Sabtu, 31 Desember 2016

Catatan Pembuka

Keresahan kali ini, berangkat ketika langit mulai teracuni aroma kembang api. Disaat gegap gempita lautan manusia mulai teraktifkan dibeberapa sudut kota. Dan satu-satunya hal yang menarik minatku hanyalah memandangi Hara. Seonggok nyawa yang dalam tiga bulan kedatangannya berangsur namun pasti mulai menancapkan karisma dan juga pesona magic nya. Matanya terkatup rapat, memeluk gelap yang hadir bersama semangkuk kantuk tak tertahankan. Milikku yang menenangkan. Dulu aku berniat menamainya Zarah Amala. Si partikel cinta. Tapi ternyata Ari tak begitu setuju dengan nama itu, ia berpikir nama Zarah akan sulit bergulir dilidah-lidah manusia yang telah kenyang memakan zaman. Sementara si terpilih Hara, diharapkan bisa meluncur indah tak hanya dilidah para sesepuh tapi juga anak sebaya. Dan si Hawa, si Hala, adalah pemenang yang bertengger dilidah anak-anak kecil disekitaran. Kedatangan Hara sebegitu mengejutkannya, kendati telah kukandung ia selama sekian puluh minggu. Dalam paragraf yang telah lalu telah kurangkum sejumput paragraf untuk menyambut Hara. Dalam paragraf yang lain pula pernah kusajikan doa dalam sepiring kata. Aku tak pernah seserius itu dalam menyambut sebuah datang. Hingga harapan dan khayalpun tak berani berkunjung bahkan hingga hari kesekian. Hara adalah yang terpilih, dan bukan sebuah akhir dari adanya begitu banyak pilihan. Dulu aku begitu takut membekalinya dengan doa, aku takut harapanku membebani langkahnya. Aku takut doaku menjadi sebuah mantra yang kelak menjadi tipe-x bagi takdir murninya. Aku tak mau menjadi si pengacau.
.
.
.
Sekarang semua ketakutan itu berubah menjadi cemas, aku mulai mencemaskan bagaimana jika binar retinanya akan meredup ketika harus menyadari luasnya ruang. Aku mulai mencemaskan bagaimana jika sinar keemasan yang membungkus tubuhnya terganti dengan cahaya karmik dan melunturkan pesonanya. Aku mencemaskan bagaimana jika tapak mungilnya tak sanggup melangkah menuju pintu kesadaran, aku mencemaskan bagaimana jika jemari cantiknya tak sanggup mengetuki banyak jiwa dan nama. Ya! Aku masih menyimpan secuil ambisi agar kelak Hara menjadi sepertiku, bahkan lebih. Kubebaskan ia dari segala jalanan menuju puji dan puja. Kubebaskan ia dari tugasnya merangkul kedamaian keluarga maupun dunia. Kubebaskan ia dari segala ciri yang disematkan dalam namanya oleh Ari. Aku hanya ingin Hara bisa mewarisi setidaknya jiwa pujanggaku. Menulis memang bukan ladang yang darinya bisa diraup emas dan uang. Menulis adalah pekerjaan yang darinya diperlukan kejujuran dasar, dan sebuah sadar. Dan jika memang jemarinya tidak terlalu telaten untuk mempreteli hujannya imaji menjadi paragraf-paragraf bernama, maka tak apa. Melihatnya hadir dan tumbuh pun telah menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagiku. Aku dan Ari benaran telah sukses menciptakan sebuah kolaborasi. Seorang gadis mungil bermata bulat dengan lingkar pupil coklat menggemaskan, dengan pipi seharum bakpau hangat, dengan senyum semanis bongkahan gula batu yang mencair didasar poci, dan..entah keajaiban apalagi yang menyertai kedatangannya didunia ini. Hara begitu menyempurnakan sepiring hidup milikku yang begitu polos tanpa siraman kuah saus atau lelehan mentega. Milikku yang menenangkan.
.
.
.
Dulu aku pernah memiliki stigma bahwa peri, dimanapun mereka eksis yang terpancang diingatan adalah tentang makhluk menyala dengan rambut terguyur sinar bohlam, raut dengan kecantikan dan ketampanan yang tak terbantahkan dan telinga runcing. Peri adalah yang seperti itu. Hingga kemudian Ari menuntunku memahami bahwa peri tak selalu bertelinga runcing, tak selalu harus memancarkan cahaya dari tubuhnya. Ari mengajariku bahwa peri dapat hidup dengan format apa saja, termasuk berujud seperti Hara salah satunya. Jika kalian belum mengalami proses pengibuan, kata-kata diatas akan terdengar seperti banyolan semata. Tapi bagiku itu memang nyata dan benar adanya. Aku yang awalnya terpesona dengan keberadaan peri, begitu terkagum dengan kedatangan Hara. Mereka persis sama. Menyihirku dalam setiap gerak-geriknya. Dari sudut manapun mataku menemukan mereka, yang terpotret dibenak adalah sebongkah kagum tentang betapa artistik keduanya. Mereka persis sama, menyimpan bongkahan emas ditubuhnya, hingga apapun yang terucap dari mulutnya, apapun yang memancar dari helai rambutnya, semua terlihat mempesona. Benar-benar milikku yang menakjubkan.
.
Kecemasan-kecemasan yang pernah kuutarakan tak akan sebanding dengan syukur yang hendak aku ucapkan. Dimalam pergantian tahun ini, dimana hampir semua manusia menumpahkan diri dalam euforia bertema menyala, dan satu-satunya hal yang menarik perhatianku hanyalah memandangi Hara. Keresahan ini tersampaikan dalam ujud syukur yang tak terukur. Dan bahkan dalam momen sebesar pergantian tahun pun aku masih belum bisa memutuskan apapun, harapan dan doa apa kiranya yang akan kubebankan kepada Hara. Karena satu-satunya kata yang pernah kubisikkan ditelinganya adalah pengakuan bahwa aku dan Ari sangat menyayanginya. Itu saja.

Selasa, 20 Desember 2016

Menyala Dan Bahagia

Sebelas, tiga belas, tujuh belas. Dan aku tidak tahu jika Tuhan merancangku untuk bisa menyala diumurku yang ke duapuluh sekian. Semua perjalanan, semua kegagalan terpahami ketika aku mulai menginjak kepala dua. Sekalipun saat itu aku masihlah manusia awam mengenai pemahaman tentang kata cinta, sekalipun saat itu untuk pertama kalinya aku mengenal adanya kekasih dari sosok setengah nyata bernama idola.
.
Setiap sesi kehidupan ini menghadirkan sendiri pelajaran yang sangat berarti. Aku pernah tersesat, mendewakan begitu tinggi pada beberapa sosok bernama manusia, tanpa sadar jika perbedaanku dan mereka hanyalah ada pada segumpal otak dan hati yang tersemat didalam masing-masing raga. Aku terlalu malu untuk mengakui diri bahwa aku tersesat saat itu, aku terlalu nyaman menduduki bangku tahtaku dan mengakui bahwa itu bukanlah jabatan yang benar. Dengan berbagai trik dan tipudaya aku berhasil menyingkir dari jalanan yang saat itu terlihat mulus dan tanpa hambatan. Mulai mengakui diri bahwa aku kalah dan inilah saat yang tepat untuk mengalah. Detik pertama ketika akhirnya cahaya itu menunjukkan kekuatan terpendamnya. Aku menyala ditengah keterpurukan. Cahayaku menyiramkan sinarnya tepat ketika aku membutuhkan bimbingan, jalan terang dan tiang untuk berpegang.
Aku pernah hancur. Beberapa nama mengagungkanku dan menempatkannya pada baki termahal yang pernah ada. Menghadiahiku dengan berbagai macam senyum yang kesemuanya berpotensi mengakibatkan diabetes. Lalu kemudian dengan senyum yang sama nama-nama itu mulai meremukkanku sekali jadi. Tak ada kata permisi, ataupun salam basa-basi. Semua lara tercipta begitu saja tanpa ada resep istimewa sekalipun sakitnya harus mendera dan mengendap sekian tahun lamanya. Hari itu aku percaya, tidak segala keindahan dirancang untuk menimbulkan kebahagiaan. Pada beberapa nama, keindahan bisa dijadikan alat untuk menelanjangi lalu meremukkan tanpa salam permisi sebelumnya. Senyum dan tutur dari nama-nama itu tak terkecuali, kesuksesan mereka membuatku menjadi kepingan adalah awal dari sebuah sadar. Sadar yang lalu menekan sendiri tombol aktif untuk kebangkitan sebuah masa pembelajaran. Aku kembali menyala sekalipun sinarnya harus berserak menjadi remah dan kepingan. Sinarku merebak seluas bintang yang menyeraki langit hitam dimusim kemarau. Perjalanan untuk langkahku yang paling awal ternyata memaksaku berpikir ulang. Gelap yang menyapa diujung pintu adalah pertanda, bahwa didepan sana tidak ada keabadian bagi petir dan hujan yang hendak menjegal dan menyapa. Aku terkenyangkan oleh tangis dan pembelajaran.
Selain tersesat dan hancur, akupun pernah merasai yang namanya jatuh kepada cinta. Dan sesi kehidupan satu itu tak luput dari kata pembelajaran juga. Hal yang kusangkakan berisi gumpalan putih, bersih semacam kapas ternyata menyimpan juga sisi kelam. Sayangnya kali itu aku tak bisa menyalahkan. Sang Kuasa adalah pemegang kontrak untuk sesi jatuhku saat itu. Sekalipun aku menduka, lara, bahkan hancur sekalipun. Aku tidak berhak menyalahkan. Aku jatuh pada cinta yang seharusnya. Tapi ketika objek dari cinta itu mendadak harus pulang aku kelimpungan untuk mencari pegangan, cintaku tergantung diplafon kamar, cintaku terpantul tembok dan tak bisa tersampaikan. Sekalipun berat, harus diakui saat itu tak ada pilihan lain bagiku selain kembali bangkit dan menyala.
.
.
.
Dari semua kegagalan yang berhasil membuatku menyala.. tersesat, hancur dan jatuh cinta adalah tiga hal paling dominan ketimbang remah lainnya. Hati dan pikiran manusia dirancang untuk hancur dan kecewa. Karena diantara keduanya tercipta tangga bernama harapan yang konon juga adalah tiket menuju keajaiban. Harapan, sesuatu yang membuat manusia begitu mendamba sebelum akhirnya jatuh gila.
.
Aku lebih menyukai bagaimana Tuhan menyetelku untuk bisa merasakan bahagia dan menyala sekaligus diumur duapuluh sekian. Jika aku terlebih dulu disodori kebahagiaan ketimbang kemampuan untuk menyala, mungkin yang terjadi sekarang adalah aku tengah menggumami kata sesal. Sebaliknya jika aku menyala terlampau awal disaat bahagia adalah hanya sejenis mitos semata. Maka yang terjadi selanjutnya adalah kegilaan dan krisis rasa percaya pada makna keajaiban.
.
Tidak ada yang lebih kusyukuri keberadaannya didunia ini ketimbang kenyataan bahwa kemampuanku untuk menyala datang bersamaan dengan kemampuanku untuk mendeteksi sinyal tentang lahirnya sebuah kebahagiaan. Dominasi antar keduanya mungkin berbeda. Tapi keduanya pun memiliki ruang dengan sekat diantara masing-masing. Tak ada cahaya yang telat untuk menyala. Tak ada bahagia yang datang terlambat kepada pemiliknya. Dan duapuluh adalah awal untukku memeluk keduanya. Terimakasih Tuhan. Terimakasih alam. Terimakasih waktu karena telah mempertemukan. Bagiku, kemampuan untuk menyala dan datangnya bahagia tak ubahnya seperti kisah kasih Rama dan Sinta. Ketepatan yang sempurna. Memancarkan energi nyata ketika keduanya berjabat dan berangkulan bersama.

Minggu, 18 Desember 2016

Membakar Hujan

Waktu sanggup merubah segalanya. Dan kini aku percaya.
.
.
.
Hujan tak pernah datang semesra sore ini, dikala semburat oranye diufuk barat mulai bersiap menunjukkan diri, tetes-tetes hujan yang menimpa atap rumah menjadi melodi pembuka yang teramat pas. Aku sekarang menyukai hujan. Ari memanusiakan rintik besar-besar itu lebih dari sewajarnya. Ketika dulu hujan menawarkanku bangku bersalju, maka sekarang hujan menghadiahiku sepotong kerinduan dengan nama Ari didalamnya.
.
Lagi-lagi aku merasa hujan tak pernah semesra yang turun pada sore menjelang petang ini. Dalam balutan rinainya yang saling berbaris rapi, aku merasakan kehangatan bak sepasang kaus kaki. Dalam rintik besar-besar yang datang keroyokan, aku melihat tangan besar kasat mata menggapit tubuh kecil ini sebelum akhirnya menceburkannya pada segentong besar perasaan iri. Rasa iri pada banyaknya pohon bambu yang saling meneteskan peluh ketika petir melewati sela-sela pucuk daunnya. Rasa iri pada sehelai daun bayam yang rela menundukkan diri demi bisa memeluk batang pohon yang terciprat tetesan air hujan. Rasa iri pada dua kilat yang menyempatkan diri untuk bergumul dibalik awan hitam sebelum turun menyambar. Rasa iri bahkan pada rintik yang saling berkejaran sebelum akhirnya melumer dalam lautan kebahagiaan. Aku rindu Ari dengan kekuatannya memanusiakan hujan.
.
.
Jika saja petang ini Ari berada dalam jangkauan, niscaya sepasang kaus kaki bermanik kepala beruang itu tak lagi dibutuhkan. Dalam rengkuhannya, kami berdua akan membakar hujan dan menyulapnya menjadi entakan ranjang. Selain memiliki kekuatan memanusiakan hujan, Ari juga menyimpan kekuatan mendatangkan tsunami. Badai yang diracik perlahan melalui sentuhan dan tiupan ringan sungguh sanggup menimbulkan lengsernya lempengan iman. Ari tahu betul kapan saat yang tepat untuk surut, menerjang dan menyemburkan hingga tertinggi air dalam luapan. Seringnya aku hanya bisa pasrah. Merelakan diri ditelan air tsunaminya, merelakan diri dihempaskan oleh tinggi dan kuat inginnya. Membiarkan hujan mengiringi dan menyirami lagi dataran yang tengah terengah dilanda hasrat yang rindu untuk mampir ke daratan.
.
Andai petang ini Ari berada dalam dekapan, niscaya segentong iri tak akan eksis di paragraf ini. Yang ada hanyalah alam yang tunduk khidmat menyalami aku dan Ari karena perasaan takjubnya akan kekuatan kami berdua dalam membakar hujan. Andai petang ini Ari berada dalam jangkauan, niscaya daun bayam akan tersipu malu mendengar kecipak air hujan yang turun sebelum tanah sempat membasahi diri. Niscaya pucuk-pucuk daun bambu akan rela memayungi petir dan menyabotase tujuan kehadirannya, memelintirkan fungsinya menjadi nyanyian indah yang hanya akan didengar oleh telinga-telinga yang tengah berbahagia. Niscaya kilat-kilat akan saling menyambarkan diri diatas sana, menjadikannya semacam kembang api dengan awan hitamnya sebagai latar belakang.
.
.
Ari membuatku mendekap rindu pada hujan petang ini, membuat rintik-rintiknya terdengar semesra bisikan-bisikan khas ketika tengah bercinta. Ari memanusiakan hujan dengan sangat tepatnya, hingga lupa didalam diri manusia terdapat sisi hewani yang suatu saat butuh untuk ditaklukkan. Milikku tak terkecuali. Sentuhan itu, bisikan itu, dan dekapan itu seakan semuanya adalah ornamen-ornamen yang sangat pas jika dipasangkan pada sepotong hujan. Badai tsunami tak pernah dipuja dan diinginkan sebelum Ari datang dan menghendakinya demikian. Badai tsunami petang ini tidak akan datang, hanya kerapnya rintik hujan yang memboyong kerinduan. Dan Ari tak pernah tahu dirinya semenakjubkan awan hitam, bagi manusia lain mendung berati saatnya bersiap membentengi diri dari hujan yang membanjur, bagiku awan hitam pertanda kebahagiaan yang tengah dalam perjalanan, kilat dan petir adalah bak tanda peringatan bahwa pesawat tengah lepas landas dan hanya tinggal menunggu hitungan sebelum akhirnya bersentuhan dengan pesawat itu, si hujan.
.
.
.
Dan kini aku percaya, waktu dapat merubah segalanya. Tubuhku yang dulu selalu menggigil ketika tertimpa butiran air hujan, kini justru menunjukkan kesediaan dan kerelaannya untuk diterjang. Sendi yang dulu selalu meradang kedinginan disaat awan hitam usai menuntaskan bebannya, kini selalu siaga dengan adanya lonjakan-lonjakan dari beban yang diangkut aliran darah. Jantungku tak pernah sesigap ini menerima tamu agung bernama kerinduan. Sepotong rasa yang selalu hadir dibawa oleh rintik hujan. Dan lagi-lagi Ari tak pernah tahu bahwa dirinya semenarik awan hitam. Membuatku bersiap, berpraduga dan jika memungkinkan menyiapkan payung agar tak kehujanan.
.
.
Hujan tak pernah semesra sore ini, rangkaian melodi yang mengalun dari pengeras suara tak sanggup menandingi nikmatnya perasaan ini. Kerinduan akan adanya rengkuhan, bisikan-bisikan ringan, dan akan datangnya badai tsunami yang Ari ciptakan. Ah..andai alam tahu, kekasihku berpotensi menjadi alat yang sanggup mendeteksi akan datangnya bencana menyenangkan.

Kamis, 15 Desember 2016

Aku, Manusia Dan Malam

Hujan membuat sore datang lebih cepat hari ini. Aroma tanah yang masih membumbung semakin tergilas tergantikan oleh bau petang. Setelah seharian membungkus tubuh kecil ini dengan sehelai daun, membuatku semakin terasa nyaman. Jangan kira kaum nyamuk sepertiku tidak pernah merasakan sakit, demam yang menjelangku semenjak malam kemarin adalah salah satu contohnya. Semua kaki dan tanganku masih lincah bergerak tapi perut juga kepalaku memberikan sinyal tanda tak sehat. Ibuku bilang mungkin karena jiwa manusia yang kucucus darahnya kemarin itu sedang dalam keadaan tidak stabil. Entah penjelasan medis apa yang bisa menjelaskan relasi antara antara demam dan jiwa labil. Tapi aku percaya, karena sungguh sekian lama hidup tak ada yang bisa mengukuhkan tentang adanya kebenaran perkataan selain yang keluar dari mulut Ibu. Bagiku Ibu adalah semacam dewa. Setiap perkataannya adalah titah sekaligus hal yang tak patut untuk diragukan kebenarannya. Sekalipun penjelasan tentang alasan demamku sedikit terasa konyol tapi aku hanya bisa percaya. Lagipula..untuk apa mempertanyakan hal yang sudah lewat ? Dan juga, aku sudah sembuh hari ini. Kalau saja bukan karena kebutuhan, aku tidak ingin bangun hingga pagi menyapa. Perutku menunjukkan tanda protesnya, seharian menahan beratnya kelopak mata membuatku lupa untuk mencucus tubuh manusia. Dan petang ini, aku ingin berburu.
.
.
Hujan masih menyisakan riaknya, sementara petang kian meluaskan taburan jaring gelapnya. Hewan malam mulai membunyikan alarm masing-masing. Semoga masih ada manusia yang mau keluar dari hunian dalam cuaca yang seperti ini. Ketika sore datang, kaum manusia akan dengan sigap mengunci diri mereka dalam benteng pertahanan. Semua jendela dan pintu tertutup rapat-rapat. Mengantisipasi kedatangan kaumku yang selalunya kian merebak ketika malam menjelang. Manusia ternyata tidak setangguh dan sebesar badannya. Demi menghindari kaumku yang besarnya saja hanya sekitaran besar upil manusia, mereka mempertaruhkan segalanya. Memblokir semua akses agar tak bersentuhan dengan udara luar, tanpa tahu jika malam kian menebarkan pesona jika dinikmati dalam keadaan remang. Manusia menempatkanku dan kaumku menjadi semacam bahaya terburuk sepanjang masa.
.
.
.
Mataku berhenti mencari ketika indra penciumku mendapati adanya aroma manusia. Ada yang lain dari manusia satu ini, darahnya tercium begitu manis. Bebauan wangi yang menyelimuti hampir seluruh tubuhnya tak menutupi aroma manis yang kian terkuar. Aku harus mendapatkan mangsa. Perutku tak lagi mau mendengar kata menunggu.
.
Benar saja, ketika selesai mengisi penuh perut kecilku, aku merasakan dahaga yang melumer oleh siraman air gula. Darah manusia satu ini begitu manis. Ataukah karena demam lusa yang menyebabkan minum darah kali ini begitu istimewa ? Tak jadi soal apapun itu, yang jelas perutku telah terkenyangkan.
.
Ibuku selalu berkata aroma angin malam akan membangkitkan rasa lapar berlipat dari waktu siang, itulah kenapa kaum nyamuk disarankan untuk mengistirahatkan badan ketika pagi datang.
Aku harap manusia tidak mengetahui titik lemah kaumku, ataupun membaca ceritaku ini. Karena bagaimanapun, otak manusia tercipta dengan segala kerumitannya. Memahami sedangkal pemikiran kami akan menjadi hal yang sangat sulit. Tidak diragukan lagi, meski pernah terbesit sebuah ingin tapi nyamuk dan manusia memang tertakdir sebagai musuh alami. Dan bagiku pribadi, ini adalah jenis permusuhan paling elegan yang pernah ada. Kendati api yang membara dipikiran manusia kuyakini sanggup membakar sebuah bangunan sekalipun. Entah kenapa manusia gemar sekali menumpuk dendam, menjadikannya bak bejana kristal yang harus disimpan baik-baik dan penuh perhitungan. Menjadikan dendam sebagai bom waktu yang suatu saat nanti bisa saja justru menghabisi pemiliknya sendiri.
.
.
.
Tidak perlu mencela, tidak perlu meributkan apapun kebiasaan buruk makhluk hampir sempurna itu. Toh hubungan kami berdua tak mungkin akan beranjak kemana-mana. Selamanya manusia dan nyamuk akan menjadi patner yang hanya menguntungkan dari satu sisi saja. Seberapa kuatpun keinginanku untuk menjabat tangan manusia tak akan berhasil tanpa lebih dulu sesuatu merelakan nyawa. Nyawa kaumku. Seberapa tak menyenangkanpun perlakuan manusia terhadapku dan keluarga, aku hanya bisa melihat, memaklumi dan mengacuhkannya. Bangsa nyamuk tak memiliki hasrat untuk mendendam, aku sendiri lebih memikirkan keberlangsungan hidup anak cucuku kelak ketimbang menjunjung tinggi ego permusuhan.
.
.
.
Tak ada yang mengganjal, tak ada batu rintangan. Hidup dan pola pikir kaum nyamuk semulus dan sepolos dua mangsa tanpa busana yang sering kutemukan tengah bergulat vertikal ditengah rerimbunan diwaktu malam. Entah apapun yang tengah mereka lakukan, yang terlihat dimataku hanyalah makanan dan makanan. Manusiakah mereka ? Bukankah kaumnya selalu takut dengan kegelapan dan selalu menghindar ? Apapun itu, yang jelas aku selalu berbahagia untuk manusia yang rela memoloskan tubuh ditengah remang untuk kami makan.

Rabu, 14 Desember 2016

Salahkan Saja Alam

Pertengahan tahun lalu, tepatnya bulan keempat di tanggal yang masih terhitung muda, aku terlahir. Seluruh anggota keluarga bersorak suka cita merayakan kedatanganku. Sekalipun aku bukanlah anggota pertama yang lahir di musim penghujan saat itu, tapi kehadiranku benaran sangat dinantikan..oleh teman-temanku tak terkecuali. Sore itu tengah hujan rintik-rintik, hal pertama yang kulihat ketika perdana aku membuka mata. Butiran kecil-kecil hujan menjatuhi genangan air keruh yang juga merupakan hunianku selama menjadi embrio. Sungguh. Tak ada alunan yang lebih mesra ketimbang suara kecipak butiran kristal air hujan yang jatuh perlahan, dan penuh hitungan.
.
.
.
.
.
Aku adalah sejenis nyamuk. Yang hidup embrionya tergantung pada adanya genangan air. Dan musim penghujan kali ini adalah masaku untuk melihat dunia dan tumbuh menjadi nyamuk dewasa. Tolong jangan deskriminasikan aku beserta kawananku. Kami juga adalah salah satu makhluk Tuhan. Sama seperti halnya keberadaan ayam, kucing, dan tikus got sekalipun. Ini mungkin perlu diperjelas, karena setelah sekian bulan melihat dunia aku dipertontonkan banyak sekali pertunjukan. Aku melihat sekumpulan cicak yang saling berebut serangga lewat, aku mendengar keluhan para ayam yang dianak tirikan oleh pemiliknya, lalu anjing-anjing didalam kandang itu, mereka sangatlah sombong..merasa dirinya raja hanya karena segala kebutuhan hingga kotorannya selalu diurus oleh manusia. Kupu-kupu adalah sahabat favoritku. Mereka cantik dan sangat menyenangkan, sekalipun memiliki sayap indah dan sanggup berkeliling kemanapun mereka suka, tidak lantas menjadikan kupu-kupu sombong. Seringnya mereka menunjukkan padaku dimana tempat yang nyaman untuk melepaskan penat, sementara aku..dengan kemampuanku mengendus lebih intens untuk setiap hal membantu para kupu-kupu menemukan dimana kiranya lokasi yang pas untuk mencari makanan sehat nan lezat. Dalam waktu hidupku yang baru sekian bulan, diantara berbagai macam makhluk Tuhan..hanya manusialah yang begitu menarik perhatian dan juga bahaya terbesarku. Sudah merupakan hukum alam jika pasokan makananku adalah berasal dari darah manusia. Seperti tikus sawah yang sekalipun menghindar pada akhirnya akan rela dirinya dijadikan santapan ular, seperti para ayam yang sesekali menangkapi cacing tanah dan menjadikannya kudapan. Bukankah hal yang wajar jika aku gemar mengikuti kemanapun perginya manusia dan mencucus darah mereka segelembung perutku saja. Aku bukanlah makhluk rakus, kawananku terbiasa mengenyangkan perut hanya dua kali dalam sehari. Tapi manusia sepertinya menaruh dendam membara terhadap kaum nyamuk. Wahai manusia, ketahuilah jika dalam satu kali saja masa bertelur satu nyamuk betina, maka akan menghasilkan ratusan ekor embrio yang siap terlahir menjadi nyamuk dewasa. Wajar jika dalam hitungan menit kalian sanggup mendapati sekian bentol di kaki, tangan, dan wajah. Itu bukan perbuatan satu nyamuk saja. Ada milyaran kami yang hidup didunia ini. Perbandingannya akan begitu timpang jika dibandingkan dengan keberadaan kalian para manusia. Seperti membandingkan besarnya telur ayam raksasa dan telur cicak. Lalu kenapa kalian menaruh dendam ? Aku tidak bisa menghentikan kaumku untuk menyesap darah kalian, karena memang alam telah menggariskan darah kalian sebagai makanan pokok kami. Salahkan saja alam, yang membuat kaumku berlipat lebih banyak dari kalian. Salahkan saja alam, yang membuat instingku mendeteksi darah manusia sebagai jenis makanan. Salahkan saja alam.
.
Aku tidak tahu jika mungkin leluhurku pun terlahir dengan harapan seperti aku, sanggup berdamai dengan manusia. Makhluk yang konon memiliki ujud paling mendekati sempurna dibandingkan aku, ayam, anjing atau apapun makhluk ciptaan Yang Kuasa. Tidak bisakah mereka menerima keberadaanku seperti halnya cacing dan ayam yang terkadang saling bersenda gurau sebelum akhirnya si cacing dijadikan santapan ? Tidak bisakah manusia merelakan secucus saja darahnya untuk keberlangsungan hidupku dan juga kaumku ? Tanpa memendam dendam berkepanjangan ? Sungguh aku rela meregang nyawa dalam sekali saja tepukan gemas tangan manusia, jika ia juga merelakan perutku terkenyangkan namun bukan dengan paksaan, bukan dengan caraku yang harus mengendap lalu mencuri tanpa permisi, bukan dengan caraku yang harus menunggu mereka lengah lalu terlelap tak sadarkan diri. Sungguh aku ingin menjadi nyamuk yang memiliki harga diri. Jika saja manusia memang memiliki martabat seperti yang seharusnya. Jika saja manusia sadar bahwa dirinya berkasta lebih tinggi daripada kaumku, ayam atau makhluk melata lainnya. Tapi sayang seribu sayang, itu hanyalah angan. Perihal nyamuk yang dapat berteman dengan manusia hanyalah mitos semata. Manusia dalam ujudnya yang konon hampir sempurna justru menempatkan diri menjadi malaikat pencabut nyawa yang tak memiliki adanya rasa kemanusiaan, empati atau sekedar kasihan. Kaum malang. Sungguh kaum yang sangat malang.

