Minggu, 14 September 2014

Membunuh Malaikat

Namanya Ari, begitulah ia pertama kali memperkenalkan diri dalam sebuah reuni putih-biru. Bukan perkara mudah saat itu ketika harus mengingat nama beserta pemilik wajah dalam keramaian perhelatan akbar, terlebih bagiku yang tercatat memiliki memori jangka singkat yang sangat payah. Dan mengingat juga mengenali yang mana ia ketika berada dalam baris daftar pengurus ternyata sama buruknya dengan menghafal raut muka satu-persatu para tamu. Yang tertangkap sekilas dalam otakku hanyalah polahnya yang sedikit lain atau lebih tepatnya, kelebihan dosis normal untuk manusia seumuran. Aku menyerah. Aku datang tanpa teman, kehadiranku sendiri tak benar-benar diharapkan. Adakah yang bisa mendeskripsikan tanpa harus membabi buta menunjukkan ego tentang kemalanganku saat itu? Biarkan hanya alam yang menjabarkan, dalam diam.

.

Aku dan Ari berteman, dari sederetan daftar kejanggalan sosokku entah alasan apa yang bisa membuat kami bertahan konstan. Mengikat hubungan teman beralaskan satu jawaban kembar, kami sama-sama manusia surplus kewarasan. Dan tanpa lagi memandang sebuah etika dari perundangan emansipasi wanita..kuajak ia menjalin sebuah hubungan. Alasanku saat itu jelas, karena pertama aku tidak memiliki teman segila Ari, dan jujur saja..aku bosan dianggap penyuka sesama! Dan menjadikan Ari pacar adalah pilihan terbaik saat itu hanya agar bisa dianggap normal. Sekalipun hingga hari ini, detik dimana aku hampir memiliki seutuhnya, masih kuragukan kelelakiannya.
Alasan Ari sendiri mengiyakan permintaanku masih dipertanyakan. Ia tau, aku gila dan tidak pernah berpikir apapun tentang yang diucapkan termasuk mengajaknya berkencan. Tapi sekali lagi, biarkan alam yang menjawab semuanya dalam diam.

.

Sekian banyak tanya menggantung diudara, tentang siapa, apa dan kenapa. Sosok Ari pun ternyata menyimpan banyak koma, kisah cintanya sendiri baru saja dalam gulungan tsunami. Dan kegilaannya dalam berkata mampu menyembunyikan kuyup juga bekas longsor dari terjangan yang dihadapinya. Sesosok malaikat kecil telah mengoyak bentuk hatinya. Membentuknya menjadi pribadi Ari yang saat ini ku kenali. Bagaimana bisa seorang manusia mengikat hubungan dengan bangsa peri? Dan kita semua tau betapa agungnya kredibilitas makhluk tanpa cacat bernama malaikat. Satu pertanyaan yang juga mengakar menjadi PR untukku-makhluk setengah nyata yang masih dipertanyakan asal muasalnya. Harus menjadi apakah aku untuk bisa menggantikan kehadiran sesosok malaikat kecil? Sedang diriku sendiri masih dipertanyakan kebenaran predikat manusianya. Terang saja, karena sesekali bahkan seringnya aku bermutasi menjadi monster, mencabik hati siapapun yang tengah dalam jangkauan tangan. Harus menjadi apa aku untuk Ari yang pernah mencicipi anggun kehadiran malaikat? Sedang aku, reputasi terbaikku dalam mengikat hubungan adalah sebatas teman. Itupun masih dalam syarat, jangkauan waktu membatasi pertemananku dengan siapapun. Seringnya, semakin lama berteman semakin aku ingin menjadikannya lawan. Siapa memangnya yang dengan bodoh tabah dicakar-cabik kapanpun aku dalam situasi burukku? Tapi Ari bertahan. Tapi Ari menunjukkan ketahanannya. Tapi Ari meyakinkan ketulusan bernama cinta. Untuk itulah aku mulai berpikir untuk mengikat dan menganggapnya nyata. Selama ini? Bahkan hingga setengah tahun umurku dan Ari bergandengan, tetap kujadikan ia hanya tameng agar aku terlihat normal. Maaf sayang..tapi terkadang, dalam hening masih kupertanyakan tentang kemungkinan adanya penyimpangan dalam sosokku. Dan untuk Ari si manusia surplus kewarasan, kuyakinkan diri dengan patuh bahwa aku normal. Ku tabahkan diri menghapus seinchi demi seinchi jejak terbang malaikat kecilnya..untuk Ari si manusia baja yang menyimpan banyak serum anti gores demi menghadapiku ketika tengah bertransformasi menjadi monster.

.

Dear Ari..aku tengah berjuang, menjadi manusia seutuhnya..menjadi perempuan yang bukan dalam tanda tanya. Kusingkap lengan baju dengan semangat menyala..menghadirkan ketidakmungkinan ketika dihadapkan pada keharusan melengser keberadaan Ratu bahkan Malaikat kecilmu dulu. Bukankah setiap manusia dibekali kekuatan tanpa batas? Dan aku ini ajaib! Terlahir alami dengan blasteran darah monster mengaliri tiap sendi. Dan kuyakini kekuatanku berlipat ketimbang ia dan mereka. Aku tengah berjuang Ari, namun jika suatu hari nanti serum anti goresmu habis. Tolong maaf, dan maafkan keliaran monster didalamku yang tak pernah mau mengenali siapa yang hendak ia sakiti. Tetap bertahan. Mari berjuang lebih keras lagi. Kecacatanku mungkin akan menjadi timpang dibanding keanggunan yang dihadirkan ia dan Malaikat kecilmu dulu. Tapi keluasan hatiku sanggup diadu jika kau masih mempertanyakan ketangguhanku. Sejauh hingga hari ini, monster masihlah si makhluk kuat di atas bumi. Dan jika kau lupa Ari, tanpa lelah akan kuingatkan kesejatianmu. Hidupmu menjejak tanah bukan mengangkasa mengepak sayap bebas diatas langit sana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar