Sabtu, 28 Oktober 2017

Mantan Anomali

Manusia separo ranger. Apa kiranya hal yang muncul ketika kalian menemeui kalimat satu itu ? Apakah aku ? Sedikit mengejutkan, tapi aku pun berpikir bahwa itu adalah aku. Atau mungkin lebih tepatnya pernah berpikir bahwa itu adalah diriku.
.
Waktu telah berlalu dengan begitu cepatnya, waktu mengguyur kehausanku akan ketenaran yang sepantasnya dimiliki oleh kaum-kaum yang unik dan berbakat. Sementara aku, namaku hanya cocok di sandingkan dengan kata unik semata, tidak dengan berbakatnya. Sekian tahun lalu, ketika darahku masih mengangkut serta bara api di dalamnya, ketika aku melihat angkasa berada dalam jangkauan lima buah tangga yang disatukan, ketika semua masih ternilai dalam nominal, ketika sosok yang mengencerkan kental darah manusiaku dengan darah rangernya masih berdiri ada. Saat itu aku adalah seonggok daging yang begitu kokoh, hampir menyentuh sombong. Aku berteriak, aku memaki, dan aku mengeluh. Tiga hal yang dewasa ini secara mati-matian tengah kutekan agar tak sampai lolos keluar dari kerongkongan. Ayahku, si ranger langka itu, menempaku tidak seperti kebanyakan orangtua dalam mengasuh anaknya. Ia dengan caranya sendiri membuatku begitu kokoh, kuat dan dewasa, dewasa dalam artian yang kutahu pada umurku saat itu tentu saja. Aku masih ingat bagaimana masa itu benar-benar sebuah perjuangan yang teramat keras. Aku hampir saja keluar rumah jika saja sesuatu di dalamku tidak dengan sabar menyirami kepala mendidihku dengan banyak nasehat. Tiada hari yang terlewati tanpa adanya makian dm umpatan yang terus merangsek mencoba keluar dari tenggorokan. Jika saja di dalam kepalaku terdapat dua tangan, aku yakin mereka akan saling baku hantam dan merobek kepalaku dengan segera. Masalah remaja tak akan pernah ada habisnya. Dan si ranger yang kelak menjadi paracetamolku, mendinginkan segalanya hingga titik teraman, menyumbangkan pula sekian persen dari seluruh 'permasalahan remaja' yang tengah menimpaku saat itu. Ranger itu membisikkan kutukan sekaligus menyanyikan lulaby secara bersamaan dalam tempo singkat hidupnya. Membuatku akhirnya menyadari bahwa mungkin aku tidak akan tercipta untuk menjadi manusia biasa-biasa saja. Hari itu mataku terbuka dan segera mengetahui bahwa ternyata sosok pembuat sekaligus yang selama ini menuntunku adalah seorang ranger. Bersamaan dengan itu pula ayah mengakhiri perjalanannya didunia. Aku sempat menyimpan curiga kalau ini memang skenario yang telah di sepakati oleh alam, bahwasanya kontrak hidupnya akan berakhir tepat ketika kesadaranku terbangun dari masa lupanya. Dan perpisahan memang selalu berbaik hati menyisipkan pelajaran pada mereka yang ditinggalkan. Aku manusia separo ranger yang berbahagia saat itu, bagaimana tidak, kokohnya diriku, pemikiran (sok) bijak yang kupetik dari setiap langkah ayahku berhasil kuadopsi dengan begitu sempurna. Perlahan namun pasti, aku menemukan banyak mata yang menatap memuja untuk setiap butir kata yang kumuntahkan. Sedikit menjijikan memang, tapi kala itu aku begitu menikmati setiap puja-puji yang terlontar. Aku yang semula mengira hanya remaja kebanyakan, dalam sekejap mata mengetahui ternyata dirinya teraliri darah ranger. Aku pun seketika lupa, bahwa namaku mengandung arti yang tak secara sembarangan di rangkai orangtuaku, tak lain dan tak bukan adalah demi mengingatkanku. Bukankah tak ada tanah yang bisa mengotori hamparan kapas langit ?
.
Hari keruntuhanku pun tiba. Bukan tanpa permisi sebenarnya. Perlu dua nama dan dua tahun untuk melakukannya. Ari dan Hara. Dua yang menjebol eratnya perisai yang terbentuk dari darah rangerku. Dan untungnya menyisakan kenormalan melegakan yang belakangan ini kusyukuri keberadaannya. Ari begitu mengerti siapa aku, seperti apa warna dan seberapa kental cairan darahku. Dia begitu paham seberapa banyak bekal yang di jejalkan ayahku ke dalam kantong saku milikku. Kekokohan yang sepantasnya dimiliki oleh kaum lelaki, dan kekuatan yang seyogianya dikuasai oleh para tetua di atasku. Aku menguasai keduanya dan pemikiran yang terus mendominasi karena efek samping keduanya adalah bahwa aku tak pernah membutuhkan siapa-siapa. Darah rangerku sudah lebih dari cukup untuk menopang kehidupanku. Dan kelembutan Ari, ketelatenannya dalam menghadapi, kesabarannya dalam menuntun dan mengiringi, serta ketidaksudiannya untuk mengungguli, berhasil melumpuhkan titik terpuncakku. Secara perlahan, keberadaan Ari dan keajaiban yang datang silih berganti semenjak kelahiran Hara, berhasil melelehkan separo isi kepalaku. Manusia separo ranger ini berhasil menguasai jiwa manusianya sepenuhnya. Manusia berdarah separo ranger ini menyadari bahwa tanah tak seharusnya berserakan di atas langit sana. Ia harus menapak di bumi karena memang disanalah tempat seharusnya. Tak ada lagi puji-puja, tak ada lagi tatapan memangsa. Kini yang tersisa hanyalah tatapan penuh takjub milikku karena menyadari telah memiliki dua darah mengagumkan yang berpotensi menghasilkan cerita yang lebih sempurna ketimbang cerita tentang manusia berdarah ranger.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar