Minggu, 28 September 2014

Ketika Alam Harus Berhenti Bernyanyi

Aku adalah manusia realistis. Yang hanya menganggap cinta adalah sekedar sampah semata. Aku adalah manusia statis. Yang memiliki ketercanduan untuk terus merobek jaring sabar setiap harinya. Aku adalah manusia tanpa garis. Yang menganggap dunia adalah neraka.

.
.

Dalam kestatisanku, alam perlahan menyapa. Menyuguhkan sepiring rasa yang ia sebut ramuan cinta. Dalam keabstrakkanku, tanah memberontak. Memaksaku menyeruput secangkir panas bernama takdir. Dan misteri hidup beserta lingkupannya terlalu pelik untuk dibahas dalam sepertiga malam ini.

.

Dimanakah asa, dimanakah rasa. Kemanakah nama, kemanakah nyawa. Rintihan senandung alam menggema memenuhi gendang telinga, mencoba memantrai setiap pernafasan dengan sayatan melodinya. Aku tau..alam tengah merajuk, memintaku melebur dalam rotasi semunya. Aku tau..alam tengah mengutuk, melalui gelombang yang tak berfrasa. Mungkin memang seharusnya aku dan alam tak memaksakan diri untuk bersatu dengan terus membutakan tak terhingganya perbedaan. Satu putar, dua ulangan. Nada sumbang penyayat jiwa kembali berkuasa. Menengadahkan tangan dan kembali mengucap mantra. Seperti inikah cinta ketika sesekali kudapati permukaan hati tergores denting ucapan? Seperti inikah cinta ketika sering kutemui bercak kering pertanda disana telah tercipta aliran? Aku buta. Aku terlalu muda untuk bisa bertahan bersama perkawinan alam. Aku terlalu buta untuk bisa melihat adanya gumpalan es tajam berserak ditepi badan. Dan aku terlalu awam untuk bisa memahami adanya alur permainan alam.

.

Dear alam, dengan segala keluasan kau tunjukkan padaku misterimu. Dalam keabuanmu kau perlihatkan kuasa juga tipu muslihatmu. Dan untuk pertama setelah sekian lama, bisakah kita bertukar peran? Aku ingin kau rasakan betapa mewahnya menjalani takdir sebagai manusia. Berlimpah ego melumuri raga, bermilyar jerami menumpuk diri membentuk kerangka bernama badan. Dan untuk sekali ini juga kuingin kau rasakan seperti apa rasanya retak-pecah dan terbakar. Dear alam..tak seharusnya ku ucap kata penolak mantramu. Keagunganmu menjejali mulut juga otakku untuk tetap terkagum pada adanya kehadiranmu. Tapi jujur saja, seringnya kudapati diri yang tengah memaksa meloloskan serpihan paku menuju dasar pencernaan. Tapi jujur saja, tajamnya getar virtualmu justru menggariskan sebaris rasa berbau anyir dan menyakitkan. Mungkin memang tidak seharusnya kita dulu berjabat tangan dan bersama memulai petualangan.

.
.

Aku dan alam yang malang, terlahir bersamaan dalam jangkauan batasan. Tumbuh bersama dalam dekapan jurang. Seperti inikah cinta yang dipuja oleh manusia? Bersubstansi kotak mengambang dipermukaan tanpa berniat menjejakkan diri diatas hamparan ladang. Seperti inikah cinta yang diburu sepertiga penghuni kehidupan? Terjebak manis dalam kubangan setan bertameng dewa. Dan yang ingin kuperbaiki disini adalah engsel alam yang tak seharusnya masih dipasang untuk keseharian. Dan yang ingin ku luruskan disini adalah bahwa aku tidak terlahir untuk bisa menandingi keluasan alam. Dan yang ingin ku tulis hari ini adalah bahwa aku tidak terprogram untuk terbiasa menyantap abu-abu melayang.

.

Dear alam, sesekali aku berharap engkau sanggup memahami bahasaku, sesekali aku berharap pintar yang terkandung dalam keluasanmu sanggup mencerna remah-remah aksara yang kuhadirkan. Dear alam, untuk inikah sebenarnya kita dipertemukan? Agar demi terbiasa mengunyah sumber gizi dari bahan yang diluar nalar? Untuk inikah sebenarnya kita dipersatukan? Agar demi balutan ego dalam kerangka ragaku memiliki skala wajar dan kepongahan untuk keluasan agungmu sanggup berturun kadar? Untuk inikah?
Mantra ternyata benar bukan sekedar ucapan. Mantra ternyata benar memiliki kuasa tak terdefinisikan. Dan jika ternyata belitan jaring kita terputus ditengah tanpa adanya lagi ikatan sambungan, bisakah aku menyalahkan mantra? Bisakah aku menyalahkan mantra dengan segala dayanya membuatku buta? Bisakah aku menyalahkan mantra yang berhasil mengubahku dari manusia menjadi setara dengan tingkatan dewa? Dan aku masih berharap keagunganmu sudi menundukkan luas dari semestamu hingga terbiasa dan mampu memahami bahasaku.

.

Kembali ku ingatkan jika aku adalah manusia realistis. Darah wanita menyemai banyak titik kepekaan yang mungkin berlebihan. Sedang alam, nyanyianmu membahana membalut bumi, raungan merdumu mengangkasa menembus pertahanan awan. Aku yang terbiasa memandangmu sebagai sosok semesta raya, akhirnya patuh dan manut untuk mengikuti perjalanan rotasimu dengan menebalkan perasaan, dengan menebalkan mata juga pendengaran.
Dear alam, aku tau ini bukan tentang sebuah pertandingan. Sekalipun seringnya dengan waspada kuangkat parang demi semak belukar yang membentengi kelembutan hati. Tapi ini adalah tentang.............Dear alam, untuk sekali ini biarkan aku menumpahkan, biarkan aku untuk tidak mengalah pada nalar. Karena didepan sana, tak lagi ada jalur keluar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar