Kamis, 30 Januari 2020

Perempuan Kurang Perempuan

Dari dulu aku sering bertanya-tanya apa yang membuat Ari dengan mudah menerimaku sebagai separuhnya. Seseorang yang jauh dari kata cantik, tidak pula bertutur manis, apalagi bertingkah sehalus putri. Aku menyalahi semua aturan baku tentang definisi seorang perempuan. Terlahir dari keluarga utuh namun tidak sepenuhnya hadir. Membuatku tumbuh menjadi tanaman bersulur panjang. Sepanjang kembang tumbuhnya di habiskan untuk mencari, mencuri namun jarang bisa menghasilkan. Jika ada perempuan yang kurang sisi perempuannya maka itu adalah aku. Ari paham benar perjalanan hidupku, meski mungkin tidak membaca dari awal halaman, tapi setidaknya dia mengerti apa garis besarnya. Keras adalah kata lain yang hampir bisa menyentuh tempatku. Sedikit lebih jauh dari satu kata itu, dan aku lupa pelajaran apa saja yang berhasil di petik dari sekian waktu bertumbuhku itu. Atau malah tidak ada sama sekali yang berhasil kupetik sebagai pelajarannya? Mungkin saja iya, karena yang terus terpatri dalam ingatan adalah bagaimana aku menghabiskan sepanjang waktu untuk mencoba berlari dan kabur dari jalan yang sudah di gariskan. Aku memberontak tentu saja, berada di jalur aman benar-benar bukan cerminan masa mudaku. Meski tentu saja, ada batasan-batasan yang tetap menjaga agar tidak tergelincir dalam jurang tak terselamatkan. Jarang sekali ada manusia yang merasa malu dengan masa lalunya. Tapi denganku, bukan hanya rasa malu yang menyergap, tapi juga penyesalan tak terduga, dan juga cubitan-cubitan langka yang kerap membuatku terjaga seketika. Dari tanaman bersulur panjang, aku bertumbuh lagi menjadi pemimpi yang berniat mencapai lautan awan di atas sana dengan menggunakan sulur-sulurku tentu saja. Hal mustahil bagi sebagian orang, bahkan dalam kenyataan pun hal itu sangatlah tidak mungkin. Tapi aku buta saat itu, menghalalkan berbagai kata untuk terus memperpanjang diri demi bisa menyentuh ujung awan. Perjalanan waktu yang melelahkan namun tidak sia-sia. Aku terbangun setelahnya dengan mata terbuka lebih lebar dari orang paling belo sekalipun. Aku terbangun dengan segera setelah Ari bersedia mengkonfirmasi kedatangannya. Tanpa persiapan, tanpa acara basuh muka apalagi basuh badan, Ari benar-benar menyambutku dalam keadaan paling buruk dan paling memalukan. Tanpa topeng, alas muka apalagi dandanan. Separuh harga diriku masih tertinggal di awang-awang untuk sekedar memiliki malu karena terlihat begitu jujur, buruk dan telanjang. 

Hari-hari selanjutnya aku mulai memunguti lagi rasa malu yang tercecer entah di sudut tempat mana saja. Meski membenahi diri agar layak pandang bagi lawan jenis lebih sulit di lakukan ketimbang membenahi masa lalu yang terlanjur kelewat berantakan, tapi aku mencoba. Dan bagi perempuan kebanyakan mencoba saja belum cukup agar bisa sejajar dengan kaumnya, tapi proses mencobaku justru hanya bertahan di awal perjalanan. Aku kembali menjadi manusia asal-asalan. Tidak pernah benar-benar merisaukan tentang sisi perempuan yang kian hari kian menyusut hampir sepenuhnya hilang. Ari tidak membantu tentu saja, pekerjaannya hanya memaklumi kebodohanku akan pengetahuan tentang menjadi perempuan yang benar-benar perempuan, atau setidaknya menjadi perempuan layak pandang, pekerjaan Ari yang lain adalah menontoni ketelanjanganku dengan pujian, jarang sekali bukan ada laki-laki yang mau mengapresiasi lawan jenis yang berada di bawah standar, bukan, tapi berada di garis luar. Dan Ari melakukannya. Alasan pertamaku untuk berani memulai. Selain karena Ari memberikan keluasan juga karena Ari berani memberikan penghargaan di saat diri sendiri masih mengeluh tentang betapa banyaknya hal kurang. 

