Senin, 27 Januari 2020

Dilema Pemenang

Terkadang aku bertanya-tanya, akankah keikhlasan yang di bungkus dengan ketulusan sedemikian rupa bisa memiliki tanggal kadaluarsa? 

Entah hubungan spesial apa antara aku dengan bulan di separo tahun, tapi nyatanya aku punya banyak daftar kejadian istimewa di bulan itu.
Salah satunya dengan nama yang konon telah kurelakan menjadi milik sahabatku. 
Namanya Re, ceritanya sesingkat namanya. Tapi memori bersamanya bertahan lebih lama dari pada yang kuduga. 
Ari akan marah jika aku menyebut nama satu itu, tapi aku tahu posisinya tak pernah tergoyahkan, bukan hanya oleh serpihan kenangan tapi juga oleh gelombang kehidupan. 
Lalu kenapa nama singkat itu kembali muncul ke permukaan setelah sekian lama? 


Aku lupa bulan keberapa saat itu ketika Re dan aku untuk pertama kalinya bertemu. Mengetahui kedatangannya bisa mendatangkan ancaman bagi kewarasanku kelak adalah sesuatu yang sudah lama tidak kuantisipasi. Dari matanya berhasil kutangkap banyak serbuk bunga, dan senyumannya berhasil mendatangkan banyak kupu-kupu menyerbu pernapasan. Perpaduan langka yang sayangnya tidak hanya menarik minatku saja, banyak nama-nama yang secara terbuka menyatakan ketergodaannya. Aku tidak termasuk dalam jajaran tentu saja. Karena saat itu belum ada kata-kata yang benar-benar pas untuk menerjemahkan ketertarikanku pada Re. Seiring berjalannya waktu, kupu-kupu yang selalu menguar dari senyumannya perlahan mendatangiku. Tanpa permisi mulai menyesakkan dada, aku menjadi makhluk salah tingkah yang tak pernah puas dengan hanya memandanginya secara sembunyi-sembunyi. Aku berkhayal tentang bagaimana jika namaku bersanding dengan namanya, berangan tentang bagaimana dunia akan iri terhadapku jika berhasil mendapatkannya. Aku menjadi pengagum yang bukan rahasia. Secara terbuka mataku mengantarkan kata cinta ketika menemui tatapannya. Aku menjadi penguntit yang begitu teliti hingga memasuki tahap memalukan. Sampai akhirnya di dunia maya kudeklarasikan betapa aku tengah tergila-gila, pada satu nama singkat, Re. 
Setiap cerita selalu memiliki tempat spesifik yang kelak menandai dan menggugah banyak ingatan ketika mendatanginya. Dan entah kenapa aku memilih tempat yang jauh dari kata romantis atau indah, yakni jembatan. Tidak pernah terpikir olehku bahwa cerita kami akan sesingkat itu, semuanya berakhir bahkan sebelum sempat memulainya.
Seperti layaknya anak remaja yang tengah jatuh cinta aku pun melakukan banyak hal gila ketika itu, duduk berdua di atas jembatan, pulang malam, menikmati kebersamaan. Tapi hanya sebatas itu. Tak ada cukup pupuk untuk menjaga tumbuhnya kuncup yang mulai terlihat tidak hanya di mata tapi juga di dalam hatiku. Re menyukai sahabatku. Saat pertama aku mengetahuinya terasa seperti seseorang telah melemparku ke daratan yang begitu kukenal. Tidak ada perasaan asing dengan pernyataan satu itu, karena di masa yang telah lama kubuang aku benar-benar pernah berada dalam situasi yang sama. Hanya saja waktu itu tidak ada kecukupan hati untuk berlapang dada. Aku marah dan kecewa. Dan sepertinya Tuhan tengah mengujiku dengan cara yang sama untuk melihat apakah aku telah menjadi tumbuh besar dengan sia-sia atau membawa serta kebijakan dan kedewasaan di dalamnya. Aku bimbang saat itu, Re yang beberapa waktu lalu berhasil menggerakkan lagi roda cinta yang telah lama macet karena kekecewaan justru mendatangkan kemacetan yang lain dalam kisah dan jalan sama yang dulu pernah mendatangiku. 
Rasanya terlalu sayang untuk mematikan Kupu-kupu yang telah mendiami pernapasan untuk beberapa lama. Rasanya terlalu sayang untuk mengubur kuncup yang tumbuh dalam kelangkaan media dan sarana pendukung. Kakiku seketika gentar untuk memutuskan. Ingin rasanya meneriaki diri agar bisa menerapkan apa yang selalu diri sendiri gembor-gemborkan. Seperti ada dua makhuk berkeliling di sekitar kepala dan telingaku. Yang satu membisikiku agar membiarkan sisa hati yang tersisa untuk membalaskan kekecewaan pada nama yang terpilih sebagai pemenang, lalu yang satu lagi membisikiku agar mulai mengumpulkan remahan hati yang pecah dan menguburnya dalam-dalam. 
Aku tidak hanya menangis tapi juga linglung seketika. Tak mengerti kemana harus mengadukan rasa patah itu, hingga akhirnya nama itu datang. Peserta yang dari awal tak kuanggap hadir namun justru dipilih Re sebagai pemenang. Seseorang dengan kebaikannya hingga sempat kuangkat dia dari sekedar teman menjadi sahabat bahkan saudara. Kuabsenkan padanya apa-apa saja yang telah berhasil di curi, apa-apa saja yang berhasil di miliki oleh si pemilik nama singkat. Meski enggan kuakui tapi ada setitik gelap yang tersembunyi di antara remah-remah hatiku untuk mengiba padanya agar sudi memberikan Re kepadaku, tidak kusuarakan tentu saja, aku tidak sebinatang itu. Tapi alih-alih membahasakan rasa patah yang tak kunjung juga menemui kata akhirnya, aku malah kian tergugu di dalam pelukannya. Bagaimana bisa aku menjadi si penyelamat sedangkan aku sendiri membutuhkan pertolongan? Sebelum aku mengutarakan kejujuran perasaanku malam itu di atas jembatan, Re sempat meminta bantuanku untuk menjadi si perantara baginya dan ssahabatku. Dia bahkan terlihat lebih ceria malam itu, dia menjadi halaman buku yang siap untuk dibaca, melalui sela-sela gemericik air sungai di bawah sana Re mulai bercerita tentang bagaimana perjalanannya, bagaimana kisahnya. Dia menangis dan aku berbahagia, bukan untuk dukanya tapi berbahagia karena baru sekali itu ada lawan jenis yang mau menceritakan kisah hidupnya kepadaku, dan bahkan sempat dibumbui air mata juga. Aku sempat mengira bahwa dia mulai nyaman denganku, dan nyaman adalah kata yang keberadaannya hanya sejengkal dari kata cinta. Aku sempat mengira bahwa kali ini aku tidak akan sesial kisahku sebelumnya. Tapi jalan cerita manusia memang selalu penuh kejutan. Dan aku benar-benar terpuruk karena keterkejutanku malam itu. Berdiri seperti berada di luar jangkauan, melangkah menjadi hal terjauh yang kupikir bisa dilakukan. 

Dan alam memang tidak sia-sia pernah menyekapku dalam dekapannya. Aku tidak hanya belajar tapi juga memakan pelajarannya. Keikhlasan itu kuikrarkan meski kebenarannya hanya sebatas lebar ujung rambut saja. Aku tak pernah berpikir jika waktu benar-benar akan membantuku memperluas lebar ikhlasku. Tapi kenyataannya seperti itu. Satu-satunya alasan kenapa aku menyerah dan berdiri tegak seketika seakan tak pernah ada yang jatuh apalagi sampai terkapar tanpa daya adalah karena si pemenang itu mengucapkan ketidakkuasaannya membantuku. Si pemenang juga ternyata masuk dalam jajaran pengagum Re. Bagaimana mungkin kekecewaanku akan bekerja jika rutenya adalah melewati dua hati yang terikat tanpa paksa? 
Aku pernah berkata baik-baik saja dan kali itupun aku bisa mengulanginya lagi tanpa harus salah kata. Dan waktu benar-benar berbaik hati padaku dengan jalan mendatangkan Ari. Si penyembuh yang jauh dari kata sempurna. Tapi di saat yang tepat bisa menjadi penampung air mata yang seringnya jatuh dadakan tanpa rencana. 


Sekian tahun berlalu. Aku di bantu Ari perlahan membasuh segala hal berbau Re. Dari mulai namanya, ceritanya, jembatannya, bahkan Kupu-kupunya. Tidak semudah yang dikira tentu saja, tapi mengumpulkan remah-remah hati memang memberi kekuatan tambahan bagi yang pernah hancur. Dari kegiatan bersih-bersih itu aku berhasil menemukan remah kosong yang belum ternoda sama sekali oleh cerita Re. Ku punguti terus hingga akhirnya kudapatkan hasil yang pas untuk membuat daratan baru. Susahnya seperti mengumpulkan jarum di tengah tumpukan pasir pantai. Sulit bukan main, tapi Ari terus dan selalu menguatkan. Ucapan terimakasih tak terhingga untuk Ari dan ketelatenannya dalam menuntun dan menjadi pegangan. 
Waktu tidak hanya membawa daratan baru, tapi juga menepikan si pemenang kembali ke daratan. Ya, dia kembali dengan segala cerita penuh kemenangannya. Ada serpihan nyeri yang terkadang menghadang di tengah-tengah percakapan. Ada serpihan duka yang tak pernah mau keluar meski beribu air mata jatuh keluar. Kepadanya ingin rasanya kuteriakkan kalimat-kalimat tak sopan, tentang bagaimana seharusnya dia tidak kembali datang, tentang bagaimana telah kukerahkan segala upaya untuk mematikan kuncup di dalam hatiku, tentang bagaimana harusnya cerita si pemenang tak pernah sampai di telingaku. Karena bagaimanapun terbiasanya seekor cicak menjadi ladang pahala, tapi membuat diri sendiri sengaja nampak di depan manusia agar bisa dengan mudah di buru dan di matikan merupakan kebodohan semata. Dan melalui tulisan ini keresahan itu ingin kuentaskan. 

Kepadamu jawaban ini ingin kusampaikan, nama yang menyandang kata pemenang. Keikhlasan tidak pernah menemui tanggal kadaluarsanya. Meski dia harus berkali-kali di coba dengan luka baru dan lebih segar ketimbang goresan sebelumnya. Keikhlasan ada lebih kuat daripada yang di perlihatkan. Tak memilih menyerah pada waktu, alalagi pada cerita buntu. Dan meski namamu pernah bertengger di sana sebagai sahabat bahkan saudara, tapi ikatan di antara kita tidak bisa lagi sama. Bukan karena aku masih menyimpan rasa, tapi di antara aku, dirimu dan Re memang memiliki luka lama yang kita semua saling mengetahuinya. Aku sembuh tapi entah dengan dirimu, entah dengan Re. Mungkin efek samping sebagai pemenang justru lebih komplit ketimbang si pihak kalah, beban yang harus di pikul lebih berbobot juga. Tolong jangan lukai dirimu dengan mendekatiku. Aku sembuh tapi namaku menyimpan belati yang mungkin bisa merobek pertahanan bebanmu sebagai pemenang. Mari kita mencari jalan aman untuk tidak lagi saling beririsan, demi kesembuhan bersama atau setidaknya demi mengukuhkan  kesembuhan milikku agar tidak tergoyahkan. Tolong, dan sekian. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar