Sabtu, 17 November 2018

Pembandingan Sempurna

Terkadang, aku ingin terlahir sebagai makhluk apa saja, selain manusia. Bahkan menjadi cicakpun sempat ada dalam daftarku. Aku membayangkan betapa mewah hidup sebagai seekor cicak itu. Ia hanya perlu melata dari dinding satu ke dinding lainnya. Bercengkerama dengan sesamanya, atau jika mau dia bisa berdiam diri di tempat yang sama dalam waktu yang tak terkira. Yang terpenting dari itu semua adalah tak ada apapun juga siapapun yang bisa mengusik kegiatannya tidak melakukan apa-apa. Hal terburuk hanyalah mati di tangan manusia, ya beberapa manusia melihat cicak sebagai butir kotoran, yang sebisa mungkin akan mereka singkirkan selagi bisa. Konon mematikan cicak bisa mendatangkan pahala. Pernyataan yang kadang memantik pertanyaan dariku, kenapa mereka di ciptakan jika ketiadaannya mendatangkan koin-koin langka tiket menuju surga? Biarkan alam yang menjelaskan ketidak mengertianku itu.

Kenapa aku memiliki keinginan langka untuk bisa terlahir sebagai cicak? Salah satunya adalah menumpuknya rasa iri pada keberadaannya. Cicak tidak pernah bertanya kepada si A kenapa si D tidak menyukainya. Cicak tidak pernah berusaha mencari tahu kenapa si B memiliki senyum menawan meskipun kakinya tidak bisa tumbuh satu. Dia hanya akan sibuk dengan apa yang kiranya berhubungan dengan makanan, dan mungkin juga keselamatan. Mereka berhenti untuk peduli atau setidaknya berhenti berpura-pura untuk peduli satu sama lain, mereka se egois itu tapi aku menyukainya. Pernahkah kamu melihat tiga atau lima ekor cicak saling berkerumun lalu terkikik-kikik begitu melihat cicak lain lewat di hadapan mereka? Mereka bukan manusia, dan aku membenci kebiasaan manusia yang seperti itu. Yang terpenting dari semuanya adalah kebebasan yang di miliki oleh seekor cicak. Ia bebas untuk menentukan dirinya sendiri untuk menjadi pengamat atau justru pihak yang di amati. Cicak bebas untuk mengutip setiap sudut yang dia inginkan dari satu objek sama. Dia bisa menjadi begitu manis pada saat-saat tertentu, khususnya ketika malam hari. Sebagai contoh, ketika satu manusia tengah berusaha melepas energi berlebih di dalam tubuh, dengan mencoba menyalurkan kepada manusia yang lain dengan cara-cara yang bisa membangkitkan naluri hewan, lalu mereka pikir hanya keduanya saja yang melihat dan tahu, sedangkan di sudut entah mana seekor cicak menempel rapat pada benda yang di hinggapinya, menurutmu apakah kemudian si cicak akan bersorak lalu berbangga hati karena telah menggenggam sebuah rahasia panas yang bisa di bagi-bagi secara diam-diam? Jawabannya adalah tidak. Mereka hanya akan puas mengamati dan menyimpannya untuk diri sendiri, mereka merekam semuanya tanpa berniat menyebarkan pada berapapun banyak kalangannya. Bukankah itu manis? Manis yang melebihi kadarnya jika bisa ku katakan. Aku tak pernah menemui jenis gula yang seperti itu beredar di antara manusia. Aku tidak pernah menemui kadar manis yang melebihi kapasitasnya di beberapa golongan manusia. Mungkin, ini hanya pemikiranku saja, tapi mungkin keberadaan manusia yang katanya di ciptakan hampir sempurna itu di jadikan kompensasi atas berkurangnya dosis gula sebagai pelengkap tubuhnya. Itulah kenapa kebanyakan manusia tumbuh dengan perilaku dan mulut pahitnya yang terkadang melampaui batas toleransi sesamanya.

Aku adalah manusia, atau setidaknya masih berujud manusia ketika paragraf ini tercipta. Sekalipun tidak ada catatan atau buku apapun yang menjelaskan daftar bahan yang di pakai oleh Sang Pencipta untuk membuat manusia, tapi aku merasa kalau diri ini kekurangan beberapa ornamen manis dalam pembuatannya. Mungkin Dia yang menciptakanku lupa menaruh gula alih-alih garam ke dalam tubuh ini. Bagaimana aku bisa begitu percaya diri dengan pernyataan itu, karena aku mencecap rasa aneh di setiap kebahagiaan yang mampir dalam hidupku. Normalnya manusia akan tertawa atau setidaknya tersenyum ketika tengah berbahagia, bahkan beberapa bisa melakukannya ketika tengah dalam kondisi sebaliknya. Sedangkan aku, tawaku pecah di saat-saat yang kurang terduga, senyumku terulas lebih sering ketika tengah menyapa makluk selain manusia, dan ketika aku melakukannya sebagai ujud perilaku manusia normal aku akan menemukan kejanggalan yang samar. Bukan karena tanpa alasan, semuanya semata-mata karena kebiasaanku berkawan dengan cicak. Mereka bisa menunjukkan ketulusan tanpa memperlihatkan atau menyembunyikan secuil kepura-puraan. Sedikit kurang etis sebenarnya membuat perbandingan antara manusia dan makhluk melata berekor panjang satu itu. Terlebih ketika sosokku masih seratus porsen berujud manusia.
Andai saja aku ini seekor katak yang bisa melakukan itu tanpa adanya kecenderungan pada salah satu objek saja, tapi sayangnya hingga saat ini aku belum bisa mengobservasi ataupun sekedar berteman dengan apapun jenis katak di dunia, aku belum mengenali ataupun melihat seberapa banyak kemiripan perilaku mereka dengan manusia, karena maaf saja jika ternyata katakpun masih sama kurang manisnya dengan manusia aku lebih memilih untuk menunda dan mengganti makhluk lain yang lebih menyerupai adonan gula dalam seluruh bahan pembuatannya. Sekian.

Rabu, 14 November 2018

Kesadaran Atau Ketiadaan?

Waktu terus berjalan, seiring menuanya umur bumi ini, semakin bisa ku sadari siapa sebenarnya diri ini, siapa yang tengah mengemudi nama ini.  Dulu aku terlahir dalam ujud manusia, bayi mungil tanpa dosa yang entah terlandasi oleh apa, di beri nama Tanah. Aku curiga siapapun mereka yang mengusulkan nama itu, tengah terobsesi pada sebuah pijakan. Karena memang secara harfiah fungsi tanah adalah untuk menjadi alas, bukankah?

Beranjak lebih besar, aku mulai menyadari sebuah keganjilan. Bahwa ternyata tidak hanya 'aku' sendiri yang menghuni raga ini, sesuatu seperti monster mengaum dari dalam diriku, dan melalui kerongkonganku. Aku tercekat, tak mau menghadapi apapun yang mungkin selama ini telah kupelihara secara tak sengaja. Raga ini perlahan mulai kehilangan batas perasanya. Aku mencari dan mulai mencari seperti apa itu rasanya menjadi manusia seutuhnya. Sakit konon adalah bagian vital dalam sebungkus manusia yang akan terus mangikuti semenjak hari pertama kedatangannya di dunia. Aku mulai mencicipi beberapa jenis rasa sakit, dari mulai yang terlihat hingga yang kasat mata. Aku memeluk rasa sakit hanya demi memanusiakan raga ini yang terus saja kehilangan rasa manusianya.

Aku pernah mengira perjalanan ganjil ini akan berakhir dengan bangkitnya sebuah kesadaran akan keberadaan sesosok monster di dalam sana. Aku cukup tersiksa untuk waktu yang lama, untuk pemahaman yang tak kunjung menemui titik terangnya. Tapi ternyata waktu memberi jawaban dengan sebuah tamparan. Tidak hanya sekarang aku sadar bahwa ternyata aku ini manusia separo monster, tapi juga kenyataan di depan mata, sebuah gejala tak mengenakkan bahwa sesuatu yang lebih buruk mungkin tengah menghadangku di depan sana. Puncaknya adalah beberapa waktu yang lalu, ketika aku mulai merasakan kegamangan dalam mengendarai raga ini. Aku melihat sebuah puncak, tapi kakiku tertambat gravitasi hingga yang bisa merasainya hanyalah nalar. Aku melihat sebuah genggaman, tapi lupa seperti apa rasanya menegang dan menggenggam.

Memotong Akar

Aku menghapal jalan menuju ke sana semudah menarik napas. Aku mengingat semua jalanan itu, kemana harus berbelok atau kapan harus berhenti sejenak, aku bahkan bisa melakukannya tanpa harus membuka mata.

Sebuah tempat yang pernah sekian tahun menyekapku. Sebuah hunian tak berujud yang pernah ku sebut sebagai rumah.

Dalam satu titik waktu tertentu aku berhenti menyebutnya sebagai rumah, aku lari, dan tak pernah berpaling untuk melihatnya meski hanya sekedipan mata. Duniaku berputar secepat angin puyuh, yang kemarin sempat ku patenkan sebagai surga ternyata hanya tempat singgah untuk duduk sementara, dan sekalipun bergerak adalah sesuatu yang sangat sulit untuk ku lakukan, tapi aku selalu menaruh hati di setiap persinggahan, tak peduli jika itu untuk sementara ataupun selamanya. Termasuk kepada seonggok nyawa yang ku sebut rumah tadi, jika aku tidak linglung, empat tahun aku telah mendiaminya. Bukan waktu yang sebentar, kendati waktu pelarianku yang sekarang hampir tiga kali lipat lamanya, tapi aku masih bisa mengingat dengan jelas semua perkakas yang ku punya di sana. Dimana biasanya aku menaruh penat, dimana biasanya aku menaruh sedih, bahkan aku masih bisa dengan detail menjelaskan di mana sudut yang menjadi tempat favoritku untuk bercinta. Waktu memang tidak bisa di gunakan untuk menjadi tolak ukur sebuah keindahan. Dan empat tahunku di sana harus di akui tidak hanya berkesan tapi juga penuh kejutan mengagumkan. Rumah yang sekian tahun belakangan secara mati-matian ku tolak pesona eksistensinya, yang secara mati-matian ku hindari agar bayangannya tidak timbul ke permukaan. Rumah yang ku tinggal lari di saat hati ini tengah dalam masa klimaksnya dalam bercinta.

Kenapa aku lari? Masih menjadi pertanyaan tunggal hingga sekarang. Kenapa aku lari? Sesuatu yang bahkan aku sendiri tidak memiliki secuil kata untuk di jadikan jawaban.

Di sana, aku terbiasa menjadi lampu, penerang bagi semua nama yang sudi untuk mampir dan mengetuk pintu. Di sana, aku terbiasa menjadi petromak, yang siap menghadapi kegelapan demi secercah cahaya di pangkuan tangan lain. Aku bahkan siap untuk menjadi kaum lapar, hanya agar mejaku selalu siap menyediakan makanan bagi siapapun yang tengah berada di ujung gersang. Aku segila itu dalam mengorbankan. Hingga kemudian hari itu datang, saat di mana akhirnya aku menanggalkan semua benang di badan dan juga topeng yang selalu ku kenakan. Aku menginginkan sebuah perasaan ketika bertelanjang. Jika memungkinkan, aku ingin menjadikan kalimat itu sebagai jawaban atas pelarian mendadakku saat itu. Aku mencintai rumah itu, ya tentu saja, siapa yang tidak akan tergoda untuk jatuh cinta pada tempat semenakjubkan itu? Dan sekali lagi ku jelaskan, aku adalah jenis manusia yang selalu malas untuk bergerak-berpindah, tapi ketika aku melakukannya aku akan menaruh hati di setiap tempat yang ku diami. Hatiku terpasung di sana selama entah berapa lama, bahkan mungkin hingga hari ini. Hatiku telah menemukan kepingan pasnya namun dalam ujud tanpa nyawa dan juga kasat mata. Aku ingin terlihat seperti manusia normal, untuk itu jugalah mungkin hari itu aku lari tunggang langgang dari surga sementara ciptaanku.

Waktu berputar secepat angin puyuh, dan hari ini aku kembali ke sana, bukan untuk pulang atau memunguti barang milikku yang tertinggal, tidak juga untuk menyapa tetangga lama yang sempat ku angkat menjadi saudara. Aku kembali kesana hanya untuk menyelesaikan sebuah urusan, kata perpisahan yang dulu tak sempat ku ucapkan. Membagikan sejumput penjelasan kepada mereka yang hingga hari ini masih bertanya ataupun mempertanyakan.

Aku menyapa mesra rumah lama itu, meski tanpa pelukan atau senyum kebahagiaan. Tawaku pecah dalam hening, betapa sebenarnya selama ini nyawaku masih tersimpan rapat di salah satu ruang di sana. Ruang yang tak seorangpun tahu ataupun mencurigai keberadaannya. Tempat itu masih sama seperti yang bisa ku ingat saat terakhir kali meninggalkannya. Namun aku menemui kejanggalan, aroma yang menyentuh pangkal hidungku tidak lagi dapat ku kenali, bahkan seutas tali pembuat sarang labah-labah yang membentang di antara kursi berlengan yang hendak ku duduki pun memiliki rasa hambar ketika menempel kulit milikku. Bangunan itu masih tidak berubah, tapi bukan rumah yang sama yang dulu menyekapku dengan nyaman, dengan segala mimpi menakjubkan di kandungannya. Bangunan itu tidak berubah, kokoh, bahkan semakin indah di bagian luarnya, tapi memasukinya justru terasa seperti maling, aku bahkan sempat ragu sebelum melangkahkan kaki di ambang pintu, haruskah aku mengetuknya terlebih dahulu atau mengucapkan salam sebagai tanda kedatangan? Namun tak ku lakukan keduanya, karena bahkan sebuah nama dalam pahatan sepotong kayu masih terpasang nyaman di tempatnya, namaku.

Jika bukan karena harus menyelesaikan urusan yang ku anggap terakhir ini, aku pasti akan merasa enggan untuk memasuki bahkan menelusuri setiap dinding ruang. Aku takut jatuh cinta lagi, aku takut imanku tidak terlalu kuat untuk menahan serangan segerombolan kenangan masa lalu yang tanpa aba-aba muncul di depan mata, aku takut masih selemah hari itu. Hingga kemudian hati ini memanggil pemiliknya. Ia yang sekian waktu tersekap dalam ruang tergelap rumah itu, memberikan sinyal untuk ku tangkap, memberikan pertanda bahwa dirinya telah menunggu hari ini tiba, hari keberanianku untuk mengakui dan menjemputnya. Waktu milikku yang selalu berputar secepat angin puyuh mendadak kehilangan minat pada kekuatannya. Ia manut pada perasaanku, gempita yang perlahan menyebar seperti  percik kembang api menghadirkan gerak slow motion bagi apapun yang di lewatinya, tak terkecuali waktu.

Bagaimana ini bisa? Aku yang sekian tahun lamanya begitu kukuh memungkiri perasaan yang sebenarnya masih ada, meyakinkan semua nama bahwa aku telah dengan rela menanggalkan masa-masa bercahaya itu, meyakinkan diri sendiri bahwa sesuatu tengah menanti dekapanku di depan sana dan membakar semua benda usang hasil percintaan di masa lampau, justru mendapatkan keutuhan setelah mengakui kebenarannya. Bagaimana ini bisa? Takdir ternyata memiliki cara uniknya sendiri untuk membangkitkan manusia-manusia dari masa pingsannya.

Aku telah selesai, malam ini aku berhasil menyelesaikannya. Pekerjaan yang selalu ku tunda-tunda hingga sekian waktu, akhirnya menemui masa rehatnya. Aku telah memutus semua jaring yang mungkin pernah atau bahkan masih menjeratku beberapa menit yang lalu. Aku telah memutus hingga ke akar sebuah keyakinan, cinta, kepercayaan, pada satu kali tebasan waktu. Aku berhasil mengakhirinya berkat hati yang tertinggal dan dengan setia menanti kedatangan pemiliknya, empunya yang berperasaan tumpul hingga tak sanggup mendengar panggilannya yang mungkin di lakukan selama ini. Bukan salah siapa-siapa, tapi memang takdir yang memutuskan hari ini.

Aku akan berhenti lari mulai saat ini, mengabaikan teriakan-teriakan kenangan yang suaranya menyelusup melewati celah sempit jendela dan juga atap dari bangunan tak berujud yang pernah ku anggap rumah dan sempat ku sebut surga. Aku akan berhenti lari mulai saat ini, karena sekuat apapun mereka berusaha, kenangan-kenangan itu tak akan berhasil membobol penjara yang ku bangun melalui ikatanku dengan manusia nyata.

Jawaban itu telah ada, untuk kalian yang mungkin masih menyimpan seujung tanya tentang mengapa aku lari hari itu.

Dan walaupun aku mengenalinya di luar kepala tentang jalan menuju kesana, begitu hapal lika-liku dan juga halus kasar aspalnya, kakiku tak akan penah lagi meyusuri setapaknya. Karena bangunan itu bukan lagi rumah lamaku. Bangunan itu bukan lagi tempat nyaman yang dulu ku singgahi, dan sungguh sangat tidak sopan untuk memasuki sebuah ruangan, meskipun ia tak bertuan, tanpa mengucapkan salam ataupun mengawalinya dengan sebuah ketukan.

Sabtu, 10 November 2018

Mungkin Hujan

Kau datang padaku dan bertanya apa aku mendengarmu. Ya, tentu saja, bukankah semuanya terlihat dengan begitu jelasnya? Awan hitam di atas sana telah memberikan pertanda, bahwa langit akan segera menumpahkan semua duka yang di kandungnya. Sekalipun aku tak begitu memahami kenapa rintik besar-besar itu menimbulkan lara ketika mengecup kulit milikku, tapi aku tahu, rasa ini tidak memiliki arti apa-apa di banding duka yang sekian waktu berada dalam dekapanmu.

Aku melihatmu, samar di antara tetes hujan yang berbaris rapi. Aku melihat lukamu, sekalipun ia bersembunyi di balik senyum itu.

Kakiku melangkah menuju hujan, mencoba masuk lebih dalam kepada sebuah kesedihan. Ya, aku ingin menikmati karma ini, tanganmu mungkin tak terjangkau olehku, tapi permohonan itu terus saja berputar di dalam kepalaku, seperti buih ombak di pantai yang secara konstan terbentuk tanpa mengenal kata selesai. Angkuh ini begitu tinggi untuk di daki, tapi suara yang di sampaikan melalui deras hujan perlahan meluluhkan. Aku bahkan lupa, siapa di antara kita yang harus memaafkan ataupun memintanya. Aku bahkan lupa bahwa tangan kita mungkin sudah tak bisa lagi untuk bersentuhan. Aku lupa bahwa waktu mungkin telah menyembuhkanmu, sementara karma di sini tengah bekerja sesuai tugasnya. Membunuhku.

Kau datang padaku dan bertanya apa aku mendengarmu. Sekali lagi ku tegaskan bahwa bukankah semuanya ada sejelas rasa sakit ini? Aku bukan lagi si pengamat dengan payung di tangan, aku bukan lagi si bisu yang selama ini terus kau rongrong permohonan. Dan jika kau bertanya kenapa aku menyerah setelah selama ini puas sebagai pengamat? Hujan, jawabannya adalah hujan, dia mengikis semuanya.

Rabu, 31 Oktober 2018

Bernostalgia dengan duka

Menyukaimu tidak lantas membuat kita menjadi teman, memahamimu tidak lantas membuatku menerima semua duka yang engkau tunjukkan. Dan mengalir ternyata tidaklah segampang yang ku pikirkan.

Berapa tahun telah berlalu sejak hari itu? Apa kau bahkan mau dengan repot menghitungnya sekali saja? Dan hari ini engkau kembali menunjukkan kuasamu, menunjukkan seberapa kuatnya dirimu, membuatku merasa mual seketika.

Aroma petang itu masih melekat erat di ingatan, aku dengan segala dayaku menutupi semua lubang yang menganga hampir di setiap jengkal napas dengan kepura-puraan. Aku benci terlihat lemah, aku selalu benci tersudutkan, terlebih olehmu yang jelas-jelas telah merangkulku untuk di jadikan teman. Bukankah kita sebelumnya adalah teman? Aku masih ingat bagaimana dulu aku selalu mengagumi keelokanmu, memuja setiap inchi dari pergerakanmu, dan apa kau ingat bahwa denganmu aku sanggup bercinta lama di bawah untaian kata? Heningmu adalah sunyi yang selama ini ku cari, tenangmu adalah ekstasi yang begitu menggiurkan untuk begitu saja di lewatkan. Aku menjadi pecandumu nomor satu. Hingga kemudian uluran tangan itu datang, engkau memintaku sebagai teman. Tidakkah saat itu adalah masa-masa paling membahagiakan dalam hidupmu juga? Oase yang selama ini kucari, hadir dalam sebuah tubuh tanpa balutan, tanpa tangan ataupun organ penunjang lain. Aku tahu yang kau tawarkan padaku bukanlah pundak atau pun sapu tangan, engkau bahkan tidak akan mengucapkan apapun penghiburan ketika aku tengah dalam masa sulitku, aku tahu, aku memahami itu. Engkau hanya akan terus mengalir, melihatku dan dalam cara-cara ajaibmu menunjukkan padaku tamparan berharga yang tidak sanggup di lakukan oleh makhluk bernyawa. Engkau benar-benar memahami kebutuhanku yang satu itu, bahwa  aku lebih menyukai alam untuk di jadikan kawan ketimbang makhluk sesama.

Dan apa kau menghitung seberapa lama waktu yang ku butuhkan untuk menelan pil pahit kenyataan bahwa engkaulah yang menyembunyikan ayahku di beberapa hari sebelum pernikahanku? Apa kau bahkan bertanya tentang apa kado pernikahan yang tepat kuinginkan darimu? Engkau tidak akan sanggup menjawab dalam bahasa yang ku mengerti, karena engkau hanya sanggup mengalir, memandang, lalu dengan cara-cara ajaibmu menunjukkan padaku banyak keajaiban.

Hari ini aku berduka, mencoba menuntaskan lara yang sekian tahun lalu di hadirkan oleh tangan tak terlihatmu. Engkau merenggut banyak mimpi kali ini, menyembunyikan pemiliknya dari mata dunia. Bukankah tindakan itu terlalu seperti pecundang? Sesekali bahkan retinaku menelurkan butiran asinnya, aku memahami apa yang mereka rasakan, betapa getir menghadapi perpisahan tanpa adanya ucapan selamat tinggal. Tidakkah cukup dengan ku saja? Tidakkah cukup menyajikan dukamu hanya untukku saja? Karena jujur saja, aku masih saja menemui goresan luka yang sama setiap kali mendapati engkau tengah menunjukkan kuasa.

Hening yang selama ini selalu menjadi obat penenang bagiku mendadak berubah menjadi begitu menyebalkan karena kebisuannya. Aku masih menginginkan jawaban, tentang pertanyaan kenapa perpisahan sanggup hadir tanpa di dampingi ucapan selamat tinggal, aku melalui banyak waktu hanya untuk mencari jawaban yang mungkin letaknya hanya ada di dasar jurang, atau mungkin di ujung jalan menuju ketiadaan, hingga untuk mencapainya akan di butuhkan banyak sekali pengorbanan.

Aku telah bersahabat dengan rasa mual, efek samping yang selalu hadir ketika aku mulai menunjukkan kepekaan. Dan tahukah engkau bahwa seorang teman mungkin bisa layak menerima satu permintaan? Bisakah mengajariku untuk menjadi sebisu dan setuli dirimu? Karena memang mengalir tidak semudah yang pernah ku pikirkan.

Rabu, 15 Agustus 2018

Mengakhiri Kegilaan

Sebelumnya aku ingin meminta maaf untuk sesuatu yang akan ku sampaikan di sini. Dan sebelumnya juga, jika di perkenankan, aku ingin kita berjabat tangan, bukan untuk saling menyapa ataupun memaafkan, tapi karena aku sendiri tidak yakin akan bisa melakukannya ketika harus menerima ucapan terima kasih beserta jabat tangan tanda perpisahan darimu. Kita sebelumnya saling mengenal, aku yakin namaku ada meskipun tidak dalam daftar teratas milikmu, tapi disana namaku tertandai dengan sangat khas warna mencolok spesial untukku. Bagaimana tidak, kita terikat dalam sebuah garis yang tidak begitu mulus namun saling mengingatkan. Namamu tertulis di garis kehidupan milik masa depanku. Namamu pernah tercatat sebagai yang terkasih di garis kehidupan milik segalaku. Risih untuk mengakui ini, tapi maaf, aku membencimu.

Sekali lagi aku ingin menegaskan, bahwa kita mungkin bukan teman, aku tidak bisa menyebutmu teman, setelah semua mimpi buruk yang selalu menghajarku dengan sayatan. Sebelumnya aku sungguh tidak pernah tahu jika mimpi pun ternyata memiliki sisi tajam, karena awalnya aku mengira mimpi hanyalah ilusi, mati, dan terkubur di bawah kelopak mata. Namun rangkaian mimpi-mimpi tentangmu berhasil menjungkirbalikkan persepsiku. Mimpiku melukaiku. Menggores dengan pasti keyakinan yang dengan susah payah tengah ku bangun. Mengikis sedikit demi sedikit pondasi yang baru jadi setengah jalan. Menciptakan ragu yang menggapai-gapai bak tangan amfibi meraih daratan. Aku tidak ingin berandai-andai, aku tidak ingin menarik sebuah garis merah, ketakutan terbesar yang sebelumnya tak pernah mau untuk aku ungkapkan, yakni tentang kehilangan. Sungguh hanya Tuhan dan engkau yang tahu, apa sebenarnya tujuan kedatanganmu di malam-malam pekatku. Bagaimana aku bisa melabeli dirimu dengan kata teman? Sementara masa lalumu terpaut erat dengan sesuatu yang kini berdampingan pasti bersamaku dalam menyongsong masa depan. Oh tuhan, wahai yang mengetahui segala isi hati, jika ternyata aku salah dengan caraku menggenggam paksa sesuatu yang ku kira itu milikku, adakah cara yang bisa Kau tunjukkan agar aku bisa membenahinya menjadi sesuatu yang bisa di terima nalarnya, karena jujur saja, kedatangan nama satu itu, yang secara konstan meluluhkan pertahanan rapatku, membuatku harus berpraduga, dan yang terburuk adalah...aku tidak berminat mengucapkannya di sini. Maaf. Aku membencimu, maaf, dan mengucapkannya dengan lantang ternyata melunturkan kadarnya, mendengar namamu, bahkan atau sekedar apa binatang kesayanganmu, dan di mana tempat favorit untuk menghabiskan waktu berakhir pekanmu adalah sesuatu yang menyimpan mantra, aku bisa seketika alergi begitu mendengarnya.

Milikku tidak begitu memahami betapa kebencian itu menggumpal bak kotoran hidung yang karena begitu besarnya sanggup menyumbat pernapasan, ia mencekikku, namamu menggorok habis lubang tempat pita suaraku, bukan dengan dengung yang menjemukan, tapi dalam desis yang begitu melilit membahayakan.

Aku ingin kita berhenti di sini, di daratan yang tak satupun dari kita pernah menapakkan kaki. Berhenti di area ular, karena jujur saja, mengejar ekor sendiri selain tindakan bodoh juga salah satu hal yang begitu melelahkan. Kau, berhenti membayangiku dengan masalalu sampahmu, kau, berhenti menyatroni mimpi-minpi pekatku dan mendobrag pertahanan terbaikku, kau, berhenti menjelaskan apapun hal yang tak pernah ingin aku dengarkan. Maka aku akan melepaskan. Melepas semua keraguan dan praduga. Hanya jika kita bisa saling berbicara, andai saja.

Sabtu, 07 Juli 2018

Permulaan

Aku ingin menulis. Meski tak tahu apa yang sebenarnya ingin aku tulis. Aku ingin melepas kutukan yang dibuat saat aku masih muda, bukan berati hari ini sudah tua, hanya saja, tahun-tahun terakhir membuatku merasa seperti manusia sepenuhnya, bukan lagi remaja yang tengah mengoreki jati diri di setiap jengkal jalanan. Aku pernah berada di sana, di jalanan itu, merasakan dengan pasti apa itu sebuah kesepian dan berteman. Aku muda memiliki banyak teman dan juga penggemar. Meski aku sendiri tak mengerti apa yang mereka lihat lebih pada diriku. Bohong, aku tidak sebodoh itu untuk tidak memahami apa bakat yang kumiliki. Dan jujur adalah sebuah badai yang datang di siang hari kala panas tengah menyengat kota ini. Aku muda, selalu memainkan sebuah peran, peran tentang seseorang yang begitu mengarat, peran tentang seseorang yang membutuhkan kasih sayang, peran tentang seseorang yang begitu bijak. Aku mengganti peranku sesuai dengan moodku hari itu. Atau dengan siapa aku tengah berbicara lebih tepatnya. Aku menjadi orang lain, aku tidak mengenakan topeng, tapi dari lubuk hatiku menyadari bahwa aku tengah bersembunyi di balik sebuah peran. Aku ingin terlihat berguna, aku ingin sekedar terlihat, dan aku ingin sempurna. Khayalan termuluk yang di miliki hampir seluruh remaja di dunia. Termasuk diriku.

Ketika muda, aku gemar sekali menulis, menceritakan apapun keresahan yang tengah kurasakan, atau hal apapun yang saat itu singgah di otakku. Aku tidak memperhatikan apapun saat itu, tidak ejaan, tidak pula letak titik dan koma yang benar. Yang aku tau aku tengah menuangkan, seperti melukis abstrak di atas sebuah kanvas. Tidak banyak orang yang bisa mengapresiasi lukisan abstrak, termasuk juga jenis tulisanku. Tapi saat itu, aku tidak peduli, selama menulis tetap bisa menjaga kewarasanku, aku sudah cukup berbahagia karena alasan satu itu. Dulu aku adalah seseorang yang polos, bukan polos tapi jujur mendekati bodoh lebih tepatnya. Aku menuangkan segala yang kurasa, tanpa peduli jika diriku akan menjadi sebuah buku di atas sebuah meja, siapapun akan membacanya, dan siapapun bisa mengetahui isinya, namun itulah memang tujuanku, aku ingin berguna, sempurna, dan terlihat ada. Aku membuat tulisan seperti meletakkan makanan yang dengan sengaja bertujuan untuk mengundang lalat. Aku keji, berpikir akan memiliki penggemar dengan menarik mereka secara perlahan melalui tulisan dan isi hatiku. Dan semua itu adalah masa lalu.

Beberapa tahun ke belakang, aku menghentikan kegiatan menulisku. Bukan sebuah rencana sebenarnya, karena tidak bisa menghasilkan tulisan memang bukanlah keinginanku. Aku berbahagia, satu alasan yang mendasari mandeknya ide mengetik di kepalaku. Aku gugup, aku mentah, aku merasa tidak akan bisa menghasilkan apa-apa. Dan memang benar, semua ketikan-ketikan yang terus ku coba hanya berhasil sampai ke titik tunggu, dan bukan publikasi. Aku berbahagia untuk kehidupan yang tidak akan kurincikan detailnya di halaman ini. Mungkin pada lain waktu, dan pasti memang akan ku tulis pada lain waktu. Bahagia adalah sebuah perasaan kompleks. Aku tidak bisa berfokus pada satu keresahan yang ingin ku angkat. Ketika aku mulai mencoba, entah dari penjuru mana, aku melihat sebuah godam yang melenyapkan semuanya, aku gagal meresapi penderitaan, dan merasa harus tertawa. Ketika muda, aku menarik sebuah kesimpulan dari ketidak beraturannya sistem menulisku. Aku membuat sebuah mantra yang kelak mengutuk dan mengurungku dalam pernyataan itu, bahwa aku tidak akan bisa menghasilkan tulisan apa-apa ketika tengah berbahagia. Lihatlah, kehidupan baruku beberapa tahun terakhir memberikan bukti nyatanya. Namun pagi ini, aku ingin bangun. Aku ingin mengakali dan berlari dari kutukan yang pernah mengurungku. Jangan tanya berapa kali sudah aku mencoba, karena memang, memulai sebuah tulisan panjang setelah sekian lama rehat adalah sesuatu yang sulitnya tak terbayangkan. Seperti mencoba merasakan keberadaan tangan ketika tengah berada di alam mimpi. Sebuah pemaksaan yang harus di jadikan kenyataan. Dan pagi ini, di usia yang masih muda namun memiliki pandangan dan juga pegangan pasti. Bukan sebuah sapa penggemar yang ingin ku tuai dari ketikan ini. Tapi sebuah rasa lapar akan kebutuhan yang harus terus dan tetap terpenuhi. Tidak peduli seberapa buruknya itu, aku harus tetap menggerakkan tanganku dan mengenyangkan jiwa dengan sebuah tulisan.

Sabtu, 28 April 2018

Diam

Aku berharap aku tidak menulis ini, dan membiarkan orang lain mengetahui apapun yang hendak kukatakan nanti. Aku berharap aku tidak pernah memperlihatkan raut yang terlalu gembira ataupun terlarut dalam euforia suka, ketika yang ku inginkan di akhir adalah menjadi sesuatu yang tak terbaca. Aku berharap, aku memiliki kekuatan untuk membagi ini dengan Ari, tanpa harus membaginya terlebih dahulu dengan dunia. Tapi rupanya sempurna adalah klimaks yang begitu ku idam-idamkan dari hubunganku dengannya. Aku tak ingin membuat Ari berfikir bahwa aku keliru dan menambah daftar kekurangan yang tak kan pernah mau ia ucapkan. Dan kenyataan di depan mata perlahan menghisap kebahagiaanku. Harapan-harapan yang tak pernah lolos dari kungkungan lidah, keinginan yang tak pernah begitu mulus tersampaikan. Dan aku pernah berharap menjadi seorang tunawicara agar tak melukai siapapun dengan perkataanku. Aku berharap aku tak memiliki keinginan untuk menjadi sempurna. Aku berharap aku bisa menggantikan peran siapapun yang telah berhasil mengambil hati mereka, manusia-manusia yang tengah ku bicarakan saat ini. Aku berharap aku tak pernah begitu terlihat bahagia sebelumnya, hanya karena saat ini aku mengerti, satu-satunya cara untuk memutus lidah tajamku adalah dengan menjadi diam. Dan mereka mulai merasa tak nyaman dengan situasi baru ini.

Minggu, 11 Maret 2018

Kupu

Detik pertama aku membuka mata, adalah hari di mana aku tahu bahwa diriku ternyata sesosok kupu-kupu. Dan kebebasan adalah hal pertama yang singgah di kepalaku waktu itu. Tunjukkan satu saja kekurangan yang dimiliki oleh hidup sang kupu-kupu, dan kau tak akan bisa menemukannya dengan cepat. Ya, hidupku telah di takdirkan untuk menjadi sempurna. Aku memiliki sayap cantik mengagumkan, aku terbang, dan aku mati dengan sebegitu mudahnya. Ya, karena percaya atau tidak, hidup adalah salah satu hal yang paling di risaukan oleh sebagian makhluk di dunia, mereka memuja hidup tapi juga merindu adanya ketiadaan. Sementara aku, rentang hidupku tidak selama itu, tidak sampai pada titik bosan yang hampir melanda separo makhluk benyawa di dunia.

Tapi waktu berlalu dengan sangat cepat semenjak hari itu, semenjak aku turut memuja kecantikan dan keindahan sayapku. Aku mulai bosan dengan semuanya. Dalam takdir hidup yang sesingkat ini, masih pula aku di lalui rasa bosan, ironis bukankah?

Rabu, 28 Februari 2018

Kupu-kupu Biru

Dunia adalah tempat bermain yang sangat luas. Kita berputar, mengayun dan melakukannya hingga habis tenaga, dan dunia ini belum juga akan habis keluasannya. Kupu-kupu adalah jenis makhluk yang paling ku puja keberadaannya di dunia ini. Mereka menawanku dalam kekaguman yang tak kunjung luntur. Bahkan diamnya mereka adalah sesuatu yang menakjubkan. Melalui kepakan kecilnya, dunia seperti sebuah lorong panjang yang tak memiliki ujung batasan. Aku dulu selalu bertanya-tanya apakah dengan keberadaan sayap itu lantas membuat mereka memiliki keinginan untuk bisa mengelilingi dunia atau tidak, atau mungkinkah keserakahan itu hanya di miliki oleh kaum melata sepertiku? Hingga kemudian keajaiban pun datang, seekor kupu-kupu berwarna biru mendatangiku seperti dia mendengar kepenasaranku. Dan kami mulai berbincang, jangan tanyakan bagaimana caranya aku bisa memahami perbendaharaan katanya, karena jika kamu lupa, aku ini seekor cicak dan kaumku memiliki kemampuan untuk memahami segala bahasa dari separuh binatang yang ada di dunia ini. Jika kamu merasa hal itu adalah sesuatu yang hebat, tunggu di lain waktu hingga bisa kuceritakan kelebihan-kelebihan diriku yang lain, terlihat congkak bukan?

Kembali kepada si kupu-kupu biru, dia bernama Kat, dia berumur hampir sama sepertiku, tapi kemampuannya dalam melihat dunia berlipat lebih banyak dariku. Dia menarik, aku yang dari semula begitu memuja secara khusus kepada makhluk cantik sepertinya, merasa semakin tertarik ketika akhirnya bisa mengenal lebih jauh salah satu dari mereka. Kat, sayapnya memiliki warna yang akan mengingatkanmu pada kejernihan dasar lautan, lebih pekat dari biru yang di suguhkan langit ketika sedang ceria-cerianya. Dan di ujung sayapnya, terdapat bercak hitam sebesar jengkalan tangan, tapi keberadaannya bukanlah sesuatu yang merusak, karena Kat semakin terlihat sempurna dengan warna hitam di ujung kelopaknya itu. Ahh, aku semakin kentara menunjukkan minat kepada Kat, bukankah?

Dia selalu menjadi teman yang baik untuk membicarakan apapun, dunia menjadi semakin luas lagi karena keberadaannya, jangan tanya sejak kapan aku dan Kat mulai berteman, karena ada sesuatu yang lebih penting lagi daripada mengingat sebuah tanggal. Aku mengutarakan rasa kagumku kepada Kat, dan dia pun memiliki perasaan yang sama terhadapku. Kita beranjak menjadi sepasang kekasih? Tidak, tidak secepat itu, dan aku begitu mengerti makhluk seperti apa si Kat itu, kaum mereka begitu benci dengan keterikatan, terlalu lama berada di angkasa dan memiliki keluasaan untuk mengarungi, mungkin adalah alasan yang tepat kenapa terikat menjadi sesuatu yang sangat merepotkan. Dan aku memaksa. Aku menyesal melakukannya, tapi sebelum aku berhasil mengucap sempurna kalimat itu, Kat telah pergi.

Sosok yang begitu sempurna, yang begitu ku puji dan ku puja, yang menunjukkan padaku keindahan juga keluasan dunia, kini telah tiada. Aku yang memaksanya mengambil keputusan itu, aku buta kala itu, berangan sebuah kenyamanan akan beranjak menjadi lebih dalam sebuah ikatan, aku melupakan kenyataan bahwa tak ada tahta yang berhasil mengungguli sebuah kenyamanan. Dan si makhluk biru dengan titik hitam di ujung sayapnya kini tak pernah lagi menampakkan diri dalam jangkauan. Kat pergi membawa separuh diriku dalam kepakan kecilnya. Menjauh dari cakrawala, menjauh dariku.

Waktu beranjak jauh semenjak hari kepergian makhluk cantik bernama Kat, dan hari ini, di sinilah aku, berayun di sebatang tangkai di tengah perkebunan yang hampir di penuhi ilalang. Aku memberanikan diri keluar dari kungkungan ruang. Memunguti remah harapan yang mungkin tak sengaja ia jatuhkan. Aku ingin kembali bersua dengannya, aku ingin kami kembali berlomba mengukir kata, aku ingin ia mendengar alasan di balik sebuah keterikatan yang ku damba darinya. Ya, terlahir menjadi seekor cicak bukan sesuatu yang menjadi pilihanku. Terkurung dalam ruang, bukan pula sesuatu yang ku harapkan. Menjadi apapun terlihat lebih baik ketimbang menjadi diriku. Tapi seperti inilah aku terlahir ada. Tak ada jalan lain, satu-satunya yang tersisa adalah bahwa aku harus menjabat tangan takdir. Bersahabat dengannya, dan mematuhi semua jalanan yang di lukiskannya. Makhluk sepertiku tak mengenal kata teman, sekalipun jika kalian mungkin pernah melihat ada dua atau tiga ekor cicak yang tengah berada dalam satu lingkaran, percayalah, mereka di sana tidak sedang bersenda gurau terlebih dengan cangkir-cangkir teh dan kudapan di sekelilingnya. Persaingan adalah darah dalam kehidupan makhluk seperti kami, dan hati adalah bagian paling kecil dalam anggota tubuh kami. Bisa kalian bayangkan bukan? Seperti apa dunia yang melingkupiku ini. Sesekali aku tergoda untuk merajuk kepada takdir, menabur harap ia akan luluh untuk menyulapku menjadi kodok atau ayam. Sungguh, menjadi apapun tetap terlihat lebih baik ketimbang menjadi aku, sudah pernah kukatakan itu, bukan? Namun hasil selalu nihil, alih-alih merubahku menjadi kodok atau ayam, takdir justru mengajariku berpujangga, mengolah kata,  dan meraciknya menjadi sesuatu yang enak untuk di suguhkan. Aku ingat, Kat selalu memuji kelihaianku memainkan bahasa, dan jika aku tak salah hitung, itulah kali pertama dan terakhir Kat menunjukkan sebuah minat terhadapku, sebuah tindakan yang mendasariku untuk berbesar kepala yang menjadi alasan kepergian Kat.

Kat, belum mendengar pengakuanku, betapa selama ini aku telah menjadi gila karena api yang terus membara oleh perangai kaumku, betapa aku ingin memiliki kawan sekedar untuk bisa saling mendengarkan. Usahaku untuk bersahabat dengan takdir belum sepenuhnya membuahkan hasil ternyata. Tembok selama ini adalah hal terbaik yang bisa kumuntahi segala isi otakku. Dia mendengar semuanya dalam diam, dia selalu menelan semuanya tanpa bersisa. Tapi bertahun-tahun melakukannya, tak lantas membuatku kebal pada kenyataan bahwa tak akan pernah ada sebuah jawaban yang terucap. Dan aku semakin gila karenanya. Aku bosan berbicara dengan tembok. Aku bosan tak berpendengar. Aku bosan harus merumus sebuah jawaban dalam terkaan. Aku bosan melihat si tembok hanya diam. Aku muak dengan semua itu, aku muak hingga sampai pada titik dimana sebuah pemikiran tentang bunuh diri adalah sesuatu yang teramat menggiurkan. Kat tak pernah memahami, betapa keinginanku selama ini adalah sesingkat itu, Kat tak pernah mengerti betapa takdir yang bodoh itu telah salah karena menjadikanku pintar berpujangga. Dan, kepada siapa lagi aku harus menyalahkan atas kepergian Kat?

Kat benar, ia selalu benar, bahwa jika dunia ini adalah sebuah lorong tanpa batasan karena memang seperti itulah kenyataan yang ada. Aku sekarang adalah seekor cicak yang bebas. Dunia menjadi pijakan yang luas, sekaligus taman bermain tanpa akhir yang begitu merongrong rasa dahagaku agar terpuaskan. Tapi kemanapun kakiku melangkah, Kat tak pernah ada di sana, ia benaran pergi tanpa sudi mendengarkan sebuah alasan, alasan milikku.