Tahun-tahun selanjutnya tidak membawa banyak perubahan berarti. Si perempuan kurang perempuan ini masih saja berjalan kesana-kemari dengan menegakkan kepala dan berjalan sesantai yang bisa kakinya bawa. Tak pernah mengerti apa sebenarnya beban yang menggelayuti pundak Ari sepanjang perjalanannya. Mungkinkah rasa malu pernah menyergap pemikirannya? Karena bersanding dengan seseorang yang bahkan tidak bisa membedakan pensil alis atau penegak bulu mata. Aku sering mengutarakan secara terbuka pemikiran satu itu, tapi jawaban Ari selalu sama. Dia baik-baik saja bahkan meski perempuannya tidak terlihat semengejutkan yang sering di lakukan make up pada wajah-wajah perempuan pada umumnya. Selanjutnya aku menghindari perntanyaan-pertanyaan semacam itu lagi, bukan karena takut Ari akan merubah pikiran dan memberi jawaban yang berbeda, tapi lebih karena akhirnya aku menemukan jawaban atas semua yang pernah ku angan-angankan. Yakni hidup bersama dengan seseorang yang tak mengerti bagaimana caranya untuk mengeluh, yang tak pernah tergoda dengan silaunya lampu berjalan di luar sana, yang berani mempertaruhkan rasa malu di atas segalanya demi kenyamanan semata. Aku tidak berani membayangkan apa jadinya jika bukan Ari yang menjadi pendampingku. Seseorang yang selalu sadar dirinya tak menarik namun tak pernah memiliki bahkan secuil niat untuk memperbaiki keadaan. Seseorang yang terlalu mendalami pesan dari kaum bijak di luar sana, bahwa kecantikan yang sesungguhnya ada di dalam pemikiran, di dalam hati. Aku bahkan tidak memiliki muka untuk sekedar berangan apa yang akan kuhadapi jika bukan Ari yang menjadi separuhku.

Semua orang selalu menyiratkan pesan bahwa Ari beruntung karena telah mendapatkan perempuan sepertiku. Dan mereka semua tak mengerti bahwa pandangan mereka salah. Aku yang harusnya berkata bahwa akulah yang beruntung karena telah mendapatkan Ari. Seseorang yang tak hanya membawa kenyamanan dengan caranya yang tak biasa, seseorang yang begitu sopan terhadap perempuan meski sisi perempuannya tak sempurna, seseorang yang berani menerima segala kebodohan akan pengetahuan menjadi perempuan yang benar-benar perempuan.

Terkadang, di ujung hari yang terkesan gelap meski sebenarnya hanya ilusi semata, ingin kuutarakan pada si pemilik nama betapa aku ingin mengetahui cara kerja otak dan juga apa saja isi dari kepalanya. Tentang beban apa saja yang mungkin terpikul namun sengaja di sembunyikan dari pandanganku. Tentang pertanyaan-pertanyaan absurd kenapa dia mau bertahan dan menerimaku di awal perjalanan, lalu nilai lebih apa yang bisa dia lihat dariku ketika semua yang tertangkap olehku hanya tentang nilai kurang. Tapi yang menyebalkan dari semuanya adalah ketika Ari memutuskan untuk tidak membiarkanku memiliki keluhan tentang hubungan ini atau tentang dirinya. Menjadi diri sendiri hingga memperbaiki diri adalah hal terbaik yang bisa kulakukan untuk setidaknya membayar semua keputusan dan ketulusan yang sejauh ini mengalir begitu saja melewati banyak jalan. Yang terkadang lupa untuk disyukuri dan lupa untuk di sadari keberadaannya. Maaf, karena sekali lagi aku menemukan satu nilai kurang. 

Senin, 27 Januari 2020

Dilema Pemenang

Terkadang aku bertanya-tanya, akankah keikhlasan yang di bungkus dengan ketulusan sedemikian rupa bisa memiliki tanggal kadaluarsa? 

Entah hubungan spesial apa antara aku dengan bulan di separo tahun, tapi nyatanya aku punya banyak daftar kejadian istimewa di bulan itu.
Salah satunya dengan nama yang konon telah kurelakan menjadi milik sahabatku. 
Namanya Re, ceritanya sesingkat namanya. Tapi memori bersamanya bertahan lebih lama dari pada yang kuduga. 
Ari akan marah jika aku menyebut nama satu itu, tapi aku tahu posisinya tak pernah tergoyahkan, bukan hanya oleh serpihan kenangan tapi juga oleh gelombang kehidupan. 
Lalu kenapa nama singkat itu kembali muncul ke permukaan setelah sekian lama? 


Aku lupa bulan keberapa saat itu ketika Re dan aku untuk pertama kalinya bertemu. Mengetahui kedatangannya bisa mendatangkan ancaman bagi kewarasanku kelak adalah sesuatu yang sudah lama tidak kuantisipasi. Dari matanya berhasil kutangkap banyak serbuk bunga, dan senyumannya berhasil mendatangkan banyak kupu-kupu menyerbu pernapasan. Perpaduan langka yang sayangnya tidak hanya menarik minatku saja, banyak nama-nama yang secara terbuka menyatakan ketergodaannya. Aku tidak termasuk dalam jajaran tentu saja. Karena saat itu belum ada kata-kata yang benar-benar pas untuk menerjemahkan ketertarikanku pada Re. Seiring berjalannya waktu, kupu-kupu yang selalu menguar dari senyumannya perlahan mendatangiku. Tanpa permisi mulai menyesakkan dada, aku menjadi makhluk salah tingkah yang tak pernah puas dengan hanya memandanginya secara sembunyi-sembunyi. Aku berkhayal tentang bagaimana jika namaku bersanding dengan namanya, berangan tentang bagaimana dunia akan iri terhadapku jika berhasil mendapatkannya. Aku menjadi pengagum yang bukan rahasia. Secara terbuka mataku mengantarkan kata cinta ketika menemui tatapannya. Aku menjadi penguntit yang begitu teliti hingga memasuki tahap memalukan. Sampai akhirnya di dunia maya kudeklarasikan betapa aku tengah tergila-gila, pada satu nama singkat, Re. 
Setiap cerita selalu memiliki tempat spesifik yang kelak menandai dan menggugah banyak ingatan ketika mendatanginya. Dan entah kenapa aku memilih tempat yang jauh dari kata romantis atau indah, yakni jembatan. Tidak pernah terpikir olehku bahwa cerita kami akan sesingkat itu, semuanya berakhir bahkan sebelum sempat memulainya.
Seperti layaknya anak remaja yang tengah jatuh cinta aku pun melakukan banyak hal gila ketika itu, duduk berdua di atas jembatan, pulang malam, menikmati kebersamaan. Tapi hanya sebatas itu. Tak ada cukup pupuk untuk menjaga tumbuhnya kuncup yang mulai terlihat tidak hanya di mata tapi juga di dalam hatiku. Re menyukai sahabatku. Saat pertama aku mengetahuinya terasa seperti seseorang telah melemparku ke daratan yang begitu kukenal. Tidak ada perasaan asing dengan pernyataan satu itu, karena di masa yang telah lama kubuang aku benar-benar pernah berada dalam situasi yang sama. Hanya saja waktu itu tidak ada kecukupan hati untuk berlapang dada. Aku marah dan kecewa. Dan sepertinya Tuhan tengah mengujiku dengan cara yang sama untuk melihat apakah aku telah menjadi tumbuh besar dengan sia-sia atau membawa serta kebijakan dan kedewasaan di dalamnya. Aku bimbang saat itu, Re yang beberapa waktu lalu berhasil menggerakkan lagi roda cinta yang telah lama macet karena kekecewaan justru mendatangkan kemacetan yang lain dalam kisah dan jalan sama yang dulu pernah mendatangiku. 
Rasanya terlalu sayang untuk mematikan Kupu-kupu yang telah mendiami pernapasan untuk beberapa lama. Rasanya terlalu sayang untuk mengubur kuncup yang tumbuh dalam kelangkaan media dan sarana pendukung. Kakiku seketika gentar untuk memutuskan. Ingin rasanya meneriaki diri agar bisa menerapkan apa yang selalu diri sendiri gembor-gemborkan. Seperti ada dua makhuk berkeliling di sekitar kepala dan telingaku. Yang satu membisikiku agar membiarkan sisa hati yang tersisa untuk membalaskan kekecewaan pada nama yang terpilih sebagai pemenang, lalu yang satu lagi membisikiku agar mulai mengumpulkan remahan hati yang pecah dan menguburnya dalam-dalam. 
Aku tidak hanya menangis tapi juga linglung seketika. Tak mengerti kemana harus mengadukan rasa patah itu, hingga akhirnya nama itu datang. Peserta yang dari awal tak kuanggap hadir namun justru dipilih Re sebagai pemenang. Seseorang dengan kebaikannya hingga sempat kuangkat dia dari sekedar teman menjadi sahabat bahkan saudara. Kuabsenkan padanya apa-apa saja yang telah berhasil di curi, apa-apa saja yang berhasil di miliki oleh si pemilik nama singkat. Meski enggan kuakui tapi ada setitik gelap yang tersembunyi di antara remah-remah hatiku untuk mengiba padanya agar sudi memberikan Re kepadaku, tidak kusuarakan tentu saja, aku tidak sebinatang itu. Tapi alih-alih membahasakan rasa patah yang tak kunjung juga menemui kata akhirnya, aku malah kian tergugu di dalam pelukannya. Bagaimana bisa aku menjadi si penyelamat sedangkan aku sendiri membutuhkan pertolongan? Sebelum aku mengutarakan kejujuran perasaanku malam itu di atas jembatan, Re sempat meminta bantuanku untuk menjadi si perantara baginya dan ssahabatku. Dia bahkan terlihat lebih ceria malam itu, dia menjadi halaman buku yang siap untuk dibaca, melalui sela-sela gemericik air sungai di bawah sana Re mulai bercerita tentang bagaimana perjalanannya, bagaimana kisahnya. Dia menangis dan aku berbahagia, bukan untuk dukanya tapi berbahagia karena baru sekali itu ada lawan jenis yang mau menceritakan kisah hidupnya kepadaku, dan bahkan sempat dibumbui air mata juga. Aku sempat mengira bahwa dia mulai nyaman denganku, dan nyaman adalah kata yang keberadaannya hanya sejengkal dari kata cinta. Aku sempat mengira bahwa kali ini aku tidak akan sesial kisahku sebelumnya. Tapi jalan cerita manusia memang selalu penuh kejutan. Dan aku benar-benar terpuruk karena keterkejutanku malam itu. Berdiri seperti berada di luar jangkauan, melangkah menjadi hal terjauh yang kupikir bisa dilakukan. 

Dan alam memang tidak sia-sia pernah menyekapku dalam dekapannya. Aku tidak hanya belajar tapi juga memakan pelajarannya. Keikhlasan itu kuikrarkan meski kebenarannya hanya sebatas lebar ujung rambut saja. Aku tak pernah berpikir jika waktu benar-benar akan membantuku memperluas lebar ikhlasku. Tapi kenyataannya seperti itu. Satu-satunya alasan kenapa aku menyerah dan berdiri tegak seketika seakan tak pernah ada yang jatuh apalagi sampai terkapar tanpa daya adalah karena si pemenang itu mengucapkan ketidakkuasaannya membantuku. Si pemenang juga ternyata masuk dalam jajaran pengagum Re. Bagaimana mungkin kekecewaanku akan bekerja jika rutenya adalah melewati dua hati yang terikat tanpa paksa? 
Aku pernah berkata baik-baik saja dan kali itupun aku bisa mengulanginya lagi tanpa harus salah kata. Dan waktu benar-benar berbaik hati padaku dengan jalan mendatangkan Ari. Si penyembuh yang jauh dari kata sempurna. Tapi di saat yang tepat bisa menjadi penampung air mata yang seringnya jatuh dadakan tanpa rencana. 


Sekian tahun berlalu. Aku di bantu Ari perlahan membasuh segala hal berbau Re. Dari mulai namanya, ceritanya, jembatannya, bahkan Kupu-kupunya. Tidak semudah yang dikira tentu saja, tapi mengumpulkan remah-remah hati memang memberi kekuatan tambahan bagi yang pernah hancur. Dari kegiatan bersih-bersih itu aku berhasil menemukan remah kosong yang belum ternoda sama sekali oleh cerita Re. Ku punguti terus hingga akhirnya kudapatkan hasil yang pas untuk membuat daratan baru. Susahnya seperti mengumpulkan jarum di tengah tumpukan pasir pantai. Sulit bukan main, tapi Ari terus dan selalu menguatkan. Ucapan terimakasih tak terhingga untuk Ari dan ketelatenannya dalam menuntun dan menjadi pegangan. 
Waktu tidak hanya membawa daratan baru, tapi juga menepikan si pemenang kembali ke daratan. Ya, dia kembali dengan segala cerita penuh kemenangannya. Ada serpihan nyeri yang terkadang menghadang di tengah-tengah percakapan. Ada serpihan duka yang tak pernah mau keluar meski beribu air mata jatuh keluar. Kepadanya ingin rasanya kuteriakkan kalimat-kalimat tak sopan, tentang bagaimana seharusnya dia tidak kembali datang, tentang bagaimana telah kukerahkan segala upaya untuk mematikan kuncup di dalam hatiku, tentang bagaimana harusnya cerita si pemenang tak pernah sampai di telingaku. Karena bagaimanapun terbiasanya seekor cicak menjadi ladang pahala, tapi membuat diri sendiri sengaja nampak di depan manusia agar bisa dengan mudah di buru dan di matikan merupakan kebodohan semata. Dan melalui tulisan ini keresahan itu ingin kuentaskan. 

Kepadamu jawaban ini ingin kusampaikan, nama yang menyandang kata pemenang. Keikhlasan tidak pernah menemui tanggal kadaluarsanya. Meski dia harus berkali-kali di coba dengan luka baru dan lebih segar ketimbang goresan sebelumnya. Keikhlasan ada lebih kuat daripada yang di perlihatkan. Tak memilih menyerah pada waktu, alalagi pada cerita buntu. Dan meski namamu pernah bertengger di sana sebagai sahabat bahkan saudara, tapi ikatan di antara kita tidak bisa lagi sama. Bukan karena aku masih menyimpan rasa, tapi di antara aku, dirimu dan Re memang memiliki luka lama yang kita semua saling mengetahuinya. Aku sembuh tapi entah dengan dirimu, entah dengan Re. Mungkin efek samping sebagai pemenang justru lebih komplit ketimbang si pihak kalah, beban yang harus di pikul lebih berbobot juga. Tolong jangan lukai dirimu dengan mendekatiku. Aku sembuh tapi namaku menyimpan belati yang mungkin bisa merobek pertahanan bebanmu sebagai pemenang. Mari kita mencari jalan aman untuk tidak lagi saling beririsan, demi kesembuhan bersama atau setidaknya demi mengukuhkan  kesembuhan milikku agar tidak tergoyahkan. Tolong, dan sekian. 

Senin, 20 Januari 2020

Tulisan Yang Lain

Aki ingin kita kembali berbicara, meski tulisanku yang sebelumnya pun tidak engkau baca.

Kekurangan cinta akan membuat manusia kering, layu dan merana, tapi kelebihan cinta pun terkadang bisa membuat si penerimanya gila, lupa tentang menjadi diri sendiri dan efek paling mengerikan dari semuanya adalah ketika mereka yang awalnya memberi mulai kehabisan cinta untuk di bagikan. 
Aku tahu tidak mudah untuk mengakhiri apa yang sudah engkau mulai, perjuangkan dan bahkan perjuangan itu menyatu bersama darah dan dagingmu. Mereka yang dulu memujamu akan menjadi bayangan hitam di belakangmu sampai kapanpun. Tak terpisahkan bahkan sampai akhir perjalananmu di dunia. 
Tapi tidakkah engkau sadar bahwa kau tidak sendirian? Semua manusia yang bernapas memiliki masa lalu di belakang yang terus membuntuti, tak peduli ketika masa lalu itu buruk, baik, mengesankan atau justru tanpa makna. 
Satu hal yang ingin kutegaskan disini adalah mencoba menyuntikkan lagi padamu kenyataan bahwa dunia ini berputar, semua makhuk di dalamnya akan menua bersama putaran itu, tidakkah hatimu merasa bahwa sekarang waktu yang tepat untuk memikirkan diri sendiri dan menemukan kabahagiaan yang sejati? 
Aku tentu saja bukan siapa-siapa, hanya mantan pengagummu yang pernah berjejer rapi di antara ribuan lainnya. Atas dasar apa aku berani mendorong kehidupanmu pada tahap selanjutnya? Hanya berbekal kata temanlah maka aku berani mengutarakannya. Entahlah, tapi rasanya sangat tidak mungkin untuk mengahapus begitu saja semua tentangmu dari ingatanku. Kapanpun aku melihat dunia dimana engkau pernah menjadi raja di dalamnya, maka sesering itulah aku mulai mengeluh pada diri sendiri bahwa engkau tak mungkin mendengar kerisauanku tentang usiamu. Berhenti akan menjadi finalitas yang terlalu besar untuk di capai. Tapi tidak bisakah engkau menggunakan trik ninja untuk menghadapi mereka yang masih bertahan menjadi deretan pengagummu? Pergilah secara diam-diam, dengan begitu halus hingga tak seorangpun memyadari kepergianmu dan merasa telah kehilanganmu. 

Ironis memang, tapi aku merasa kasihan padamu. Engkau dengan segala kejayaan dalam dekapan, dengan segala cinta yang melebihi muatan. Dan justru karena hal itulah aku merasa kasihan terhadapmu. Terlebih namamu adalah panutan bagi dua belas lainnya. Pasti ada beban tak terkira yang tengah terpanggul di atas pundakmu. 
Jangan tertawa, aku memang masih senaif itu mempertahankan angka tigabelas untuk bertengger selamanya. Aku membutakan diri untuk melihat kenyataan yang ada.

Dalam tulisan sebelumnya aku sudah memberitahumu bahwa aku telah terikat dengan seseorang dan menjalani hidup bahagia. Sadarkah engkau siapa aku? Seorang pengagum gila yang menghabiskan banyak waktu hanya untuk menyapamu, mengucapkan kata cinta, menebar janji dan permohonan. Akan sulit membayangkan bahwa kata selamanya yang dulu selalu di gembor-gemborkan ternyata hanya bertahan sekian tahun saja. Aku bahkan mendedikasikan satu buku penuh untukmu dan anggota lainnya. Aku sejatuh itu waktu itu. Tapi lihatlah sekarang aku telah berkhianat padamu dengan jalan melepasmu dan kembali pada kehidupan nyata sepenuhnya. Seberapa banyak penggemarmu yang segila dan seterobsesi diriku? Apa kau bahkan pernah dengan repot-repot menghitungnya? Mereka akan pergi seperti juga diriku. Meski keterlaluan tapi pengkhianatan akan menjadi tren yang menjamur dan menyerang berbagai lapis jajaran pengagummu. Dengan berbagai alasan berbeda tentu saja. 
Kepada siapa lagi engkau mendedikasikan seluruh daya menuamu nanti? Pasti akan ada lapisan baru yang muncul. Tapi apakah lelah tidak pernah menjadi bagian dari siklus kehidupanmu?

Lepaskan tahta itu teman, ada babak kehidupan lain yang perlu kau isi dan tengah menunggumu untuk di rangkul bergandengan. Lepaskan panggung itu, lampu sorot selamanya akan di sana dan tetap seperti itu. Akan ada nama lain yang menaiki dan memanaskannya nanti, sekarang waktumu tiba untuk mengistirahatkan diri. Lepaskan kecemasan itu, menghilanglah dengan halus dan perlahan. Hingga tak seorangpun akan menyadari kepergianmu atau pun merasa kehilangan. Karena babak kehidupan selanjutnya pun akan dan tengah dinanti oleh para pengagummu dengan atau tanpa persetujuanmu. Engkau hanya satu, yang menginginkanmu lebih dari seribu. Seseorang mungkin telah berkata akan mencintaimu selamanya, tapi bertarung dengan berbagai probabilitas dan kalkulasi yang serumit itu, tidak akan ada yang benar-benar mau mempertaruhkan akal sehatnya dengan serius kukira.
Apa kau masih menggenggam perkataanmu bahwa kau akan tetap menjadi idola sampai tak ada siapapun yang menginginkannya? Tolong jangan,  karena masa hidupmu mungkin akan habis sebelum engkau sendiri menyadarinya.

Lihat sekali lagi kedalam hatimu, lihat mereka yang menyayangimu namun bukan mengagumimu, lihat mereka yang tak pernah menuntut apapun darimu, lihat mereka yang bisa menerima segala sisi dirimu. Hiduplah untuk mereka, habiskan sisa hidupmu bersama mereka. Karena nyatanya kata selamanya bukan lah sesuatu yang benar-benar berlaku di dunia nyata. Ia hanya ada di dalam dongeng dan lagu saja. Pengagummu akan mengerti dan memahami. Rasa kehilangan mungkin ada, tapi sungguh tak ada yang lebih membuat bahagia ketimbang melihat seseorang yang kita anggap berharga bisa menemukan sendiri kebahagiaannya. 

Tulisan ini tak akan pernah tersampaikan seperti tulisan-tulisanku untukmu yang lain. Tapi entah bagaimana aku selalu merasa bahwa kita telah terikat dalam cara-cara ajaib dan mengejutkan. Berbicara denganmu selalu menyenangkan dan membuatku bersemangat. Hiduplah untuk waktu yang lama, sampai aku melupakanmu, sampai cerita tentang kita terlupakan. 

Minggu, 19 Januari 2020

Labirin

Jatuh cinta seperti memasuki sebuah labirin. Mudah untuk memulainya, bersemangat mencari jalan selanjutnya, tersesat berkali-kali, hingga kemudian frustasi mencari jalan untuk melepaskan diri darinya. 

"Dear Ari, lima tahun perjalanan bersama kita sudah sampai tahap mana jika di labirinkan?"

Mudah untuk memulainya, meskipun jujur saja tidak semudah itu untuk jatuh cinta kepada Ari. Awal perjalanan kami, Ari yang kulihat adalah sosok dengan banyak musim mengelilinginya,  aku pernah melihat ia tersesat di kerumunan musim panas, terdampar di pelukan musim dingin dan sesuatu yang kutangkap di setiap perputaran musim itu adalah bagaimana Ari tak pernah kehilangan cara untuk menjadi si musim semi, yang terus tumbuh, berbunga, hingga kemudian layu menghampirinya. Aku mengetahui segelintir nama dan dari kesemuanya berhasil mengantar Ari pada musim gugurnya, saat dimana semua hal yang berbau tumbuh akan meluruhkan dirinya. Termasuk juga bunga-bunga, termasuk juga dedaunan langka. Hingga akhirnya waktu mengantarkan Ari kepadaku dan saat itulah musim tak bernama tiba, menghampiri tanpa permisi dan membuatku kelimpungan untuk mengantisipasinya. Kami terikat dalam sebuah hubungan selayaknya manusia yang tengah jatuh cinta, tapi nyatanya saat itu aku masih buta dan meraba siapa kiranya pemilik bibir manis itu, siapa pemilik lengan kokoh itu. Aku tidak serta-merta jatuh pada pesona Ari, perlu di butuhkan waktu tidak sedikit untuk mengidentifikasi perasaan apa yang menyelubungi ikatan panas kami. Kenapa tak kudapati Ari dengan musim seminya, yang selalu berbunga, bertumbuh manis dan tak kuharapkan layu. Tapi kemudian Ari mengajarkanku sesuatu, butuh ketelatenan dan kesabaran seorang guru tk juga pengasuh panti werda di satukan untuk bisa menembus kebebalanku. Bahwa terikat dengan seseorang tidak selalu harus di bumbui dengan bunga dan juga kata-kata. Adakalanya aksi lebih menjanjikan ketimbang hanya ungkapan. Dan Ari melakukannya. Banyak cara untuk menebus musim seminya yang gagal di hadirkan dalam pelukanku, sebagai gantinya dia memperlihatkan padaku bahwa di dunia ini ada pergantian waktu yang selalu luput untuk di nikmati manusia hanya karena kadar efeknya tidak sedramatis yang di hadirkan para pemilik musim yang selalu berganti setiap berapa bulan sekali. Yakni tentang adanya siang dan malam. Dan ajaibnya seketika itu pula aku mengerti betapa indah dan nyatanya dunia hanya dengan perhatian lebih kita pada hal-hal detail. Itulah kali pertama Ari menunjukkan pesonanya. Ketelatenan dan kesabarannya sangat membantu.
Setelah siang dan malam berputar dengan membawa begitu banyak makna Ari menuntunku lagi pada tahap selanjutnya. Pengenalan pada pelajaran penting yang kelak membawaku pada titik klimaks proses jatuhnya aku pada cinta Ari. Yakni tentang betapa indahnya sebuah alunan napas, tentang mengagumkannya setiap hal berdenyut yang hadir di muka bumi ini, bukan hanya tentang manusia tapi juga tentang bukit, ombak, dedaunan, kelopak, bintang, pekat. Aku menjadi pengagum Ari dengan sedemikian rupa, pengagum alam semesta meski apresiasi terbaikku hanya sebatas mengagumi dan menggumamkannya. Ya, aku sampai pada titik itu, tahap ketika tak ada kata dan bunga yang bisa mewakili sebuah rasa. Ketika bunga dan kata menjadi tak lagi memiliki arti, selain menikmati, terus berjalan, dan berucap syukur karena perjalanan itu. Ari benaran mengajariku bukan hanya tentang ilmu semesta tapi juga bahasa yang di gunakan oleh semesta untuk menyampaikan maksudnya. 
Kata orang, jatuh cinta adalah tentang berapa banyaknya perbedaan yang tak pernah menjadi penghalang untuk melangkah bersama. Tapi dalam kasusku sepertinya kalimat sebaliknyalah yang berlaku. Aku perlahan menyerupai Ari, perbedaan yang dulu menggunung perlahan terkikis karena ketelatenan Ari. Aku yang semula berkalungkan bunga dan berselimutkan kata-kata, mulai menikmati tentang arti telanjang. Kepolosan yang menghadirkan banyak rasa selain hanya nyaman. Dan aku jatuh cinta pada momen ketika kami melangkah bersama tanpa untaian benang yang menghalangi satu sama lain untuk saling lebih melihat dan mengenal.

Butuh waktu selama itu untuk akhirnya mengetahui, mengakui bahwa aku jatuh cinta pada Ari, pesonanya benar-benar menyala terang, seperti ufuk sore yang di selimuti cahaya jingga sebelum gelap menelannya perlahan. Lalu ketika siang dan malam membawa pelajarannya sendiri untuk di nikmati, maka begitupun pesona Ari, yang menguarkan serta titik lemah dan ceruk yang selama ini tersembunyi dari mata. Kekurangan Ari yang membuatku berkali-kali tersandung dan sersesat. Jika harus di akui, kelemahanku ada pada kekurangan Ari, jika selama ini aku berhasil berdiri tegak karena topangan, dorongan dan juga semangat dari Ari, maka kekurangannyalah yang membuatku terperosok dan terseok kembali. Aku tidak siap melihat celah dari seseorang yang selalu terlihat sempurna. Dan sialnya aku memang selemah itu. Tidak hanya sekali, bahkan berkali-kali pemikiran untuk melepaskan Ari singgah di kepala. Maafkan kelemahanku. Dan puncaknya adalah ketika akhirnya kesadaran tiba tentang adanya sinyal-sinyal datangnya musim dingin di tengah-tengah kehangatan kami. Sesuatu yang salah sedang terjadi. Aku tak bisa terus menerus membohongi diri dengan berkata bahwa bara itu masih menyala, sudah sekian lama sejak terakhir kali Ari berhasil menyalakan api lalu membakar apa yang menjadi penyelubung kami. Kini bara itu hanya berupa kedipan semata, tak berpengaruh apa-apa. Aku yang selalu membenci musim dingin dan tersiksa karenanya, mulai menghakimi Ari. Semua hawa beku yang menyergap hidung dan menyelimuti paru-paru adalah karena kegagalan Ari dalam menyalakan api. Pemikiran tentang berhenti memperjuangkan itu akhirnya kembali lagi, aku tidak pernah menyangka jika hubungan kami akan berliku dan menjadi seperti ini, labirin yang semula kami kira akan dengan mudah di taklukkan ternyata menyesatkan banyak pikiran dan jalan buntu itu benar-benar membuatku mual. Musim tak bernama yang pernah Ari bawa di awal pengikatan kami mulai menunjukkan kelunturannya. Aku yang dari semula tak mampu berdiri dengan bertopang kaki sendiri mulai memahami betapa selama ini hanya Ari sendirilah yang berjuang. Menyentuh pergelangan kakiku, membisikkan mantra, menuntunku dengan ketelatenannya hingga pada akhirnya aku bisa mengatasi keterpurukan dan mulai berjalan. Kesadaran satu itu menghangatkan seperti nyala lilin dalan kegelapan, tapi bahkan lilinpun memiliki waktunya tersendiri untuk terbakar dan tak menyisakan sisa. Hawa dingin kembali menyelubungi, mendekap semua indera hingga aku hampir mati rasa karenanya. 

Ketika kilas balik tak bisa menyelamatkan seseorang, maka terkadang dengan hanya melakukan hal sepele sesingkat mengedipkan mata akan menjadi bala bantuan yang tak terduga. Penyelamatku datang dari benih-benih yang tumbuh karena adanya tetes-tetes embun yang di bawa oleh pagi. Musim dingin yang semula kubenci ternyata membawa manfaat yang tak terduga. Tetes embun penyelamat yang akhirnya menumbuhkan kuncup, daun dan akar. Terima kasih Tuhan. Karena meskipun Ari gagal menyalakan api untuk mendapatkan kehangatan, bukan itu titik dasar alasan kenapa aku ingin ikatan ini mendapat pengakhiran. Faktanya aku kehabisan amunisi untuk mencintai. Mudah sekali untuk jatuh cinta, lalu mulai buta dan menghambur-hamburkannya, hingga memudian cinta habis dan terseoklah kaki-kaki yang dulunya melangkah gagah.
Realisasinya adalah sekian hari setelah pergantian tahun kemarin. Entah hal apa yang memulai hingga memunculkan pemahaman itu. Bagaimana bisa aku melepas tangan kokoh dan bibir manis yang dulu begitu kukagumi? Bagaimana bisa aku menggantikan pegangan Ari dengan tongkat kemandirianku yang ternyata palsu? Akan menjadi apa diriku jika tanpa Ari? Bagaimana bisa aku seegois itu membiarkan Ari terpuruk sendiri menghadapi kekurangannya? Sementara selama ini jika bisa di ingat aku tak menyumbang andil apapun untuk tiang kokok yang menjadi pegangan ikatan kami. Bagaimana bisa aku akan mengakhiri semuanya justru tepat ketika angka lima mengulurkan tangannya untuk melangkahi batu cobaan terbesar sebuah ikatan? Ya, setiap orang selalu berkata bahwa sebuah ikatan akan menjadi begitu rentan dan rapuh dalam lima tahun pertamanya. Dan aku mengakui benar kebenaran kalimat itu. 

Kelip bintang di atas sana menjadi peneguh keputusanku untuk melanjutkan perjalanan. Lilin bisa saja habis nyalanya, musim panas bisa saja membatalkan kedatangannya, musim dingin bisa saja begitu keras kepala menerobos masuk melalui celah-celah, tapi labirin memang di ciptakan seperti itu, buntu di semua sisi tapi selalu ada jalan untuk untuk melihat ke atas, ruang dimana segalanya tak bersekat, tak ada yang mampu membuat sekat dengan yang di atas sana. Langit selalu menjadi raja, entah bagi penikmat siang maupun malam, dan bintang adalah penerang yang tak pernah padam, meskipun nyalanya tak menyalurkan kehangatan, tapi bahkan kehangatan tak melulu harus hadir dari sesuatu yang panas dan membara. Sugesti untuk menjadi hangat setelah menemukan cahaya dalam kepekatan adalah obat tanpa tandingan.

Dan di sinilah aku dan Ari sekarang, dalam salah satu sisi bercabang sebuah labirin yang dulu kita masuki bersama, meski tak berbekal bunga dan kata, meski dinding labirin memblokir segala musim untuk bisa ikut menghanyut dalam pelukannya. Kami frustasi, tentu saja, tapi saat-saat itu telah tertinggal di belakang sana. Meski tak ada bangku untuk meletakkan beban, bahu masing-masing bisa menjadi penopang untuk sekedar menikmati keadaan. Memandang kemilau bintang yang silih berganti menjadi deburan awan. Biarkan musim-musim di luar sana sibuk mencari jalan untuk bisa memasuki labirin dan menemukan kami, karena seindah apapun pertemuan yang di hadirkan oleh pergantian musim gugur dan musim semi, musim panas dan musin dingin, musim tak bernama masihlah pemenang dari semuanya. Dia yang tak pernah berganti, permulaannya adalah pengakhirannya, yang terindah dan yang tak bercela. Meski harus hadir tanpa bunga dan kata, tapi jujur saja aku benar-benar menyukainya. Bukan hanya perasaan suka, tapi aku jatuh cinta pada musim langka yang di perkenalkan oleh Ari. 

Jika normalnya setiap orang akan mengerahkan segala cara dan akal untuk bisa terbebas dari rumitnya sebuah labirin, maka tidak begitu dengan pemikiranku dan Ari. Biarkan kami tersesat di sini lebih lama, menikmati kemilau bintang dan deburan awan yang mungkin tak akan bisa di lakukan ketika berada di tempat terbuka. Biarkan kami menikmati setiap sudut buntu dan uraian bercabang yang selalu membingungkan. Bahkan jika pada akhirnya kami hanya berjalan mundur dan tak pernah kemana-mana pun tak apa. Karena pencarian itu lebih penting dari segalanya. Perjalananlah yang harus dinikmati dari sebuah kehidupan, bukan hasil akhirnya.