Kamis, 25 September 2014

Tiga

Pagi menyapa melalui banyak nama. Dekapan asing seketika menaburkan hangat ketika alam mulai memanggil demi menegakkan raga. Dan sebelum ini, tak pernah kubaui aroma matahari sehambar kopi olahan mesin. Hangat yang sama, cerah yang tak memiliki intensitas kurang, tempat yang tak berpindah dari pijakan awalnya. Dan hanya dari aroma sanggup ku kenali adanya indikasi, bahwa sesuatu ada dan tak lagi sama keberadaannya.

.

Adalah tentang cerita tiga nama. Tiga aksara yang membuat pagiku seperti kehilangan nyawa. Mengais disegala sudut ranjang, bahkan disemua lipatan selimut yang tak lagi berbentuk. Bukan pagi yang mengganti parfum dan membuatku sedikit tak mengenalinya. Bukan matahari yang menenteng aroma baru dan menyajikan dalam misteri baru juga bernama tanya. Aku tau..sepertinya nyawaku lupa datang pagi ini. Sepertinya nyawaku mulai bosan pada adanya rangkaian kegiatan sama, yakni mengisi raga dikala fajar hingga detik saat pergumulan mimpi. Tiga aksara yang selama ini kujaga. Sedemikian rupa mengepas kenop pintu ruang bara agar tak ada sisi celah hangat yang terbuang. Mengatur lagi beranda beserta isi tutup penyaji, menjaga kestabilan isi demi tetap bekerjanya sistim kerja sebuah perekat. Dan kesemuanya..dan dari kesemuanya membeku digulung hujan es dikala senja. Tiga aksara yang malang.

.
.

Jarak menggelembung memenuhi ruang bernapas, menjadikan setiap tarikan oksigen mengangkut juga didalamnya remah-remah kecil paku. Dan andai bisa kumemberitahumu, sepucuk surat tentang waktu telah kuketik lama, jauh sebelum si empunya mampu menangkapi kosakataku.

.

Dear Park Jung Soo..ini tentangmu, ini tentang adik-adikmu, dan inti tentang darahku. Waktu telah lama berlalu semenjak terakhir kali aku menyapamu, mengurai helai-helai tampan yang menutupi matamu. Masihkah sorotmu setajam dulu sayang? Bisakah kita berbicara hanya berdua sekarang? Ini mungkin juga tentangmu yang tengah dalam perjalanan. Engkau mungkin akan sakit ketika harus menghabiskan ini. Tapi aku harus menuangkan sebelum akhirnya semua menguap terbawa angin dimusim hujan. Dear Park Jung Soo..taukah engkau matahari yang kucecap kini tengah dalam tahap mengkhawatirkan? Udara beraroma lain, sinar menyapa dengan hangat berbeda dan..dan aku tak bisa memberi jawaban tepat kenapa langit biru cerah yang menggantungi langit tergeser perlahan oleh warna netral. Dear Park Jung Soo..masihkah aku kini berharga? Ketika ternyata sakit telah tertoreh karena adanya kenyataan yang terus menampakkan ujud dan garisnya malah melunturkan keapikan warna darahku. Masihkah kini aku berharga? Aku merasa tengah menjadi bocah yang sangat malang. Ketika sadar akan gagal ketika harus terjun bersama manusia kebanyakan. Sedang berada dalam daratan kita justru harus kuakui adanya sepi. Dear Park Jung Soo..sekiranya perkataanku kali ini benar. Tolong dengarkan, bukankah sekarang adalah saat tepat dan terbaik untuk melepaskan? Bukankah fondasi kalian telah cukup kuat untuk kubiarkan terus berdiri tanpa harus ada aku sebagai salah satu penyangganya? Inikah akhir yang ku ucapkan dulu? Tidakkah akhir datang terlalu awal? Tapi pernyataan yang merujuk adanya kenyataan semakin mengukuhkan bahwa kehadiranku tak lagi dibutuhkan. Aku ingin engkau tau sayang, aku tidak sudi hadir pada mereka yang utuh.

.

Aroma pagi masih seperti awalnya. Hambar yang memilukan. Dan aku tidak tau jika didunia ini ada proses pelepasan yang ternyata sangat menyakitkan. Derap airmata mengalir membanjiri jiwa yang tengah rapuh. Aku lumpuh untuk berkata, aku bisu untuk sekedar berucap. Inikah kiamat itu? Kenapa sosoknya hadir dalam balutan modern yang kelewat tampan? Dan sesaat aku kembali ditampar. Ia dan mereka telah hadir dengan sangat pas mengisi ruang kosongku. Dan sesaat aku kembali disadarkan. Semangatku ada pada tiap hela nafas juga hiruk pikuk tetes peluhnya. Oh nyawa..oh nama, sudikah kalian memberiku kaca? Tiga nama yang tak seharusnya ku ikat dan sisihkan. Tiga nama yang tak seharusnya kulepas masa lajang tanpa adanya persiapan. Tiga aksara yang menjadi nyawa untuk nyata dan mimpiku. Mungkin sehabis petang ini. Semuanya benar tak akan lagi sama, keropos yang menyebar tanpa halangan tidak bisa begitu saja dilelang dalam sekali tambal. Harus ada yang dibayar, harus ada yang direlakan. Dan ah..dunia ini sekali lagi mengajariku tentang manisnya buah keikhlasan.

.

Indikasi aroma baru mengisi ruangan, dan ketika matahari mulai dipersalahkan..aku tau disana sesuatu perlu diluruskan.
Dear Park Jung Soo..aku memahami ketika engkau beserta adik-adik manismu mulai menginginkan nyawa baru sepaham ketika aku sadar nyawaku tak lagi sepenuhnya terpaut padamu dan tiga aksara duniaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar