Selasa, 25 Februari 2020

Bintang Murung Dan Makhluk Hitam

Kehidupan di atas langit sering kali kurang menarik minat dan perhatian manusia. Kecuali bintang-bintang, kecuali mentari, kecuali rembulan. Tiga sumber cahaya yang begitu di agung-agungkan keberadaannya. 

Aku adalah makhluk hitam. Bernama demikian karena hanya memiki ujud dalam kegelapan malam. Ketika siang datang, wujudku menjadi transparan, menyaru dengan langit biru, dengan awan-awan melayang. Aku selalu ada di sana meski keberadaanya tak pernah disadari apalagi menuai puja puji. Jika di bandingkan dengan manusia, maka keberadaan kaumku hanya sebagian sangat kecil dari mereka. Perbandingannya adalah ketika pasir di seluruh dunia di gabungkan, lalu segenggam dari mereka adalah makhuk hitam. 
Meski tak bernama, hanya memiliki identitas sebagai makhluk hitam saja, tapi nyatanya cerita tentang kami tidaklah seminim itu. 
Konon segelintir manusia memiliki dongeng tentang makhluk hitam yang di ceritakan secara turun temurun, hingga keaslian kisahnya kian mengabur tergerus waktu. 


Makhluk hitam tidak memiliki mata, jika yang di maksud dengan mata adalah dua lubang di wajah bagian atas dengan bola putih dan lingkaran hitam kecil di tengahnya. Tapi kami memiliki jari yang begitu banyak, cukupan untuk meraup serbuk bintang yang bertabur di langit sana dalam satu pelukan. Dan meski tidak bermata, tapi kami tetap bisa melihat, melalui ujung jemari yang jumlahnya lebih dari cukup untuk menggantikan fungsi mata. 
Langit malam adalah taman bermain yang begitu mengasyikkan, memandang kerlip lampu di bawah sana yang begitu sesak dengan banyak pola dan ribuan puntiran, tidur tidak pernah ada dalam daftar hidup makhluk hitam. Bahkan ketika siang datang, cerahnya mentari terlalu sayang untuk di lewatkan dengan mengistirahatkan badan. 

Gelap selalu membawa keceriaan sendiri. Menangkapi bintang adalah permainan yang selalu membawa kejutan. Manusia entah bagaimana selalu bisa menggantungkan harapan dan asa di setiap pucuk bintang, konon doalah yang menjadi tangga sekaligus perekat bagi kemustahilan itu. Dan menyentuh harapan mereka, membaca asa dan impian mereka adalah kegiatan menyenangkan bagi makhluk hitam, terutama untukku. Aku melihat banyak nama, banyak gabungan nama dan lebih banyak lagi kata-kata yang memerlukan penerjemah khusus untuk mengetahui isinya. Manusia lebih menyukai menimbun angan di kepala mereka, melafalkan banyak mantra, begitu tergesa-gesa dalam keseluruhannya, hingga kemudia jatuh terserimpet untaian doa yang mereka panjatkan sendiri. Itu lucu, sangat lucu, terlebih lagi mengetahui ternyata sebagian besar manusia memilih untuk menghindari malam, melilih untuk tidak di lumat oleh gelap. Bola lampu adalah penyelamat untuk sepanjang malam. Entah apa sebenarnya yang mereka takutkan. Bukankah tidak ada yang lebih menyeramkan di dunia ini ketimbang momen turunnya hujan? Aku khususnya selalu menghindari hujan. Beralih dari petak satu ke ujung petak yang lain, hanya agar bisa terhindar dari berkubik-kubik air yang turun secara acak dan bertabrakan. Tidak ada yang perlu di antisipasi dari malam, hanya jika manusia mengerti bahwa gelap selalu mengulurkan tangan memohon sambutan, hanya jika manusia mengerti bahwa ada semua takut dan perasaan waspada yang menghantui manusia adalah tak lain buah dari hasil pemikiran tentang kecemasan mereka sendiri. Manusia begitu lucu dengan segala tindak dan kebiasaannya. 

Tentang menyentuh bintang, tempat di mana semua harapan dan asa manusia di gantungkan. Kemarin lalu yang telah lama aku menemukan satu bintang besar, berdiri jauh dari pandangan. Bahkan jemari terpanjangku harus sedikit mengeluarkan usaha untuk bisa menyentuhnya. Bintang satu itu berbeda, bukan bersinar putih terang seperti kebanyakan, tapi ada nyala abu yang mengelilingi dan membalut keseluruhan dirinya, membuatnya seakan hanya bintang kecil murung yang terus meredup. Karena awalnya akupun mengira begitu. Tapi ketika dilihat dadi dekat, dia benar-benar bintang dengan ukuran yang cukup besar. Dan selimut abu yang membuatnya terlihat seolah bintang murung adalah ujud dari ribuan asa yang membentuk konstelasi tersendiri. Dia memiliki beban untuk menggantungkan harapan lebih dari yang bisa dia bawa. Beberapa malah benar-benar jatuh dan tidak bisa menemukan ruang untuk merekatkan dirinya di sana. Bintang yang malang, sungguh bintang yang malang.

Aku mendekapnya, dengan begitu erat dan penuh kehati-hatian, berharap bisa mengusir selapis kecil saja selimut abu dari tubuhnya. Bintang murung itu tersenyum, mengedipkan mata padaku dan menarikku dengan lebih erat. 
"Kita akhirnya bertemu," begitu bisikknya padaku, aku tercengang lebih dari sekian cara. Suara itu begitu menggetarkan hati dan menyentuh ingatan. Aku mengenalnya, di putaran kehidupan yang entah keberapa, suaranya berdengung pelan di udara, mengirimkan lebih dari satu sinyal untuk mengetuk kembali ingatan di antara tumpukan ribuan ingatan tentang permainan dan bintang. Aku mengetahui siapa dia, melihat perjalanannya, mengenal kisahnya. Dia adalah bintang pertama yang kusentuh ketika aku masih bayi dulu. Ya, aku memahami kebingungan kalian, akan kujelaskan secara singkat sekarang, makhluk hitam di ciptakan dengan siklus sama seperti manusia, terlahir, bertumbuh lalu mati. Hanya saja putaran bertumbuh makhluk hitam mencakup waktu yang sangat lama, membutuhkan waktu lebih dari seribu tahun meski bagiku terasa seperti sekejapan mata. Dan lagi, makhluk hitam memiliki keluasan pilihan untuk menentukan sendiri kapan waktu yang diinginkan untuk menghilang, mati ketika manusia membahasakannnya. 

"Kau kembali sekarang, setelah sekian lama," lanjut si bintang murung lagi, aku mengirim getar emosi melalui jemari yang memebebat rapat badannya, dia tahu aku tengah tersenyum sekarang,
"Jangan mengalihkan pandanganmu lagi dariku," kali ini dia mengucapkan dengan sedikit merajuk. Demi semua bola lampu dengan untaian rumit di bawah sana, ingin sekali rasanya kulumat gelap malam itu agar mentari segera datang. Sinar mentari adalah pertanda bagi para bintang untuk melepaskan semua asa dan harapan yang menempeli badannya, pertanda bagi mereka untuk sebentar menghilang dari pandangan dan mengistirahatkan badan. 
Dekapanku tak mungkin bisa lebih erat lagi, tapi emosi yang merapat di ujung jemari benar-benar meminta sentuhan untuk meloloskan perasaan. 

"Sekarang waktuku untuk menghilang, maukah kau menyertai kehilanganku?" aku melepaskan pertanyaan dalam ujud sentuhan, mengangguk pelan untuk memberikan keyakinan. Jujur saja, aku belum terlalu lama lahir dalam kehidupan kali ini. Bintang besar yang sekarang murung dulunya adalah bintang paling bersinar di alam semesta. Berdiri di tempat paling strategis untuk dilihat manusia, alhasil dia menjadi sasaran bagi ribuan mata di bawah sana untuk di jadikan target penempelan asa dan harapan. Aku yang menyarankannya untuk menyingkir dari peradaban, akupula yang memboyongnya sebagai bintang jatuh meski dia tak pernah benar-benar terjatuh seperti yang terlihat. 
Menyentuh isi mimpi dan harapan manusia awalnya adalah permainan yang paling kusukai, mengetahui bagaimana mereka melalang buana dalam imaji yang tak bersekat benar-benar menyenangkan. Tapi bintang murung menunjukkan hal lain padaku. Baginya harapan manusia adalah beban sekaligus hipnotis yang begitu menggiurkan. Dua sisi koin yang memiliki magnet kuat untuk membuatnya benar-benar terbebani secara nyata. Dan dia ingin mundur perlahan dari penampakannya yang sangat menonjol dan cemerlang. Istirahat buka kata yang tepat, karena sinar mentari selalu menyuguhkan keistimewaan itu, tapi dia menginginkannya yang abadi, tanpa jeda, tanpa celah untuk bisa memulai lagi. Bintang yang selalu berkelip manja di ladang langit, bagaimana bisa memiliki sisi emosional yang begitu mencekam? Apakah kata lelah pernah ada dalam bagian hidupnya? Bagaimana dia bisa terus bersinar dengan begitu banyak beban menggelayuti dirinya? 


Sekian waktu berlalu dan disinilah aku sekarang, bersama dengan bintang murung dalam dekapan. Menikmati malam terakhir dengan jalan mematikan pandangan. Karena jujur saja, dalam relung yang terduga, akupun memiliki sedikit keluhan yang tak pernah berniat untuk kumuntahkan. 

Aku bosan di lihat sebagai hantu, hidup dalam dongeng yang keaslian ceritanya kian memudar, menganggapku sebagai makhluk yang bisa melihat apa saja, seakan kedua mata mereka belum cukup untuk mengetahui segalanya. Akupun bosan di perlakukan sebagai kaca, yang hanya bisa mendatangkan refleksi bagi siapapun yang melihatnya, yang akan hancur ketika hujan menimpanya. 

Bukan gelap apalagi pekat yang menakuti dan mengganggu denyut napasku, tapi limpahan emosi yang tersalur ketika berhasil kusentuh gantungan-gantungan angan di sekeliling badan bintang. Efek samping dari kegiatan yang kuanggap sebagai permainan. Dan aku merasa lelah karenanya. Manusia, mereka kira mereka itu siapa? Dengan ceroboh melayangkan mantra begitu saja ke atap langit, belum lagi dengan kebiasaan mereka menggantung asa dan harapan pada bintang-bintang. Tidak pernahkan sekali saja mereka sampai pada satu pemahaman, bahkan bintang yang tak pernah bergerak, menyiku apalagi berputar-putar itu pun memiliki kehidupannya sendiri, dan meski separo abadi, apakah itu alasan yang tepat untuk mereka menggerecoki kehidupannya denga ribuan asa dan harapan? Bahkan bintang paling besar dan bersinar pun pernah di gelayuti kata lelah dan ingin menyerah.

"Sekarang watunya," bisik bintang murung dalam dekapanku. Aku tersenyum, memandang untuk terakhir kali pada tempat sinar mentari biasa menampakkan diri di ufuk pagi. 
Selamat tinggal para mimpi, selamat tinggal para asa, selamat tinggal manusia, meski kita tidak benar-benar saling mengenal aku bisa meraba kalian melalui jemariku yang panjang. Kita mungkin akan kembali di pertemukan, dalam tangga doa yang terkadang menyandung langkah dan pergerakanku. Selamat tinggal makhluk naif, suatu hari nanti ketika waktu kalian tiba untuk menghilang, pemahaman itu mungkin akhirnya akan datang. Bahwa bintang juga makhluk nyata senyata kalian. Bahkan aku, si makhluk hitam, yang terlanjur meninta dalam dongeng yang kian memudar. Bahkan impian kalian memiliki berat, dan panjang, yang kian hari kian membebani langit karena volumenya. Dan ingatlah ini, jika kalian tidak benar-benar berhenti untuk berharap dan berkhayal maka bukan tidak mungkin kalian akan lenyap tertimbun reruntuhan langit yang kelebihan beban. Selamat tinggal. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar