Minggu, 01 Januari 2017

Si Ratu Tak Tahu Diri

Hari ini aku melakukan kesalahan, yakni dengan membiarkan Ari mendengar keluhan tentang betapa lelahnya menjadi seorang Ibu. Gelar yang baru kusandang sekitaran tiga bulan yang lalu. Aku masih ingat bagaimana riangnya dulu ketika dipagi hari melihat tanda strip di alat pengecek kehamilan. Sesuatu telah datang, sesuatu yang sangat dinantikan oleh Ari dan bukan olehku. Pagi itu aku berbahagia karena berhasil memberikan satu alasan untuk Ari merasa bahagia. Ia telah lama mendamba, sementara aku..responku sewarna abu yang teronggok didepan tungku. Siapkah aku ?
Hari-hari terlalui dengan semangat baru. Dan mau tidak mau aku ikut mengantisipasi jenis kebahagiaan apa yang tengah menanti. Ari melunakkan diri, menjadi abdi yang siap melayani kapanpun aku memanggilnya. Awalnya terasa aneh, tapi kemudian aku menikmati..kapan lagi bisa mendapat kesempatan diperlakukan sebagai ratu ? Dan Ari begitu teliti terhadap segalanya. Ia memberi porsi lebih dalam setiap aspek yang jujur saja, hal itu justru menjadikanku si ratu kurang ajar dan tak tahu diri. Di kesempatan yang lain ingin rasanya aku memeluk Ari untuk menuntaskan rasa bersyukurku karena memiliki kesempatan begitu dimanja olehnya. Ari menularkan bahagianya.
.
Hari kelahiran merupakan malam terkompleks yang pernah aku dan Ari lalui. Aku tidak pernah melihat Ari sesigap itu, aku tidak pernah melihat Ari sepanik itu. Dan perasaan melahirkan tentu saja sesuatu yang sangat emosional untuk diceritakan. Tak ada sakit dan bahagia yang pernah terlalui dengan sebegitu dramatisnya selain malam itu. Bukan lagi tangis yang mengiringi melainkan pasrah yang menemani. Aku menyerahkan semua kepada pembuatku. Sekalipun berpisah dari Ari adalah sesuatu yang tak akan pernah tersiapkan sampai kapanpun, tapi malam itu aku telah merelakan. Lagi-lagi Ari dengan begitu telaten menemani detik-detik menegangkan itu. Kueratkan genggaman tanganku, dan ia membalasnya dengan berlipat lagi mengeratkan genggamannya. Malam itu kami sama-sama menguatkan.
Dalam kepasrahan total, tak sedikitpun kutangkap ragu dari bola mata Ari. Keyakinannya telah ikut mengeluarkan kepala si kecil untuk segera melihat dunia. Di penghujung perjuangan lagi-lagi perasaanku terkopyok ketika melihat Ari begitu bahagia. Ia tak pernah terlihat sebahagia itu sebelumnya. Pertanyaan yang dulu pernah ada terjawab sudah. Aku belum siap. Aku belum siap. Bahagia datang bak air bah di tengah kerontang. Aku tak bisa berenang, aku takut tenggelam. Bersyukur Ari ada untuk berbagi nafas ketika air bah itu benar-benar mengguyur. Tak ada kata yang ingin ku ucap saat itu selain memberikan sebuah pelukan dan satu sisipan kata maaf, untuk Ari karena telah berani menyalah gunakan kekuasaan sebagai ratu dimasa-masa setelah pernikahan dan masa kehamilan dulu. Bahagia merubah Ari menjadi manusia tanpa tulang. Dari abdi yang siap melayani, menjadi abdi yang bersiap pula untuk mati. Ia rela menanggalkan segalanya, keegoisannya, rasa malas dan juga jijiknya. Sesuatu yang hingga hari ini terpatri kuat diingatan sebagai lonceng agar aku tetap ingat bahwa Ari adalah anugerah yang patut disyukuri keberadaannya.
.
.
Melihat kesigapan Ari dan juga ketulusannya mengabdi, membuat ratu tak tahu diri ini mulai memikirkan untuk bersiap diri. Jika Ari saja rela melepas segalanya demi merangkul sebuah bahagia, kenapa aku harus menahan diri untuk tidak terjun ke dalamnya ? Aku harus bersiap. Dan bahagia yang mendera mengepak koper dengan kecepatan ekstra, membuatku bersiap seketika. Dan jawaban tempo lalu berubah hari itu. Aku siap. Untuk Ari yang telah rela terjaga sampai pagi dimalam kelahiran, untuk Ari yang telah rela menundukkan segala rasa juga aroma demi kenyamananku, untuk Ari yang telah bersiap lebih dulu, dan untuk si kecil yang tengah menanti uluran tanganku.
.
.
.
Hari ini, dengan membiarkan Ari mendengar keluhan membuatku merasa sangat buruk. Dimana kesiapan yang dulu pernah kubisikkan melalui ujung malam ? Dimana kesiapan itu ? Jika memang ia ada kenapa hari ini aku masih mengeluh ? Siapkah sebenarnya aku ?
.
Mungkin Ari benaran harus pulang kali ini. Perasaan ini membuncah setiap kali aku mengingatnya. Aku menangis ketika memiliki lagi kesempatan untuk mengaduh. Aku harus menuntaskan hutang yang menumpuk semenjak hari kelahiran. Sebuah janji akan pelukan. Dekapan yang kiranya sanggup menyampaikan seluruh rasa hingga remah-remahnya, bahwa aku benar-benar minta maaf untuk kelancanganku memanfaatkan kelunakan hatinya dalam melayaniku, meminta maaf untuk kesiapan yang kupertanyakan kali ini, meminta maaf untuk segala yang pernah melukai dan mengurangi porsi bahagianya. Meminta maaf karena telah mengeluh padanya hari ini. Bahagia telah menamparku, mengingatkan tentang siapa dulu yang telah menularkan perasaan ajaib itu. Ia adalah Ari. Yang malam ini kurongrong kesabarannya lagi, yang malam ini menempatkanku sekali lagi menjadi si ratu tak tahu diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar