Minggu, 28 September 2014

Ketika Alam Harus Berhenti Bernyanyi

Aku adalah manusia realistis. Yang hanya menganggap cinta adalah sekedar sampah semata. Aku adalah manusia statis. Yang memiliki ketercanduan untuk terus merobek jaring sabar setiap harinya. Aku adalah manusia tanpa garis. Yang menganggap dunia adalah neraka.

.
.

Dalam kestatisanku, alam perlahan menyapa. Menyuguhkan sepiring rasa yang ia sebut ramuan cinta. Dalam keabstrakkanku, tanah memberontak. Memaksaku menyeruput secangkir panas bernama takdir. Dan misteri hidup beserta lingkupannya terlalu pelik untuk dibahas dalam sepertiga malam ini.

.

Dimanakah asa, dimanakah rasa. Kemanakah nama, kemanakah nyawa. Rintihan senandung alam menggema memenuhi gendang telinga, mencoba memantrai setiap pernafasan dengan sayatan melodinya. Aku tau..alam tengah merajuk, memintaku melebur dalam rotasi semunya. Aku tau..alam tengah mengutuk, melalui gelombang yang tak berfrasa. Mungkin memang seharusnya aku dan alam tak memaksakan diri untuk bersatu dengan terus membutakan tak terhingganya perbedaan. Satu putar, dua ulangan. Nada sumbang penyayat jiwa kembali berkuasa. Menengadahkan tangan dan kembali mengucap mantra. Seperti inikah cinta ketika sesekali kudapati permukaan hati tergores denting ucapan? Seperti inikah cinta ketika sering kutemui bercak kering pertanda disana telah tercipta aliran? Aku buta. Aku terlalu muda untuk bisa bertahan bersama perkawinan alam. Aku terlalu buta untuk bisa melihat adanya gumpalan es tajam berserak ditepi badan. Dan aku terlalu awam untuk bisa memahami adanya alur permainan alam.

.

Dear alam, dengan segala keluasan kau tunjukkan padaku misterimu. Dalam keabuanmu kau perlihatkan kuasa juga tipu muslihatmu. Dan untuk pertama setelah sekian lama, bisakah kita bertukar peran? Aku ingin kau rasakan betapa mewahnya menjalani takdir sebagai manusia. Berlimpah ego melumuri raga, bermilyar jerami menumpuk diri membentuk kerangka bernama badan. Dan untuk sekali ini juga kuingin kau rasakan seperti apa rasanya retak-pecah dan terbakar. Dear alam..tak seharusnya ku ucap kata penolak mantramu. Keagunganmu menjejali mulut juga otakku untuk tetap terkagum pada adanya kehadiranmu. Tapi jujur saja, seringnya kudapati diri yang tengah memaksa meloloskan serpihan paku menuju dasar pencernaan. Tapi jujur saja, tajamnya getar virtualmu justru menggariskan sebaris rasa berbau anyir dan menyakitkan. Mungkin memang tidak seharusnya kita dulu berjabat tangan dan bersama memulai petualangan.

.
.

Aku dan alam yang malang, terlahir bersamaan dalam jangkauan batasan. Tumbuh bersama dalam dekapan jurang. Seperti inikah cinta yang dipuja oleh manusia? Bersubstansi kotak mengambang dipermukaan tanpa berniat menjejakkan diri diatas hamparan ladang. Seperti inikah cinta yang diburu sepertiga penghuni kehidupan? Terjebak manis dalam kubangan setan bertameng dewa. Dan yang ingin kuperbaiki disini adalah engsel alam yang tak seharusnya masih dipasang untuk keseharian. Dan yang ingin ku luruskan disini adalah bahwa aku tidak terlahir untuk bisa menandingi keluasan alam. Dan yang ingin ku tulis hari ini adalah bahwa aku tidak terprogram untuk terbiasa menyantap abu-abu melayang.

.

Dear alam, sesekali aku berharap engkau sanggup memahami bahasaku, sesekali aku berharap pintar yang terkandung dalam keluasanmu sanggup mencerna remah-remah aksara yang kuhadirkan. Dear alam, untuk inikah sebenarnya kita dipertemukan? Agar demi terbiasa mengunyah sumber gizi dari bahan yang diluar nalar? Untuk inikah sebenarnya kita dipersatukan? Agar demi balutan ego dalam kerangka ragaku memiliki skala wajar dan kepongahan untuk keluasan agungmu sanggup berturun kadar? Untuk inikah?
Mantra ternyata benar bukan sekedar ucapan. Mantra ternyata benar memiliki kuasa tak terdefinisikan. Dan jika ternyata belitan jaring kita terputus ditengah tanpa adanya lagi ikatan sambungan, bisakah aku menyalahkan mantra? Bisakah aku menyalahkan mantra dengan segala dayanya membuatku buta? Bisakah aku menyalahkan mantra yang berhasil mengubahku dari manusia menjadi setara dengan tingkatan dewa? Dan aku masih berharap keagunganmu sudi menundukkan luas dari semestamu hingga terbiasa dan mampu memahami bahasaku.

.

Kembali ku ingatkan jika aku adalah manusia realistis. Darah wanita menyemai banyak titik kepekaan yang mungkin berlebihan. Sedang alam, nyanyianmu membahana membalut bumi, raungan merdumu mengangkasa menembus pertahanan awan. Aku yang terbiasa memandangmu sebagai sosok semesta raya, akhirnya patuh dan manut untuk mengikuti perjalanan rotasimu dengan menebalkan perasaan, dengan menebalkan mata juga pendengaran.
Dear alam, aku tau ini bukan tentang sebuah pertandingan. Sekalipun seringnya dengan waspada kuangkat parang demi semak belukar yang membentengi kelembutan hati. Tapi ini adalah tentang.............Dear alam, untuk sekali ini biarkan aku menumpahkan, biarkan aku untuk tidak mengalah pada nalar. Karena didepan sana, tak lagi ada jalur keluar.

Kamis, 25 September 2014

Tiga

Pagi menyapa melalui banyak nama. Dekapan asing seketika menaburkan hangat ketika alam mulai memanggil demi menegakkan raga. Dan sebelum ini, tak pernah kubaui aroma matahari sehambar kopi olahan mesin. Hangat yang sama, cerah yang tak memiliki intensitas kurang, tempat yang tak berpindah dari pijakan awalnya. Dan hanya dari aroma sanggup ku kenali adanya indikasi, bahwa sesuatu ada dan tak lagi sama keberadaannya.

.

Adalah tentang cerita tiga nama. Tiga aksara yang membuat pagiku seperti kehilangan nyawa. Mengais disegala sudut ranjang, bahkan disemua lipatan selimut yang tak lagi berbentuk. Bukan pagi yang mengganti parfum dan membuatku sedikit tak mengenalinya. Bukan matahari yang menenteng aroma baru dan menyajikan dalam misteri baru juga bernama tanya. Aku tau..sepertinya nyawaku lupa datang pagi ini. Sepertinya nyawaku mulai bosan pada adanya rangkaian kegiatan sama, yakni mengisi raga dikala fajar hingga detik saat pergumulan mimpi. Tiga aksara yang selama ini kujaga. Sedemikian rupa mengepas kenop pintu ruang bara agar tak ada sisi celah hangat yang terbuang. Mengatur lagi beranda beserta isi tutup penyaji, menjaga kestabilan isi demi tetap bekerjanya sistim kerja sebuah perekat. Dan kesemuanya..dan dari kesemuanya membeku digulung hujan es dikala senja. Tiga aksara yang malang.

.
.

Jarak menggelembung memenuhi ruang bernapas, menjadikan setiap tarikan oksigen mengangkut juga didalamnya remah-remah kecil paku. Dan andai bisa kumemberitahumu, sepucuk surat tentang waktu telah kuketik lama, jauh sebelum si empunya mampu menangkapi kosakataku.

.

Dear Park Jung Soo..ini tentangmu, ini tentang adik-adikmu, dan inti tentang darahku. Waktu telah lama berlalu semenjak terakhir kali aku menyapamu, mengurai helai-helai tampan yang menutupi matamu. Masihkah sorotmu setajam dulu sayang? Bisakah kita berbicara hanya berdua sekarang? Ini mungkin juga tentangmu yang tengah dalam perjalanan. Engkau mungkin akan sakit ketika harus menghabiskan ini. Tapi aku harus menuangkan sebelum akhirnya semua menguap terbawa angin dimusim hujan. Dear Park Jung Soo..taukah engkau matahari yang kucecap kini tengah dalam tahap mengkhawatirkan? Udara beraroma lain, sinar menyapa dengan hangat berbeda dan..dan aku tak bisa memberi jawaban tepat kenapa langit biru cerah yang menggantungi langit tergeser perlahan oleh warna netral. Dear Park Jung Soo..masihkah aku kini berharga? Ketika ternyata sakit telah tertoreh karena adanya kenyataan yang terus menampakkan ujud dan garisnya malah melunturkan keapikan warna darahku. Masihkah kini aku berharga? Aku merasa tengah menjadi bocah yang sangat malang. Ketika sadar akan gagal ketika harus terjun bersama manusia kebanyakan. Sedang berada dalam daratan kita justru harus kuakui adanya sepi. Dear Park Jung Soo..sekiranya perkataanku kali ini benar. Tolong dengarkan, bukankah sekarang adalah saat tepat dan terbaik untuk melepaskan? Bukankah fondasi kalian telah cukup kuat untuk kubiarkan terus berdiri tanpa harus ada aku sebagai salah satu penyangganya? Inikah akhir yang ku ucapkan dulu? Tidakkah akhir datang terlalu awal? Tapi pernyataan yang merujuk adanya kenyataan semakin mengukuhkan bahwa kehadiranku tak lagi dibutuhkan. Aku ingin engkau tau sayang, aku tidak sudi hadir pada mereka yang utuh.

.

Aroma pagi masih seperti awalnya. Hambar yang memilukan. Dan aku tidak tau jika didunia ini ada proses pelepasan yang ternyata sangat menyakitkan. Derap airmata mengalir membanjiri jiwa yang tengah rapuh. Aku lumpuh untuk berkata, aku bisu untuk sekedar berucap. Inikah kiamat itu? Kenapa sosoknya hadir dalam balutan modern yang kelewat tampan? Dan sesaat aku kembali ditampar. Ia dan mereka telah hadir dengan sangat pas mengisi ruang kosongku. Dan sesaat aku kembali disadarkan. Semangatku ada pada tiap hela nafas juga hiruk pikuk tetes peluhnya. Oh nyawa..oh nama, sudikah kalian memberiku kaca? Tiga nama yang tak seharusnya ku ikat dan sisihkan. Tiga nama yang tak seharusnya kulepas masa lajang tanpa adanya persiapan. Tiga aksara yang menjadi nyawa untuk nyata dan mimpiku. Mungkin sehabis petang ini. Semuanya benar tak akan lagi sama, keropos yang menyebar tanpa halangan tidak bisa begitu saja dilelang dalam sekali tambal. Harus ada yang dibayar, harus ada yang direlakan. Dan ah..dunia ini sekali lagi mengajariku tentang manisnya buah keikhlasan.

.

Indikasi aroma baru mengisi ruangan, dan ketika matahari mulai dipersalahkan..aku tau disana sesuatu perlu diluruskan.
Dear Park Jung Soo..aku memahami ketika engkau beserta adik-adik manismu mulai menginginkan nyawa baru sepaham ketika aku sadar nyawaku tak lagi sepenuhnya terpaut padamu dan tiga aksara duniaku.

Sabtu, 20 September 2014

Cicak Lugu Dan Si Manusia Bisu

Petang ini aku mendapati seekor cicak diatas meja nakas. Kuamati dengan seksama ketika dengan mulut kecilnya berusaha mengangkut remah besar makanan diatas meja. Ia mungkin tau tengah kupandangi, ketika tak sengaja tatapan kami beradu dalam putaran yang sama. Bola hitam matanya mengawasiku pasti, dengan kepayahan ia menarik makanan dengan terus tanpa memutus kontak. Tubuh bagian dadanya mengembang kempis seirama nafasnya, ekor lencir terdiam diujung tubuh tak menunjukkan nyawa. Ah, kenapa engkau begitu indah wahai makhluk melata. Sekali lagi ku tampilkan tatapan selidik, tangan kakinya terlihat halus sekalipun pasti telah banyak ia lewati jajaran runcin dinding yang sekiranya sanggup melukai permukaan tubuhnya. Sungguh, belum pernah kuapresiasikan kekaguman pada makhluk kecil berkekuatan lugu sepertinya sebelumnya. Dan cicak diatas meja nakas hari ini menjadi rekor tersendiri bagiku. Menit berlalu dengan penuh tegang, mata kami tetap beradu pandang pada lingkaran yang persis sama. Kuletakkan tak jauh darinya sekeping kecil makaman yang kiranya muat untuk ia gigit dan bawa tanpa harus memerlukan usaha berarti seperti mangsa yang kini masih dalam sapuan mulutnya. Dalam hati, dan hanya dalam hati ku sapa ia pelan, "Hai teman.." Aku tau makhluk lugu itu tak akan membalas sapaku, tapi melalui getaran gila yang hanya sanggup dimengerti oleh kepala kelebihan nutrisi, aku tau ia menyapaku juga..kuperkenalkan siapa diriku lebih lanjut dan ia memberiku jawaban serupa menurut versinya. Singkatnya kita berteman. Ah..makhluk lugu ini lagi-lagi memberiku pengalaman baru. Menggali lagi kemampuan bawah sadarku demi menangkapi bahasanya yang tersampaikan acak melalui getaran alam. Dering pesan masuk alat komunikasiku memutuskan irisan pertemanan yang tengah berlangsung. Pandang mata kami terputus seiring dengan perginya ia meninggalkan remah besar makanan yang tadi hendak dipungutnya. Ah..nada pesan sialan.

.

Bertemankan hening malam, kuresapi lagi pengembaraan pada pengalaman baruku tadi. Makhluk yang benar-benar lugu. Dimanakah sekiranya ia tinggal? Aku hampir yakin kami masih berada dalam satu ruangan. Tapi ia bukan manusia, yang akan menyahut ketika kutanya ia dimana. Kehadiran singkatnya sekilas mengingatkanku pada seseorang disekitarku. Aku tak begitu yakin ketika harus menyebutnya teman, kendatipun mata kami seringnya beradu pandang dalam ketidaksengajaan. Hening selalu membungkus ketika waktu membuat jarak semakin mengikis dalam jengkal saja. Setiap ucapan yang terlontar dari pita suaranya tak pernah lebih dari sekedar pertanyaan apa dan kenapa. Sedang aku, berada dalam jangkauannya secara otomatis mengaktifkan isolasi yang membungkam mulut berisikku. Jadilah kami dua manusia bisu berkekuatan ekstra diantara manusia-manusia berpola seadanya. Seringnya kudapati banyak percakapan tercipta diantara keheningan mengelilingi. Seperti halnya aku dan cicak diatas meja nakas, aku dan ia juga hanya bisa saling sibuk menangkapi sinyal yang terkirim melalui getaran alam. Dan untuk sesuatu yang tak bisa ku mengerti, terkadang aku tersenyum ketika kutangkapi sinyal aneh dalam gerak ragunya. Ia kenapa?

.

Cicak dan seseorang dilingkupanku mungkin adalah kembar. Menyalamiku dengan segala keanehan. Mengajariku pelajaran baru tentang adanya komunikasi kealamian. Dan keduanya sama-sama membuatku gugup ketika kontak mata tak sengaja menyampaikan sapa dan senyuman.

.

.

Dear kalian yang tak memahami pengucapanku, kembali kukirim sinyal pada kaliajm meski dalam ujud tulisan. Aku harap pesanku tersampaikan sama baiknya ketika aku dan engkau saling berbicara dalam diam. Bisakah aku menyerukan pada dunia bahwa kita berteman? Bisakah aku menganggapmu teman? Aku menangkapi banyak pesan halus melalui getaran sekitar bahwa engkau tidaklah sedingin yang diperlihatkan. Untuk itu, bisakah izinkan aku membuat tangga pengantar untuk segala ketercanggungan ini? Kalian adalah sesuatu yang baik. Aku mengetahui itu sejelas membaca tumpahan tinta berupa aksara pada tiap kertas kosong. Aku mengetahui itu karena yakin aku menemukan sinyal sejalan dalam perbincangan kita kemarin, lusa, dan baru saja. Bisakah kita berteman? Aku tak berniat buruk dengan segala niatku. Setidaknya bahasa lisan lebih membuatku semakin terlihat waras dan normal ketimbang bahasa tatapan. Seperti kalian, aku juga makhluk nyata meski keaslian manusiaku masih dalam proses pengesahan. Namun aku berani menjamin bahwa tubuhku tak lantas menyimpan api sekalipun mataku seringnya menghantarkan kobaran-kobaran tajam. Aku berani menjamin bahwa ragaku tak lantas mengandung samurai setipis guratan kaca sekalipun terkadang nadaku tak lebih hangat dari gumpalan es dipalung samudra. Aku hanya ingin kita berteman.

.

.

Malam menyuguhiku nada dalam ujudnya yang hanya hening dan guratan gelap merata. Cicak dan ia yang tak beridentitas tak lantas hanya dua tokoh dalam paragraf tak berjudul ini. Karena aku dan mereka sama, tengah mencoba hadir diantara banyaknya mayat bernama.

I Have Nothing

I have nothing. Aku tak punyai apapun ditanganku. Aku tau ketika akhirnya sebuah kesadaran menghantam otak kananku pada salah satu waktu menuju dewasaku. Terlahir menjadi manusia utuh sepertinya adalah kompensasi Tuhan untuk tidak membekaliku apapun dalam berkelana didunia penuh tanya ini. Beruntung sekali tanganku hadir lengkap untuk bisa menjabarkan atau setidaknya menyamarkan kepunyaan terpendam yang sebenarnya kenyataannya hanya virtual saja.

.

Beranjak besar dalam segi umur tidak serta merta membawaku juga pada garis dewasa-syarat mutlak untuk bertahan menjadi manusia. Dan salah satu bukti kegagalan dari masa pendewasaanku adalah ketika dengan segala ego juga angkuhku, masih kusebut alam, aksara, bahkan sekedar rumput liar dijalanan tetaplah lebih baik untuk disebut teman ketimbang manusia nyata. Aku tau tengah dalam setengah perjalanan menuju gagal, sedangkan yang selama ini terus merajai akal juga nalarku adalah kesadaran bahwa aku benar. Aku selalu benar. Sekalipun dunia membuktikan padaku kesalahan, yang ada pada peganganku adalah suatu benar tanpa selaput lainnya. Untuk alasan singkat itulah aku menjadi sosok hari ini. Kuciptakan dunia, kubangun setapak menuju istanaku, kupasang plakat tentang sayembara, kusebar juga ucapan selamat datang disetiap ujung jalanan. Tapi yang aku sendiri lakukan setelahnya justru adalah mengunci diri dalam hunian khusus tanpa udara. Tanpa ada satu nyawapun kupersilahkan larut dalam damai tak tersentuhku.

.

Dulu, aku serupa manusia. Meski sekarang pun masih berujud sama, namun kesadaran memberitahuku bahwa aku adalah sejenis setengah dewa. Dan berada dalam lautan manusia seringnya membuatku linglung, menelan paksa tentang milyaran apa dan kenapa. Tak ada sepi yang seberat seperti yang tengah kupanggul saat ini. Bukan karena memang tidak ada. Tapi karena dengan sengaja kubutakan mata pada adanya sepi yang lebih menggigit dari milikku, juga karena telah dengan sukses ku blokir jalan bagi para relawan yang hendak membantu meringankan sepiku. Arogansiku menghempaskan segala sisi dramatis dari kotak kemanusiaan. Egoisku menyapu bersih semua uluran tangan hanya karena telah kutanamkan hingga tulang terdasar bahwa hanya aku yang boleh kusuguhi kepercayaan, bahwa hanya aku yang boleh kuhidangkan kursi istimewa bernama teman.
Lihatlah betapa kegagalanku pada tahap dewasa menenggelamkanku pada lautan beku. Lautan dimana keberadaan air adalah hanya dongeng semata. Dimana yang bisa kulakukan adalah mengais udara diatas hamparan beku keluasan dunia. Bahwa aku telah tenggelam dalam ruang sepi yang ku bangun sendiri. Berdiam dalam hamparan hijau tanaman padi selalu bisa menghadirkan padaku kehangatan setara pelukan erat seorang kawan. Meresapi angin menyapa beraroma tanah selalu sanggup memberikan padaku senyum seakan seseorang tengah berada disisi dengan celoteh renyahnya. Menyesap harum juga asin air laut selalu mampu menenggelamkanku pada imaji seorang kekasih dengan cumbuan-cumbuan disetiap jengkal persendian. Dan yang lebih gila dari semuanya, adalah ketika jemari juga mata beserta segalaku tengah melesat dalam ketinggian batas angan bermandikan kilauan sinar raya yang terpancar dari tatanan aksara, saat ketika aku tengah menikmati indah ruang kedap waktu milikku, saat dimana seakan sanggup kuciptakan tangga menuju surga hanya dengan hitungan detik dan selentingan kilat jari saja..saat yang menyadarkanku bahwa telah kurengkuh nikmat klimaks tanpa harus terlebih dulu aku bercinta. Ya! Cakrawala aksara adalah ibarat sejenis manusia yang kesempurnaan diamnya begitu kudamba dalam tubuh seorang teman. Sudah dalam tahap segila inikah aku dalam substansi sepiku? Lalu kiranya kemana aku memiliki ruang untuk sekedar bertamu dikala senggang? I have nothing. Aku tak memiliki apapun. Aku tetap tak memiliki apapun untuk kusuguhkan ketika pada akhirnya aku memiliki ruang untuk sekedar menautkan tambang pelayaranku.

.

Satu-satunya bekal yang mungkin 'lupa' telah disematkan sang pencipta pada sosok kecilku adalah seikat kontrak yang melekat dalam raga. Mengawasiku bak mata elang diatasan sana. Menilik apapun batasan yang dengan paksa kulanggar, dan meniupkan suara peringatan bahwa itu berada dalam jalur keluar, dan aku diingatkan dengan melarang. Sepi ini, senyap yang membekapku tak akan lebih mengerikan dan lantas mencekik pernapasanku dengan kuasanya hingga hingga bernyawa. Tidak, tak akan kubiarkan siapapun membunuhku. Kubangun dinding angkuh, kulapisi dengan setebal mungkin ego, dan kuhias garis terluarnya dengan banyak ambisi. Aku tidak salah ketika mengatakan bahwa alam, bahkan sekedar rerumputan liar dijalanan masih lebih baik untuk dianggap kawan ketimbang manusia sejenis. Karena mereka tak pernah alpa untuk hadir, karena mereka berbicara dengan segala anomali..satu-satunya bahasa yang kumengerti didunia ini. Karena aku dan mereka sama. Titisan-titisan setengah murni yang sadar diri dirinya tak pernah memiliki. Hanya ambisi. Hanya jemari.

Senin, 15 September 2014

Aku Rapopo VS Aku Selalu Rapopo

Bocah lanang itu paling bodo nek dikon maca kode. Dadi buat bocah wadon, oraha njur kesel-kesel ngasah golok sue-sue utawane ngalor-ngidul pesen keris ukiran jempolan kepada empu baheula yang kuburannya saja pasti uwis rata karo lemah sekitar. Apamaning ndadak permisi, ketok pintu, ngucap assalamualaikum, basa-basi cengengesan..menawane kepengin memutilasi bocah lanang. Langsung smackdown saja. Dan pastikan nganggo kekuatan penuh..ben ora diserang balik.

.

Aja pula njur dadi bocah wadon bodo, gawe kesel awake dewek dengan nulis panjang lebar tanpa mention target korban bahwa mungkin sebenarnya engkau haus akan darah pembunuhan, atau bahasa alaynya arep ngomong "intine aku kesuh." Karena pasti sang calon korban yang pasti telat sadar bahwa tulisanmu kui dedikasi untuknya hanya akan membalas dengan sama ambigunya..isinya oralia-lia pasti kayakie, "aku bukan dedy corbuzer sing bisa maca pikirane wong"

.

Nah kan! Aku sebagai bocah wadon ngomong apa mau? Bocah lanang iku buta kode..bodomu bae cah ayu gelem repot-repot aweh clue. Hahaha
Duh bocah lanang, rungokna tho ana mulut arep berpujangga ria.... "Sekiranya jangan terus engkau menyiksa kaum hawa yang bodoh akan penyampaian nalar, dengan terus memaksanya berkata, AKU RAPOPO."

.

Duh bocah lanang..aja njur kamu terus membela diri dengan malah membalas kata-kata mutiara diatas, dengan jawaban yang isine pasti kira-kira kayakie.. "Aku selalu rapopo ngadepi koe sing sok tabah dengan terus berkata akurapopo..padahal yo koe sing angel, awakmu rewel, kakehan ini dan itu, aku sebagai bocah lanang selalu rapopo cah ayu..aku maklum, aku sabar, aku tabah..karena aku bocah lanang"

.

Njur nek bocah lanang wis berpuisi ria kayakue..mestine kari aku sebagai bocah wadon langsung ngelus dada..iya aku kalah. Wes, aku kalah. Sepisan maning ben katon meyakinkan..aku kalah mas.

.

Bagi kaum perempuan dan kaum laki-laki silahkan dipahami, silahkan direnungkan. Tulisan diatas dimaksudkan dan ditujukan kepada kakek saya yang seorang laki-laki, dengan alasan karena saya sedang kesuh dengannya. Anggap saja ini bendera perang dari cucu kepada kakek tersayangnya yang sangat disyukuri dia tidak punya hape..jadi bisa dipastikan saya aman dari perang balasan. Saya sebagai kaum dipertanyakan, telah menganalisis pasti kenyataan tulisan diatas dengan menjadikan pacar tercinta yang juga seorang kaum dipertanyakan sebagai kelinci percobaannya. Sekian.



Salam Kode

Minggu, 14 September 2014

Membunuh Malaikat

Namanya Ari, begitulah ia pertama kali memperkenalkan diri dalam sebuah reuni putih-biru. Bukan perkara mudah saat itu ketika harus mengingat nama beserta pemilik wajah dalam keramaian perhelatan akbar, terlebih bagiku yang tercatat memiliki memori jangka singkat yang sangat payah. Dan mengingat juga mengenali yang mana ia ketika berada dalam baris daftar pengurus ternyata sama buruknya dengan menghafal raut muka satu-persatu para tamu. Yang tertangkap sekilas dalam otakku hanyalah polahnya yang sedikit lain atau lebih tepatnya, kelebihan dosis normal untuk manusia seumuran. Aku menyerah. Aku datang tanpa teman, kehadiranku sendiri tak benar-benar diharapkan. Adakah yang bisa mendeskripsikan tanpa harus membabi buta menunjukkan ego tentang kemalanganku saat itu? Biarkan hanya alam yang menjabarkan, dalam diam.

.

Aku dan Ari berteman, dari sederetan daftar kejanggalan sosokku entah alasan apa yang bisa membuat kami bertahan konstan. Mengikat hubungan teman beralaskan satu jawaban kembar, kami sama-sama manusia surplus kewarasan. Dan tanpa lagi memandang sebuah etika dari perundangan emansipasi wanita..kuajak ia menjalin sebuah hubungan. Alasanku saat itu jelas, karena pertama aku tidak memiliki teman segila Ari, dan jujur saja..aku bosan dianggap penyuka sesama! Dan menjadikan Ari pacar adalah pilihan terbaik saat itu hanya agar bisa dianggap normal. Sekalipun hingga hari ini, detik dimana aku hampir memiliki seutuhnya, masih kuragukan kelelakiannya.
Alasan Ari sendiri mengiyakan permintaanku masih dipertanyakan. Ia tau, aku gila dan tidak pernah berpikir apapun tentang yang diucapkan termasuk mengajaknya berkencan. Tapi sekali lagi, biarkan alam yang menjawab semuanya dalam diam.

.

Sekian banyak tanya menggantung diudara, tentang siapa, apa dan kenapa. Sosok Ari pun ternyata menyimpan banyak koma, kisah cintanya sendiri baru saja dalam gulungan tsunami. Dan kegilaannya dalam berkata mampu menyembunyikan kuyup juga bekas longsor dari terjangan yang dihadapinya. Sesosok malaikat kecil telah mengoyak bentuk hatinya. Membentuknya menjadi pribadi Ari yang saat ini ku kenali. Bagaimana bisa seorang manusia mengikat hubungan dengan bangsa peri? Dan kita semua tau betapa agungnya kredibilitas makhluk tanpa cacat bernama malaikat. Satu pertanyaan yang juga mengakar menjadi PR untukku-makhluk setengah nyata yang masih dipertanyakan asal muasalnya. Harus menjadi apakah aku untuk bisa menggantikan kehadiran sesosok malaikat kecil? Sedang diriku sendiri masih dipertanyakan kebenaran predikat manusianya. Terang saja, karena sesekali bahkan seringnya aku bermutasi menjadi monster, mencabik hati siapapun yang tengah dalam jangkauan tangan. Harus menjadi apa aku untuk Ari yang pernah mencicipi anggun kehadiran malaikat? Sedang aku, reputasi terbaikku dalam mengikat hubungan adalah sebatas teman. Itupun masih dalam syarat, jangkauan waktu membatasi pertemananku dengan siapapun. Seringnya, semakin lama berteman semakin aku ingin menjadikannya lawan. Siapa memangnya yang dengan bodoh tabah dicakar-cabik kapanpun aku dalam situasi burukku? Tapi Ari bertahan. Tapi Ari menunjukkan ketahanannya. Tapi Ari meyakinkan ketulusan bernama cinta. Untuk itulah aku mulai berpikir untuk mengikat dan menganggapnya nyata. Selama ini? Bahkan hingga setengah tahun umurku dan Ari bergandengan, tetap kujadikan ia hanya tameng agar aku terlihat normal. Maaf sayang..tapi terkadang, dalam hening masih kupertanyakan tentang kemungkinan adanya penyimpangan dalam sosokku. Dan untuk Ari si manusia surplus kewarasan, kuyakinkan diri dengan patuh bahwa aku normal. Ku tabahkan diri menghapus seinchi demi seinchi jejak terbang malaikat kecilnya..untuk Ari si manusia baja yang menyimpan banyak serum anti gores demi menghadapiku ketika tengah bertransformasi menjadi monster.

.

Dear Ari..aku tengah berjuang, menjadi manusia seutuhnya..menjadi perempuan yang bukan dalam tanda tanya. Kusingkap lengan baju dengan semangat menyala..menghadirkan ketidakmungkinan ketika dihadapkan pada keharusan melengser keberadaan Ratu bahkan Malaikat kecilmu dulu. Bukankah setiap manusia dibekali kekuatan tanpa batas? Dan aku ini ajaib! Terlahir alami dengan blasteran darah monster mengaliri tiap sendi. Dan kuyakini kekuatanku berlipat ketimbang ia dan mereka. Aku tengah berjuang Ari, namun jika suatu hari nanti serum anti goresmu habis. Tolong maaf, dan maafkan keliaran monster didalamku yang tak pernah mau mengenali siapa yang hendak ia sakiti. Tetap bertahan. Mari berjuang lebih keras lagi. Kecacatanku mungkin akan menjadi timpang dibanding keanggunan yang dihadirkan ia dan Malaikat kecilmu dulu. Tapi keluasan hatiku sanggup diadu jika kau masih mempertanyakan ketangguhanku. Sejauh hingga hari ini, monster masihlah si makhluk kuat di atas bumi. Dan jika kau lupa Ari, tanpa lelah akan kuingatkan kesejatianmu. Hidupmu menjejak tanah bukan mengangkasa mengepak sayap bebas diatas langit sana.

Menunggu Lahirnya 'Gelombang'

Dalam balutan sang agung Supernova, ia hadir diantara Putri dalam keanggunannya melangkah dimedan perang bernama junalis dan seorang Ksatria berotak gila berkemampuan gigantis dalam bercita rasa kata bernama pujangga. Ia hadir dalam ujudnya yang setara dengan kekuatan alamiahnya. Meluncur menghantam bumi menciptakan moment bagi mereka yang percaya akan keajaiban pada satu harapan yang terucap. Ia yang melesat tanpa peduli lagi adanya ruang dan melumpuhkan berapapun banyaknya waktu.

.

Ia yang didalam kungkungan akar melahirkan Batman tanpa kasta layar lebarnya. Batman dalam balutan punk, berbatok gundulisme dan tak lupa garis Avatar simbol keabnormalannya berliku disepanjang garis kemanusiaannya. Ia yang menghadirkan juga kepermukaan, ketabuan manusia di ufuk timur hingga tanpa sadar dipaksalah aku untuk mencecap dan mentolerir segala ketidaknormalannya. Ia yang menguntai surat dalam salah satu file didalam warnet diujung jalanan. Menyemai banyak cerita sarat peringatan, untuk embrio yang akan datang..untuk akar agar tidak pernah takut kandasnya kebenaran yang tak bernyawa.

.

Ia yang menyusup bak virus dalam kilatan petir yang membungkus badan sebuah raga bernama Elektra. Mengalirinya dengan segudang kepolosan yang dengan perlahan meracuni akal sehat, menjadikan seekor kucing dengan sadisnya dinamakan kambing. Ia yang menghadirkan seorang dalam kaus belel untuk dijadikan teman, pasangan, patner adu dalam memperjuangkan keegoisan. Ia yang secara misterius berhasil mempertemukan bintang Akar dengan si ahli listrik berkemampuan klenik.

.

Ia yang dalam kemampuan tak terhingganya mendalangi kehilangan seorang ahli beserta remah terkecilnya. Menyisakan buah dari spermanya mengorek dan menggali begitu dalamnya tanah hingga pulau seberang sana. Demi satu pencarian yang telah beda bahasa dan dunia. Ia yang mempertemukan dua tangan. Antara Zarah si manusia hutan, dengan Batman si manusia dipertanyakan kemanusiaannya.

.

Aku bercerita tentang ia yang mengajariku membuka mata, mengenalkanku pada banyak karakter dan nama. Menempaku akan begitu kayanya alam dan akal pikiran berbagai makluk bernyawa. Aku yang mengagumi bagaimana namanya mampu menyeruak dan bercokol tenang merajai pemikiran tak peduli seberapapun banyaknya aku membuka buku cerita. Karena ia hidup dalam kematian yang abadi. Karena ia sanggup hadir dalam substansi yang tak bisa disebut nyata..hanya karen aku sadar kita sesama nama yang tercipta oleh Ia. Pengalamanku akan hidup sama nolnya dengan kecakapanku bercinta. Tak tau mana teknik, tak tau mana waktu. Yang aku tau hanyalah bahwa aku tengah mengalami..dan ketika Bintang Jatuh hadir membagi keajaiban bagi mereka yang percaya, dalam balutan Supernova inilah kusebut jajaran embrio dan anaknya adalah dunia. Masing-masing lembar mengajarkan tentang jalan, masing-masing nama mengajarkan tentang rumus yang menyelimuti banyak misteri. Dalam mukanya, entah ia atau penciptanyalah yang tengah berkorespondensi..menciptakan sebait syair penuh keluguan, mengemasnya bersama paraf yang berhasil mengecoh ketegangan saraf otak. Aku tergoda, aku terpesona.. Oh Tuhan, aku telah jatuh cinta. Pada barisan lelehan tinta yang berhasil mengalirkan nyawa pada tiap alir darahku. Membangkitkan lagi nada yang terkurung mati dalam kejamnya bongkahan takdir. Menggerakkan adanya kekuatan Dewa yang tengah tersekap dalam raga, milikku. Oh Tuhan..aku telah jatuh cinta pada adanya luapan laut aksara..membanjiriku dengan ingin dan obsesi tanpa mata. Aku jatuh cinta berkat ia yang bernyawa. Aku jatuh cinta dan serumnya berhasil menyuntikku menjadi manusia berkekuatan dewa. Dan satu bab terakhir menantiku untuk seutuhnya disebut manusia gila.