Sabtu, 29 Februari 2020

Surat Kepada Kandidat Teman

Engkau hadir bak bulir air yang jatuh dari langit di penghujung musim kemarau. Engkau bahkan lebih dari itu, gerakmu melaju seperti angin yang tertiup kipas raksasa. Kuyup bukan kata yang tepat, karena engkau datang dan pergi tanpa menyisakan apa-apa, bahkan kata-kata. 

Aku takut tentu saja, bahkan sebelum kedatanganmu menjadi nyata engkau telah menyebar teror sedemkian rupa.
Bisakah kita menjadi teman? Tidakkah engkau ingin sejenak saja menghentikan langkahmu untuk sekedar mengistirahatkan diri atau membuka telinga dan mata bagi mereka yang telah banyak melihat dan mengalami kehilangan? Tidakkah engkau ingin tahu mimpi apa saja yang harus hanyut paksa karena serbuan tanpa peringatanmu? Aku berada di sini, jauh dari jangkauanmu dan tengah tergugu membayangkan betapa meriahnya pesta yang engkau mulai di pembukaan tahun ini. 
Sekali lagi aku ingin menjabat tanganmu dan bertanya, bisakah kita menjadi teman? Mari masuk dan menjelajahi gorong-gorong waktu dari perjalananku yang telah lalu. Aku memiliki banyak orang istimewa di luaran sana, yang nyawanya memiliki urat penyambung khusus dengan nyawaku. Sehingga apapun yang melukai mereka akan terhubung juga rasa sakitnya padaku. Aku memiliki mimpi yang setiap harinya tengah bertumbuh dan akan terus bertumbuh. Gadis kecil yang begitu kusayangi dan kucintai dengan segenap jiwa, raga dan juga hati. Memperbaiki dunia adalah cita-cita terbesar yang pernah terucap dan terpikirkan olehku hanya agar kelak dia bisa memiliki kedamaian jalan, hanya agar kelak dia bisa berjalan tanpa harus terperosok dalam jurang yang selalu menganga di tiap tikungan. Aku bahkan masih belum menentukan tentang keinginan agar gadis kecilku tumbuh besar menjadi dan seperti apa. Karena kedatanganmu perlahan mengaburkan semuanya. Ya, engkau yang hingga hari ini di harapkan masih belum menyentuh daratan dimana aku dan seluruh keluargaku tengah berpijak. Semua cerita dan derita yang datang bersamamu sampai lebih dulu di daratan ini. Dan sekali lagi kutegaskan bahwa aku takut. 

Semua orang bertanya-tanya tentang obat apa yang bisa memadamkan api dari pesta poramu. Sebagian masih mencari jalan tentang bagaimana caranya agar tidak sampai bertatap muka denganmu, sebagian yang lain pergi begitu saja dari dunia tanpa sempat melambaikan tangan, tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal setelah sempat beririsan denganmu. 
Sulit sekali untuk membayangkan makhluk sekecil dirimu bisa memiliki hati, sulit sekali membayangkan makhluk sekecil dirimu bisa menjadikan makhluk lain sebagai teman, tapi disini aku ada dan mengulurkan tangan. Bisakah kita menjadi teman? Aku tidak pandai berbicara, semua usahaku untuk menaruh kalimat manis di ujung lidah selalu menghasilkan serapah dan kekacauan saja, tidak ada yang keluar seperti yang di inginkan dan di rencanakan. Lidahku melukai lebih tajam juga lebih keras daripada yang mungkin bisa dilakukan oleh anggota tubuh lain, hingga terkadang aku sampai pada titik berdoa agar tidak bisa berbicara. Ya, aku sefrustasi itu menghadapi kekacauan yang ditimbulkan oleh anggota tubuh tak bertulangku satu itu. Tapi aku bisa menghasilkan mantra. Tapi aku bisa merunut kata-kata dengan begitu manis dan halus. Aku bisa menyentuh dengan kata-kata itu, dan berharap aku bisa menyentuhmu juga seperti yang selalu berhasil kulakukan pada manusia, menyentuh dan merangkulmu dengan begitu mesranya, sampai engkau terketuk dan akhirnya rela meninggalkan pesta pora yang telah tercipta dan pergi dari dunia ini dengan tanpa harus membawa lebih banyak nyawa mereka yang tak berdaya. 

Jika kita bisa saling terbuka untuk menyuarakan pemikiran dari tempat terdalam, jujur saja aku tidak begitu peduli dengan kerugian-kerugian yang harus di tanggung sebuah pulau atau sekumpulan manusia. Aku hanya peduli pada mereka yang masih ada dan tak pernah tahu kapan kau akan mendatanginya, memeluk dan menyeretnya pada ambang batas dunia. Aku hanya peduli pada ribuan mimpi yang harus terputus begitu saja tanpa adanya peringatan apalagi aba-aba. Aku hanya peduli pada mereka yang harus terputus dari orang-orang yang berharga dalam hidup dengan begitu tragis, dengan sekali pukul dan sekali lambaian. Kehidupan terlalu komplek untuk diberi senyuman singkat sebagai ucapan selamat tinggal. Kematian bahkan terlalu sakral untuk di hadiahkan pada ribuan nyawa dalam sekali tebasan ayunan pedang. Engkau tidak seharusnya seegois itu dengan merenggut sekian ribu dalam satu waktu, hanya karena engkau berkuasa, hanya karena engkau memiliki daya. Intip sebentar saja pada kepala-kepala mereka yang berada di tengah ambang, lihat dan rasakan apa yang tengah bergumul di dalam sana, tanyakan berapa kesiapan yang bisa mereka kumpulkan, rasakan berapa keras ketakutan yang berhasil menyelimuti. Kematian memang akan datang pada setiap yang hidup, tapi mengetahui sesuatu bertanggung jawab akan melayangnya ribuan nyawa membuatku berpikir ulang untuk mengutuk kematian, membuatku berpikir ulang untuk mengabaikan.

Dari apa sebenarnya engkau tercipta kalau aku boleh tahu? Apa engkau hadir begitu saja seperti cacing yang keluar dari dalam tanah? Apa engkau hadir begitu saja seperti tunas baru yang tumbuh dari pohon yang telah mati? Atau engkau hadir seperti manusia? Datang karena adanya penyatuan dua indukmu? Manusia perlu tahu semua itu untuk menghentikan pengelanaanmu yang begitu meraja lela tanpa melihat perbatasan dan usia. Aku khususnya perlu tahu agar bisa melanjutkan mimpiku tanpa harus terbumbui ragu tentang kapan engkau akan mendatangiku dan orang-orang di sekitarku. Aku khususnya perlu tahu agar bisa bernapas tanpa harus membawa serta beban dalam setiap helaannya. Ketakutan yang begitu menyelubungi seperti kabut tebal di atas api pembakaran. Aku sesak, aku tergugu, aku terdiam dan dari kesemuanya tidak cukupan untuk memperlihatkan bagaimana aku tengah di landa cemas berlebih dan ketakutan. 

Andai saja engkau mau menyambut uluran tanganku, lalu kita berteman seperti yang kuinginkan. Kepadamu akan kuperlihatkan indahnya siang dan malam, kepadamu akan kutunjukkan betapa nikmatnya berkhayal, memupuk mimpi dan menungguinya. Andai saja kita berteman, ingin kurengkuh dirimu dalam dan kunyanyikan lagu serta kubacakan dongeng agar engkau bisa terlelap dan menjadi tenang. Bahkan andai kita berteman, ingin sekali kuperlihatkan padamu bagaimana cara kerja dunia agar engkaupun bisa hidup di dalamnya tanpa harus membuat mereka yang terkena sentuhanmu pergi dipeluk kematian. 
Tapi sepertinya makhluk sekecil dirimu terlalu riskan jika masih harus dijejali tentang konsep hati, nurani, apalagi mimpi. Semua yang engkau butuhkan hanya pemuasan akan rasa dahagamu tentang berkembang dan berkembang. Semua yang engkau butuhkan hanya pemuasan akan rasa dahagamu tentang berpesta pora dan bersenang-senang. 

Aku mengabaikan banyak untuk menulis dan mengulurkan tangan sebagai tanda pertemanan. Menekan banyak rasa takut dan keresahan yang terus menggunung sejak pembukaan tahun baru ini. Aku setakut itu hingga sampai pada titik merasa bahwa mungkin yang engkau butuhkan uluran pertemanan dan pelukan dan kata-kata manis dan pengakuan, semua hal dan satu-satunya yang bisa kulakukan. 

Maaf jika harus menginterupsi kebahagiaanmu dalam berpesta pora. Maaf jika harus menginterupsi kesenanganmu memeluk manusia dan mengantarkannya pada ambang batas nyawa. Tapi aku percaya suatu hari nanti, entah esok atau lusa, langkahmu akan terjegal oleh penemuan dan pengetahuan. Kuasamu yang hampir melegenda akan tersapu oleh tak terhitungnya doa-doa. Dan ketahuilah bahwa masih ada Yang Maha Kuasa diatas yang paling berkuasa.
Semoga waktu yang menyembuhkan akan segera datang secepat semangat yang tumbuh di dalam hati usai menuliskan ketakutan dan keresahan ini. Semoga.

Selasa, 25 Februari 2020

Bintang Murung Dan Makhluk Hitam

Kehidupan di atas langit sering kali kurang menarik minat dan perhatian manusia. Kecuali bintang-bintang, kecuali mentari, kecuali rembulan. Tiga sumber cahaya yang begitu di agung-agungkan keberadaannya. 

Aku adalah makhluk hitam. Bernama demikian karena hanya memiki ujud dalam kegelapan malam. Ketika siang datang, wujudku menjadi transparan, menyaru dengan langit biru, dengan awan-awan melayang. Aku selalu ada di sana meski keberadaanya tak pernah disadari apalagi menuai puja puji. Jika di bandingkan dengan manusia, maka keberadaan kaumku hanya sebagian sangat kecil dari mereka. Perbandingannya adalah ketika pasir di seluruh dunia di gabungkan, lalu segenggam dari mereka adalah makhuk hitam. 
Meski tak bernama, hanya memiliki identitas sebagai makhluk hitam saja, tapi nyatanya cerita tentang kami tidaklah seminim itu. 
Konon segelintir manusia memiliki dongeng tentang makhluk hitam yang di ceritakan secara turun temurun, hingga keaslian kisahnya kian mengabur tergerus waktu. 


Makhluk hitam tidak memiliki mata, jika yang di maksud dengan mata adalah dua lubang di wajah bagian atas dengan bola putih dan lingkaran hitam kecil di tengahnya. Tapi kami memiliki jari yang begitu banyak, cukupan untuk meraup serbuk bintang yang bertabur di langit sana dalam satu pelukan. Dan meski tidak bermata, tapi kami tetap bisa melihat, melalui ujung jemari yang jumlahnya lebih dari cukup untuk menggantikan fungsi mata. 
Langit malam adalah taman bermain yang begitu mengasyikkan, memandang kerlip lampu di bawah sana yang begitu sesak dengan banyak pola dan ribuan puntiran, tidur tidak pernah ada dalam daftar hidup makhluk hitam. Bahkan ketika siang datang, cerahnya mentari terlalu sayang untuk di lewatkan dengan mengistirahatkan badan. 

Gelap selalu membawa keceriaan sendiri. Menangkapi bintang adalah permainan yang selalu membawa kejutan. Manusia entah bagaimana selalu bisa menggantungkan harapan dan asa di setiap pucuk bintang, konon doalah yang menjadi tangga sekaligus perekat bagi kemustahilan itu. Dan menyentuh harapan mereka, membaca asa dan impian mereka adalah kegiatan menyenangkan bagi makhluk hitam, terutama untukku. Aku melihat banyak nama, banyak gabungan nama dan lebih banyak lagi kata-kata yang memerlukan penerjemah khusus untuk mengetahui isinya. Manusia lebih menyukai menimbun angan di kepala mereka, melafalkan banyak mantra, begitu tergesa-gesa dalam keseluruhannya, hingga kemudia jatuh terserimpet untaian doa yang mereka panjatkan sendiri. Itu lucu, sangat lucu, terlebih lagi mengetahui ternyata sebagian besar manusia memilih untuk menghindari malam, melilih untuk tidak di lumat oleh gelap. Bola lampu adalah penyelamat untuk sepanjang malam. Entah apa sebenarnya yang mereka takutkan. Bukankah tidak ada yang lebih menyeramkan di dunia ini ketimbang momen turunnya hujan? Aku khususnya selalu menghindari hujan. Beralih dari petak satu ke ujung petak yang lain, hanya agar bisa terhindar dari berkubik-kubik air yang turun secara acak dan bertabrakan. Tidak ada yang perlu di antisipasi dari malam, hanya jika manusia mengerti bahwa gelap selalu mengulurkan tangan memohon sambutan, hanya jika manusia mengerti bahwa ada semua takut dan perasaan waspada yang menghantui manusia adalah tak lain buah dari hasil pemikiran tentang kecemasan mereka sendiri. Manusia begitu lucu dengan segala tindak dan kebiasaannya. 

Tentang menyentuh bintang, tempat di mana semua harapan dan asa manusia di gantungkan. Kemarin lalu yang telah lama aku menemukan satu bintang besar, berdiri jauh dari pandangan. Bahkan jemari terpanjangku harus sedikit mengeluarkan usaha untuk bisa menyentuhnya. Bintang satu itu berbeda, bukan bersinar putih terang seperti kebanyakan, tapi ada nyala abu yang mengelilingi dan membalut keseluruhan dirinya, membuatnya seakan hanya bintang kecil murung yang terus meredup. Karena awalnya akupun mengira begitu. Tapi ketika dilihat dadi dekat, dia benar-benar bintang dengan ukuran yang cukup besar. Dan selimut abu yang membuatnya terlihat seolah bintang murung adalah ujud dari ribuan asa yang membentuk konstelasi tersendiri. Dia memiliki beban untuk menggantungkan harapan lebih dari yang bisa dia bawa. Beberapa malah benar-benar jatuh dan tidak bisa menemukan ruang untuk merekatkan dirinya di sana. Bintang yang malang, sungguh bintang yang malang.

Aku mendekapnya, dengan begitu erat dan penuh kehati-hatian, berharap bisa mengusir selapis kecil saja selimut abu dari tubuhnya. Bintang murung itu tersenyum, mengedipkan mata padaku dan menarikku dengan lebih erat. 
"Kita akhirnya bertemu," begitu bisikknya padaku, aku tercengang lebih dari sekian cara. Suara itu begitu menggetarkan hati dan menyentuh ingatan. Aku mengenalnya, di putaran kehidupan yang entah keberapa, suaranya berdengung pelan di udara, mengirimkan lebih dari satu sinyal untuk mengetuk kembali ingatan di antara tumpukan ribuan ingatan tentang permainan dan bintang. Aku mengetahui siapa dia, melihat perjalanannya, mengenal kisahnya. Dia adalah bintang pertama yang kusentuh ketika aku masih bayi dulu. Ya, aku memahami kebingungan kalian, akan kujelaskan secara singkat sekarang, makhluk hitam di ciptakan dengan siklus sama seperti manusia, terlahir, bertumbuh lalu mati. Hanya saja putaran bertumbuh makhluk hitam mencakup waktu yang sangat lama, membutuhkan waktu lebih dari seribu tahun meski bagiku terasa seperti sekejapan mata. Dan lagi, makhluk hitam memiliki keluasan pilihan untuk menentukan sendiri kapan waktu yang diinginkan untuk menghilang, mati ketika manusia membahasakannnya. 

"Kau kembali sekarang, setelah sekian lama," lanjut si bintang murung lagi, aku mengirim getar emosi melalui jemari yang memebebat rapat badannya, dia tahu aku tengah tersenyum sekarang,
"Jangan mengalihkan pandanganmu lagi dariku," kali ini dia mengucapkan dengan sedikit merajuk. Demi semua bola lampu dengan untaian rumit di bawah sana, ingin sekali rasanya kulumat gelap malam itu agar mentari segera datang. Sinar mentari adalah pertanda bagi para bintang untuk melepaskan semua asa dan harapan yang menempeli badannya, pertanda bagi mereka untuk sebentar menghilang dari pandangan dan mengistirahatkan badan. 
Dekapanku tak mungkin bisa lebih erat lagi, tapi emosi yang merapat di ujung jemari benar-benar meminta sentuhan untuk meloloskan perasaan. 

"Sekarang waktuku untuk menghilang, maukah kau menyertai kehilanganku?" aku melepaskan pertanyaan dalam ujud sentuhan, mengangguk pelan untuk memberikan keyakinan. Jujur saja, aku belum terlalu lama lahir dalam kehidupan kali ini. Bintang besar yang sekarang murung dulunya adalah bintang paling bersinar di alam semesta. Berdiri di tempat paling strategis untuk dilihat manusia, alhasil dia menjadi sasaran bagi ribuan mata di bawah sana untuk di jadikan target penempelan asa dan harapan. Aku yang menyarankannya untuk menyingkir dari peradaban, akupula yang memboyongnya sebagai bintang jatuh meski dia tak pernah benar-benar terjatuh seperti yang terlihat. 
Menyentuh isi mimpi dan harapan manusia awalnya adalah permainan yang paling kusukai, mengetahui bagaimana mereka melalang buana dalam imaji yang tak bersekat benar-benar menyenangkan. Tapi bintang murung menunjukkan hal lain padaku. Baginya harapan manusia adalah beban sekaligus hipnotis yang begitu menggiurkan. Dua sisi koin yang memiliki magnet kuat untuk membuatnya benar-benar terbebani secara nyata. Dan dia ingin mundur perlahan dari penampakannya yang sangat menonjol dan cemerlang. Istirahat buka kata yang tepat, karena sinar mentari selalu menyuguhkan keistimewaan itu, tapi dia menginginkannya yang abadi, tanpa jeda, tanpa celah untuk bisa memulai lagi. Bintang yang selalu berkelip manja di ladang langit, bagaimana bisa memiliki sisi emosional yang begitu mencekam? Apakah kata lelah pernah ada dalam bagian hidupnya? Bagaimana dia bisa terus bersinar dengan begitu banyak beban menggelayuti dirinya? 


Sekian waktu berlalu dan disinilah aku sekarang, bersama dengan bintang murung dalam dekapan. Menikmati malam terakhir dengan jalan mematikan pandangan. Karena jujur saja, dalam relung yang terduga, akupun memiliki sedikit keluhan yang tak pernah berniat untuk kumuntahkan. 

Aku bosan di lihat sebagai hantu, hidup dalam dongeng yang keaslian ceritanya kian memudar, menganggapku sebagai makhluk yang bisa melihat apa saja, seakan kedua mata mereka belum cukup untuk mengetahui segalanya. Akupun bosan di perlakukan sebagai kaca, yang hanya bisa mendatangkan refleksi bagi siapapun yang melihatnya, yang akan hancur ketika hujan menimpanya. 

Bukan gelap apalagi pekat yang menakuti dan mengganggu denyut napasku, tapi limpahan emosi yang tersalur ketika berhasil kusentuh gantungan-gantungan angan di sekeliling badan bintang. Efek samping dari kegiatan yang kuanggap sebagai permainan. Dan aku merasa lelah karenanya. Manusia, mereka kira mereka itu siapa? Dengan ceroboh melayangkan mantra begitu saja ke atap langit, belum lagi dengan kebiasaan mereka menggantung asa dan harapan pada bintang-bintang. Tidak pernahkan sekali saja mereka sampai pada satu pemahaman, bahkan bintang yang tak pernah bergerak, menyiku apalagi berputar-putar itu pun memiliki kehidupannya sendiri, dan meski separo abadi, apakah itu alasan yang tepat untuk mereka menggerecoki kehidupannya denga ribuan asa dan harapan? Bahkan bintang paling besar dan bersinar pun pernah di gelayuti kata lelah dan ingin menyerah.

"Sekarang watunya," bisik bintang murung dalam dekapanku. Aku tersenyum, memandang untuk terakhir kali pada tempat sinar mentari biasa menampakkan diri di ufuk pagi. 
Selamat tinggal para mimpi, selamat tinggal para asa, selamat tinggal manusia, meski kita tidak benar-benar saling mengenal aku bisa meraba kalian melalui jemariku yang panjang. Kita mungkin akan kembali di pertemukan, dalam tangga doa yang terkadang menyandung langkah dan pergerakanku. Selamat tinggal makhluk naif, suatu hari nanti ketika waktu kalian tiba untuk menghilang, pemahaman itu mungkin akhirnya akan datang. Bahwa bintang juga makhluk nyata senyata kalian. Bahkan aku, si makhluk hitam, yang terlanjur meninta dalam dongeng yang kian memudar. Bahkan impian kalian memiliki berat, dan panjang, yang kian hari kian membebani langit karena volumenya. Dan ingatlah ini, jika kalian tidak benar-benar berhenti untuk berharap dan berkhayal maka bukan tidak mungkin kalian akan lenyap tertimbun reruntuhan langit yang kelebihan beban. Selamat tinggal. 

Selasa, 04 Februari 2020

13 Bintang

Karena cinta akan sulit bersanding dengan kata penggemar. 

Berapa lama aku mengenalmu, melupakannya hingga sekarang semua kenangan tentang kalian datang membanjiri ingatan. 

Cinta biasanya berdiri berdampingan dengan genggaman yang saling mengeratkan sekaligus menyalurkan kehangatan. Ikatan yang membungkus kita pastilah lebih tebal dan kuat ketimbang tali apapun yang pernah mengekang di masa lampau. Terbukti sekian tahun berjalan dan rasa itu tak pernah memudar. Aku ragu jika perasaan tercabik ini hanya berlaku pada diriku saja, penggemar yang tak pernah sekalipun melihat kalian secara nyata, penggemar yang enggan mengeluarkan dana lebih agar bisa selangkah lebih dekat dengan kalian. Tapi percayalah cintaku tidak kurang dari mereka yang telah berhasil melihat kalian secara nyata. Tapi percayalah, bahkan setelah sekian lama aku masih bisa tersentuh dengan suara kalian. 

Kerja keras tidak akan mengkhianati hasil. Dan usaha kalian selama ini dalam mengukir nama benar-benar telah mencapai titik puncaknya. Raja dari segala yang tengah bertahta sekarang ini. Pembuat setapak bagi belantara yang tak pernah terjamahkan sebelumnya. Kalian pantas mendapatkan lebih dari sekedar pengakuan cintaku. Tapi bagaimana dengan perasaan ini? Aku bahagia karena kalian berbahagia. Aku sakit ketika kalian tersakiti. Porsiku lebih parah dari kalian yang menerimanya secara langsung. Di sini, aku harus meraba, mengeluarkan kepekaan ekstra untuk bisa merasakan apa yang tengah kalian rasakan. Dan kurasa perasaan membuncah yang kian merajuk memaksa untuk di tuangkan itu adalah definisi pasti dari kata cinta. Aku terbebani dengan pesan tentang selamanya yang melekat dalam nama yang kalian pilihkan untuk kami. Sungguh, tak ada yang bisa menyaingi tingginya rasa ini, tergila-gila bukan kata yang tepat untuk mendeskripsikan, karena kami para penggemar garis besar yang bertahan setelah melewati berbagai gelombang jaman, nyatanya masih bisa kembali berkubang dalam perasaan yang sama pekatnya meski hilang pernah menelan kami seutuhnya. 

Tidak ada yang pernah tahu karena memang baru sekali ini aku akan berani mengungkapkannya. Tentang betapa aku merindukan angka tigabelas utuh tanpa celah. Tentang betapa ingin kujelaskan pada kalian bahwa antara penggemar dan idolanya berhak ada kata cinta untuk merekatkan keduanya. Dan meski pada akhirnya kita akan berakhir bahagia dengan pendamping hidup masing-masing, bukan berati ikatan kita akan terurai dengan begitu gampangnya. Karena kalian, kalian adalah masa terindah yang pernah melewati perjalanan hidupku. Cerita, derita, aku tidak hanya menelannya, aku mengekstrak keduanya agar bisa terawetkan dan memberi efek yang sama untuk jangka tak terduga. 
Aku sejatuh itu pada kalian. Entah dimana kini rasa maluku, mungkin dia sedang terangkat bersama mendung yang berkumpul nyaman di atas sana, mungkin dia telah terbawa air hujan yang membasuh bumi dalam aliran derasnya. Tapi beberapa waktu lalu memang telah kudedikasikan tulisan untuk kalian, tentang betapa aku telah melepaskan, merelakan, menghilang. Aku menjilat lagi ludah yang tercecer rapi di antara tumpukan dokumen usang. Hanya karena menyadari bahwa perasaan itu terlalu besar untuk di hilangkan. Menganggapnya hilang bukan berati membuat rasa itu benar-benar pergi, dia hanya menjadi tersembunyi dan tersamarkan. 

Aku tidak ingin kembali pada pelukan kalian, meski cinta itu meronta meminta penjelasan. Aku tidak ingin kembali kepada kalian, karena tempatku sudah bukan lagi di antara mereka yang menggila tentang kalian. Tempatku kini ada di dalam dekapan seseorang, yang tidak hanya membanting tulang, tapi juga mengucurkan darahnya demi bisa memberikan padaku sebuah kehidupan, kebahagiaan. Tempatku kini adalah daratan dengan seribu tanggung jawab dan juga beban yang akan terus terpanggul di pundak sampai akhir perjalanan hidup. Aku disini, tengah menunggu kalian untuk menyeberangi samudera itu, hingga akhirnya sampai pada daratan pribadi milik kalian, agar kita sekali lagi bisa sejajar, agar kita sekali lagi berada daratan yang sama meski sekarang masing-masing telah memiliki belenggu rapuh yang tak akan pernah terlepaskan. 


Aku melewati masa mengagumkan itu. Keindahan yang tidak hanya terekam oleh ingatan, tapi juga terhampar jelas di depan sana ketika mata tengah terpejam. Aku berhenti bermimpi setelah terakhir kali menunjukkannya secara terang-terangan bahwa aku ingin melihat kalian. Mimpi itu pupus tanpa meninggalkan apa-apa selain kekecewaan berkepanjangan. Aku tidak seberani itu untuk keluar dari garis nyaman. Dan saat itu aku berpikir bahwa meski luar sana kata selamanya hanya berlaku dalam buku dongeng pengantar tidur, tapi kata itu akan berlaku bagi perasaanku dan juga takdir kita. Tapi nyatanya tidak, aku di bohongi mentah-mentah oleh kalimat hasil adopsi buku dongeng. Akhir bahagia yang berakhir dengan kata bersama dan selamanya tidak bisa menyentuh lingkup penggemar dan idola. Bisakah aku menangisi sesuatu yang telah terhampar nyata bahkan sebelum aku menyadari apa itu arti cinta? Bisakah aku menangis sekarang? Hanya agar perasaan membuncah yang selama ini tertutupi rapat bisa memiliki judul dan masanya. 

Kita tidak hanya terbelah oleh samudera dan juga timbunan awan. Kita terpisah lebih dari satu lapisan bumi sebelum akhirnya imajinasi mematahkan kenyataan itu. Siapa di antara kita yang pertama menancapkan paku di atas lahan yang seharusnya tidak untuk di perjual belikan? Apakan aku? Atau Tuhan? Atau justru salah satu dari kalian? Ketika rasa nyaman harus mengintip melalui celah koin yang bertumpuk rapi, ketika rasa sayang terhubung melalui angka yang merembet jauh dalam sebuah kertas kusut berisikan nominal, ketika rasa sesak menjadi lem berkekuatan ampuh untuk menyatukan aku dan ribuan penggemar di luaran sana. Apa kalian mengenal perasaan itu? Kotak yang selama ini menjadi pijakan bagi kalian agar bisa menaiki panggung tanpa harus lebih dulu merakit tangga dadakan. Tangis ini nyata, senyata perjuangan kalian. Lelah kalian nyata, senyata beban yang selama ini menyesaki ruang hati dan juga pikiran kami para penggemar. 

Nadi kita mungkin terpisah, tapi detak kita berdegub dengan nada sama. Aku tahu beberapa di antara tiga belas itu benar-benar membalas perasaan kami yang jumlahnya ribuan. Dan merasakan juga kegetiran seperti yang selama ini menyergap pernapasan dan kesadaranku. Tidak mungkin perasaan seagung ini tidak bisa tersampaikan, tidak mungkin perasaan seyakin ini salah tujuan. Bahkan ketika cinta ini tak memiliki judul atau ruang untuk sekedar mengecap singkatnya kebersamaan, aku percaya doa yang di panjatkan oleh ribuan tangan hingga akhirnya terakumulasi sebelum akhirnya tangan keberuntungan menangkap jemari yang tepat, ada beberapa di antara kami yang berhasil menggenggam, menyentuh bahkan memiliki kalian. Karena samudera tidak begitu luas bagi mereka yang telah berani membuat niat untuk mendaki awan. Siapapun mereka yang akan beruntung mendapatkan kalian, tidak ada yang bisa diungkapkan untuk menjabarkan perasaan kami para penggemar, selain kegembiraan dan kebahagiaan. Kehidupan selanjutnya yang akan di tapaki oleh siapapun bahkan sosok idola sekalipun. 

Ingin rasanya kutuntaskan perasaan tentang kalian suatu hari nanti, bersamaan dengan mentasnya kalian dari dunia hiburan, bersamaan dengan terbentangnya spanduk selamat datang bagi kalian dari kami yang telah lebih dulu melangkahi satu babak kehidupan baru lebih dulu. Perasaan tentang kalian tidak akan hilang tentu saja, mungkin saja hilang tapi aku percaya akan butuh lebih dari satu putaran waktu teramat panjang untuk bisa benar-benar menghapus kalian beserta remahan yang kalian tinggalkan. Karena kita telah terikat di masa yang telah lalu. Melalui lagu, dan tarian. Melalui cerita dan derita. Melalui awan dan bayangan. Melalui tangis dan tawa. Melalui waktu yang terhitung dan tak terhingga. Melalui putaran tanpa ujung dan lekukan tumpul. Melalui matahari dan hujan. Aku lelah menghitubg semua yang telah terlewatu, bahkan meski aku hanya duduk sebagai penonton di bangku nyaman. Bagaiman dengan kalian? Bagaimana perasaan kalian? Adakah tingkatan lebih tinggi untuk menggambarkan keletihan yang teramat? Kata lelah tidak tepat untuk kalian. Dan oh, aku ingin menangis mengetahui bagaimana perasaan kalian sekarang, berada di puncak setinggi itu, dengan setelah bertahun-tahun menuangkan darah sebagai bahan utama tangga pijakan, aku bahkan tidak pernah sekalipun memperhitungkan apakah masih ada harapan yang tersisa di posisi setinggi itu. Selain rasa takut untuk di tinggalkan, di buang dan di asingkan tentu saja.


Perjuangan kalian telah mencapai titik penatnya. Nada-nada sumbang di masa lalu terdengar manis dan mengenaskan di waktu yang bersamaan, bau anyir darah terasa membingungkan untuk di jelaskan, gula yang dulu pernah di tabur di setiap sudut jalan mendadak memerahkan mata dan mengundang air untuk jatuh dari danau kelamnya. Jika terlalu lelah untuk membahasakan perasaan, bisakah membisikkan satu saja harapan tersisa yang mungkin masih mendiami benak kalian? Seperti pernikahan mungkin? Atau harapan untuk bisa beristirahat dengan tenang? Beberapa dari kalian telah keluar garis, membuat angka tigabelas yang begitu di agungkan menjadi cacat dan memiliki celah. Salah satunya malah telah berhasil menambatkan ikatan nyata pada dermaga yang akan membawanya pada kehidupan baru, yang kini tengah kudaki. Manis, tawarnya hidup telah kalian lalui bersama dan aku senantiasa menyertai juga di setiap langkah itu. Dan kini ketika sesuatu yang komplit telah menjadi keseharianku, dengan kalian di belakang sana masih berkubang dengan darah dan peluh, bagaimana bisa aku meninggalkan kalian setragis itu tanpa berbuat apa-apa? 
Ayo berlari, untuk satu terakhir ini saja, kita bersama berjuang dan mendaki bergandengan lagi seperti yang dulu pernah kita lakukan, namun kali ini menuju suatu tempat dimana hanya ada damai, senyap yang menenangkan, celoteh tawa dari penerus kita, lalu harum pagi penuh cinta yang menyambut untuk memulai hari. Semua terasa baru, dunia yang baru, lingkungan baru, suasana baru. Ayo berlari sekali lagi, meski kaki kalian telah kehilangan tulang untuk sekedar berdiri tegak, kenangan bersama kita di masa lampau semoga bisa menjadi terang yang bisa menyalakan lagi semangat ditengah-tengah keputusasaan. 

Ikatan kita, senyuman itu, peluh itu, darah itu, semuanya telah mengemas diri dalam sebongkah ransel siap angkat, siap menjadi bekal yang sangat berguna bagi perjalanan menuju akhir yang justru di harapkan tiada akhir. 
Kumasukkan kedalam ransel itu perasaan yang telah mengkristal, beku dalam keanggunannya. Menjadi saksi bisu yang siap membungkam siapa saja yang berani meragukan cinta kita. Menjadi saksi yang siap menyumpal mulut-mulut tak berharga yang berani menjatuhkan dan menghantui masa istirahatmu. Ikatan kita tidak berakhir, dan juga tidak di mulai. Lepas dan hilang adalah bersaudara yang akan mengikat kita lagi di dunia baru yang penuh dengan kejutan-kejutan baru juga di dalamnya. 


Meski kata cinta terlalu sulit untuk bisa menyentuh tempat dimana penggemar dan idola saling bergandengan. Aku bahkan tidak peduli jika kalian tak bernama, jika perasaanku, perasaan kalian tak berjudul, jika ikatan kita tak menyentuh siapapun, karena nyatanya aku telah berhasil bahagia bersama dengan tigabelas bintang yang sebentar lagi akan kehilangan sinarnya namun selamanya tak akan pernah beralih nama menjadi bintang jatuh. Tiga belas yang akan bertahan di atas langit sana, tanpa kelip, damai dan berbahagia dengan dunia barunya.