Sabtu, 18 November 2017

Kembali

Aku berlari, terus dan terus tanpa mau sedikit saja peduli akankah jalanan di hadapanku telah mencapai ujung atau justru tengah menemui persimpangannya.

Mereka kembali, hatiku tak pernah berhenti membisikkan kenyataan bahwa mereka telah kembali. Rumah yang selalu kuhindari untuk kembali, senyum teduh yang setengah mati kuhindari untuk tidak terus terpatri, sekian tahun berjuang dan seperti hujan pertama yang datang setelah kemarau panjang nan mencekam.  Dahaga itupun akhirnya terpuaskan.

Delapan atau mungkin tujuh tahun lalu, aku pernah merasakan kelengkapan yang tiada terkira. Aku memuja, aku mencinta, aku memahami dan aku pula tercabik karenanya. Siapapun mereka tak ingin kusebut namanya disini, biarkan saja nama itu hanya mengalun dalam relung yang hanya diriku yang bisa mendengarnya. Menjamahi mereka sekali lagi, terasa seperti bercinta di garis vertikal yang memisahkan atau justru menghubungkan dua subjek alam. Lebur bukan lagi kata yang tepat untuk menggambarkan. Karena duka menyelimuti apapun yang tersisa, karena bahagia menempeli apapun yang terlaluinya.

Kamis, 16 November 2017

Menanam Bintang

Seperempat abad mendapat kesempatan  hidup membuatku melihat banyak, begitu banyak jenis bintang beserta teka-teki yang di kandungnya.
Satu kali pernah kudapati bintang yang berkilau lemah namun memancarkan pesona penuh keajaiban, pernah pula ku temukan sekumpulan bintang dalam langit oranye di ufuk sana, berkedip manja seolah mengundangku untuk memetiknya. Dan kali ini,  aku ingin bercerita lebih tentang bintang istimewa milikku. Bintang satu ini tidak hidup di angkasa sana, tidak pula mendiami ufuk dengan warna apapun di atas sana.  Bintang ini istimewa, sekali lagi kutegaskan,  karena dia hidup di pekarangan istanaku. Mendiami sekian petak tanah yang memang sengaja kudedikasikan untuk perkembangan alaminya.

Hari itu, tepatnya dua hampir menyentuh angka selanjutnya, tahun berlalu di belakangku, ketika aku menemukannya tergeletak lemah di atas salah satu bantal di atas ranjangku. Awalnya aku mengira masih terjebak di dunia mimpi, karena memang tak pernah kulihat sesuatu yang seindah itu hadir di dunia ini. Besarnya tak lebih dari kuku jempol orang dewasa, dengan pendar putih tapi tak menyilaukan, berkedut lembut seperti tengah bernafas. Kunang-kunang jelas tidak mirip seperti itu, lalu dalam kengerian yang bercampur dengan rasa takjub aku mencoba untuk menyentuhnya, memastikan bahwa benda seperti bola berhallo di atas bantal dan kutemukan tepat ketika aku pertama membuka mata itu bukanlah sesuatu yang mengancam atau membahayakan. Dan tepat ketika kulit jariku menyentuh sesuatu entah apa itu, di antara sadar dan kengerian yang teraduk menjadi satu, aku merasa seperti sesuatu telah mengalirkan listrik melalui ujung kulit jariku, bola berhallo dengan penampakan imut-imut menggemaskan itu ternyata lebih dari sekedar membahayakan. Karena jujur saja aku adalah jenis manusia yang membenci segala sesuatu tentang sengat menyengat. Namun, di luar kesadaranku atau memang sesuatu itu benar adanya, tapi aku merasakan sebuah sapaan masuk perlahan di dalam otakku, mungkin aku masih terjebak di alam mimpi, tapi keanehan itu terasa sangat nyata. Bola berpendar di atas bantalku ternyata adalah sesuatu bernyawa! Atau setidaknya ia sendiri lah nyawa itu. Dalam kebingungan dan ketakjuban, kuberanikan diri untuk mencoba memulai bertanya, awalnya terasa agak janggal, karena secara teknis memang tak ada siapapun yang bisa kuajak berbicara selain lingkar bercahaya di hadapanku, dan keanehan kembali terjadi ketika kudapati berbagai informasi yang berhubungan dengan pertanyaanku mulai mencapai sisi kepala letak otak berada. Dan entah dalam waktu yang ke berapa, entah dalam titik kesadaran yang mana, aku merasa sesuatu seperti tengah mengajakku entah kemana, berbekal keberanian yang janggal, aku mulai berjalan melintasi ruang, menembusi langit menghitam di atas sana, mengabaikan sapaan bulan dalam sapuan senyumnya yang nyaman.
Aku berjalan dan berhenti di atas tanah perkebunan di pekarangan. Seperti tahu apa yang menjadi tujuanku, bola berhallo dalam genggaman menggelincir dengan sangat anggunnya, menjejak tanah tanpa ada acara memantul terlebih dahulu, sedikit di luar nalar memang, sesuatu bercahaya yang seolah tak memiliki massa ketika berada dalam genggaman, tetiba saja memeluk tanah dengan begitu erat dalam satu entakan saja. Bahkan bila kuteliti sedikit lebih dekat, ada kedalaman yang mengelilingi dengan sangat tepatnya, seolah sepasang tangan telah dengan sengaja menggali lubang itu untuk di tempati. Tanpa keraguan lagi, kujangkau sejumput tanah dan rumput dalam genggaman yang lain, mencoba menutupi apa yang memang sepertinya ingin bersembunyi dan tertelan. Dalam kesadaran yang masih mengambang, kusempatkan untuk mengucapkan sepenggal ucapan selamat tinggal kepada seonggok kecil tanah baru di hadapanku. Hari itu aku telah menyimpan sebuah misteri, hari itu aku telah menabur sebuah teka-teki.

Seperempat abad berlalu, dan hari ini aku memeluk sebuah bintang yang tengah meringkuk nyaman dalam pelukan. Puluhan cerita telah ku dengar tentang asal mula sebuah bintang, tapi sesuatu hangat dalam dekapanku adalah benar-benar sesuatu yang lain, karena ia istimewa, karena ia terlahir dalam balutan kehangatan yang tak pernah luput ku curahkan, karena ia tumbuh di bawah pengawasan mataku, bahkan dengan tanganku sendiri pula aku menelantari kelahirannya ke dunia. Bintang istimewa yang membisikkan padaku banyak pengetahuan ambigu, ketika dulu pertama kali kita bertemu.
Sebuah kemustahilan yang menemukan jalan pulangnya. Sebuah teka-teki yang tak pernah ia bagi dengan siapapun dan tak akan pula ku bagi kepada siapapun. Bulatan kecil berpendar lembut yang pada akhirnya kunamainya sebagai bintang, adalah sesuatu yang dulu hadir di atas bantalku, mambuatku waspada sekaligus bertanya-tanya, bintang yang kemudian terlahir dari persembunyiannya, memastikan diriku bahwa keajaiban bukanlah sebuah abstrak dalam balon pengetahuan. Memastikan bahwa mulai saat kedatangannya, aku tak perlu lagi berkhayal tentang terbang dan memetik bintang, karena salah satu dari mereka telah menghadirkan dirinya sendiri terkhusus untuk manusia paling beruntung di abad ini.

Sabtu, 28 Oktober 2017

Mantan Anomali

Manusia separo ranger. Apa kiranya hal yang muncul ketika kalian menemeui kalimat satu itu ? Apakah aku ? Sedikit mengejutkan, tapi aku pun berpikir bahwa itu adalah aku. Atau mungkin lebih tepatnya pernah berpikir bahwa itu adalah diriku.
.
Waktu telah berlalu dengan begitu cepatnya, waktu mengguyur kehausanku akan ketenaran yang sepantasnya dimiliki oleh kaum-kaum yang unik dan berbakat. Sementara aku, namaku hanya cocok di sandingkan dengan kata unik semata, tidak dengan berbakatnya. Sekian tahun lalu, ketika darahku masih mengangkut serta bara api di dalamnya, ketika aku melihat angkasa berada dalam jangkauan lima buah tangga yang disatukan, ketika semua masih ternilai dalam nominal, ketika sosok yang mengencerkan kental darah manusiaku dengan darah rangernya masih berdiri ada. Saat itu aku adalah seonggok daging yang begitu kokoh, hampir menyentuh sombong. Aku berteriak, aku memaki, dan aku mengeluh. Tiga hal yang dewasa ini secara mati-matian tengah kutekan agar tak sampai lolos keluar dari kerongkongan. Ayahku, si ranger langka itu, menempaku tidak seperti kebanyakan orangtua dalam mengasuh anaknya. Ia dengan caranya sendiri membuatku begitu kokoh, kuat dan dewasa, dewasa dalam artian yang kutahu pada umurku saat itu tentu saja. Aku masih ingat bagaimana masa itu benar-benar sebuah perjuangan yang teramat keras. Aku hampir saja keluar rumah jika saja sesuatu di dalamku tidak dengan sabar menyirami kepala mendidihku dengan banyak nasehat. Tiada hari yang terlewati tanpa adanya makian dm umpatan yang terus merangsek mencoba keluar dari tenggorokan. Jika saja di dalam kepalaku terdapat dua tangan, aku yakin mereka akan saling baku hantam dan merobek kepalaku dengan segera. Masalah remaja tak akan pernah ada habisnya. Dan si ranger yang kelak menjadi paracetamolku, mendinginkan segalanya hingga titik teraman, menyumbangkan pula sekian persen dari seluruh 'permasalahan remaja' yang tengah menimpaku saat itu. Ranger itu membisikkan kutukan sekaligus menyanyikan lulaby secara bersamaan dalam tempo singkat hidupnya. Membuatku akhirnya menyadari bahwa mungkin aku tidak akan tercipta untuk menjadi manusia biasa-biasa saja. Hari itu mataku terbuka dan segera mengetahui bahwa ternyata sosok pembuat sekaligus yang selama ini menuntunku adalah seorang ranger. Bersamaan dengan itu pula ayah mengakhiri perjalanannya didunia. Aku sempat menyimpan curiga kalau ini memang skenario yang telah di sepakati oleh alam, bahwasanya kontrak hidupnya akan berakhir tepat ketika kesadaranku terbangun dari masa lupanya. Dan perpisahan memang selalu berbaik hati menyisipkan pelajaran pada mereka yang ditinggalkan. Aku manusia separo ranger yang berbahagia saat itu, bagaimana tidak, kokohnya diriku, pemikiran (sok) bijak yang kupetik dari setiap langkah ayahku berhasil kuadopsi dengan begitu sempurna. Perlahan namun pasti, aku menemukan banyak mata yang menatap memuja untuk setiap butir kata yang kumuntahkan. Sedikit menjijikan memang, tapi kala itu aku begitu menikmati setiap puja-puji yang terlontar. Aku yang semula mengira hanya remaja kebanyakan, dalam sekejap mata mengetahui ternyata dirinya teraliri darah ranger. Aku pun seketika lupa, bahwa namaku mengandung arti yang tak secara sembarangan di rangkai orangtuaku, tak lain dan tak bukan adalah demi mengingatkanku. Bukankah tak ada tanah yang bisa mengotori hamparan kapas langit ?
.
Hari keruntuhanku pun tiba. Bukan tanpa permisi sebenarnya. Perlu dua nama dan dua tahun untuk melakukannya. Ari dan Hara. Dua yang menjebol eratnya perisai yang terbentuk dari darah rangerku. Dan untungnya menyisakan kenormalan melegakan yang belakangan ini kusyukuri keberadaannya. Ari begitu mengerti siapa aku, seperti apa warna dan seberapa kental cairan darahku. Dia begitu paham seberapa banyak bekal yang di jejalkan ayahku ke dalam kantong saku milikku. Kekokohan yang sepantasnya dimiliki oleh kaum lelaki, dan kekuatan yang seyogianya dikuasai oleh para tetua di atasku. Aku menguasai keduanya dan pemikiran yang terus mendominasi karena efek samping keduanya adalah bahwa aku tak pernah membutuhkan siapa-siapa. Darah rangerku sudah lebih dari cukup untuk menopang kehidupanku. Dan kelembutan Ari, ketelatenannya dalam menghadapi, kesabarannya dalam menuntun dan mengiringi, serta ketidaksudiannya untuk mengungguli, berhasil melumpuhkan titik terpuncakku. Secara perlahan, keberadaan Ari dan keajaiban yang datang silih berganti semenjak kelahiran Hara, berhasil melelehkan separo isi kepalaku. Manusia separo ranger ini berhasil menguasai jiwa manusianya sepenuhnya. Manusia berdarah separo ranger ini menyadari bahwa tanah tak seharusnya berserakan di atas langit sana. Ia harus menapak di bumi karena memang disanalah tempat seharusnya. Tak ada lagi puji-puja, tak ada lagi tatapan memangsa. Kini yang tersisa hanyalah tatapan penuh takjub milikku karena menyadari telah memiliki dua darah mengagumkan yang berpotensi menghasilkan cerita yang lebih sempurna ketimbang cerita tentang manusia berdarah ranger.

Rabu, 25 Oktober 2017

Hubungan Lucu

Baru saja beberapa waktu lalu aku berkata bahwa aku bisa menghasilkan tulisan hanya jika tengah berduka saja. Tapi nyatanya sekarang disinilah aku, terdampar dalam paragraf bersama seseorang yang tak kuketahui nama lengkapnya. Kesedihan itu ada, tapi berada ditempat lain, dalam relung tersembunyi dan sedang tak ingin kubagi-bagi.
.
Dia bukan siapa-siapa, hanya sebuah nama yang secara kebetulan mampir dalam secuil waktu bernapasku. Sebuah nama yang secara sukarela mau untuk kubebani segala tetek bengek tentang mimpi. Sebuah nama yang mau untuk berbagi semua borok diri. Aku selalu merasa telanjang ketika tengah bersamanya. Bahkan lebih dari itu. Membeberkan segala rasa tanpa sedikitpun tameng aling-aling, bukankah itu lebih memalukan ketimbang hanya berpolos diri tanpa mengenakan apa-apa ? Ya, dan aku selalu melakukan itu di depannya. Rasanya sungguh melegakan sekali ketika kita memiliki telinga yang dapat menampung segala macam perbendaharaan kata tanpa perlu repot menyaring dan memilah dulu. Dan bersamanya, borok hidup yang selama sekian tahun kubekap dan kututup rapat, satu persatu mulai menunjukkan diri. Sungguh aku tak pernah tahu sebelumnya bahwa ternyata melelehkan dosa akan segampang dan seenak ini.
.
.
Kami bukanlah dua sahabat manis seperti yang mungkin tertangkap mata kalian. Seperti yang pernah kukatakan sebelumnya, bahwa dia bukanlah siapa-siapa. Hanya sebuah nama yang secara tak sengaja terangkut perjalanan darah dalam memompa detak nadi. Kami bertemu karena sebuah mimpi. Kami di pertemukan karena adanya banyak persamaan mengikat. Tapi kemudian mimpiku membeku, dan ya, aku manusia normal, yang otaknya akan secara aktif memproduksi mimpi-mimpi lain ketika mendapati mimpi beku di dalam kepala. Mimpi beku tak ubahnya seperti sampah yang harus menemukan peristirahatan sewajarnya. Mimpi beku tak lain adalah memori bertanda kutip yang perlu untuk dikemas dan diselotip ganda. Mimpi yang dulu menyatukan
aku dan si nama itu perlahan menemui garis akhir. Dan aku berpikir akan terselesaikan juga ikatan yang pernah kami ikat bersama. Tapi nyatanya tidak. Sekalipun tidak seerat pada mulanya, tapi ia dengan muka badaknya berhasil menembus teritoriku. Mengelabui si manusia "sok cool" ini hingga tanpa menyisakan ampas. Ya. Kegigihannya untuk menyambung tali bersamaku melupakan tentang siapa sebenarnya aku dan siapa sebenarnya dia. Dunianya yang seringnya gagal untuk kupahami, dan duniaku yang selalu kupamerkan dengan tujuan untuk membuatnya iri. Selalu mulus dalam menjembatani ikatan ini. Dan dalam relung entah dimana, satu jawaban muncul kepadanya yang selalu menggadang bahwa ia akan bertahan bersamaku selamanya. Aku jelas sama sekali tak percaya kata selamanya, apa yang akan ia harapkan lagi ? Dan satu kenyataan yang tak berani kubagi dengannya adalah bahwa entah pada mimpinya yang mana dan yang keberapa nanti, aku yakin mimpinya itu akan secara perlahan mengurai ikatan kami, memisahkan dan membuat jarak itu ada sekaligus nyata. Ia selalu berkata dan seakan percaya pada kata selamanya. Tapi memangnya siapa aku ? Siapa dia ? Teman ? Bukan. Saudara ? Bukan. Pacar gelap ? Bukan. Lalu tali mana lagi yang akan sanggup menyelamatkan ikatan ini ? Mungkin kegilaan adalah satu-satunya jawaban yang hampir mendekati kata tepat sepenuhnya.
.
Kami, dua wanita dewasa yang siang ini menyentuh kata tentang kematian segampang mengaduk gula pasir dalam secangkir teh panas. Ternyata tak memiliki hubungan apa-apa sebenarnya. Dia bukan siapa-siapa bagiku, dan aku harap dirinya pun menempatkanku diposisi sama sepertiku menempatkannya. Aku tak berani menaikkan keberadaannya pada posisi yang lebih tinggi, karena sebenarnya hanya dengan satu langkah lagi dia melangkah, posisi vital lah yang tengah menunggunya untuk di tempati. Dan posisi itu tak akan pernah tertempati, karena memang jarak itu ada dan nyata. Keberadaannya yang selalu tepat mengisi kenyamananku selama sekian waktu tak pelak menghadirkan tanya yang tak pernah termuntahkan dari bibir, mungkinkah makhluk ini benaran nyata ? Mungkinkah kakinya berjalan menapak dan bukan mengambang ?
.
.
Dia hanyalah nama yang secara kebetulan terisap masuk dalam rotasi yang terbentuk di sekeliling hidupku, makhluk yang berdiam di penghujung Sumatera sana. Yang kebetulan lagi disanalah salah satu tempat yang masuk dalam daftar kunjungku meski sekali dalam hidup. Dan ya, kami perlu bertemu secara nyata suatu hari nanti, entah untuk memastikan bahwa kakinya menapak atau tidak, entah untuk menyaksikan bahwa tanah kediamannya memang seapik yang pernah kubaca dan kudengar atau mungkin alasan yang lain. Hanya saja yang pasti. Aku akan memantrai jalan hidupnya agar tetap mulus dan tanpa hambatan, hingga akhirnya ia memiliki peluang untuk menemuiku hanya demi saling memastikan borok dan dosa yang pernah terucap tak tersebar dan tersimpan aman. Catatan kali ini hanya untuk memastikannya tetap sadar dan ingat bahwa aku ada. Dan betapa hubungan tanpa nama ini ternyata menguntungkan dan membahagiakan.

Minggu, 08 Oktober 2017

Mantra Selanjutnya

Pesan singkat ini ada terkhusus untukmu yang pesat kembangnya selalu ku awasi dan begitu ku kagumi. Dan kau bisa memanggilku dengan nama ibu.
.
.
Awal dari semua ini jelas adalah sebuah perencanaan matang yang secara kebetulan di luluskan oleh Sang Pencipta. Ya, aku tak pernah begitu percaya bahwasanya doa adalah tak lain nama singkat dari mantra. Sampai kemudian hari itu datang. Bukan hari kedatanganmu yang kumaksudkan, tapi hari kesadaranku. Mantra tak lain adalah doa. Dan doa ialah mantra.
.
.
Suatu hari yang telah lalu, aku pernah bercita-cita untuk memiliki hanya satu lelaki di sepanjang hidupku yang singkat ini, kenapa di cita-citakan dan bukan di doakan ? Karena otakku mungkin tercipta lain, doa terhubung dengan Yang Maha Besar, sedangkan aku ini siapa ? Rasanya terlalu besar untuk meminta sesuatu kepada-NYA. Sementara di luaran sana, yang lebih segalanya dariku ada beribu bahkan milyaran beserta doa-doa yang terpangku di masing-masing kedua tangannya. Aku terlalu sadar diri untuk tidak semakin membebani-NYA dengan permintaan milikku yang begitu remeh dan tak berarti. Aku sengaja mendaftarkannya ke dalam cita-cita dengan niatan agar kelak dalam perjalanan memiliki tekad kuat demi mencapai apa yang di harapkan. Memantrainya setiap saat dan setiap hari agar benaran bisa terwujud apapun itu yang kucita-citakan. Dan ya, aku sedikit gagal untuk menjaga mata dan juga hatiku, karena faktanya aku pernah patah hati dan terluka meskipun tak pernah memiliki siapa-siapa. Dan Ari adalah perkabulan cita-citaku yang di dengar oleh Tuhan. Aku bahagia, tentu saja. Terlalu bahagia.
.
.
.
Kedatanganmu, separo tahun setelah hari penyatuan dengan Ari, engkau mulai menampakkan detak nadi. Jenis keajaiban yang baru pertama kali ku lihat dan ku kenali. Terkejut bukanlah satu-satunya kata yang pas untuk menggambar suasana hatiku saat itu. Aku takut, bingung, senang, sekaligus luar biasa senangnya. Dan ya, otakku memang tercipta dengan sedikit lain, hari-hari penantianmu terpenuhi dengan banyaknya taburan mantra dan juga doa. Aku menulis terlalu gembira saat itu di paragraf yang telah lalu, aku menelan semua kengerian demi menyambut utuh kedatanganmu. Dan aku tidak berpikir apakah suatu hari nanti jemarimu akan sudi memunguti mantra-mantra yang kusebar, dan keberadaannya terserak acak di seluruh dinding rumah kesukaanku.
.
.
Puluhan mantra ini, yang terus ku tambah seiring bertambahnya jumlah detak nadi, adalah bekal yang mungkin alpa ku berikan ketika usiaku bertambah nanti. Aku takut lupa untuk tidak memberikanmu segalanya yang terbaik, untuk itulah kenapa rumah tak berpintu ini ada, karena di harapkan setiap spasi dan judulnya adalah alarm bagi langkah-langkahmu. Karena di harapkan engkau tak akan lagi salah dalam melangkah seperti yang mungkin aku atau Ari pernah lakukan. Aku membekalimu dengan mantra, tak peduli jika engkau tak bertumbuh menjadi seperti apa yang kumau, tak peduli jika engkau bahkan tak mengetahui bahwa semua ini ada. Mantra-mantraku, di harapkan telah terbang jauh dan tinggi menembus awan dan tiba saatnya nanti akan sampai pada daftar tunggu doa kepada Yang Maha Sempurna. Ketahuilah nak, aku tak berhenti berdoa bahkan ketika keajaiban itu sebenarnya telah nyata ada di hadapanku.
.
Tak perlu lagi mengulangi apa yang kuharapkan kelak akan tertumbuh kepadamu, tak perlu lagi ku rinci apa yang kuminta darimu. Karena engkau mungkin akan bosan untuk mendengar dan membacanya. Tapi nak, seiring dengan hampir berakhirnya paragraf ini, bolehkah aku menambah lagi beberapa keinginan baru untukmu ? Pemikiran ini datang secara tiba-tiba, tapi percayalah, keresahannya telah menahanku selama sekian waktu. Yang pertama. Ini tentang Ari. Atau kau bisa menyebutnya sebagai ayah. Jika kelak datang hari dimana aku lupa atau tak lagi bisa mengurusi dan juga memperhatikannya, maka ketika hari itu tiba, perlakukanlah ia sebagai raja. Sebagaimana dulu ia menghabiskan segala dayanya demi memberikan perlakuan ratu kepadaku. Dia yang terbaik nak. Jika tanpa sengaja engkau menemukan beberapa cacat Ari yang pernah kusebar secara acak di dinding entah mana rumah ini, maka jangan dulu berprasangka. Karena hari itu aku bodoh, dan tengah berlatih menuju dewasa. Ari menuntun dan membantuku terlalu banyak untuk itu. Lalu, ketahuilah nak. Ini yang terpenting. Umurmu satu tahun lepas satu minggu ketika tulisan ini ada. Tapi dalam sekejap itu keberadaanmu, engkau telah memberiku banyak makna. Mengajariku apa yang luput Ari jabarkan. Menuntunku kepada jalan yang lupa Ari tunjukkan. Engkau mengajariku untuk menjadi ibu, anak, manusia, dan istri yang lebih sempurna. Oh..betapa mahal karunia yang kupegang semenjak kedatanganmu. Sungguh. Kesabaran, dedikasi, cinta, kasih sayang, dan bahkan untuk hal seremeh menghargai, aku perlu dan telah belajar semua itu darimu. Seiring dengan bertambahnya waktu, kantung belajar milikku akan semakin menebal. Dan kita akan bertumbuh menjadi teman yang saling mengait dan menguntungkan. Mantraku selanjutnya.

Rabu, 16 Agustus 2017

Wajah Yang Lain

Aku kembali lagi kesana. Setelah berhari-hari pergi meninggalkannya. Sebuah tempat yang tak pernah kutahu itu di mana. Bersama orang-orang yang tak asing dan lagipun mereka memang tengah beririsan denganku secara nyata selama beberapa hari terakhir. Dengan kekuatan yang teramat mustahal untuk kumiliki namun tak bisa menyangkal bahwa aku memang menyimpannya. Kami berenam, atau mungkin berempat, tak lagi jelas menyoal hitungan yang tepat. Yang pasti kami adalah sekumpulan orang-orang yang terlempar. Sekumpulan orang-orang yang keluar dari perimeter dengan bukan tanpa alasan. Rasanya menyenangkan mengetahui bahwa aku tidak sendirian. Berada dalam dunia yang tak kukenal dan kami mulai berjalan menuju..mungkin pulang.
.
Disana, beberapa wajah tak dapat kukenali dengan pasti. Tapi bisa sangat kupastikan bahwa hati mereka tak asing dan pernah kukenal. Yang satu seorang laki-laki berwajah asing dengan hati yang ku kenal. Sementara yang lain adalah sebuah wajah yang tak hanya kukenal tapi juga merupakan bagian nyata dalam dunia nyataku. Sisa-sisa wajah di sana, adalah sosok yang tak pernah kutahu dan tak pernah kulihat sebelumnya. Berparas cantik, gagah dan tampan, tapi sayang mereka hanya manusia biasa dengan jiwa mengenaskan, yang kutahu itu setelah beberapa kali berpapasan dan kemudian mereka mulai menunjukkan jati dirinya tak lama setelah kami yang berempat atau berenam ini pergi. Dan yang terakhir. Wajah tak asing yang melatari kenapa tulisan ini tercipta. Bahkan setelah separo sesi tidur malam terlewati. Dan wajah itu telah datang kepadaku dua kali dalam kurun waktu mungkin satu minggu terakhir ini. Wajah yang tak mungkin kulupa bagaimana ekspresinya ketika mencoba menjegal pergerakan kakiku untuk menjejak tanah sebelum akhirnya terbang. Aku menemukan diriku yang tak kukenali di tempat asing itu. Dan. Ya! Aku terbang! Bukankah pernah kukatakan sebelumnya bahwa aku memiliki kekuatan yang diriku sendiri tak tahu bahwa telah menyimpannya. Terbang. Aku bukan satu-satunya. Orang-orang yang terlempar dari perimeter pun memiliki kekuatan yang sama. Hanya kami saja. Berempat atau berenam, karena memang disana hitungan terlihat seperti kasat mata.
.
.
Mungkin sebagian dari kalian akan mengerutkan kening demi memahami ketikan dalam separo lebih malam ini. Ya, akupun demikian halnya. Nafasku begitu terengah-engah ketika baru saja terlempar dari tempat itu. Setelah beberapa waktu lalu berhasil membuat diriku yang lain- namun dengan jiwa yang tak kukenali meringkuk kalah dengan wajah memar dan hidung teraliri darah. Siapa dia ? Aku yang lain itu, kenapa begitu inginnya menjegal langkahku untuk terbang bersama orang-orang yang terlempar dari perimeter dan hendak pulang. Aku menyimpan dengan erat ekspresi itu. Wajah terengah penuh luka dengan ringis kesakitan yang begitu mendalam. Di tempat yang tak kutahu, dengan bangunan-bangunan tinggi menjulang, aku menemukan diriku yang lain tengah berusaha menjegal pergerakan langkahku. Namun dalam satu kesempatan setelah perjalanan yang begitu melelahkan, aku berhasil memadu padankan kekuatan melayangku dan hantaman kepalan tangan. Aku berhasil membuat diriku yang lain bersimbah darah dan meringkuk penuh sakit di tanah di bawah sana. Ya, karena setelah pertarungan yang aneh itu, aku berhasil menjejak tanah dengan segera. Aku terhuyung-huyung dalam menjejaki udara tentu saja. Pertarungan itu, entah bagaimana telah menguras tenagaku. Bahkan bisa kurasakan kedua tanganku menggenggam erat atap bangunan tua, agar aku bisa menjejak dengan kuat pergi ke atas sana dan meninggalkan aku yang lain tengah terkapar. Tidak. Sedetik sebelum aku benar-benar menjejak udara untuk mengangkasa lebih tinggi, kusempatkan diri untuk menengok aku yang lain di bawah sana. Memastikan ataukah benaran sosok itu adalah diriku atau bukan. Dan ternyata memang benar. Namun dengan keanehan yang lain, di raut wajahnya, tak kudapati sosok yang beberapa waktu lalu mengerang kesakitan. Luka yang terkopyok jelas dalam bulatan matanya mendadak hilang tergantikan dengan mata yang lebih teduh dan menyenangkan. Lebam itu masih ada, berhias lelehan merah dari kedua lubang hidungnya. Dan wajahnya tersenyum. Demi apapun! Diriku yang lain itu tersenyum kepadaku, setelah meringkuk kesakitan dengan ekspresi wajah yang tak akan pernah kulupakan. Siapa dia ? Benarkah sosok itu adalah aku ?
.
.
Waktuku di tempat asing itu masih dalam separo jalan. Kenapa aku bisa tahu ? Karena aku pernah berada di sana sebelumnya. Bukankah pernah kukatakan di awal ? Dan tentang lelaki asing yang kukenali hatinya, juga wanita tak asing yang memang adalah bagian nyata dalam kehidupanku di dunia. Keduanya seperti cermin yang membuatku linglung setengah mati demi memahami yang mana keaslian dunia ini. Keduanya yang tanpa kuminta telah menjejalkan bekal beserta ketulusan di dalam saku yang lagi-lagi membuatku hampir kehilangan separo kewarasan tersisa untuk memahami yang mana sebenarnya keaslian dunia ini. Kasur yang tengah kutiduri, atau tempat asing itu.

Senin, 14 Agustus 2017

Keajaiban Selanjutnya

Juli telah berlalu setelah berhasil memutar banyak angka penuh makna. Agustus datang dan telah beranjak hingga separo perjalanan. Dan aku bahkan belum menandakan dalam satu judulpun di bulan ini. Entahlah, setiap kali aku ingin mulai untuk menulis, sesuatu seakan membisiki telinga hatiku, "Tidak saat ini." aku bisa apa memangnya ? Sementara memaksa tidak apa pernah menghasilkan apa-apa. Otakku sepertinya tengah dalam upaya istirahat untuk mendeskripsi. Ia bahkan tak membiarkanku untuk berpujangga seperti sebelum-sebelumnya. Keresahan bukannya tidak ada, dia selalu nampak tapi dalam kondisi yang tersamar acak. Dan seperti biasanya, aku selalu sulit untuk bisa menangkap garis merah dari sinyal yang samar dan lemah. Jadilah dalam separo bulan ini, kuhabiskan apapun dengan cara menikmati. Seperti pula negeri ini, aku pun memiliki cerita spesial di bulan ini. Semua orang tahu, sebuah klimaks akan sesuatu yang kusebut penyiksaan diri paling elegan telah terjadi di angka dalam separo bulan ini. Agustus dengan banyaknya rentetan cerita, dan aku terlalu bingung untuk memulainya dari mana. Ari akan menabokku keras-keras jika tahu aku menjadikannya lagi sebagai intisari dari tema kali ini. Aku telah lama mencium aroma keengganan darinya jika menyangkut hal-hal yang berbau puitis dan dramatis. Tapi memang selama ini tulisanku berbumbu seperti itu ? Rasanya tidak, kan ? Entahlah. Tapi keengganan itu tak pernah mau beranjak dari perkiraanku. Mungkin karena aku berekspetasi terlalu tinggi, berharap Ari pun akan bersedia membalas kekagumannya pada diriku dengan cara yang sama, yakni menuangkan dalam ujud cerita. Aku telah salah paham kepadanya untuk angan yang satu itu. Karena Ari adalah Ari. Sebuah nama yang tak akan bisa bersanding dengan kata-kata romantis dan juga bunga. Sebuah nama yang terlalu sulit untuk bersanding dengan cinta. Tapi Ari selalu ada, dan menjaga.
.
Berbicara mengenai Ari akan sulit jika tidak menyinggung keturunannya. Cetak biru dari Ari yang selalu bisa membuatku menggelengkan kepala. Sebuah nama yang dalam satu tahun terakhir telah mematenkan diri untuk menjadi sebuah tema yang konsisten hilir mudir di tempat ini. Hara. Ketika manusia-manusia lain menyambut semburat keemasan di ufuk timur sana dengan berbagai usaha dan perjuangan. Maka aku akan di sibukkan dengan cara yang lain. Yakni mencintai. Aku sibuk mengagumi bayi mungil yang tengah beranjak menjadi gadis kecil milikku. Cetak biru Ari yang begitu cantik dan menggemaskan. Hari-hari terlalui bersamanya dengan sangat menggembirakan. Setiap keajaiban akan jatuh bersamaan dengan gerak-gerik dan tutur kata yang keluar dari mulutnya. Aku tidak sedang berandai dan melebihkan. Karena memang itu nyata adanya. Jiwaku telah terbelah menjadi dua semenjak ia ada. Tapi aku baru benar-benar menyadarinya beberapa waktu belakangan ini. Rasa sakit seperti tercabik saat dulu harus melahirkannya telah terhapus secara perlahan dari ingatan. Waktu bergulir dengan sangat cepat dan Hara adalah sebuah keajaiban. Hadiah terbesar yang pernah kuterima selama keberadaanku di dunia. Ia membuatku berhenti menginginkan. Namun alih-alih membuatku mandek, ia justru membuatku berangan tentang masa depan. Sebuah masa dimana nanti disana yang ada hanyalah cinta. Aku akan memaksa Ari untuk kembali berpujangga, agar dunia tahu betapa menakjubkan perkembangan dari cetak birunya. Aku bahkan kembali berpikir untuk bisa menghadirkan lagi yang seperti Hara. Tentu saja aku akan rela, rela melewati masa tercabik itu lagi, rela membagi lagi jiwa yang hanya tinggal separo ini, rela menghabiskan waktu-waktu menuju tuaku untuk mengurus mereka. Apapun untuk keajaiban yang ke dua. Ari mungkin akan tertawa jika aku mengutarakan niat ini. Tapi tak apa, aku rela di tertawakan olehnya. Karena aku yakin Ari pun memendam niat yang sama, menciptakan keajaiban yang ke dua. Hanya dua. Karena mungkin aku tak akan sanggup lagi untuk membopong bahagia yang terlampau besar jika saja ada keajaiban yang ke tiga, ke empat dan seterusnya. Ari benaran akan menertawakanku setelah ini.
.
Dan untuk rumah ini, kepada pengikut yang hampir selalu ada untuk sekedar mampir atau mengagumi setiap keping sajian. Jangan bertanya kenapa aku tahu bahwa kalian ada. Cukup pahami ini, bahwa aku telah menghabiskan banyak cerita bahkan hampir separo dari satu keutuhan bulat yang pernah terjadi dalam hidupku. Aku berbahagia ? Tentu saja. Rumah ini berperan penting dalam menjagaku agar tidak serta-merta menjadi gila. Endapan sampah yang kutuang tema demi tema adalah proses untuk menjagaku tetap bersih dan sehat. Ya, ketika manusia lain menjaga keduanya dengan cara mandi dan berolah raga, aku cukup dengan menulis. Penghematan besar-besaran bukan ? Kehadiranku di tempat ini mungkin akan semakin menjarang setiap waktunya. Karena seperti yang selalu kukatakan, aku tak bisa menghasilkan tulisan apa-apa ketika tengah berbahagia. Dan aku tengah mengantisipasi hal itu seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan Hara. Sekian.

Rabu, 26 Juli 2017

Dewa Kucing Dan Cacatnya

Aku adalah salah satu makhluk dengan cacat terbanyak di muka bumi ini. Jika manusia lain hidup dengan bertopang pada udara dan kinerja jantung juga paru-parunya, maka aku lain. Insting adalah penunjuk arah, langkah dan juga cara bernapasku. Orang lain akan melihat bahwa aku adalah manusia dengan senyum terpelit di dunia. Padahal tidak. Aku tidak pelit, hanya tidak bisa. Memiliki kemauan tapi tak bisa melakukannya.
.
Raut wajah adalah area yang sangat nyata untuk melihat suasana hati. Dan wajahku tak pernah lebih bisa menyembunyikan apapun yang insting bisikkan padaku. Ini adalah pernyataan lamaku, tapi kebenarannya tidak pernah kuragukan. Detik pertama aku melihat mata seseorang, aku akan bisa membaca akankah selanjutnya seseorang itu akan membawa dampak buruk atau baik. Aku membaca gelagat hanya dari tarian tangannya. Aku menangkap sinyal hanya dari lengkungan bibirnya. Dan mata, adalah sudut terfavoritku. Tak ada yang bisa menyembunyikan apapun disana, dariku.
.
Aku mungkin saja normal, seperti kalian, seperti manusia kebanyakan. Tapi cacatku membuat pengecualian. Aku memang berbeda. Bola mata, insting dan raut wajahku seketika akan bekerja sama dengan tingkat ketelitian yang super detail ketika mulai berhadapan dengan seseorang. Dan ketika sinyal mulai mengirim tanda negatif, maka disinilah pertaruhan di mulai. Cacatku mulai menunjukkan diri. Aku tidak ingin bereaksi, sama sekali tidak ingin menggubris apa yang insting mulai bisikkan padaku. Bukankah kita tidak bisa dengan begitu cepat mengambil keputusan untuk menilai seseorang hanya dari tatapan pertamanya ? Jatuh cinta pada pandangan pertama sering kudengar, tapi membenci pada pandangan pertama adalah sesuatu yang tak kusukai yang sialnya justru sering kualami. Cacat terbesarku selalu muncul secara tiba-tiba. Aku tak pernah bisa berpura-pura. Ketika insting mulai membisikkan tanda kurang baik, seketika wajahku akan bereaksi. Menarik keras otot-otot senyum di bibir. Bahkan otakpun akan terkena imbasnya dengan mulai melancarkan perkataan-perkataan dingin nan sarkastik. Aku membenci sisi cacat diriku. Aku kewalahan untuk menerapkan pada diri sendiri pernyataan bahwa manusia tak boleh menilai sebuah buku hanya dari sampulnya.
.
.
Seringnya, aku hanya bisa memaki diri sendiri. Memaki kenapa tak bisa berpura-pura. Menyembunyikan sedikit saja rasa tak suka dan menukarnya dengan seulas senyum. Aku menderita, karena bisikan-bisikan dari dalamku yang tak pernah mau menyumpal mulutnya.
.
Satu kenyataan yang tak bisa untuk kupungkiri hingga saat ini adalah, kenyataan bahwa instingku selalu membisikkan petunjuk-petunjuk yang hampir selalu benar. Ragaku seakan tidak di desain untuk kecewa. Karena ketika pandangan pertamanya saja berhasil mengirim tanda, petunjuk agar aku mempersiapkan diri selanjutnya.
.
.
Terkadang aku mulai berpikir, apa asyiknya hidup ini tanpa misteri ? Tidak semua manusia memiliki niat baik di dalam hatinya. Lalu kenapa ? Kenapa aku harus terburu-buru untuk tidak menyukai seseorang ? Dan kenapa pula aku harus terlahir dengan cacat besar di gendongan ?
.
Orang akan berpikir aku masuk dalam jajaran manusia-manusia normal. Padahal tidak. Selalu ada percakapan dan pertikaian di dalam kepalaku. Jika memungkinkan, bahkan bisa kupastikan ada sesuatu yang tengah berperang pula di dalamnya. Dan jika ternyata keinginan menjadi normal adalah hal sia-sia, maka keinginanku selanjutnya hanyalah satu. Aku ingin bisa berpura-pura. Dengan senyum dan mata berbinar yang tak pernah meninggalkan wajah. Aku ingin bisa berpura-pura. Dengan jalan terus mengabaikan apa yang insting selalu bisikkan padaku. Tak peduli kenyataan bahwa apa yang selalu ia tunjukkan adalah sebuah kebenaran. Karena aku bosan di cap sebagai pemurung, dan pemarah. Meski telah kusiasati dengan melaksanakan sebuah jurus jitu yakni menjadi pendiam, tetap saja tak ada yang bisa menutupi perasaan apapun pada reaksi raut wajah. Akankah ini keinginan normal ? Kenapa kata normal mendadak menjadi ambigu setelah catatan ini hampir menyentuh akhir ? Wajarkah jika aku mulai berkata bahwa aku adalah manusia separo dewa ? Bukankah dewa tak memiliki kepintaran untuk menyembunyikan kenyataan ? Lalu bagaimana jika ternyata aku ini manusia separo kucing, karena setelah kuingat-ingat, kucingpun hampir memiliki kemiripan yang sama dengan cacat besarku. Ia akan menatap bengis pada apapun yang kiranya ingin mengacau harinya. Ia akan berlari dalam pelukan begitu sang majikan menebar aura positif dan menyenangkan. Insting kah yang menuntun hidupnya ? Atau sesuatu yang lain ? Aku harap kali ini aku memiliki cukup kewarasan untuk mengakhiri paragraf ini. Termasuk ketika harus mengakui bahwa ada kemungkinan aku adalah manusia dengan darah separo dewa kucing yang pada masanya dulu memiliki kemampuan untuk meraba dan melihat aura. Ouh..pernyataan yang terlalu mengerikan sepertinya. Tapi aku menyukai pemikiran tentang kemungkinan itu. Sekian.

Selasa, 25 Juli 2017

Kado Yang Terlambat Datang

Dua tahun. Bukan lagi satu tahun sekian bulan, atau dua tahun kurang beberapa minggu. Tapi ini benaran dua yang utuh. Dan sepertinya aku telah sedikit menemukan kendali atas diriku kali ini. Tidak bermaksud sengaja memperpanjang kesabaran Ari hingga angka dua itu benar-benar utuh, tapi kemungkinan aku yang lelah untuk terus menentang.
.
Sinar temaram yang terus menerangi hari pernikahan kami, mendadak mendapat pasokan energinya secara tiba-tiba. Seperti separo gelas sirup yang terdesak oleh bongkahan es batu besar-besar. Dahagaku terpuaskan dalam umur kedua yang masih dikategorikan muda. Entah siapa yang memulai, tapi aroma rumah ini tak lagi seberingas ketika keberadaan Ari baru memasuki hitungan minggu dan bulan. Panas yang dulu terbakar pada malam pertama kedatangannya kian membara setiap harinya. Terus memuncak hingga kemudian angka dua menemukan keutuhannya. Tak ada lagi panas yang menyengat, yang ada tinggal bara yang menghangat. Dan aku menyukai itu.
.
Entah apa alasan di balik semua ini, tapi Ari terlihat lunak dan semakin manis akhir-akhir ini. Dan si kepala batu ini pun sepertinya tengah dalam separo jalan mengikis keras dirinya. Apalagi yang lebih membahagiakan ketimbang dua manusia yang tengah berusaha melunakkan diri agar lebih bisa saling terikat ? Dan Ari adalah pemenang. Bersamanya membuatku kembali ingin bermimpi, bersamanya membuatku tak lagi ngeri untuk berangan. Ari tak hanya membuatku terbang, tapi juga menumbuhkan sayap-sayap di punggung agar kelak aku bisa terbang tanpa bantuan.
.
.
Bukankah akan selalu ada cuaca cerah setelah badai menerjang ? Dan masa kritis momen romantisku berada pada dua ambang bulan. Yakni pada urutan ke tujuh dan ke delapan. Agustus adalah akhir. Berhentinya cerita cinta yang bahkan tak sampai di ujung lidah. Garis semu yang hampir saja kutapaki dengan membabi buta dan menghalalkan segala cara. Tapi bebarengan dengan momen sesakral tujuhbelasan, telah kutelan semua rasa cinta, kagum, sedih, kecewa dan berharap semuanya akan menjadi sampah dan berakhir di tempat dimana kotoran seharusnya berada. Mungkin ini telat untuk di ungkapkan. Tapi aku menyukai momen di mana aku merasa teriris hanya karena melihat sebuah nama bersanding dengan kekasihnya. Aku menyukai momen di mana Ari ada dan datang di saat yang tepat dan tak terduga. Bukan datang, tapi aku yang meminta lebih tepatnya. Tuhan membuatku menyadari tujuan-Nya setelah dua tahun berlalu. Ari bukanlah sebuah kebetulan yang menjadi nyata. Hari dimana aku memintanya untuk menemani duniaku adalah insting pertama yang berhasil kuraba untuk mengobati patah hati yang akan datang beberapa hari ke depan. Bahkan aku sudah bisa lebih peka dengan tidak secara sengaja menyentuh pintu instingku. Tapi ternyata tidaklah segampang itu, dibutuhkan angka dua yang utuh untuk menyadari bahwa keberadaan Ari bukanlah penambal dinding hatiku yang koyak. Ari tidak berfungsi dan tidak di desain untuk seperti itu. Ari adalah setebal namanya. Menjadikanku memilih di antara dua. Membiarkanku menjadi godam yang kelak menghancurkan kerasku sendiri. Ari dengan cara uniknya menunjukkan bahwa ia berharga. Dan aku menyukai itu.
.
.
.
Tiga, dan akan ada empat, lima, tujuh, dan seterusnya. Bersama Ari membuatku kembali berani menarikan lidah dan mengucap kata-kata berpemanis lebih. Sekalipun ia dan bahkan aku adalah makhluk fana, tapi dalam kesemuan yang membingungkan ini, aku ingin menjadi sebuah pasti bagi langkah-langkah Ari. Sebuah pasti yang di harapkan bisa menghentikan langkah ragu dan gundahnya. Aku ingin menjadi jawaban untuk Ari. Bagi semua pertanyaan yang terus membelit di sepanjang perjalanan hidupnya. Namun jika semua itu terlalu muluk dan berat untuk terlaksanakan, maka sebuah harapan tersingkat adalah keinginanku untuk membuatnya bahagia sekalipun aku tak memberikannya apa-apa. Aku telah menyerah untuk menjadi diriku yang sekeras batu. Aku ingin terus kembali melunakkan diri agar bisa setidaknya menyamai kelenturan Ari. Agar ketika raga kami berpelukan, tak ada sesuatu apapun lagi yang menghalangi dan mengganjal.
.
.
Hari jadi kami yang kedua bergulir begitu saja tanpa terucap banyak keinginan muluk. Merayakan tidak ada dalam daftar pernikahan kami sepertinya. Dua makhluk kaku yang tak pernah tahu bagaimana cara menghormati sebuah tanggal. Dan kado dariku selamanya tak akan berubah menjadi sesuatu yang layak di makan. Karena memang aku tak pernah memberi apa-apa. Dan hanya kata. Pengakuan bahwa aku telah bahagia. Pengakuan bahwa aku telah berhenti menganggap kedatangan Ari adalah sebuah kebetulan yang tidak di sengaja. Pengakuan bahwa aku merasa telah dalam separo jalan mengikis diri. Pengakuan bahwa aku tak lagi menginginkan apapun hal di dunia kecuali bersama dan melihat keluarga kami bahagia. Pengakuan bahwa mungkin, keluarga kami telah dalam separo tangga jalan menuju keluarga terharmonis sedunia.
.
Apalagi yang perlu kucari lagi setelah ini ? Ari memuat segala syarat untuk menuju bahagia. Dan dia adalah milikku. Hanya milikku.

Minggu, 23 Juli 2017

Kipas Angin Tanpa Baling

Kita bukan lagi sebuah kawanan. Yang berkerumun dan berkelana mencari makan. Kita bukan lagi dua orang teman. Yang saling mengganggu dan bertukar pikiran. Dulu kita pernah saling memimpikan untuk mendiami rumah yang sama, melahapi putaran jarum jam dengan aktivitas yang sama pula. Tak apa, karena memang sejalan bukan berati harus terus bergandengan.
.
Mata adalah penyebab dari semuanya. Jika milikku melihat jalanan kita adalah semak belukar, maka matanya justru menangkap bahwa itu adalah aspal mulus tanpa sedikitpun hambatan. Bola kecil putih dengan lingkaran hitam di dalamnya tak sanggup untuk saling bergandengan. Untuk itulah kenapa jarak ini harus ada.
Tapi tak apa, bukankah bersama tidak harus selalu selamanya ?
.
Mesra adalah salah satu kata yang sangat tepat untuk menggambarkan betapa lekatnya kedekatan kita. Tak ada satupun borok milikmu yang tak kuketahui dan kutertawakan tanpa adanya ampunan. Begitupun sebaliknya. Tapi kini, engkau lebih memilih untuk selangkah lebih erat pada pelukan sunyi. Sementara aku telah mendapatkan pengganti. Siapa yang salah ? Tak ada. Dan memang sekali lagi, tak apa. Jalan hidup seseorang tak ada yang akan tahu, seberapa kuatpun kita pernah saling terikat, akan ada saat dimana semuanya terasa lengang dan menghambar. Tak terkecuali untuk hubungan kita ini.
.
Kalimat-kalimat yang kutulis malam ini, tak pernah berarti apa-apa, hingga rasa itu kemudian datang. Tak apa kawan, tak apa jika kita tak lagi harus sejalan. Tak apa jika kita tak lagi bisa bergandengan tangan. Teruslah berjalan seperti jarum jam yang tak rusak. Teruslah berputar seperti kipas angin yang tak rusak. Ada satu kalimat yang perlu ku ralat pada paragraf di atas. Aku tidak tengah dalam keadaan telah menemukan pengganti. Ariku tidak berfungsi seperti itu, karena memang..seperti kaus kaki, Ari adalah kaus kaki untuk kaki kiri, yang memang di tempatkan di sana dan bertugas menghangatkan daerah kiri. Dan engkau tak lain adalah kaus kaki untuk sebelah kanan. Tak ada yang salah bukan ? Kerenggangan kita jelas meninggalkan lubang. Aku bisa saja memindah kaus kaki sebelah kiri untuk menghangatkan kaki kananku, tak ada yang tak akan tahu, tapi bukankah kenyamanan tak bisa di manipulasi dan di paksakan ? Tak apa jika aku harus melanjutkan hidup dengan hanya satu kaus kaki. Tak apa, selama kepergianmu adalah demi menemukan kaki yang tengah kedinginan. Tak apa, selama kepergianmu bukan dalam rangka menuju kesunyian yang lebih pekat. Karena seperti yang dulu pernah kukatakan selagi kita masih mesra. Bahwa bahagiamu adalah milikku juga.
.
Rumah itu tak pernah ada, bahkan ketika kini aku telah memiliki segudang uang untuk membangunnya. Rumah impian, dimana kita akan selalu bersama, menempatkan meja dan sofa pun bersama, bahkan membersihkan remah pecahan piring pun akan sama-sama juga. Rumah itu tak pernah ada bahkan ketika engkau memiliki sepetak luas tanah yang lebih dari cukup untuk menjadi alas bagi rumah impian kita. Karena memang tak ada satupun mata manusia yang tercipta sama dengan manusia yang lain. Tak peduli semirip apapun mereka, akan ada celah yang membedakan, yang memisahkan.
.
.
.
Tak apa kawan, jika kita bukan lagi sebuah kawanan. Bukankah makanan kita tetap sama ? Dan lihatlah, ada ribuan petak ladang di sepanjang mata kita memandang. Mungkin, suatu hari nanti. Mungkin, entah di petak ladang yang mana, kita akan kembali di pertemukan. Kita akan kembali bisa berjalan bersisian. Dan saat hari itu datang, mungkin tak akan ada lagi kemesraan sehangat yang dulu pernah kita ciptakan. Tak ada lagi rumah impian. Tapi mungkin akan ada bara lain yang akan saling kembali menghangatkan. Membakar bongkahan es yang terlanjur memalung semenjak hari kerenggangan kita.
.
Teruslah berjalan kawan. Seperti jarum jam yang tak rusak. Sekalipun tak pernah ada kata selamat tinggal yang kita ucapkan, jangan bersedih untuk alasan di balik itu. Karena memang, sejalan tak berati harus selalu bergandengan. Berhenti terus mempererat dekapanmu kepada sunyi. Karena itu hanya akan memperlambat waktu kembalinya kita untuk saling bertemu di ladang entah mana. Kenapa aku begitu percaya diri dengan mengatakan bahwa kita akan saling bertemu ? Karena kita pernah terikat. Karena keberadaanmu pernah menghangatkan salah satu bagian tubuhku. Karena rasa nyaman itu pernah ada. Untuk itu janganlah terlalu erat dalam memeluk sunyi yang kian memekat. Lihat aku, sangat jelas mataku memendam lubang. Jejak hilang yang kau tinggalkan karena kerenggangan. Tapi aku tak pernah beralih dan bermuram lalu membabi buta mengarahkan pedang. Ari bukanlah alasan kawan. Ari bukanlah satu-satunya yang bersalah. Waktu telah mengatur dirinya sedemikian rupa. Lihatlah aku, tentu saja aku merasakan kehilangan. Tanpamu, aku seperti kipas angin yang kehilangan baling-baling. Tapi ketahuilah, bahagia tak datang hanya dari satu arah saja. Dan aku tak pernah pergi kemana-mana. Pesanku kali ini kawan. Berhenti mencari maka kau akan menemukan.

Jumat, 14 Juli 2017

Melepas Jabatan

Mungkin ini adalah saat yang tepat bagi kita untuk bertemu dan berbicara. Setelah sekian lama, setelah sekian banyak luka menganga, masihkah engkau bernafsu untuk menjabat tanganku lagi ? Masihkah aku semenggiurkan itu untuk kau rangkul ?
.
Aku bahkan tak tahu harus memanggilmu sebagai apa, dan memperlakukanmu sebagai siapa. Keberadaanmu tak pernah lebih jauh dari selebaran jengkalan tangan. Mengikuti seperti bayangan hitam. Dan seperti juga ia, maka kita pun terkadang menyatu ketika terik tepat berada di atas kepala. Engkau sama sekali tak terlihat, atau justru aku yang menghilang, tak lagi jelas semua hanyalah samar.
.
Kali pertama aku mengenalimu, kukira engkau adalah sesosok kawan. Karena memang semua yang membuatku merasa nyaman, telah berhasil engkau menangkan. Lalu kemudian aku menyadari bahwa sosokmu tak lebih dari sebongkah bara yang terkadang berubah ujud menjadi monster mengerikan. Aku memelihara satu monster di dalam raga, dan hingga kini aku masih sering linglung untuk membedakan yang mana ucapanku dan yang mana aumannya.
.
Tidak hanya sekali aku melukai, bahkan tidak hanya Ari, semua yang pernah beririsan denganku bisa dipastikan akan merasakan seperti apa bara panas yang ku luapkan. Dua puluhlima tahun, atau mungkin lebih. Dan ini adalah kali pertama aku merasa kewalahan. Aku kalah untuk bisa menjadi pemegang tali kekang monster yang kupelihara sendiri. Aku tak hanya melukai, tapi juga mulai menyakiti. Mangsaku tak mengenal batas. Dan seringnya aku hanya bisa meringis ketika cakaranku tepat mengenai raga orang yang ku sayang.
.
Orang akan dan selalu mengira bahwa aku sempurna. Aku memegang jiwa yang di puja juga di puji oleh kebanyakan manusia. Setiap tuturku menjadi lilin bagi mereka yang merasa tengah berada dalam jalan penuh kegelapan. Mereka tidak tahu, bahwa aku sebenarnya bukanlah keturunan dewa. Aku tidak memiliki kecakapan apapun untuk bisa di sebut sebagai keturunannya. Sekalipun memang, aku selalu menjunjung Ayahku setara dengannya. Tapi, memang siapa yang tidak mengerti tentang garis miring pada nama Ayahku ?
.
Sekian lama, dan aku semakin merasa ragaku akan menjadi dua bagian yang terpisah dan berbeda. Aku menangis di saat tandukku mulai menggoresi siapapun yang berada di sekitaranku. Aku mulai berputus asa ketika cakarku mulai mengenai tak hanya raga tapi juga hati para nama-nama yang ku puja dan ku cinta.
.
.
Hari ini, kesabaranku telah menyentuh garis akhir. Hari ini, kesadaranku mulai menguap dan mengerjapkan mata. Tak seharusnya kupasrahkan tali kekang pada makhluk peliharaanku sendiri. Engkau tak seharusnya menapaki garis batas dan mengetes lebih kesabaranku. Aku telah berputus asa, karena terlalu lama membiarkan diri ini menelan kecewa, karena terlalu lama membiarkan diri ini berprasangka. Aku telah berputus asa, karena hampir saja atau mungkin telah dalam separo jalan membuat Ari terluka dan memaksanya harus memilih di antara dua. Andai bisa kubicarakan ini dengan gamblang. Bahwa selalu ada satu masa dimana aku akan merasa malu akan semua yang pernah kulakukan dan kuucapkan. Andai bisa ku jelaskan bahwa aku tak ingin membusuk bersama makhluk peliharaanku yang sialnya terlalu enggan untuk menjauhi raga ini. Dan kepada sebuah nama yang mendasari pernyataan ini tercipta. Ia menjadi perantara dan menjadi pintu bagi kedatanganku. Kata maaf mungkin tak akan berarti apa-apa, aku hanya ingin ia mengerti dengan siapa ia tengah berdiri, dan siapa pula yang telah ia ciptakan dari separo darah dan nyawanya.
.
.
.
Engkau telah melihat semuanya bukan ? Aku telah menjadi apa yang selama ini kau ingini, aku mengeraskan tak hanya kepala tapi juga hatiku, aku berprasangka, aku mulai menimbang demi bisa menemukan adanya ketimpangan, aku menekan kuat-kuat hulu retina agar tak menjatuhkan air beningnya, aku kecewa, dan aku selalu mengakui diri sebagai keturunan dewa. Apalagi yang perlu kujelaskan sekarang ? Namaku telah hancur dalam 5000 karakter kali ini. Tak ada si bijak yang akan menyalakan lilin ajaibnya. Tak ada si ceria yang tak pernah merasakan ketidak bahagiaan. Engkau puas sekarang ? Jadi kali ini, di kesempatan yang sesejuk ini, mari kita berjabat tangan. Jangan seperti pengecut yang akan selalu berdiri di belakang dan membuntutiku, memanfaatkan terik matahari untuk menyembunyikan diri atau justru membuatku menghilang. Jangan menjadi pengecut sayang, pandanglah diriku dan lihat betapa keputus asaan telah melenyapkan semuanya dari wajahku. Senyumku terasa menghambar, hanya karena air mata yang terlalu lama menggenang permukaan. Jadi sayang, bisakah kita saling melepaskan ? Aku lelah mengasuh sekaligus menjadi pengikutmu. Aku lelah mencari pemenangan yang seharusnya memang tak ada.
.
Ketika Hara besar nanti, aku ingin ia mengerti dan memahami bahwa Ibuny bukan sosok yang tepat untuk di idolai, aku merasa cacat untuk separo ragaku yang di tali kekang oleh musuhku. Musuh yang dulu ku anggap sebagai kawan, dan pernah pula kuangkat ia sebagai makhluk peliharaan yang ku elu dan ku sayang.

Rabu, 12 Juli 2017

Baret Dan Lebam

Tiga, mungkin empat, atau malah kita memang tidak pernah saling bertegur sapa ? Tapi baret dan luka itu terlihat nyata. Atau memang lagi-lagi aku mengalami sindrom yang bernama jatuh cinta sendiri ?
Yang aku tahu hari-hari bersamamu terlewati dengan begitu indahnya. Namamu tidak terlalu sulit untuk di sandingkan dengan cinta, karena memang kenyamanan yang kau tawarkan sebanding dengan seceruk sumber air di gurun sahara. Aku tidak tahu pastinya, gurun sahara itu memang eksis dalam peta dunia atau hanya ada dalam dongeng saja. Tapi tetap saja, namamu akan terlalu tinggi jika di paksa di pajang diujung hati. Namamu selalu di rindukan, begitu juga dengan kenakalan-kenakalanmu yang kadang berada di luar nalar. Kenapa aku bisa terjebak dalam permainan menyakitkanmu ? Ini bukan kiasan, aku memang merasakan sakit yang nyata ketika harus berada di dekatmu. Baret, memar adalah hal lumrah yang entah kenapa justru terasa lucu dan menggemaskan. Lagi-lagi aku curiga tengah menderita sindrom jatuh cinta sendiri. Bahayakah ? Tidak, karena hatiku sudah terlatih patah hati. Dan bukan hanya sekali aku pernah melewati masa-masa ini. Karena si cicak, si zebra, si tinta pernah berada di dalamnya.
.
.
Dear si pemilik nama pada abjad kedua, bersamamu membangkitkan lagi jiwa patriot yang selalu tumbuh dalam jiwa manusia-manusia terlalu muda. Aku tertawa. Aku melupakan dunia. Aku sakit. Aku terluka. Dan aku bahagia. Seperti yang pernah kukatakan sebelumnya, namamu tak akan terlalu sulit untuk bersanding dengan cinta, terlebih rindu, karena jujur saja kepalaku masih memutar ingatan tentang bagaimana baret dan semua lebam itu tercipta. Aku merindukan masa dimana aku bisa melupakan dunia, lalu menangis dan kemudian tertawa. Paket komplit yang jarang di suguhkan oleh siapapun nama di dunia. Hanya rindu saja, karena aku tidak bisa membayangkan lebih tentang apa yang akan terjadi jika memang benar-benar ada cinta di antara kita. Dua manusia dengan kenakalan di ambang batas, yang memiliki hobi sama yakni menggoreskan baret dan lebam di tubuh manusia. Dan cinta ? Siapa dia ?
.
.
Aku tidak pernah tahu jika namamu akan sesulit ini untuk ku bahasakan. Lihat ? Aku tak menghasilkan apa-apa selain paragraf konyol ini. Tujuh, hampir tujuh mungkin, namamu hilir mudik dalam padatnya lalu lintas kepalaku dalam jangkauan tahun tersebut. Tidak layakkah jika kerinduanku di golongkan pada nama cinta ? Tapi untuk apa ? Di jadikan pajangan, bahwa aku si konyol ini ternyata memiliki nama idaman untuk yang kesekian ? Hubungan ini telah lama berakhir sebenarnya. Sama sekali murni berakhir tanpa terselip nama cinta yang terbawa ke masa mendatang. Tapi aku tak bisa berhenti untuk ingin mengetahui, siapa sebenarnya si pemenang itu, sudah adakah ? Atau mungkin kau homo ? Jenis seperti apakah yang berhasil menaklukkan makhluk sepertimu ? Berapa beruntungnya ia, atau mungkin kesialan baginya ? Karena mendapatkan makhluk sepertimu ?
.
Tenang kawan. Sekalipun kita tak pernah lagi saling bicara. Sekalipun bahasa terakrab yang pernah mengikat kita hanyalah baret dan lebam menggemaskan itu, aku mengerti siapa dirimu. Aku pernah terpesona dan hampir ingin membuntuti kehidupan pribadimu. Apa aku terdeteksi tengah jatuh cinta ? Hampir dan itu semua sudah berlalu bukan ?
.
Namamu tak pernah cocok untuk di sandingkan dengan kata suami idaman. Tapi percayalah, namamu akan sangat tepat jika disandingkan dengan kata sahabat. Aku bahkan akan rela jika harus menukar semua temanku demi seorang kau untuk menemani di sepanjang masa tuaku. Tak apa jika harus kudapati lagi baret dan lebam menggemaskan itu, keduanya tak akan sebanding jika harus kutukar dengan kenikmatan akan kenyataan bahwa aku bisa melupakan dunia di masa-masa senja yang erat dengan kepasrahan. Denganmu kutemukan semangat hidup yang terus menggebu dan meminta peluapan. Enam, atau mungkin tujuh. Berapa lama sebenarnya kita telah terpisah ? Kenapa baret itu masih begitu nyata ? Aku mungkin gila, atau mungkin salah satu kenakalanmu di masa lalu telah melengserkan sedikit kewarasanku. Kenyamanan bukankah sesuatu yang tak bisa di buat dan di paksa ? Dan kenyataan bahwa namamu dan namaku pernah menjadi selengket bekas permen karet yang menempel di antara semak rambut, sedikit membuatku tercengang. Kenapa kita hanya harus bertemu dalam waktu yang berkurun sedikit itu ? Kenapa kita harus menemui kata perpisahan ? Bukankah kata satu itu tak layak bersanding dengan manusia yang sanggup melupakan apa itu dunia ? Tak apa, sama sekali tak apa jika hitungan itu hanya sampai pada angka tujuh atau enam. Karena pada kenyataannya. Kita hidup dalam memori masing-masing bak memori usang selama bertahun-tahun setelahnya. Apa aku terlalu percaya diri dengan mengatakan bayanganku pun masih hidup dalam kepalamu sampai sekarang ? Bukankah sudah kukatakan bahwa aku mengenalmu ? Aku melihatmu, dan membaca matamu. Jika baret dan lebam saja tak sungkan untuk kau toreh di atas tubuhku, kenapa tidak dengan cerita tentang siapa dirimu. Sekian.

Selasa, 11 Juli 2017

Paragraf Manis

Hari-hari terakhir masa jabatku di dunia terlewati dengan sangat manis dan menggigit. Melalui jari-jemari dengan kulit yang kian mengeriut ini, aku telah melukis banyak cerita. Bersama nama yang menua dan memikun bersama. Sebuah nama yang 50 tahun lalu pernah dan tak hanya sekali kuragukan perasaan juga besar cintanya. Sebuah nama yang rela bertahan pada satu jalan cerita dengan begitu telatennya.
.
Aku tak pernah menyangka jika hari ini akhirnya datang juga. Masa di mana aku akan rela menyembah syukur kepada Sang Pencipta untuk sebuah akhir yang datang menjemput. Bukan secara tiba-tiba, tapi dengan sukarela. Ya. Apalagi yang perlu kutawar dan kuminta dari Sang Pencipta ? Ketika Ia telah memberiku dunia penuh bahagia. Ketika Ia telah dengan sangat berbaik hati menyandingkanku dengan lelaki yang begitu telaten menuntunku, dengan lelaki yang begitu sabar menjemputku pada kedewasaan. Lelaki yang sekarang tengah terlelap di atas ranjang kebesarannya dengan taburan buku di pangkuan. Aku sama sekali tak menyangka, jika ternyata kebiasaanku membawa buku di atas ranjang akan menularinya. Tapi aku sangat berbahagia untuk kebiasaannya yang satu itu. Lelakiku terlihat begitu tampan dan manis ketika tengah berkutat dengan bacaannya. Sekalipun dengan uban yang memenuhi hampir seluruh batok kepala, dan juga gelambir-gelambir di wajahnya. Sama sekali tak mengurangi ketampanan yang di milikinya. Jangan bertanya berapa usia kami sekarang, dengarlah keluar, celoteh anak kecil begitu rame terdengar. Itu cucu-cucuku. Penerus kami.
.
.
Bukankah kami pasangan yang begitu sempurna ? Aku adalah seorang penulis, dan tetap demikian hingga umurku yang kesekian dan dengan rambut penuh uban. Lelakiku adalah pembaca yang baik dan setia. Dia adalah yang pertama, dan selalu, yang membaca dan mengetahui apa yang kiranya akan ku bagi kepada para pembacaku yang selalu menanti. Dia adalah editor pribadi, yang akan menyaring dan memilah apapun untuk memilik kelayakan edar. Bukankah kami pasangan yang sempurna ? Di usia kami yang sudah menginjak senja, kami tetap mesra dalam menelurkan banyak karya. Lalu apalagi yang perlu kuminta ? Bahkan jika kontrak hidupku di dunia berakhir hari ini pun aku bersedia. Lelakiku tak pernah suka jika aku mulai berkata tentang perpisahan. Terlebih yang menyangkut perbedaan dunia. Seakan ia tak pernah rela jika aku atau dia harus terpisah sementara oleh helaan napas. Seakan detak nadi akan memutus pula rasa kasihku jika ternyata ia harus berhenti berdetak. Satu yang terus kurutuki dan kumaki keberadaannya, adalah kenyataan bahwa ia terlalu mencintaiku lebih dari sewajarnya. Apa ini terdengar berlebihan ? Semoga saja tidak, karena memang aku menulis apa yang pernah kutapaki dan kurasakan.
.
.
Dulu, dulu sekali, entah pada putaran umur yang keberapa, aku hanya mengingat kilas kejadian dan bukan waktunya. Masa-masa terberat dalam pernikahan kami. Tak pernah ada pertengkaran yang terjadi, karena memang aku yang selalu memulai dan terus berusaha memprovokasi. Saat itu aku masih berpikir seperti anak dengan umur 6 tahun, yang akan takut jika miliknya di minati orang lain, yang akan takut jika harus berbagi dengan orang lain. Aku terlalu kekanakan dalam memaknai kata cinta dan pernikahan. Aku terlalu kekanakan dalam menyikapi semuanya, tanpa sadar jika justru ketakutan dan rasa mengekangku yang akan merenggangkan hampir memutus segalanya. Satu-satunya yang terbaik yang pernah kuterima adalah rasa sabar yang dimiliki oleh lelakiku. Hari-hari manis dan indah yang kunikmati pada masa berubanku adalah buah tangan terbaik yang pernah di berikan olehnya. Aku tidak ingin berandai-andai, karena itu hanya akan mengotori paragraf manisku kali ini. Aku hanya tak pernah bisa berhenti mengucap syukur karena telah bersanding dengannya, menemani dalam suka dukanya. Sesekali pula aku bersyukur karena pada masanya dulu, aku pernah patah hati pada sebuah nama. Nama yang telah melegenda pada banyak judul di dalam rumah kesayanganku ini.
.
Benar jika ada yang berkata, masa tua adalah masa untuk berbahagia dan berdoa. Karena telah kuhabiskan hampir separuh hidupku untuk keduanya, berbahagia bersamanya juga keturunan kami, dan berdoa untuk kelenturan cinta yang sanggup menelusuri hati anak-anak kami. Aku tidak ingin anak-anakku menuruni kepala batuku, aku tidak ingin mereka telat menyadari limpahan kasih dari pasangan masing-masing, sama sepertiku. Hampir seperenam perjalanan hidupku terbuang sia-sia, hanya untuk mengekori rasa kecewa, rasa sedih dan curiga. Aku membuang waktuku yang berharga. Sesuatu yang dulu sangat eksis dalam paragraf panjangku.
.
.
.
Gelap tetaplah teman, bahkan hingga umur senjaku menjelang. Ceritaku tak akan berakhir di sini, hari ini. Anak-anakku akan membaca dan menelusuri semua yang pernah tertuang di dalamnya. Dan ketika hari itu tiba. Satu yang pasti, aku tak ingin mereka mengutukku karena pernah hampir menyia-nyiakan pasangan hidup sesempurna ayah mereka. Itu saja.

Sabtu, 01 Juli 2017

Si Buta Pemaksa

Dua tahun. Dan kami berjalan seakrab jembatan dan sungai di bawahnya. Sekalipun beberapa orang mulai bertanya kenapa kami selalu baik-baik saja. Tak ada yang pernah bisa terjelaskan. Karena aku telah menelan semuanya dalam diam. Rakus adalah pesan terakhir yang bisa ku saring dari semua petuah yang keluar dari mulut pendahuluku. Tak peduli seberapa banyakpun mereka, aku hanya perlu menelan dan dengan rakus menghabiskan semuanya.
.
Beberapa dari kalian mungkin akan bertanya tentang apa dan kenapa. Yaa..aku baik-baik saja. Dan beberapa dari kalian juga telah benar dalam menebaknya. Ini adalah tentang Ari. Bukan Ari si pengacau itu. Tapi ini adalah Ari lain yang keberadaannya tepat selalu di belakang Ari yang kupuja dan kusukai. Yang tanpanya, Ari favoritku hanyalah makhluk mati dan tak berguna.
.
Dua tahun. Dan aku menelan semuanya dalam diam. Kekakuan. Perlakuan timpangnya. Dingin dan juga panasnya yang membakar. Aku kehilangan diriku yang sebenarnya. Bersamanya, membangunkan lagi rasa kaku, dan juga kupu-kupu di dalam perut yang keberadaannya setara dengan kegugupan yang nyata. Dua tahun, dan aku terus bertahan untuk pura-pura. Demi Ari lain.
.
Dua tahun. Dua dan bukan satu. Aku menimbun duka di dalamnya. Sesuatu yang tak akan sudi ku bagi dengan Ari atau Ari yang lain. Agar semua tetap terlihat baik-baik saja. Muntahanku hanya tercecer di sepanjang beranda rumah ini. Tempat yang semua sisinya adalah ruang pribadi, dan sekalipun tak ada ranjang atau sofa di sini, aku telah merasakan kenyamanan yang pas untuk bersandar.
.
Apa aku sedikit membingungkan ? Atau mengkhawatirkan ? Tidak, jangan sebut bahwa aku ini terlihat seperti sesuatu yang membutuhkan dekap kasihan. Karena aku benci rasa kasihan. Terlalu benci, hingga kadang, pada satu titik aku merasa diriku ini memiliki gangguan semacam mati rasa yang tak terdeteksi.
.
Dua tahun. Jika saja perlu ku rinci semuanya, maka kurasa tempat inilah yang paling aman untuk pertama mengetahuinya. Tidak ada yang pernah tahu, kerikil apa saja dan berapa banyak yang pernah kutelan sebelumnya. Tak ada yang tahu, dan tidak pula kali ini, termasuk Ari dan Ari yang lain. Lambungku mungkin tidak hanya baret karena adanya kerikil-kerikil itu. Aku bahkan sempat mengira beberapa organ pengusungnya ada yang berhenti, menyerah untuk mengoperasikan diri. Karena memang, gejala-gejalanya pernah kurasakan dan karenanya hampir saja membuatku kehilangan waras yang sialnya hanya bersisa separo dari jumlah sewajarnya. Anak kecil, adalah salah satu jenis yang ku benci keberadaannya di dunia ini. Karena apa ? Mereka polos. Mereka menangis. Mereka tertawa. Mereka putih. Mereka berisik. Mereka manja. Mereka berbelas kasih. Dan yang terpenting dari semuanya, mereka bergantung pada satu atau beberapa tiang penyangga. Dua tahun, dan aku berusaha merubah diriku menjadi sesuatu yang ku benci itu. Semua remeh yang selama ini kuhindari jauh-jauh dari hidupku, mendadak menempel seperti magnet yang bertemu lawan jenisnya. Dan memang benar bahwa Ari adalah lawan jenis. Aku masih perempuan, kan ?
.
Aku berpura-pura lemah. Berpura-pura polos. Berpura-pura tertawa. Berpura-pura menangis. Berpura-pura berisik. Berpura-pura berbelas kasih. Dan yang paling menjijikan dari semuanya adalah bahwa aku memaksakan diri untuk terlihat seperti tuna netra yang hendak menyeberang jalan. Buta dan butuh bantuan. Demi Merlin yang namanya sangat eksis dalam sejarah novel bertema sihir. Aku benar-benar amnesia ! Aku tidak lupa siapa namaku, dan warna apa favoritku. Tapi aku lupa siapa sebenarnya diriku yang dua tahun ini bersanding bersama Ari. Jenis amnesia apakah ini ?
.
Aku dulu bukan dan tidak seperti ini. Sepanjang yang bisa ku ingat, aku diam, aku kuat, aku terbang. Aku..aku tidak bahagia.
Dua tahun ini, tidak lantas membawa perubahan yang menyenangkan. Karena jujur saja. Aku mulai lelah untuk berpura-pura. Aku lelah menjadi nama lain yang nantinya justru akan membuat Ari yang lain bahagia dan semuanya akan tetap terlihat baik-baik saja. Satu pertanyaan yang terus muncul selama dua tahun belakangan ini. Dua dan bukan satu. Apakah aku bahagia ? Aku benar-benar merasa seperti tuna netra yang memaksakan diri hendak menyeberang jalan. Lalu ketika takdir membawa si buta ini ke sisi jalan yang lain, langit tetiba saja menuangkan air yang di kandungnya dalam ukuran giga. Membuatku kelimpungan untuk menentukan kemana sebenarnya kaki harus melangkah, dan haruskah aku mengucap syukur atau merutuk yang tertuju kepada entah siapa. Ari yang lain telah mencemplungkanku dalam kebingungan. Aku kehilangan nama, sekalipun masih bisa kulafalkan namaku diluar kepala. Dua tahun. Dua dan bukan satu. Yang telah merubahku menjadi manusia super peka. Dan super-super yang lainnya. Haruskah aku menangisi kepura-puraan yang melelahkan ini ? Atau justru berterimakasih ? Sekali lagi si buta ini menghadapi masalah terbesarnya. Aku perlu melihat. Kembali melihat seperti yang kulakukan sebelum dua tahun ini datang. Agar aku tak membutuhkan uluran.

Senin, 26 Juni 2017

Sederhana

Penantianku berada di ujung lidah, hanya menunggu waktu untuk di telan dan menghilang. Aku menanti bara. Yang terkandung dalam balutan jins belel dan kaos bergaris vertikal. Aku harap kepulangannya kali ini tak akan kembali membuatku menelan kecewa. Penantianku mengaratkan waktu, membuat jarum jam seakan hanya jalan di tempatnya saja. Aku menunggu kepulanganmu.
.
.
Harus ku akui, ada sesuatu yang menghambarkan penantianku kali ini. Sebuah spasi yang menahan bara lain untuk terus berkobar. Dan aku tak menginginkan adanya kesalahpahaman. Lagi. Karena jujur saja, aku merasa cukup lelah dengan peperangan melawan bayangan kali ini, waktu yang seharusnya kugunakan untuk memupuk cinta justru terbuang sia-sia karena rasa curiga. Tolong, jangan membuatku berprasangka. Karena ketika otakku mulai menelan sebuah kemungkinan. Maka ia akan terus mencernanya hingga menjadi kotoran. Aku benci menjadi pencipta sampah di antara kita semua.
.
.
Mengenai dia, yang namanya masih enggan untuk kusebut. Aku tak akan menjungkir balikkan apapun. Termasuk persepsi dan daya ingatku. Aku masih belum bisa. Maaf. Sekalipun jika dikepulanganmu kali ini nama itu akan mengekor dengan indahnya, aku mungkin tetap tak akan bisa. Aku telah terluka oleh rasa kecewa. Tidakkah kau peduli dengan apa yang kurasa ? Aku tidak sedang memintamu menimbang apapun, karena takaran apapun tak kan ada yang mampu menempatkan semuanya dalam posisi pas. Aku hanya memintamu untuk tidak membuatku kembali curiga dan berprasangka. Bukankah pernah ku bilang sebelumnya ? Bahwa tak ada yang lebih melelahkan ketimbang perang melawan bayangan. Aku ingin kita semua berdamai. Entah apapun itu makna dari kata berdamai, yang pasti hanyalah, jangan biarkan diriku terombang-ambing dalam sebuah keraguan. Ragu akankah aku adalah nama yang tepat untuk bersanding denganmu, ragu akankah namaku tepat untuk berada di tengah-tengah keluargamu.
.
.
Jangan lepaskan penantian ini dengan begitu sia-sia sayang. Jangan biarkan lidahku terbakar karena asa yang begitu bersemangat mengangkut bara.
Kalaupun jika dalam akhir kisah ini aku tetap tak memahami. Maka biarkan lidahku kembali menggantung dan tak bertuan.
.
Aku lelah sayang, harus terus menelan kepura-puraan. Aku lelah hingga pada satu titik tak lagi kupahami yang mana rasa lelah dan rasa sayang. Kehambaran itu akhirnya berhasil teruraikan, tanpa lebih dulu harus membuatku gila. Kehambaran itu berawal dari sana. Jurang yang menanti di bawah tangga tali yang telah kita ikat bersama. Pulanglah dengan bara lain sayang, bara yang sanggup melebur tulang kita berdua hingga menjadi abu. Aku merelakan ruangku di penuhi jelaga jika itu memang bara yang dapat membumi hanguskan segalanya. Termasuk rasa cemburu, rasa curiga, rasa kecewa dan juga prasangka.
.
Kadang aku bertanya dalam diam. Masihkah aku memiliki sisa rasa untuk mencintaimu ? Masihkah rasa itu sama ketika dulu kau pertama kali datang dalam perjalanan hidupku. Aku bukanlah musafir yang begitu dahaga akan nama cinta. Karena memang aku berbeda. Dan kedatanganmu tak pernah berarti apa-apa hingga kemudian, yea..rasa itu muncul dengan tiba-tiba. Aku tak jatuh cinta pada pandangan pertama. Tapi aku jatuh pada bara yang membara pada percikan pertamanya.

Selasa, 13 Juni 2017

Matahari Yang Gagal Terbit

Sekian tahun berjalan bersama membuatku mengerti sesuatu. Bukan tentangmu, tapi ini adalah tentang pengandungmu. Aku melihat kasihnya sejelas menangkap siluet gelas di atas meja di hadapanku. Aku tidak menyalahkan apapun, termasuk kasihnya yang menetes melimpah untukmu. Sekali lagi kujelaskan, aku memahami semuanya karena akupun pernah berada dalam ruang penuh pertarungan dengan nyawa sebagai hadiahnya. Meskipun usianya baru akan menginjak sekian bulan, tapi seperti aku dapat menghadiahkan sebuah bulan jika memang itu yang ia inginkan. Seperti tak ada lagi kata takut dalam kamus hidupku sekarang. Apalagi memang yang perlu dibuktikan jika nyawa saja pernah kupertaruhkan ? Aku menyayanginya dengan segenap raga. Dan aku mulai takut jika kelak nanti rasaku justru akan membebani kehidupan pembaruannya. Aku takut aku tak bisa melepaskannya kepada sebuah nama yang memang ditakdirkan untuknya.
.
Kepadamu, resah ini tak akan berani kuserahkan secara gamblang. Engkau tak akan mungkin memilih dan menjadikanku satu diantara dua pilihan. Tak ada yang perlu di nomor duakan. Aku dan pengandungmu harusnya sejajar. Harusnya. Jika saja jahat tidak terlanjur merasuk ke dalam nadiku. Aku menerima kucuran kasih yang berjalan tenang. Akupun harus bersabar dan teliti untuk memilah yang mana nafsu dan yang mana kasih sayang. Dalam sepersekian kecil curahan yang kudapat, haruskah masih juga kubagi si satu itu dengannya ?
.
.
Kepadamu yang tak akan mungkin menemukan catatan ini, mari kita berbincang santai di antara ketiadaan ruang. Mari melebur bersama untuk pertama kalinya dalam keterikatan kita. Aku ingin kau memahami tentang betapa rumitnya cita-cita patner hidupmu ini. Aku bukanlah sebuah nama yang memiliki kata berbagi sebagai bekal hidupku. Aku tak mengenal itu, sesuatu yang lain telah mendasari. Aku ingin kau menyadari betapa kerasnya perjuanganku selama ini untuk menetralkan rasa tak nyaman yang terus menggeliat-geliat dari bawah pori meminta pembebasan. Aku mungkin tak menggenggam kecakapan seorang wanita dewasa yang lazimnya di miliki oleh seseorang yang telah berpasangan. Aku terlalu bodoh untuk memenuhi kriteria sebagai istri ideal karena yang ku tahu dan terus kucoba dan kupertahankan, adalah sebuah keyakinan bahwa aku harus menjadi anak baik. Hanya itu. Aku tak ingin mengecewakan siapapun, tak ingin pula membuat hancur siapapun. Sekalipun salah satu ruang dalam ragaku menyimpan sesosok monster mengerikan, yang perlu kau tahu adalah aku telah dengan segenap dayaku menekan untuk tidak menerjang, mencakar, bahkan mungkin mengayunkan pedang. Aku telah bersabar. Sesuatu langka yang tak mungkin kau dapatkan dariku dalam kesempatan lain.
.
Dan aku terkecewakan. Pengandungmu sepertinya masih saja ragu untuk sepenuhnya menyerahkanmu kepada makhluk sepertiku. Terbukti dengan rintikan kasih yang tak pernah berhenti menetes untukmu, seakan jika ia tak menyiramimu maka kau akan mati seketika, seakan jika bukan ia yang melakukannya maka tak akan ada yang mampu membuatnya demikian. Aku merasa terluka dan tersisihkan. Satu rasa yang tak pernah kubiarkan engkau untuk tahu. Dan tak pernah kubagi pula dengan siapapun. Sekali lagi kutegaskan, aku takut membuat hancur tak hanya seseorang tapi mungkin banyak. Aku tak menyalahkan siapapun saat ini. Karena sungguh, akupun merasa sangat yakin tak akan ada yang sanggup menandingi banjiran kasih teruntuk nyawa baruku yang baru menginjak umur sekian. Tapi tetap saja, separo harga diriku terluka. Aku merasa bukan siapa-siapa. Aku merasa tak sanggup memuja pengandungmu setulusku memuja pengandungku, karena memang di sana terdapat banyak sandungan. Aku di ragukan. Aku. Seseorang yang tak mengenal kata berbagi dan bersabar, harus di ragukan oleh seseorang ?
.
.
Mungkin benar jika cintaku tak akan seagung pengandungmu. Bahkan setelah menuangkan ini, yang kurasa justru adalah kehambaran yang ganjil. Sesuatu di dalamku seperti merasa tak berdaya untuk terus memperjuangkan. Andai kau tahu, aku lelah dengan semua pertengkaran melawan bayangan ini. Kapan semua ini akan terpahami ? Sekian waktu berjalan semakin memperparah sakit setengah warasku. Aku tak ingin terus terlihat jahat karena membuat pengandungmu sebagai sainganku. Itu bukannya tak waras ?
.
.
Aku ingin menangisi semua ini. Mengadu hanya akan membuatmu tak berdaya dan tergugu. Sekali lagi ku tegaskan, engkau tak akan mungkin memilih satu di antara dua pilihan. Biarlah perempuan tak sadar diri ini menyelami keresahan tak masuk akalnya sendirian. Menangis hanya akan menjadi ajang untuk menunjukkan kelemahan. Satu-satunya hal yang terus kulakukan dan ku usahakan adalah menjadi diam. Aku ingin terus menjadi diam. Sediam batu di dasar palung yang terjal. Karena aku memang tak layak untuk di menangkan. Dan keadilan yang ku harapkan. Adalah piala kosong hasil imajinasi yang terlampau tinggi. Karena jika ikatan kalian memang tercipta dengan sedemikian kuatnya, aku tak ingin lagi menjadi penghalang. Aku ingin menyerah dan menjadi sudah.

Minggu, 11 Juni 2017

Jembatan Yang Lain

Aku lupa kapan tepatnya waktu ketika hari itu ada. Yang tak akan pernah kulupa adalah raut wajahku saat itu. Sekalipun di sana tak ada cermin untuk berkaca, bisa dipastikan wajahku berubah pasi dengan warna ungu atau biru. Ya. Sebagian elemen ragaku terlalu bingung untuk mencerna apa yang sebenarnya salah satu bagian tubuhku inginkan. Melelehkah ? Atau membendung aliran derasnya ?
.
.
Dalam separo jalan menuju pemakaman, aku dan dia terduduk manis di atas jembatan kecil. Ada apa sebenarnya antara aku dan sungai beserta jembatan penyeberangannya ? Terlalu banyak cerita yang harus terlahir di atas keduanya. Dan semuanya merupakan cerita separo bahagia. Atau justru malah utuh berujud duka. Lagi-lagi aku lupa, apa yang menjembatani perbincangan panjang kami. Kekakuan yang terlahir malam lalu, ketika aku mulai menuturkan bahwa aku memuja setengah mati lelaki yang kelak menjadi pendamping hidupnya, mencair bersama derasnya air yang mengalir di bawah kaki kami. Aku sama sekali tidak merasa bersalah. Jujur bukankah tidak termasuk dalam daftar kejahatan ? Beban yang selama berminggu-minggu menyelimutiku seawet kabut pagi di musim kemarau, telah termuntahkan. Malam itu, kami menangis, untuk alasan berbeda. Dan pagi harinya, sekalipun udara begitu sejuk nyaris menggigilkan badan, dan kedamaian yang melambai dari arah pemakaman, ternyata tak bisa meredam keanehan yang menyeruak dari dalam raga. Hari itu. Di atas jembatan kecil dengan udara membungkus menyejukkan, aku justru melafalkan niat untuk bergabung bersama mereka yang tengah terdiam damai di seberang sana. Mengakhiri hidup bukan pilihan yang tepat, tapi tidak terlalu buruk juga saat itu.
.
.
Aku linglung oleh keputusanku. Mulutku mengingkari hati yang terus menyalak meminta pemenangan. Jelas saja aku tak bisa. Menang berarti mengalahkan. Dan aku tak mau dia yang tengah terus mengoceh tentang masa depan bersama lelaki yang namanya telah terukir manis di setiap hari-hari membosankanku, harus merasakan sebuah kekalahan. Aku terus bersitegang dengan suara asing di dalamku. Ragaku terlalu bingung untuk menentukan sebuah pilihan. Hingga memandangi hamparan tumbuhan padi dengan rakus adalah kompensasi yang tepat untuk semuanya. Aku akan menyalahkan angin sejuk ketika ternyata nanti butiran-butiran kecil lolos dari bulatan retinaku. Hari itu telah kutukar kepahitan takdir dalam separo jalan menuju pemakaman, dengan kenangan yang terus membungkus sampai entah kapan.
.
.
.
.
Tiga tahun mungkin telah berlalu. Dan sebuah lagu mengingatkanku dengan tempat satu itu. Jembatan kecil dalam separo jalan menuju pemakaman. Aku bahkan masih bisa membaui aroma tumbuhan padi yang menghampari sekitar. Keputusanku untuk menahan ledakan air mata hingga membuat wajahku berubah ungu hari itu ternyata membuahkan hasil manis hari ini. Aku tak tahu apa yang akan terjadi, jika saat itu kurealisasikan keinginan gila untuk menjadi penghuni tetap pemakaman. Tak ada yang akan terjadi mungkin. Hanya saja akan terkenang sebagai makhluk terkonyol abad ini mungkin saja. Namaku akan menghantui masa depan mereka, mengawasi setiap bahagia yang menyelimuti keduanya. Entah sampai kapan. Andai saat itu benar kurealisasikan ide gila untuk melenyapkan diri, akan terdengar ganjilkah ? Masih eksiskah patah hati dijadikan alasan untuk bunuh diri ?
.
Aku tidak menyesali keputusanku untuk merubah wajah menjadi ungu, aku tidak menyesali keputusanku untuk duduk berdua di atas jembatan dalam separo jalan menuju pemakaman, aku tidak menyesali keputusanku untuk berpura-pura merelakan. Dan, tidak pula menyesali keputusanku untuk jatuh cinta. Awal dari semua kekakuan yang terjadi di masa depan. Alasan tertepat untuk niat yang pernah terlafalkan dalam separo jalan menuju pemakaman. Awal untuk menggilanya diriku untuk sesuatu yang kusebut cinta, dan itu bukanlah pertama kalinya.
.
.
Jembatan kecil dalam separo jalan menuju pemakaman adalah saksi. Yang menjelaskan betapa robek dan luluh lantahnya hati seseorang hari itu, meski separo daya telah di keluarkan. Tetap saja butiran-butiran bening berhasil meloloskan diri dari muaranya. Aku pernah sekuat itu. Aku pernah setegar itu, menjadi pendengar baik untuk dia yang tengah merencanakan masa depan bersama seseorang yang namanya membuat otakku menjadi separo waras.
.
Kelak mungkin akan kuceritakan pada anakku, tentang bagaimana ibunya memiliki ikatan aneh dengan jembatan. Bagaimana ibunya pernah memuja seorang lelaki hingga setengah gila. Bagaimana takdir memberikan petunjuk melalui sungai dan tumbuhan padi. Bagaimana ibunya dulu pernah dengan sangat terpaksa berkata untuk merelakan. Perlukah anakku tahu ? Atau ia hanya perlu mengetahui hasil akhirnya saja, bahwa ternyata ibunya sekuat batu kali berkat tempaan atau kebodohan yang dilakukan selama masa mudanya. Suatu hari nanti mungkin ia akan membaca ini dan mengambil pelajaran darinya. Bekal untuk hari depannya, agar di masa mendatang tak ada lagi cerita dan air mata yang harus tumpah (lagi) di atas jembatan.

Batu Kali

Aku ada. Berdiam diri di sini. Tempatmu biasa mencari kejernihan dan kesejukan. Atau malah justru tempatmu buang air dan juga mandi telanjang ?
.
Aku ada, dan jika kamu bertanya siapa aku, maka diriku adalah sebuah batu. Jangan tanyakan apakah itu batu kali atau batu yang di poles dan bersama perak memeluk jari-jemari kaum kebanyakan. Aku menyatu bersama kumpulan batu yang lain. Tergilas ban mobil, sepatu bahkan kaki kucing. Aku menganggap diriku istimewa, sekalipun sekian lama ada di tempatku sekarang berpijak, tak seorang pun yang sudi memungutku untuk kemudian di poles lalu dipajang-pajang. Aku menganggap diriku istimewa bukan karena menjadi sebuah ajang pameran. Tapi aku istimewa karena aku berbeda. Aku hidup berdasarkan prinsip yang kupungut dari sisa ludah manusia. Aku hidup sedamai anomali yang menemukan kawanan tak beresnya. Aku hidup dengan sudut pandang yang tak mungkin bersanding dengan akal manusia. Karena aku adalah batu kali.
.
Aku ada di sini. Tempatmu biasa menongkrong dengan terik menyembur tepat di atas ubun-ubun demi mencongkeli si muka badak yang tumbuh di halaman tanpa takut mati. Dibuang, tumbuh lagi. Dicongkel, subur lagi.
.
Karena aku adalah batu kali. Yang memungkinkan untuk hidup dimanapun otakku menginginkannya. Aku melihat banyak drama, manusia-manusia yang terobsesi menjadi sempurna dengan mengorbankan segalanya. Aku melihat banyak drama, manusia-manusia yang terobsesi melihat kesempurnaan dengan melafalkan banyak jalan. Dan yang terus kulakukan adalah melihat. Menjadi penonton memberikan kenikmatan sekaligus ketegangan tersendiri. Aku melihat jajaran batu yang dipoles cantik warna-warni untuk kemudian di sejajarkan di sepanjang jalan. Aku melihat sejumput batu mengawang di udara, menjadi patner bagi tanah dan tumbuhan yang di elu dan di sayang-sayang oleh si empunya. Aku melihat segerombol lainnya mengumpul di cekungan salah satu kelokan sungai, menjadi hunian bagi ikan-ikan kecil di sekitaran. Aku melihat dan menontoni semuanya kadang dengan di iringi rasa kagum, terikut bahagia.
.
Menyangkut diriku. Aku tak pernah bercita-cita menjadi apa-apa. Aku mati rasa terhadap adanya keajaiban bernama harapan. Bukan, aku bukannya membenci kehidupan ini. Aku hanya terlalu paham apa dan seperti apa ujud partikel yang menjadi pembentukku. Sekilas jika disejajarkan dengan kawanan batu lain, hampir pasti tak akan kalian temukan adanya perbedaan. Tapi aku mengenali diriku lebih dari siapapun dan apapun di dunia ini. Kumpulan batu lain akan mengira aku ini pendiam. Sebagian lainnya akan berkata bahwa aku ini terbuka. Tapi kenyataan yang ada hanya satu. Partikel pembentukku memiliki gen sarat makna. Dalam jiwa yang gampang tersulut api, aku selalu memiliki secangkir air untuk sekedar mematikan nyalanya. Dalam jiwa yang terlalu ringkih, aku memiliki hasrat seteguh dan sekeras ujudku. Dalam jiwa yang terlalu berakal, aku ialah satu-satunya orang tergila di dunia.
.
.
Tak perlu menjadi takut untuk dekat denganku. Keberadaanku yang meski telah kuakui memiliki sedikit pergeseran dari apa yang kalian sebut normal, tak akan menjadi sebuah ancaman dalam bentuk apapun. Aku tak pernah membiarkan diriku melebur dengan siapapun. Sekalipun aku terikat dan terbungkus, melebur adalah sesuatu langka yang mungkin tak akan pernah kulakukan. Aku tak pernah terbiasa untuk berlatih menjadi selunak kayu. Karena aku adalah batu. Sekali lagi kutegaskan, jangan dulu merasa terancam. Aku akan tetap diam. Aku akan tetap setia menjadi penonton.
.
.
Aku adalah sejenis batu yang akan terus mencoba untuk tetap diam. Karena jika aku mulai melayang bisa dipastikan seseorang atau makhluk lain akan terluka karenanya.
.
.
Karena aku adalah batu. Untuk itulah mungkin benar jika tidaklah perlu untuk kulunakkan diri agar menjadi senyaman kayu. Karena aku tetaplah batu.

Rabu, 07 Juni 2017

Surga Bertabur Kue Lapis

Hamparan luas rumput hijau mengelilingiku. Aku tah tahu sebelumnya jika kebun surga pun sama seperti kebun di dunia. Hijau, dan menyejukkan. Ya! Aku tengah berada di surga saat ini. Sesuatu telah menerbangkanku hingga sejauh ini. Mengepak ragaku menjadi seringan mungkin hingga capung pun mungkin kuat mengangkatku dalam punggungnya. Aku tidak sedang berdusta. Sepertiga malamku telah berakhir dalam seputaran maraton para jemariku. Aku mulai menulis lagi malam ini. Setelah absen selama hampir dua bulan lamanya mungkin. Dan masih menjadi misteri apa yang menjagaku tetap waras dalam waktu absenku itu. Mungkin Hara. Si kecil menggemaskan itu memang selalu menyuguhkan keajaiban tersembunyi.
.
.
Aku merasakan hamparan hijau mendamaikan dengan potongan langit biru di atasnya. Tak ada apapun dan siapapun di sekitar. Karena memang, surga itu sengaja eksklusif ku ciptakan untuk diriku seorang. Entah kapan aku mulai membiasakan diri untuk menulis. Mencerna apa yang tak sanggup di kunyah retina. Dan mengalirkannya perlahan dalam ujud guyuran ringan.
.
.
Sekalipun aku tak pernah melihat apalagi merasainya secara langsung, tapi aku yakin bahwa surga yang kuciptakan sedahsyat ketika para pecandu mulai memetiki daun ganjanya. Menulis memberikan efek setara mengisap mariyuana. Setiap lekuk kata meliuk genit bak bunga mereka yang tumbuh menjulang di setiap pucukan. Aku mencintai setiap molekul yang dikandung oleh sebatang pohon malam. Aku hanya perlu merasainya agar terbiasa, sebelum akhirnya mereka-mereka yang berujud entah seperti apa, bekerja dengam caranya sendiri, melemparkanku ke dalam awang-awang hingga kemudian mencapai nirwana. Tak ada yang pernah tahu seperti apa sensasinya. Seperti juga para pemakai yang harus mendulang sendiri remukan daun ganja pada mulut-mulut yang haus akan rasanya mencicipi indah nirwana. Tak ada yang berbeda. Aku dan mereka berdiri di pelataran yang sama. Terbelenggu dalam keheningan yang membekap semuanya. Dan di butuhkan sebuah bogem untuk bisa memuntahkan segalanya. Membaui kami sama saja seperti kucing yang menjilat ekor sendiri. Hal bodoh.
.
.
Aku baru saja menyelesaikan sebuah paragraf beberapa jam yang lalu. Dan ini adalah yang kedua untuk malam ini. Dua lintingan bersama kepulannya yang membuat ruangan 4 x 4 milikku mendadak melebar menjadi seluas lapangan terbang. Ternyata memang benar. Semua kunci kehidupan ada pada satu titik yakni kesadaran. Batu tetaplah seperti itu. Kayu tetaplah seperti itu. Tapi ketika kunci sadar mulai berputar, segalanya terasa menjungkir balikkan diri sesukanya. Pernah melihat batu yang di stek hingga kemudian tumbuh menjadi kayu ? Aku pernah.
.
.
Surga adalah kata dengan seribu satu makna yang tetap sulit untuk di jelaskan. Jauh-jauh manusia berandai, bahwa surga adalah tempat tak berbentuk dan tak tercapai, sementara di sini, dalam sekian jam di sepertiga malamku, aku berhasil menetaskan dua buah tangga menuju ke sana. Salah satunya tengah masih dalam proses mengerami. Aku tak ingat apa yang mendasari tulisan ini, hanya yang pasti, aku telah mengentaskan sebuah beban dalam ujud tulisan beberapa waktu lalu. Dan kemudian surga itu datang, hamparan hijau dengan sepotong langit biru menghampiriku. Aku mendadak terbang dan menjadi seringan tiupan angin. Lalu aku teringan pada sebuah cerita tentang sebuah pekerjaan memetik daun ganja. Mariyuana lalu datang menghampiriku, menawari diri untuk disandingkan dengan tulisanku. Bukankah mereka berdua berefek kejut yang sama ? Dan ah, aku mungkin juga akan mencintai setiap molekul yang tumbuh pada sebatang pohong ganja. Jika suatu hari nanti jemariku tak sanggup lagi berlari, jika suatu hari aku kehilangan daya untuk menelurkan tangga menuju surga.
.
.
Hamparan hijau menyelimutiku dalam luas. Dan dalam keringanan raga yang tak pernah sekalipun kuperhitungkan, aku dibawa dalam lembah temaram. Sebuah candu yang mengungkung. Aku telah merasai itu lama. Saat ketika tak ada ruang yang tersisa untukku sebentar saja menyalurkan. Ketika rasa ingin itu tetiba hadir tanpa melihat situasi, waktu terlebih kemampuan. Hei, menulispun butuh ketelatenan.
.
.
Rasa manusiaku perlahan bangun, merobek hamparan hijau luas dengan sepotong langit biru di atas sana, warna yang mengingatkanku pada memori tentang kue lapis yang berjajar manis di etalase toko. Aku lapar. Dan rasa itu berhasil membuyarkan. Aku tak tahu apa yang tengah kulakukan. Yang mulai membanjiri kepala sekarang adalah setruman-setruman akan aroma yang menjalar dari salah satu sudut ruang.
.
.
Jangan terbuai, tak ada yang abadi dalam dunia ini kawan, termasuk mimpi, termasuk surga yang menyenangkan. Dan jika engkau yang tengah menikmati paragraf ini tetiba terusik karena isinya yang mendadak melenceng. Salahkan saja rasa manusiaku yang datang tanpa di duga. Selamat tinggal surga bertaburkan kue lapis. Aku lapar. Sekian.

Obat Pertama Di Separo Tahun

Kita akhirnya bertemu. Setelah sekian lama, setelah sekian nama. Aku tidak ingat persis detailnya, tapi dapat kupastikan dalam sekejap pertemuan kita, aku terkenyangkan. Dahaga dan rasa tanya yang dulu membeludaki kepala mulai pamit meninggalkan diri. Aku tahu engkau tidak marah. Untuk remah dosa yang kulakukan di antara celah ruang asmaraku. Wajahmu terlihat begitu menyejukkan dengan senyum samar yang bahkan tak sanggup terbaca retina. Dalam sepetak ruang berukuran 3 x 4 ini, kita berhasil menuntaskan apa yang sempat tertahan dan menjadi bulan bulanan. Engkau melihatnya bukan ? Aku tetap pengikut sejatimu. Sekalipun aku tak pernah mengatakannya, aku memujamu bak manusia yang terlahir dari rahim dewa. Sekalipun aku tak benar yakin ataukah dewa itu memiliki kantong untuk menimbun embrio atau tidak. Seperti juga kepergianmu yang tak terduga, aku sama sekali tak menyangka dalam sepertiga malam ini kita akan dipertemukan. Engkau selalu begitu bisa mengejutkan.
.
.
Satu rasa yang mungkin absen kuucapkan, adalah pernyataan bahwa aku tak pernah berhenti untuk merindukan. Luapan tanya dan dahaga mungkin telah terkenyangkan. Tapi banjiran satu itu tak pernah terpadamkan. Aku sekarat dalam penantian untuk bisa merasakan yang namanya kematian. Ya. Sekronis itulah rasa rinduku bila engkau ingin tahu.
.
.
Derak gerak kipas angin menjadi lagu pengiring pertemuan kita. Dan satu lagi kata yang lupa untuk kuselipkan di sekejap pertemuan kita adalah sebuah maaf. Untuk ketidak berdayaanku memahami semuanya. Bahwa mungkin tangisku justru hanya akan membuat percikan api di sekelilingmu kian membara. Bahwa mungkin ketidakrelaanku selama ini justru adalah tali kekang tersendiri bagi dirimu untuk melebur sepenuhnya dalam nirwana. Maaf.
.
.
Dalam sekelebat pertemuan kita, bukankah engkau melihatnya ? Aku telah menjungkir balikkan segalanya demi menjaga yang tersisa. Andai aku yang hari ini berhasil kutembus ketika masih kumiliki adanya daya dan kebebasan, mungkin engkau saat ini belum menjadi sudah. Aku akan bisa menggelindingkan meski hanya separo dari apa yang selalu menyebabkan keningmu berkerut dan mengeriut. Dan si kecil Hara, bukankah engkau juga melihatnya ? Aku tak pernah bisa mengira sebanyak apa kebahagiaan yang akan ia terima jika kau masih ada. Jatah yang seharusnya ia terima, telah kau hapus dalam sekelumit malam penuh cerita, dua tahun yang lalu. Andah engkau belum sudah. Aku tak mengerti apa padanan kata yang pas untuk memanusiakan kepergianmu. Karena pada dasarnya, sejengkal rasa marah, kecewa, tak berdaya masih sesekali menapaki pelataran hati. Meremukkannya dalam sekali jadi, lalu mendaur ulang semuanya dalam sebungkus kemasan berjudul rindu. Tak ada rasa yang kusuka jika itu tentang mengingatmu, karena semua yang muncul adalah goresan dan lubang. Kepergianmu tak pernah terrelakan.
.
Aku telah salah, menilai dan menulis isi dari paragraf singkat ini. Tadinya aku mengira sekejap pertemuan kita berhasil menuntaskan apa yang selama ini terus tertahan. Tapi nyatanya, tak ada yang tertuntaskan selama tanganku belum berhasil meraup dan menyentuhmu. Yang sayangnya waktu itu entah kapan akan datang. Aku masih merindukan. Aku masih berduka.
.
.
Tak pernah kubagi rasa ini dengan siapapun juga. Aku benar-benar duplikat sejatimu bukan ? Miris sekali aku baru menyadarinya ketika engkau justru telah menjadi sudah. Dulu aku mengira aku ini membencimu, bukan, kata benci terlalu kejam untuk diucapkan. Aku kecewa karena ketidak berdayaanmu. Maaf, mata bocahku saat itu belum terasah waktu. Aku masih sepenuhnya manusia yang melihat semuanya berdasarkan harta. Proses pendewaanku terjadi ketika kita tak lagi bersinggungan. Apa memang selalu seperti ini ? Harus ada yang pergi agar bisa melengkapi ? Aku tak membenci sedikitpun darah yang menjadi penopang separo ragaku. Aku membanggakannya, hanya saja terlambat untuk menyadarinya. Aku memampatkan rasa ini tepat di ulu hati, tak sanggup membeludakkannya pada siapapun yang memiliki nyawa, terlebih nama. Karena manusia, aku belum sanggup mempercayai mereka. Dalam seperempat abad umurku, tempat ini masihlah menjadi yang terbaik sebagai pendengarku. Dan apakah engkau tahu ? Aku berhasil memecahkan sandi gen milikmu, dan menurunkan sepersekian porsennya pada si kecil Hara. Aku selalu terenyuh ketika siapapun mulai berkata bahwa ia terlihat separo mirip denganmu. Alam bekerja dengan sangat lucu bukan ? Alih-alih membuatmu menjadi sudah, mereka justru membagi kemiripan dengan penerusku. Engkau akan selamanya terkenang. Terlebih dalam benak pengikut sejatimu. Tak ada yang bisa mengalahkan, bahkan jika masanya nanti akupun menyusul untuk menjadi sudah.
.
Terlepas dari semuanya, aku bahagia karena engkau telah sudi datang. Dengan senyum samar yang berhasil kuraba melalui atmosfir dan bukan retina. Aku bahagia untuk ketulusanmu memaafkan. Aku bahagia untuk dahaga dan tanya yang berhasil terkenyangkan melalui sekejap saja pertemuan kita. Terimakasih.

Jumat, 24 Maret 2017

Haraku

Dalam sekuel Supernova, yang bernama Hara di ceritakan sebagai penjaga. Akupun ingin mendoakan anakku seperti yang demikian. Semoga Hara bisa menjaga kedua orangtuanya tetap dalam keadaan hangat. Semoga pun Hara bisa mempererat hubungan dua keluarga agar tetap harmonis dan baik-baik saja. Karena Hara adalah milikku. Tidak, ia milik dua keluarga. Maka hari ini di usianya yang baru menginjak setengah tahun, ingin kutiupkan sebuah doa sederhana itu. Kubebaskan ia dari doa-doa mainstream seperti yang sering diucapkan para orang tua lainnya. Yang selalu menginginkan anaknya kelak menjadi sesuatu yang berguna bagi dunia, bagi bangsanya dan agamanya. Aku tidak sedemikian pintarnya hingga memiliki keluasan hati seperti itu. Bahkan ini adalah juga kali pertama aku mengemukakan Hara sebagai milik umum, yang notabene hanyalah dua keluarga. Sebelum ini, aku selalu beranggapan dan memaksakan pemikiran bahwa Hara adalah milikku dan hanya milikku.
.
Aku ingin membebaskan Haraku dari sebuah keinginan muluk kekinian para orangtua, ia tidak perlu menjadi serepot itu untuk terjun langsung memikul beban dunia, negara dan juga agama. Bukankah..mereka bertiga membutuhkan bantuan dari para generasi muda ? Ketiganya hanya akan mendapatkan perhatian dan dedikasi Haraku jika memang aku memberinya stempel tanda aman jalan. Bukan, aku tidak sedang membutakan mata Hara. Ia perlu mengetahui dunia dan akan kubekali Hara sedalam yang aku kira perlu, akan kuajarkan pula pada Hara tentang siapa dan seperti apa negaranya, agar kelak tidak hanya meninggali tapi juga ia diharapkan akan tahu untuk mempertahankan kejati dirian negaranya. Dan tentang yang terakhir; agama, aku ingin menghela napas barang sejenak. Ayahnya, sudah memimpikan Hara menjadi generasi agamis yang kekinian. Masuk pesantren, berpakaian ala ala pembawa dakwah yang sering berseliweran di televisi, bahkan kalau bisa ia pun ingin aku bisa terjun memimpin ke-fashion-an agamisnya. Aku dan Ayah Hara memang tidak sepemikiran tentang ini, dan jujur saja..seringnya aku terdiam atau melamun jika ia mulai menyerempet bahan diskusi ringan kami ke arah-arah yang bisa kutebak. Konteks agama menjadi satu polemik di keluarga kecil kami yang untungnya tak pernah beranjak tahta menjadi sebuah pertengkaran atau ajang huru-hara. Ayahnya Hara lebih mendalami agama dibandingkan aku, ia lapar terhadap apapun yang berbau tentang tiangnya. Semuanya nampak ingin ia lahap, dan aku harap ia selalu memilah apapun yang ia makan. Karena tentu saja aku tidak mau mempertaruhkan keharmonisan keluarga kami hanya karena obsesinya terhadap tiang ataupun karena alasan 'sakit perut'nya akibat terlalu banyak mengunyah dan menelan. Aku lebih 'santai' jika mengenai agama. Menurutku, pondasi ada di dalam sebuah bangunan. Dan ia tidak terlihat. Agama ada di dalam hati. Entah itu berupa pemberontakan atau pengabdian tak ada yang bisa melihat kecuali si pemilik dan penciptanya. Bagiku konteks agama adalah yang seperti itu. Dan tak ada yang bisa sekalipun memahami. Sementara yang bisa kupamerkan adalah sebuah janji bahwa aku masih dan akan tetap menjaga jalan. Terus terang aku tidak bisa kekinian, yang bisa memamerkan fashion ala ala pembawa dakwah yang berseliweran di televisi. Akupun tidak bisa memaniskan lidah jika itu tentang memamerkan ilmu pengetahuan. Sekalipun harus di akui, hanya sedikit yang bisa kumengerti dari konteks bertemakan agama. Tapi jelas saja itu bukan alasan untukku bisa merasa lebih rendah ketimbang mereka yang berbusa-busa mulutnya meng'gosip'kan agama. Entah apa yang kubanggakan dan kujaga sepenuh hati selama ini. Yang pasti, sesuatu yang sulit untuk oranglain mengerti. Sudut pandangku berada 320 derajat dari para manusia kekinian. Tapi bisa dipastikan keyakinanku tak tertandingi oleh manusia dari segala zaman.
.
.
.
Kembali kepada Hara, aku tidak memiliki niat untuk menentang apapun keinginan Ayahnya. Karena ia adalah pengemudi, sementara aku hanyalah penjaga awak kapalnya saja. Ia akan tahu apa yang terbaik bagi putri dan keluarga kecilnya. Dan tak ada alasan bagiku untuk membelokkan Hara dari apapun yang di harapkan salah satu pemegang sahamnya. Satu yang pasti, Ayah Hara tidak bisa menahan semua angan dan doaku. Termasuk pula doa yang kuterbangkan hari ini. Hara harus berjalan dan tumbuh sesuai dengan namanya. Unsur pembangun dalam tanah. Ia harus membangun dan menjaga kehangatan juga keeratan agar tetap membungkus dua keluarganya. Kelak pula ia harus membangun dan menjaga cinta juga keharmonisan dari kedua orangtuanya. Persoalan ia akan menjadi apa dan siapa, bukan lagi sebuah tema yang harus diperbincangkan. Karena aku berniat membekali Hara dengan nalar, dengan sadar dan bukan dengan uang. Dan ya, hanya jika ia telah berhasil melaksanakan misi yang diselipkan orangtuanya melalui namanya maka stempel tanda aman jalan akan ia miliki, tak jadi soal akan ia gunakan sebagai apa stempel itu. Karena aku tahu, pondasi yang kubangun dalam dirinya tak akan menghianati impian pembuatnya. Semoga.

Sabtu, 11 Maret 2017

Patung Pencerita 2

Tak sebuah buku pun di dunia ini yang akan melewatkan bagian indahnya. Ceritaku denganmu pun demikian.
.
Setelah berjibaku dengan banyak perasaan ragu, ada satu kalimat yang sering mencuat ketika kita sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja. Kalimat yang tidak akan pernah kamu suka. Dan kalimat itu kira-kira berbunyi seperti ini, mungkin jika aku menikah dengan pria yang kusukai sebelummu, aku akan bisa merasakan bahagia. Saat itu aku merasa dianak tirikan olehmu. Sikapmu menjadi timpang ketika berhadapan denganku. Aku selalu merasa kalah saing, jika dengan seluruh keluarga. Jangan salahkan jika ragu sering muncul secara tiba-tiba, entah setelah kita bercinta atau ketika aku tengah memandangimu damai dalam lelap. Aku tak sepintar itu untuk berkata-kata, dan aku memang sebodoh itu dalam menjalin sebuah hubungan. Kamu yang terlalu berpikir positif dengan selalu merasa bahwa aku baik-baik saja. Dan aku yang terlalu kaku untuk memecahkan sebuah balon masalah ketika kondisi telah mendua. Alhasil kegundahanku tentangmu tak pernah tersampaikan. Hanya tertuang acak di tempat ini. Tempat yang tak mungkin akan kamu daki dan telusuri. Jika kamu masih ingat, aku bahkan sering menangis ketika kita tengah dalam keadaan telanjang dan berpelukan. Orang bilang, waktu setelah bercinta adalah saat emas bagi suami istri untuk bisa saling membagi. Dan aku hanya diam. Terlalu takut memecah ketenangan yang ada dalam bola matamu, hingga tanpa sadar mataku meleleh dan ketika kamu bertanya adaapa, tak ada kata yang keluar dan tak akan pernah ada.
.
Kamu tau kapan saat terfavoritku bersamamu ? Saat ketika aku tengah sendiri memandangimu terlelap dan mendekapku. Saat itu aku akan menemukan pancaran kehangatan dalam embusan napas tenangmu, aku menemukan kelenturan yang selalu kudamba dalam pejaman matamu. Aku menemukan suami yang sempurna ketika tengah memandangimu tertidur, dan bahkan aku sering menitikkan airmata setelahnya hanya karena menyadari betapa sebenarnya aku sangat mencintaimu, dan yang selama ini terus kulakukan justru adalah melukaimu. Kata maaf tidak akan bisa mewakili semuanya. Aku merasa sebagai pendosa.
.
Hal terburuk dari semuanya adalah, ketika aku mulai memikirkan kata perpisahan bahkan untuk sesuatu yang sangat sangat remeh. Aku mulai sadar cintaku tidak sebesar cintamu. Aku melihat ketulusan dimatamu, aku merasakan cinta yang besar disetiap perilakumu, sementara aku hanya melihat sebuah obsesi, kecurigaan, dan ketidakpercayaan dalam diriku. Sekali lagi aku merasa sebagai pendosa. Tidak seharusnya pria sepertimu mendapatkan istri sepertiku. Ketidaksempurnaanku akan terasa sangat timpang jika dibanding semua kebaikanmu.
.
Batu memang tidak selamanya akan menjadi batu. Karena hujan ada untuk mengikisnya menjadi kerikil yang lebih kecil. Efek sampingku jatuh cinta tidak meluntur begitu saja, bahkan kian menjadi beberapa waktu lalu. Saat itu aku merasa kamu tidak sepenuhnya rela menyerahkan dirimu untuk kumiliki, sementara sikap tak rela berbagiku terus menyalak-nyalak meminta pemenangan. Harga diriku yang terlalu tinggi belum menemukan tangga pijakan yang tepat untuk menurunkannya. Aku selalu tergoda untuk kembali meragu. Sekalipun telah kuamini kenyataan cintamu. Aku menakutkan banyak hal, alasan untuk meragu dulu kembali mencuat menebarkan pesonanya. Aku takut kamu akan kembali tergoda pada masa lalumu. Aku takut aku menjadi nomor dua didalam daftar hidupmu. Aku takut keluarga kecil kita akan kalah eksis jika dibanding keluarga asal yang telah membesarkanmu. Aku takut mentalku kembali sakit sekalipun sesuatu yang cacat akan sulit terlihat sehat. Aku tidak sedang memaksa, aku hanya terus mencoba untuk terlihat seperti manusia. Dan bukan pendosa. Aku yang notabene adalah perempuan kelewat sensitif telah mencoba menebalkan dinding badakku. Menganggap kekakuanmu dan dinginmu adalah hal yang normal-normal saja. Karena aku tidak bisa memaksa. Aku tak akan mungkin tega menarik ulur kesabaranmu lagi. Meski andai saja kamu tau, sakit yang diderita mentalku bukan saja parah, tapi telah mengarat. Tapi kehadiran anak kita sedikit menjadi pengobat. Cacat yang kumiliki tengah sedikit demi sedikit kutambal, dengan cara yang strategis dan tak pernah kupikirkan sebelumnya. Jika aku tak pernah mendapatkan pengakuanmu, maka aku pun tak akan dengan begitu gampang mengumbar kedudukanmu. Jika aku tidak mendapatkan peringkat satu didaftar hidupmu, maka tak apa, karena sekarang aku pun tengah belajar menempatkan anak kita di dalam daftar prioritasku. Dan jika mereka-mereka masih lebih mendapat tempat ketimbang aku dan anakmu, maka sekali lagi tak apa. Karena mulai sekarang aku tengah belajar untuk mencintai sewajarnya. Aku si pendosa akan tetap menjadi seperti ini. Aku tak akan mengharapkanmu mengobatiku dengan cara menyembuhkan cacat mentalku. Karena memang..itu adalah kamu. Dan ini adalah aku. Tak ada yang harus sama diantara kita.