Sabtu, 20 September 2014

Cicak Lugu Dan Si Manusia Bisu

Petang ini aku mendapati seekor cicak diatas meja nakas. Kuamati dengan seksama ketika dengan mulut kecilnya berusaha mengangkut remah besar makanan diatas meja. Ia mungkin tau tengah kupandangi, ketika tak sengaja tatapan kami beradu dalam putaran yang sama. Bola hitam matanya mengawasiku pasti, dengan kepayahan ia menarik makanan dengan terus tanpa memutus kontak. Tubuh bagian dadanya mengembang kempis seirama nafasnya, ekor lencir terdiam diujung tubuh tak menunjukkan nyawa. Ah, kenapa engkau begitu indah wahai makhluk melata. Sekali lagi ku tampilkan tatapan selidik, tangan kakinya terlihat halus sekalipun pasti telah banyak ia lewati jajaran runcin dinding yang sekiranya sanggup melukai permukaan tubuhnya. Sungguh, belum pernah kuapresiasikan kekaguman pada makhluk kecil berkekuatan lugu sepertinya sebelumnya. Dan cicak diatas meja nakas hari ini menjadi rekor tersendiri bagiku. Menit berlalu dengan penuh tegang, mata kami tetap beradu pandang pada lingkaran yang persis sama. Kuletakkan tak jauh darinya sekeping kecil makaman yang kiranya muat untuk ia gigit dan bawa tanpa harus memerlukan usaha berarti seperti mangsa yang kini masih dalam sapuan mulutnya. Dalam hati, dan hanya dalam hati ku sapa ia pelan, "Hai teman.." Aku tau makhluk lugu itu tak akan membalas sapaku, tapi melalui getaran gila yang hanya sanggup dimengerti oleh kepala kelebihan nutrisi, aku tau ia menyapaku juga..kuperkenalkan siapa diriku lebih lanjut dan ia memberiku jawaban serupa menurut versinya. Singkatnya kita berteman. Ah..makhluk lugu ini lagi-lagi memberiku pengalaman baru. Menggali lagi kemampuan bawah sadarku demi menangkapi bahasanya yang tersampaikan acak melalui getaran alam. Dering pesan masuk alat komunikasiku memutuskan irisan pertemanan yang tengah berlangsung. Pandang mata kami terputus seiring dengan perginya ia meninggalkan remah besar makanan yang tadi hendak dipungutnya. Ah..nada pesan sialan.

.

Bertemankan hening malam, kuresapi lagi pengembaraan pada pengalaman baruku tadi. Makhluk yang benar-benar lugu. Dimanakah sekiranya ia tinggal? Aku hampir yakin kami masih berada dalam satu ruangan. Tapi ia bukan manusia, yang akan menyahut ketika kutanya ia dimana. Kehadiran singkatnya sekilas mengingatkanku pada seseorang disekitarku. Aku tak begitu yakin ketika harus menyebutnya teman, kendatipun mata kami seringnya beradu pandang dalam ketidaksengajaan. Hening selalu membungkus ketika waktu membuat jarak semakin mengikis dalam jengkal saja. Setiap ucapan yang terlontar dari pita suaranya tak pernah lebih dari sekedar pertanyaan apa dan kenapa. Sedang aku, berada dalam jangkauannya secara otomatis mengaktifkan isolasi yang membungkam mulut berisikku. Jadilah kami dua manusia bisu berkekuatan ekstra diantara manusia-manusia berpola seadanya. Seringnya kudapati banyak percakapan tercipta diantara keheningan mengelilingi. Seperti halnya aku dan cicak diatas meja nakas, aku dan ia juga hanya bisa saling sibuk menangkapi sinyal yang terkirim melalui getaran alam. Dan untuk sesuatu yang tak bisa ku mengerti, terkadang aku tersenyum ketika kutangkapi sinyal aneh dalam gerak ragunya. Ia kenapa?

.

Cicak dan seseorang dilingkupanku mungkin adalah kembar. Menyalamiku dengan segala keanehan. Mengajariku pelajaran baru tentang adanya komunikasi kealamian. Dan keduanya sama-sama membuatku gugup ketika kontak mata tak sengaja menyampaikan sapa dan senyuman.

.

.

Dear kalian yang tak memahami pengucapanku, kembali kukirim sinyal pada kaliajm meski dalam ujud tulisan. Aku harap pesanku tersampaikan sama baiknya ketika aku dan engkau saling berbicara dalam diam. Bisakah aku menyerukan pada dunia bahwa kita berteman? Bisakah aku menganggapmu teman? Aku menangkapi banyak pesan halus melalui getaran sekitar bahwa engkau tidaklah sedingin yang diperlihatkan. Untuk itu, bisakah izinkan aku membuat tangga pengantar untuk segala ketercanggungan ini? Kalian adalah sesuatu yang baik. Aku mengetahui itu sejelas membaca tumpahan tinta berupa aksara pada tiap kertas kosong. Aku mengetahui itu karena yakin aku menemukan sinyal sejalan dalam perbincangan kita kemarin, lusa, dan baru saja. Bisakah kita berteman? Aku tak berniat buruk dengan segala niatku. Setidaknya bahasa lisan lebih membuatku semakin terlihat waras dan normal ketimbang bahasa tatapan. Seperti kalian, aku juga makhluk nyata meski keaslian manusiaku masih dalam proses pengesahan. Namun aku berani menjamin bahwa tubuhku tak lantas menyimpan api sekalipun mataku seringnya menghantarkan kobaran-kobaran tajam. Aku berani menjamin bahwa ragaku tak lantas mengandung samurai setipis guratan kaca sekalipun terkadang nadaku tak lebih hangat dari gumpalan es dipalung samudra. Aku hanya ingin kita berteman.

.

.

Malam menyuguhiku nada dalam ujudnya yang hanya hening dan guratan gelap merata. Cicak dan ia yang tak beridentitas tak lantas hanya dua tokoh dalam paragraf tak berjudul ini. Karena aku dan mereka sama, tengah mencoba hadir diantara banyaknya mayat bernama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar