukan nama tempat yang benar-benar eksis di peta dunia. Kehidupan dongengnya yang overdosis telah berakhir dalam sekejap mata. Menelan semua dalam bara yang berkobar dalam waktu sekian jam saja. Menyisakan sepotong sesal dan beberapa remahan nikmat.
.
Sesal karena penyihir malang lupa menyisakan bahagia barang sejumput saja agar setidaknya ia masih punya kekuatan untuk mengembalikan tongkat sihirnya. Sesal karena ketika kehidupan dongengnya masih berjalan ia terlalu malas untuk menikmatinya. Sesal untuk beberapa kenangan berharga yang lupa ia mantrai agar tak membasi di dalam kepala. Sesal untuk kehidupan dongeng yang lupa ia rekam sebelum api menyambar.
Bunyi mulut kapak yang beradu dengan kulit kayu bukanlah lagi satu-satunya musik yang tersisa. Karena kini penyihir malang menyadari hal baru, sesuatu yang melebihi kecanggihan bola kristalnya, sesuatu yang melebihi kekuatan tongkat sihir kesayangannya. Yakni intuisinya sebagai seorang manusia. Ia seperti menemukan tombol untuk menarikan semua termasuk udara. Tubuhnya mengerti apa yang ia perintahkan. Niatnya menggerakan segalanya. Dan alam sekitar perlahan bersinkron dengan raga dan juga jiwanya.
.
Api memiliki cara tersendiri untuk menumpahkan hasratnya, bara memiliki gerak favorit untuk menemukan puncak menyalanya. Dan penyihir malang membutuhkan sebuah tamparan untuk memahami suatu hal. Kehidupan dongeng yang dulu ia sampahkan mendadak memiliki fungsi. Remahan nikmat itu adalah jenis syukur yang dulu lup ia panjatkan. Remahan nikmat itu adalah jenis keajaiban yang meletuskan diri menjadi sekecil dan sebanyak percikan kembang api. Remahan nikmat itu adalah paragraf ini. Tulisanku tidak akan tercipta tanpa lebih dulu ada ledakan api. Dan nasibku semalang penyihir satu itu. Yang tengah memunguti pelajaran dari setiap ada ledakan. Penyihir itu lebih beruntung hanya melewati satu kebakaran kendati karena itu ia harus merelakan segalanya. Aku berkali-kali mengalami. Api itu sering menyapaku. Namun aku tak pernah sadar, jikalau api datang membawa sebuah pengajaran agar aku bisa lebih mengerti dan bersabar. Dua makhluk malang. Si penyihir malang dan satunya manusia gagal.

Minggu, 01 Januari 2017

Si Ratu Tak Tahu Diri

Hari ini aku melakukan kesalahan, yakni dengan membiarkan Ari mendengar keluhan tentang betapa lelahnya menjadi seorang Ibu. Gelar yang baru kusandang sekitaran tiga bulan yang lalu. Aku masih ingat bagaimana riangnya dulu ketika dipagi hari melihat tanda strip di alat pengecek kehamilan. Sesuatu telah datang, sesuatu yang sangat dinantikan oleh Ari dan bukan olehku. Pagi itu aku berbahagia karena berhasil memberikan satu alasan untuk Ari merasa bahagia. Ia telah lama mendamba, sementara aku..responku sewarna abu yang teronggok didepan tungku. Siapkah aku ?
Hari-hari terlalui dengan semangat baru. Dan mau tidak mau aku ikut mengantisipasi jenis kebahagiaan apa yang tengah menanti. Ari melunakkan diri, menjadi abdi yang siap melayani kapanpun aku memanggilnya. Awalnya terasa aneh, tapi kemudian aku menikmati..kapan lagi bisa mendapat kesempatan diperlakukan sebagai ratu ? Dan Ari begitu teliti terhadap segalanya. Ia memberi porsi lebih dalam setiap aspek yang jujur saja, hal itu justru menjadikanku si ratu kurang ajar dan tak tahu diri. Di kesempatan yang lain ingin rasanya aku memeluk Ari untuk menuntaskan rasa bersyukurku karena memiliki kesempatan begitu dimanja olehnya. Ari menularkan bahagianya.
.
Hari kelahiran merupakan malam terkompleks yang pernah aku dan Ari lalui. Aku tidak pernah melihat Ari sesigap itu, aku tidak pernah melihat Ari sepanik itu. Dan perasaan melahirkan tentu saja sesuatu yang sangat emosional untuk diceritakan. Tak ada sakit dan bahagia yang pernah terlalui dengan sebegitu dramatisnya selain malam itu. Bukan lagi tangis yang mengiringi melainkan pasrah yang menemani. Aku menyerahkan semua kepada pembuatku. Sekalipun berpisah dari Ari adalah sesuatu yang tak akan pernah tersiapkan sampai kapanpun, tapi malam itu aku telah merelakan. Lagi-lagi Ari dengan begitu telaten menemani detik-detik menegangkan itu. Kueratkan genggaman tanganku, dan ia membalasnya dengan berlipat lagi mengeratkan genggamannya. Malam itu kami sama-sama menguatkan.
Dalam kepasrahan total, tak sedikitpun kutangkap ragu dari bola mata Ari. Keyakinannya telah ikut mengeluarkan kepala si kecil untuk segera melihat dunia. Di penghujung perjuangan lagi-lagi perasaanku terkopyok ketika melihat Ari begitu bahagia. Ia tak pernah terlihat sebahagia itu sebelumnya. Pertanyaan yang dulu pernah ada terjawab sudah. Aku belum siap. Aku belum siap. Bahagia datang bak air bah di tengah kerontang. Aku tak bisa berenang, aku takut tenggelam. Bersyukur Ari ada untuk berbagi nafas ketika air bah itu benar-benar mengguyur. Tak ada kata yang ingin ku ucap saat itu selain memberikan sebuah pelukan dan satu sisipan kata maaf, untuk Ari karena telah berani menyalah gunakan kekuasaan sebagai ratu dimasa-masa setelah pernikahan dan masa kehamilan dulu. Bahagia merubah Ari menjadi manusia tanpa tulang. Dari abdi yang siap melayani, menjadi abdi yang bersiap pula untuk mati. Ia rela menanggalkan segalanya, keegoisannya, rasa malas dan juga jijiknya. Sesuatu yang hingga hari ini terpatri kuat diingatan sebagai lonceng agar aku tetap ingat bahwa Ari adalah anugerah yang patut disyukuri keberadaannya.
.
.
Melihat kesigapan Ari dan juga ketulusannya mengabdi, membuat ratu tak tahu diri ini mulai memikirkan untuk bersiap diri. Jika Ari saja rela melepas segalanya demi merangkul sebuah bahagia, kenapa aku harus menahan diri untuk tidak terjun ke dalamnya ? Aku harus bersiap. Dan bahagia yang mendera mengepak koper dengan kecepatan ekstra, membuatku bersiap seketika. Dan jawaban tempo lalu berubah hari itu. Aku siap. Untuk Ari yang telah rela terjaga sampai pagi dimalam kelahiran, untuk Ari yang telah rela menundukkan segala rasa juga aroma demi kenyamananku, untuk Ari yang telah bersiap lebih dulu, dan untuk si kecil yang tengah menanti uluran tanganku.
.
.
.
Hari ini, dengan membiarkan Ari mendengar keluhan membuatku merasa sangat buruk. Dimana kesiapan yang dulu pernah kubisikkan melalui ujung malam ? Dimana kesiapan itu ? Jika memang ia ada kenapa hari ini aku masih mengeluh ? Siapkah sebenarnya aku ?
.
Mungkin Ari benaran harus pulang kali ini. Perasaan ini membuncah setiap kali aku mengingatnya. Aku menangis ketika memiliki lagi kesempatan untuk mengaduh. Aku harus menuntaskan hutang yang menumpuk semenjak hari kelahiran. Sebuah janji akan pelukan. Dekapan yang kiranya sanggup menyampaikan seluruh rasa hingga remah-remahnya, bahwa aku benar-benar minta maaf untuk kelancanganku memanfaatkan kelunakan hatinya dalam melayaniku, meminta maaf untuk kesiapan yang kupertanyakan kali ini, meminta maaf untuk segala yang pernah melukai dan mengurangi porsi bahagianya. Meminta maaf karena telah mengeluh padanya hari ini. Bahagia telah menamparku, mengingatkan tentang siapa dulu yang telah menularkan perasaan ajaib itu. Ia adalah Ari. Yang malam ini kurongrong kesabarannya lagi, yang malam ini menempatkanku sekali lagi menjadi si ratu tak tahu diri.