Rabu, 07 Desember 2016

Perjalanan Si Patner Cacing Tanah

Perjalanan baru telah lama dimulai, detak yang terekam oleh alat medis adalah peluit tanda kami harus mulai melangkah. Ya, ini adalah sepenggal cerita tentang aku dan Ari. Duo patner ranjang yang baru saja sukses merampungkan misi menciptakan manusia baru. Kami menamainya Hara. Entah apapun arti kata satu itu, yang jelas bukan untaian mutiara seperti yang selama ini selalu Ari coba jelaskan ketika ada saudara-saudara yang bertanya tentang makna dari nama Hara. Aku lebih suka menjelaskannya sebagai teman cacing, karena keduanya memang sama-sama berhubungan erat dengan tanah. Hara sebagai unsur pembentuk sementara cacing bertugas sebagai si penggembur.
.
Hara adalah duplikat, karena 70 porsen sketsa rautnya adalah milik Ari. Entah celah sebelah mana dari wajahnya yang menunjukkan bahwa aku juga berpartisipasi sebagai pembuatnya. Dan mata Hara, begitu indah. Aku yakin cekungan berisi bulatan retina itu menuruni sepenuhnya gen milikku. Dengan dua pipi yang bersaing ketat dengan kenyalnya bakpau lengkap dengan kepulan asap pertanda baru keluar dari tempat kukusnya. Benar-benar duplikat yang tidak mengecewakan. Terkadang jika Ari tengah berada jauh dariku, bahkan masih bisa kulihat dirinya ada pada wajah mungil Hara. Napas pemilik dua bakpau hangat itu begitu wangi, dengan bibir yang hadir seada-adanya, aku sempat curiga kenapa Hara memiliki bibir yang begitu tipis, karena jelas itu bukan jenis milikku atau milik Ari, sementara aku dengan sangat yakin berani bersumpah bahwa Arilah satu-satunya penyumbang sperma pembentuk Hara.
.
.
.
Perjalanan baru ini mulai menebarkan pesonanya. Ari sempat tertangkap mata tengah berkaca-kaca ketika kemarin harus berpamitan untuk berangkat kerja. Sementara aku, jauh dari Hara jelas-jelas menimbulkan kegelisahan tak terduga. Satu jam, dua jam adalah waktu terlama aku jauh dari duplikat Ari itu. Dan ya, aku hampir menangis karenanya. Kecemasan yang mampir sungguh mencapai titik hampir maksimal saat itu, dua jam yang membuatku linglung tentang apa yang harus dan apa yang tengah aku lakukan. Sesuatu jelas sekali telah mencongkel kelengkapan diriku. Dan ketika kudapati lagi Hara dalam pelukan, aku tau apa yang telah hilang. Aku tengah memeluk sebuah dunia.
.
.
Di awal perjalanan komitmenku dengan Ari, banyak kujelaskan padanya bahwa aku kemungkinan tidak berbakat menjadi seorang ibu. Aku bahkan sempat curiga jika Tuhan mungkin lupa telah menempatkan jiwa kebapakan padaku ketika dulu tengah menciptakan aku. Jika status perempuan saja masih kuragukan bagaimana bisa aku mengalami proses melahirkan ? Menyusui dan menggendong bayi ? Mungkinkah ? Lalu keajaiban itu ada. Kedatangan Hara menjungkir balikkan perkiraan gender yang sempat kuragukan itu. Aku benaran perempuan ! Ari tidak salah ketika menyetujuiku menjadi istrinya, kendati memang pernikahan kami awalnya bak lintingan lotre semata. Kedatangan Hara membukakan mata kami, bahwa setelan jas dan kemeja juga gaun putih bermanik banyak yang dikenakan satu setengah tahun lalu bukan ajang potret-potret saja. Pernikahan itu nyata. Senyata aroma pesing yang selalu merembesi celana Hara setiap harinya.
.
.
.
Sekarang aku memiliki dua alasan untuk bisa berbangga kepada dunia. Pertama..aku memiliki Ari, si manusia dengan kesabaran berkekuatan Giga. Kedua..aku memiliki Hara, si bocah kecil yang berhasil meruntuhkan keraguan seluruh umat manusia yang mungkin pernah ikut mempertanyakan gender keperempuanku.
.
Apalagi yang perlu dijelaskan, kelengkapan ini bukan sebuah basa-basi. Kebahagiaan inipun bukan kepura-puraan. Status pernikahan yang masih setengah sadar untuk kuakui sekarang membuahkan hasil. Tidak ada lagi luka menyayat dimasa yang telah datang. Karena sakitnya masa lalu tidak sesakit ketika tengah berbaring diruang melahirkan. Dan Hara adalah sebuah keajaiban. Aku dan Ari telah menciptakan sebuah keajaiban, betapa menakjubkannya perpaduan dua unsur manusia ini B-) dan aku bersyukur Tuhan melancarkan semua perjalanan baru kami.
.
.
Sekarang aku memiliki alasan bahkan sekedar untuk makan. Aku memiliki alasan kenapa harus bangun dipagi hari. Aku memiliki alasan kenapa harus menyiapkan kaleng kosong dan mulai mengisinya dengan koin-koin receh, sesuatu yang dulu kuanggap sampah. Sekarang aku memiliki alasan untuk terus memperbaiki diri. Dan yang terpenting dari semuanya, aku sekarang memiliki alasan untuk terus menulis, terlebih untuk perjalanan ini. Agar kelak Hara melihat bahwa ia adalah ciptaan tanah, agar kelak ia paham bahwa dirinya tak lebih tinggi dari hewan dan tumbuhan, agar kelak dimasa-masa tersulitnya, disaat mata dunia mulai mengerdilkannya maka ia akan melihat bahwa dirinya adalah sebuah keajaiban. Aku ingin membekali anakku dengan kekuatan. Kami ingin membekali Hara dengan sistim imun sekuat seperti yang telah tertanam pada kedua orangtuanya. Semoga.

Rabu, 30 November 2016

Filosofi (maaf) Pakaian Dalam

Makan darah.
Awalnya aku berpikir jika kata itu terlalu keren untuk dijadikan sebuah judul paragraf panjang yang penulisnya sendiri masih bingung apa yang hendak disampaikan. Lalu kemudian hujan yang begitu setia memayungi malam ini tak membiarkan aku berputus asa. Ya. Terkadang, judul itu tidaklah penting. Terlebih tema. Jika kita tidak memiliki ambisi apapun untuk dicapai entah dalam sebuah hubungan, dalam mimpi, atau kehidupan ini sendiri, kenapa kita harus repot-repot memikirkan adanya judul ?
Sebuah hubungan adalah tentang timbal-balik. Ini menurut apa kata pikirku. Jika kita begitu pintar mengapresiasi apa itu arti helaan napas lalu mati rasa untuk bisa sekedar menghargai pasangan, apakah itu berarti mata kita yang buta atau belum terbangun dari tidur panjang ?
Aku tidak sedang mengeluhkan tentang pasanganku atau memilikinya sekalipun. Aku hanya sedang mencoba meraba dimana letak welas asih dan juga kelembutanku yang konon kedua hal itu dianugerahkan dengan porsi lebih kepada seorang wanita. Aku tidak memiliki keluhan apapun tentang pasanganku, dan mungkin dialah yang harusnya memiliki seribu lebih alasan untuk mengoreksi keburukanku. Ada berbagai macam cara untuk menunjukkan permintaan maaf kepada seseorang, termasuk menuliskannya diblog seperti yang tengah kulakukan malam ini. Yang sedihnya, si objek tidak akan membaca ini dan memahami bahwa pasangannya tengah mengulurkan tangan tanda perdamaian. Hanya ada sekian porsen dari begitu banyaknya manusia yang mau iseng-iseng membaca sebuah tulisan panjang dengan judul aneh bukan ? Yang sedihnya lagi, pasanganku tidak seteliti itu untuk mau memahami bahwa istrinya adalah yang seperti ini. Menganggap tulisan lebih bisa mendengarkan ketimbang telinga benaran.
Itulah kenapa aku pernah berpikir ingin menikahi seorang penulis saja. Karena penulis adalah telinga yang baik.

Aku memahami dengan baik apa isi dari kehidupan ini sebaik aku mengenali pakaian dalamku. Aku mendengar yang embun coba sampaikan kepada sinar mentari yang menyirami pagi. Aku melihat warna kumparan apa yang tengah menghubungkan jejaring antar dua manusia. Aku sanggup meraba apa yang orang lain sebut itu kasat mata. Tapi aku tidak bisa menambah lebih kesabaran untuk teman berbagi ranjangku sendiri. Aku marah untuk setiap hal kecil, bahkan untuk setiap satu kata yang luput dari ucapannya. Cara pandangku bagaikan pemikiran dewa dimata orang-orang yang memuja. Tapi dalam sekejap aku menjadi api jika itu dengan pasanganku sendiri. Aku begitu khidmat menikmati setiap udara yang mampir kedalam paru melalui lobang hidung. Tapi aku gagal menyalakan tombol sadar jika itu menyangkut teman berbagi piring makanku sendiri. Aku tak memiliki ambisi apapun untuk dikejar, tapi kepadanya..selalu kulimpahkan banyak angan dan harapan yang mungkin lebih memusingkan ketimbang mengurus hutang piutang. Aku selalu gagal menjadi dewa didepan pasanganku sendiri. Aku adalah itik yang terus memburuk rupakan diri sendiri sejalan dengan bertambahnya usia menua hubungan ini. Jika memungkinkan, aku ingin pasanganku mengetahui ini, dan memaafkan untuk setiap perkataan yang menyobek dinding hatinya. Aku tidak tau akan sampai kapan bisa menemaninya menapaki bahtera ini. Aku tidak tau sampai umur berapa bisa mengenyangkan perut dan juga hasratnya. Makan darah tidaklah sekeren ketika pertama aku menuliskannya untuk membuka paragraf ini. Makan darah, apapun arti dari kiasan itu tidak lebih bisa menggambarkan tentang drama dua anak manusia berumur jagung ini. Aku ingin bisa memanjangkan lagi letak sabar, sadar dan kendali atas diriku ini. Aku ingin lebih bisa menghargai pasanganku lebih dari kegilaanku untuk mengapresiasi adanya pelajaran disetiap sendi kehidupan ini.
Tak masalah jika hidupku tak berjudul, atau hubungan ini tidak memiliki tema. Kedamaian dan keabadian adalah cita-cita tertinggiku bersamanya selama ini. Jika jalanan yang selama ini selalu berkerikil, atau langkahku terus saja memijak bayang-bayangnya..mohon pemakluman, karena kapal yang tengah kutumpangi baru saja kemarin melepaskan tali tambatnya. Kami butuh lebih dari sekedar makan darah. Kami butuh lebih dari sekedar hantaman karang. Kapal baru dengan kemudi setir yang juga baru, arah yang baru, dan pengajaran yang selalu baru. Karena akhir masih panjang, dan aku bukan lagi berharap pasanganku adalah seorang penulis, aku ingin dia adalah seorang tukang kayu. Yang sanggup membuat kapal dengan tangannya sendiri. Yang mampu memegang kendali dan mengerti dimana letak setiap baut dan kunci. Yang mampu memahami dan memaklumi, bahwasannya dipelayarannya yang diharapkan hanya sekali dalam perjalan hidupnya, ia tengah mengangkut penumpang tidak tahu diri. Rekan berlayarnya adalah perempuan yang tidak sadar bahwa pemikirannya adalah kurcaci ditengah samudra troll gunung, yang selalu beranggapan dirinya adalah pujangga. Perempuan yang tidak kunjung sadar batasan antara arti kata pujangga dan gila hanya setipis pakaian dalam bekas. Sekian.

Jumat, 11 November 2016

Efek Samping Obat Bius

Dulu aku selalu bertanya-tanya, bagaimana cara menjadi seorang kakak yang baik ? Harus menjadi apa aku jika suatu hari nanti aku harus menggantikan keberadaan emak bagi adikku itu ?
Adikku terlahir dengan sedikit celah pada batas normal. Aku selalu berfikir bahwa perlu menambah bubuk ekstra pada setiap segi demi mendampinginya yang entah akan sampai kapan. Aku terus mencari dimana harus menemukan bubuk itu, aku terus bertanya tentang bagaimana cara menjadi kakak yang baik.
.
.
.
.
.
.
Di dunia yang semakin menua ini, aku menemukan banyak kejanggalan. Tentang alam yang mulai memancarkan tatapan sebal, tentang binatang yang mulai mendengus kesal, tentang angin yang mulai berani meninggalkan zona nyaman. Terlalu banyak keganjilan, terlalu banyak pertanyaan dan ketika akhirnya sebuah sadar tersingkap, malang nian, keadaan manusia dunia sudah terlambat untuk diselamatkan.
.
Aku adalah seorang Ibu, gelar yang baru saja kusandang kurang lebih sebulan lalu melalui prosesi yang tak hanya sulit tapi juga tak terbayangkan. Semenjak hari kelahiran, diantara begitu banyak doa manis dan harapan baik yang hilir mudik membanjiri nafas si buah hati, aku justru melenggang sendiri dengan keyakinan dan juga mantra rapalanku. Aku terlalu linglung untuk memahami apa yang mereka doa dan harapkan untuk jiwa yang baru sekian jam menghirup udara bumi. Mereka membebani anakku dengan banyak harapan, sampai aku sendiri bingung doa apa yang harus aku tiupkan ditelinganya. Aku seperti masih dalam masa bius setelah proses melahirkan. Anakku datang dengan begitu tiba-tiba kendati aku mengandung dan merasainya selama 41minggu. Anakku datang dengan segala keterkejutan yang tak terduga. Butuh rasa sakit setara setruman bervolume mega diputing susu untuk menyadarkan bahwa aku telah menjadi seorang Ibu. Butuh tamparan sekeras yang kuterima hari ini untuk menyadarkan bahwa aku telah berekor, dan bukan manusia yang sama seperti yang kalian lihat sebelumnya.
.
Seseorang dengan segala tingkahnya telah menunjukkan sesuatu padaku hari ini, bahwa mungkin tak akan ada kata yang bisa mewakili isi doa dan harapan seorang Ibu. Andai semua kertas dan tinta diseluruh dunia dikumpulkanpun mungkin belum akan cukup untuk menggambarkannya. Karena pada dasarnya, setiap hela dan tarikan napas seorang Ibu tak lain dan tak bukan berisi untaian-untaian mantra. Jampi yang dilafalkan tanpa lagi memandang seperti apa ujud dan cara pengucapannya.
Seseorang itu telah menunjukkan padaku, dimana posisi nyataku hari ini. Obat bius pasca mengejan telah berakhir, dan kini yang tersisa hanya perasaan lega tanpa batas dan juga perasaan khawatir tiada jeda. Bagaimana jika rambut anakku tidak tumbuh setelah diplontos dihari ke 40nya ? Bagaimana jika bentol bekas gigitan nyamuk ditengkuknya mengoreng dan menimbulkan luka ? Bagaimana jika anakku besar dan tumbuh senakal masa kecilku ? Bagaimana jika ia tumbuh dan menjadi sebejat masa remajaku ? Harus kepada siapa aku menyalahkan semua cacat dan mungkin luka yang didapat oleh anakku ? Kepada siapa aku harus mengatakan bahwa sekecil apapun sakit yang dideritanya akan bergiga lipatnya terhadap yang kurasa. Kepada siapa aku harus menunjukkan bahwa kelak aku mungkin akan merasa sakit setara patah hati hanya untuk penolakan dari masakanku dibekal makan siangnya.
.
Aku masih dengan jelas mengingat seberapa keras perjuangan mengeluarkan kepala. Doa manis saja tidak akan cukup untuk menjadi bekalnya, untuk itulah aku membungkus anakku sedari detik ketika air ketuban meleleh dengan segenap nyawa.
.
Aku telah sebulan yang lalu memparaf tanda sah untuk disebut Ibu. Tapi baru hari ini jiwa itu menggeliat dan terbangun dari masa biusnya. Sekalipun aku masih tetap bingung untuk membentuk anakku dengan harapan yang seperti apa, aku berharap kelak ia akan melihat bahwa aku lebih menyayanginya ketimbang aku mengasihi denyut nadiku sendiri. Aku berharap ia akan paham, bahwa segala tindak dan tanduknya dimasa mendatang akan menjadi taruhan bagi kelangsungan hidupku. Tindak baiknya sekecil apapun akan melambungkanku pada titik diatas tinggi dan tingkah buruknya sekecil apapun akan mematah bahkan meremukkan tak hanya hati tapi juga jantungku.
.
.
Pertanyaan itu terjawab sudah. Tentang harus menjadi apa aku kelak untuk menggantikan keberadaan emak bagi adikku. Tidak ada yang bisa memberikan kasih sebesar dan setulus seorang Ibu. Sebesar apapun aku mencobanya.
Dan tentang pertanyaan seperti apa rasanya melahirkan, jika saja ada yang mempertanyakan itu..kuberitahu kalian kawan, pada detik aku tengah menyabung nyawa yang terus berputar didalam kepala adalah tentang sebuah kenapa. Kenapa aku pernah menjadi anak nakal ? Sebesar apa rasa kecewa yang harus kubayar untuk 24 tahun keberadaanku ?

Jumat, 12 Agustus 2016

Si Pengacau Jalan

Ia begitu tampan. Dengan rambutnya yang melebihi rata-rata patokan kaum adam. Bersamaan juga dengannya kulit yang membungkus seputih susu, dan mata itu..sejernih pualam. Entah dengan mantra apa, ia bisa menetaskan benih-benih rasa ketertarikan dan juga..keterikatan. Sekalipun aku sadar. Dan iapun tak menutupi bahwa dirinya bukanlah sejenis manusia yang bernafas dan berjalan.
.
.
.
.
.
Aku tengah dalam perjalanan menuju pulang sore itu. Kegilaanku pada sesuatu yang dulu kunamai cinta memboyong begitu banyak akal dan nalar. Bagaimana tidak, wajahnya begitu menyegarkan, dengan mata yang senantiasa tersenyum menawarkan bangku peristirahatan. Dan lengkung bibir yang tak pernah berhenti untuk terus mengundang, bagaimana mungkin aku tidak jatuh cinta ? Ia memiliki sejuta pesona. Memendam kagum hanya menelurkan kegilaan yang suatu masanya nanti merubah semua menjadi petaka.
.
Aku menamainya si makhluk dua huruf. Pada lalu yang telah lewat pernah kuceritakan pada kalian betapa ia adalah sosok yang sangat mempesona. Aku terjebak pada sorot senyum yang entah kenapa selalu bertengger di kedua pupil matanya. Aku, yang sebelumnya tak pernah merasakan jatuh pada jurang asmara, begitu kelimpungan mencari padanan kata untuk menyelaraskan euforia bahagia yang tengah kurasa hanya karena menatapi rautnya. Aku, yang sebelumnya hanya berjudi dengan dadu mainan, kali ini bertekad mengadunya dengan dadu berornamen unik dan bertahta berlian. Aku siap terjun. Aku siap bertandang. Yang lupa kusiapkan adalah hati untuk melihat kenyataan bahwa medan yang hendak dan siap ku terjuni adalah medan perang. Aku dengan mata butaku tak sempat memikirkan tentang jalan pulang. Kuayunkan segala teknik pemegangan samurai ditangan. Bekalku berhambur manis dilapangan tanpa sempat kusentuh dan kumakan. Pertarungan sengit yang meloloskan sebuah ketulusan. Ya, saat itu aku hanya bisa menarik satu simpul bernama ketulusan. Nama yang kurasa tepat untuk mengobati luka sisa-sisa perang dengan kekalahan ditangan. Aku bertekad akan mengikhlaskan.
.
.
.
Kegilaan menyembunyikan akal dan nalar. Tak pernah kutahu jika sore itu aku akan bisa melukai banyak mata dengan kedahagaan yang tengah kupuaskan. Kegilaan membuat kata ikhlas dan tulus terdengar seperti sampah saja. Aku rela mengantar si makhluk dua nama menapaki jalan terang, meski tak jauh didepan kami ada seseorang dengan tatap terluka yang lebih berhak mengantarnya, kunikmati setiap gelak tawa yang disuguhkannya, aku begitu rakus melahapi senyum yang tersaji bola matanya, menikmati semuanya seakan hanya itulah yang akan berhasil melepas dahaga dan kerontangku, seakan hanya itulah waktu yang kumiliki untuk bisa menikmatinya mengabaikan seseorang terus teriris didepan mataku, seakan hanya namanya yang akan mengenyangkanku. Dan, ujung jalan itupun terlihat, persimpangan terang yang memisahkan juga menyadarkan aku pada kenyataan. Jalan kami berbeda. Ia telah dimiliki. Kami tak digariskan untuk sejalan, bergandengan. Dan satu-satunya hal yang harus kulakukan adalah melambaikan tangan dan mengucap selamat tinggal.
.
.
.
.
.
Aku kembali pada realitaku, menapaki jalan pulang yang sebelumnya tak pernah kutahu dan kusadari akan begitu gelap dan menakutkan. Kenapa ujung persimpangan disana begitu terang ? Kenapa aku harus membalikkan badan sendiri jika tak yakin aku memiliki keberanian ? Tapi lagi-lagi kegilaan menuntunku, meyakinkan bahwa senyumnya sanggup menjadi bekal dan juga teman diperjalanan.
Gelap. Yang kulihat hanya gelap yang membelah disepanjang garis pemakaman. Kenapa berjalan dengannya bisa mengaburkan pandangan ? Bukankah tadi pemakaman itu tidak ada ? Atau, aku yang tak sanggup melihatnya ?
Dengan tekad menipis aku meyakinkan diri akan pulang. Aku bisa pulang. Aku berani pulang.
.
Kabut-kabut membumbung menyimpan mantra, kabut bergumul, menghadang dan
sebelum sempat kusadari, aku telah sengah jalan dalam sebuah tali ketertarikan. Ia begitu tampan, dengan rambutnya yang melebihi patokan rata-rata kaum adam. Bersamaan juga dengannya, kulit yang membungkus seputih susu, dan mata itu..sejernih pualam. Aku marah ketika tangan dinginnya mulai berani menjegal langkahku menuju pulang. Ada kejengkelan yang terasa kental, ketika lagi-lagi ia dalam bahasanya yang tak terucap berani menahanku agar tidak pulang. Ia pikir dirinya itu siapa ? Aku berhak pulang ! Aku tidak sepengecut itu untuk gentar menapaki kegelapan ! Bahkan sekalipun ia mengakui bahwa dirinya bukan dalam jenis manusia dan begitu tampan, aku tidak lantas tertarik dan ingin membelot dari tujuan awal. Aku ingin pulang. Aku ingin pulang. Aku ingin pulang.
.
.
Dalam kejengkelan yang kian meninggi, lamat-lamat aku mulai menyadari sesuatu. Rasa akrab yang sering menghampiri. Sebuah ketertarikan. Pada sosok dingin dan bisu itu ? Yang tak pernah berjalan dengan menyentuhkan kakinya ditanah itu ?
Oh tidak..siapapun tolong aku. Aku harus pulang. Siapapun namamu makhluk tampan, lepaskan aku untuk pulang.

Kamis, 26 Mei 2016

Wasiat Kepagian

Aku tidak pernah berbagi keresahan ini dengan siapapun. Dengan Ari ataupun juga Ibu, seseorang yang bahkan tidak pernah mengetahui keresahan-keresahanku sebelumnya. Tidak ada yang cukup gila untuk bisa mendengarkan kegilaanku sepertinya, jika sudah tak tertahankan lagi, yang bisa kulakukan hanyalah menangis diam-diam atau menulis.
.
Dunia ini, samsara yang sebentar lagi akan ditapaki oleh Alfa ataupun Zarah, atau mugkin keduanya. Terlalu mengerikan dan juga memekakan. Aku takut telinga keduanya tidak sanggup menahan gempuran kasat mata yang keberadaannya telah teraduk sempurna bersama udara. Perlahan, dan secara pasti meracuni hingga sumsum dan sendi. Manusia beralih fungsi menjadi racun berjalan seiring dengan bergantinya jaman. Jangan mengira racun itu berupa seperti bubuk pekat dengan aroma menyengat, sudah kubilang sebelumnya..ia kasat mata. Terasa hadir hanya jika hati terbuka, hanya jika isi kepala mampu bersinkron dengan hati dan melangkah bersama-sama. Kesadaran mutlak. Sesuatu mahal yang ingin ku wariskan kepada anak-anakku bahkan semenjak mereka masih meringkuk dalam kandungan.
.
Tidak ada yang mengerti ini, tapi terkadang satu-satunya hal yang kuinginkan adalah muntah. Dunia ini terlalu sepat untuk sekedar kuresapi udaranya. Kemunafikan, kepura-puraan, keserakahan, kesombongan, dan segala penyakit yang tengah mewabah dewasa ini. Aku tidak ingin muluk-muluk membahas tentang kedamaian dunia, atau tentang lunturnya daratan es di kutub sana. Otakku tidak cukup mampu untuk menggapai keresahan itu, atau mungkin bahasakulah yang mempunyai kendala untuk menerjemahkan bahasa sekarang.
.
Aku tidak percaya pada adanya saudara, seerat dan sekuat ketika aku menaruh pasrah kedua pundak pada orang yang aku pilih. Aku tidak percaya pada uang, aku tidak percaya pada bibir dan juga lidah, aku tidak percaya pada kaki. Aku hanya percaya pada mata. Karena ia akan bercerita lebih jujur ketimbang apapun anggota tubuh yang dimiliki manusia.
Aku melihat senyum menjijikan, aku melihat tawa memuakkan. Mata dan telingaku cukup peka untuk menangkap keganjilan dan kepura-puraan. Mereka berdua tercipta dengan cukup sensitif untuk bisa mendeteksi adanya ganjil yang menyamar dalam kesempurnaan. Untuk inilah aku menangis, kenapa hanya aku yang bisa melihat berbagai macam kebobrokan umat manusia ? Kenapa hanya aku yang disuguhi semua remah-remah tahi dunia ? Dengan apa aku akan membekali anak-anakku nanti agar bisa cukup peka menyadari semua ini ? Bahkan dalam kebenaran pun masih kudapati sesuatu yang meresahi, bahkan dalam ketulusan pun masih kudapati benih-benih racun menyeraki. Karena memang ia tak kasat mata, meramu diri dengan udara sedemikian hebat. Dan apa jadinya manusia jika tidak bernafas ?
.
Ini gila, atau aku yang terlanjur kurang waras. Tak ada yang peduli, aku terlalu nyaman berada dalam kubangan area ini. Aku hanya terlalu takut dengan samsara yang akan ditapaki oleh Alfa, Zarah ataupun keduanya. Aku takut mata mereka tidak cukup peka untuk menangkap setiap geliat pekatyang tengah mendekat, aku takut lidah mereka tidak cukup kuat untuk menangkap getir pahit yang terbungkus tebalnya manis. Aku takut kulit mereka tidak cukup kuat untuk menghalau racun yang memaksa masuk lewat pori dan menerobos nadi. Dengan apa aku harus membekali mereka sebelum akhirnya kaki-kaki mungil itu menapaki sendiri dunia ini ? Aku terlalu gila untuk bisa menjadi ibu bagi mereka. Ari, bisakah kau mendengarku ? Keresahan ini kadang juga tentangmu, tapi mereka..bekal apa yang kau simpan untuk memupuki pertumbuhan mereka sayang ?
.
Aku tidak pernah melakukan tindakan berarti untuk dunia ini, aku tidak pernah menanam pohon untuk masa depan, aku tidak mencoblos dengan benar waktu pemungutan sidik suara. Yang bisa kulakukan dan satu-satunya hanyalah dengan terus belajar sadar, lalu dengan caraku menyemai satu benih pada yang bersedia atau memang ku paksa. Tak ada yang tahan berlama-lama denganku, tak ada yang bisa bertahan dengan semua ocehanku. Keresahan ini telah awalnya hanyalah sebuah sandungan kecil, yang lalu menyuburkan diri melingkupi hati, perlahan merangkak naik kepermukaan, naik dan terus naik ke kerongkongan. Hingga pada satu titik, lidahpun mengelu tak lagi mengerti apa yang harus dibicarakan, mata memburam tak sanggup lagi menahan terjangan ombak dibalik pelupuk. Dan DORRR! balonpun akan memecahkan diri pada masanya.
.
.
Oh samsara, oh udara..persiapkanlah diri kalian untuk menjelang adanya kehadiran. Mereka yang akan datang bukanlah sejenis dengan manusia kebanyakan. Karena mantra yang ku ramu semenjak mereka masih dalam kandungan, telah menyebar sempurna dan tengah dalam proses pemulihan dan pembangunan. Dan betapapun muaknya aku padamu wahai dunia, aku tetap menyelipkan doa untuk masa bersih, masa jernih, masa bangun dan masa sadar para penghuni-penghunimu.

Selasa, 17 Mei 2016

Duka Tanah

Tanah berduka untuk ketidakberdayaan mengangkat mendung yang menaungi seekor cacing dipelukannya.
.
.
.
.
Kata siapa menjadi tempat bernaung adalah sebuah beban ? Tanah menjawab keraguan itu dengan tanpa berpikir lagi, karena memang ia telah membuktikannya. Bagi seluruh penghuni rimba disepucuk daratan nan terasing ini, tanah adalah ibu merangkap ayah yang tak hanya mengemban seberapapun menjulangnya dahan, sekaligus juga menjadi bank bagi pasokan makanan dan minuman mereka. Pohon-pohon dengan lingkar badan mencapai hingga lima pelukan manusia dewasa, sampai jamur dan lumut yang kadang tak tersadari keberadaannya, mereka menjadikan tanah sebagai pembimbing bagi setiap permasalahan rimba yang ada. Untukku tak terkecuali, aku adalah seekor kupu-kupu, saat itu usiaku tergolong muda jika dibandingkan makhluk rimba yang lain. Terlahir dari kepompong yang menggelantung didahan pohon besar ditengah lebatnya rimba, tak lantas menjadikanku kupu-kupu istimewa. Aku tahu, sebagian besar teman-temanku melewati masa kepompongnya dengan bergulung manis dipucuk daun pisang, tumbuh dewasa dengan sayap-sayap cantik berwarna cerah menantang matahari, sedangkan aku..sayapku tak lebih indah dari kulit pohon tua yang mengelupas, belum lagi corak abstrak yang dipilih pencipta menjadikanku kian merasa buruk rupa. Berhari-hari setelah masa lahirku sempurna, yang terus ku lakukan hanyalah diam menempel di atas rerumputan, aku tak sepede teman-temanku berkeliling hutan, warna dan corak sayapku terlalu mencolok untuk tidak ditertawakan. Berdiam adalah cara terbaik untuk mengutuki diri, membiarkan pepohonan riuh bergosip tentang gagak yang pongah, mengacuhkan pula sekumpulan jamur yang tak henti-henti berbisik sembari sesekali melempar tawa ngeri, entah apa yang mereka bicarakan. Aku hanya ingin diam dan menghilang. Terlahirkan hanya memberiku beban, mungkin selamanya menggelantung dalam kepompong lalu mengering dan mati akan lebih baik ketimbang harus melihat alam raya beserta isinya. Saat itu sungguh aku masih terlalu muda agar bisa memiliki rasa percaya untuk sekedar menegakkan kepala. Dan dalam hening yang tak ku sangka-sangka, ternyata tanah mendengarkan tangisanku. Selama ini aku selalu berpikir bahwa semua penghuni alam raya terlalu sibuk dengan kehidupan masing-masing. Terlebih untuk menggubris kupu-kupu muda yang tengah bermasalah dengan kepercayaan dirinya. Tapi tanah mengerti, melalui tetes air mata yang jatuh membasahi badannyalah ia mulai meraba dan membaca. Ia memanggilku adik kecil. Tak disangka, daratan yang hampir selalu menjadi pijakan bagi siapapun kaki, daratan yang hampir selalu bersembunyi dibalik terangnya hijau lumut itu adalah dewa. Bagaimana tidak, setiap ucapannya seperti dibubuhi mantra, setiap wejangannya selalu menggenapi apa yang selama ini kucari. Jawaban itu ada dibawah sana, terkubur dibawah licinnya gerombolan lumut dan sekawanan jamur. Ternyata benar desas-desus yang beredar selama ini, jika hanya ibu lah yang sanggup menjadi pendengar dan juga sumber kekuatan. Ibu itu engkau, tanah. Ibu yang merangkap sebagai ayah dan juga kawan. Ia tetap memanggilku adik kecil, bahkan hingga hari ini, saat dimana aku telah bermutasi dari kupu-kupu lemah menjadi si mental baja yang berhasil mengitari lebih dari separo badan rimba. Dan yang menyenangkan dari semuanya adalah, ketika pada akhirnya aku sadar bahwa aku tak pernah sendirian. Badan tanah membujur seluas rimba. Kemanapun dan setinggi apapun aku mengepakkan sayap, maka tanah selalu ada, siap sedia dibawah sana, seakan membayangi langkahku. Alam raya ini tak semengerikan yang dulu kubayangkan. Ketika pagi hari aku membuka mata, maka aroma tanahlah yang kuciumi hingga sesak paru-paru. Ia yang dengan keluasan hatinya sanggup rela menjadikan dirinya pijakan, tempat bersarang, bahkan tempat buang kotoran para binatang. Aku tidak kaget jika hampir seluruh penghuni alam raya mengagungkan keberadaannya. Namanya menggemakan kedamaian dan kesadaran.
.
.
.
Aku terlalu memuja tanah, begitu yang selalu para burung cicitkan setiap kali mendengarku berdongeng untuk kupu-kupu kecil. Mereka tidak sepenuhnya salah, karena memang, bagiku keberadaan tanah sangat berharga. Terkadang aku bahkan sudi menangis jika banjir mulai datang dan meluruh permukaannya. Ia selalu bersedih ketika air sekitar mulai meluap. Ia takut menghilang dan penghuni alam akan kehilangan pijakannya. Sedihnya adalah duka bagiku, termasuk rasa kepada seekor cacing istimewa. Sudah menjadi rahasia umum jika tanah memiliki adik kesayangan, seekor cacing tanah buta. Kepadaku duka itu pernah terbagi, bagaimana ia akan sudi mempertaruhkan apapun demi secercah cahaya bagi si cacing adiknya, bagaimana ia bercita-cita tinggi demi sanggup ada hingga adiknya itu tiada, dan yang terus bisa dilakukannya hanyalah mempersembahkan pelukan teraman dan juga doa. Tanah kebanggaanku menyimpan lara. Duka berkepanjangan yang kuduga mendasari adanya jawaban dari pertanyaan, kenapa ia bisa menjadi pribadi yang sebegitu rela.

Sabtu, 14 Mei 2016

Isi Lambung Basi

Namaku Tanah. Bukan nama samaran. Umurku setara dengan perjalanan hidup pohon jati berdahan lima. Bukan pula dahan yang akan patah ketika dipanjati kaki tupai, tapi lima dahan yang tetap kokoh menampung berat pijakan kaki-kaki orang dewasa. Makanan kesukaanku bukanlah mereka yang tersaji cantik berkat ramuan dan racikan. Dapur adalah salah satu ruang ajaib yang kubenci di dunia ini. Aku menolak apapun bentuk kepura-puraan, dan menurutku manusia zaman batu lebih memiliki nilai seni ketimbang manusia zaman robot dalam hal makanan. Tomat yang tergantung didahan, apel yang ditumpangi ular, sawi yang sebagian tubuhnya terkubur pupuk kotoran hewan, terung yang meliuk manja diantara kerubutan lompatan ayam, mereka semua tampak jauh lebih menawan dan menggiurkan ketimbang ketika sudah tersaji dalam piring-piring dengan bentuk beraneka ragam. Aku membenci kepura-puraan sama halnya ketika aku terkadang menolak untuk menyukai saat ini. Tidak, aku tidak membenci adanya kehidupan, aku hanya tidak bisa menyukai garis dan batasan yang manusia terapkan. Upacara kematian, upacara memperingati hari sakral, upacara menjelang kelahiran, dan yang terkonyol dari semuanya adalah ketika manusia dengan berbagai upaya mengadakan apa yang sebenarnya tiada. Tidakkah itu terasa memberatkan ? Aku tidak sedang mengoreksi apa yang leluhurku mulaikan. Mereka pasti memiliki nilai mulia ketika pertama kali menggagas semua hal yang tengah kukuliti ini. Perputaran waktu dan kemajuan pola manusia lah yang membuat tujuan mulia itu tertumpangi keserakahan dan berubah menjadi sebuah pemberatan. Aku meragukan masih adanya keikhlasan didunia yang sekarang ini. Aku meragukan masih adanya kemurnian didunia yang kian mengabu-abu ini. Dan disaat ular tak lagi sudi hinggap di licinnya kulit apel, disaat humus kotoran hewan tak lagi mampu menembusi tulang-tulang tanaman, disaat alam pun mulai ditaburi berbagai kepura-puraan. Hijaunya ladang sekarang bukan lah karena rapatnya dedaunan bergandengan tangan. Tapi hijaunya ladang sekarang adalah berkat atau justru akibat lihainya tangan-tangan memulas tanah gersang dengan crayon mainan. Lalu kemanakah makhluk sepertiku harus merapat sekarang ? Bumi ini sudah tak lagi aman. Bumi ini sudah tak lagi menyenangkan. Pisau-pisau dari dapur yang tak pernah berhenti mengepulkan asap berkeliaran menebangi alam. Panci-pancinya bertugas diruangan dan mematangkan semua bahan. Menyulapnya menjadi ramuan dengan beraneka rupa nama.
.
.
.
Terlepas dari segala kepura-puraan yang menyebari seluruh lantai bumi, aku masih bisa berbangga untuk keprimitifan yang terus kupegang. Mereka menyebutku manusia tak tahu aturan, manusia aneh, manusia butuh hiburan. Aku tidak merasa bahwa aku setragis itu. Hanya karena aku memilih untuk tetap nyaman berkubang dalam prinsip-prinsip lawas sedangkan mereka mengikuti perkembangan zaman.
Dan jika memungkinkan. Aku ingin melebur total menjadi anomali yang berserakan diantara batu kali. Tidak lagi terikat oleh adat ataupun dijerat oleh aturan. Norma bagiku adalah lelucon, batasan yang diciptakan oleh manusia demi bisa mengungguli manusia lain. Mereka ditantang untuk berlomba, barang siapa berhasil mengumpulkan poin terbanyak dalam menaati aturan, maka ia lah yang pantas untuk diagungkan. Aku membenci batasan. Aku membenci garis kasat mata yang tak hanya melingkupi tapi juga menjerat pernafasan. Manusia bukankah tidak serta merta diboyong ke dunia ini dengan segala ketololan ?
.
.
Apa yang sebenarnya tengah aku tulis ini ? Sampahkah ? Keresahan yang mana yang sebenarnya ingin kubeberkan kepada kalian. Bersusah payah aku berjalan mendaki waktu hingga zaman batu, sementara aku adalah hasil ciptaan hari ini, atau sebelumnya pernah terlahir sesuatu yang menyerupai aku ? Siapakah dia ? Pernahkah ia mempertanyakan jawaban akan keresahan yang tengah ku korek hari ini ? Pernahkah makhluk lain bertanya ? Minimal, pertanyaan kenapa mereka ada ? Tak perlu jauh-jauh merisaukan adat dan norma yang bagi pendahuluku telah melebur hingga isi sumsum, tak perlu pula jauh-jauh membongkari gundukan sampah yang dimata mereka telah menjelma bak hunian bintang lima. Andai kalian tahu, aku hanya sedang muak. Ingin muntah menghabiskan tak hanya isi lambung tapi juga memerahnya hingga titik terkering. Semua ini..PUEH! Pahit. Siapa sebenarnya yang tengah membajak jiwa normalku pagi ini ? SIAPA ! Dunia ini neraka. Surga hanyalah kentut yang hadir selewat saja lalu pergi tanpa permisi. Andai aku bisa dengan total mendedikasikan diri dan diterima saja menjadi si anomali. Melompati adat, mematahkan norma, memberaki aturan..anggap saja itu normal. Oh samsara.

Kamis, 05 Mei 2016

Sekuali Racikan Hujan

Ari. Satu suku kata. Hidup. Dan berdenyut.
.
.
.
Petang itu langit membayangi dengan payung kelabunya. Menyirami tanah kelahiran dengan aroma tanah menusuk khas bebauan yang menguar di hujan pertama. Aku tidak pernah menyukai hujan sebelumnya, hingga kemudian mereka datang. Kumpulan rintik yang perlahan membanjur genteng mengerontang hingga meluapkan semua cita dalam ujud rintik besar-besaran. Petang itu tanah beserta para penghuni perutnya berpesta. Hujan yang sekian lama didamba akhirnya menyapa. Dahaga yang sekian waktu harus tercukupkan dengan panjatan mantra mendadak terluapi. Dan Ari datang selaksa hujan. Menggenapi keping yang terserak dalam misteri bernama kelahiran. Ari datang sesejuk hujan. Melunturkan semua jenis mantra, menyirami dan menggantinya dengan cinta. Seperti juga para penghuni perut bumi yang bersuka cita menyambut kedatangan hujan pertamanya, seperti itulah juga euforia yang selaras hadir membekapku dalam menjelang kehadirannya.
.
Tidak ada yang akan bisa terpahamkan hanya dengan kata-kata mungkin. Karena memang, sejuk hanya bisa terungkap jika bersinggungan sendiri dengan pori. Dan hatiku tengah dalam masa mekarnya. Retak yang diakibatkan oleh musim kemarau sebelumnya, kerontang yang menguasai hampir seluruh jati diri. Dan tetes perdana Ari seketika menggenapi hingga tanpa sadar memuaikan apa yang sempat kuanggap itu sebagai hal yang mustahal. Kebahagiaan tak pernah dengan mudahnya tertuang dalam paragraf. Ari tidak hanya sekedar ini. Karena ia hidup. Dan berdenyut. Memompakan kekuatan dan juga mencairkan kebekuan. Pernahkah melihat api meleleh ? Aku adalah sejenis bara, dengan segala dayaku yang sanggup tak hanya membakar namun meluluh lantahkan dalam kekal. Dan tetesan itu adalah Ari. Ariku.
.
Hujan pertama datang dengan begitu mengejutkannya. Menjadikan dirinya salam pembuka yang pas bagi hujan kedua dan hujan selanjutnya. Sebagian kudengar mereka mulai mengeluhkan datangnya hujan, yang mulai mampir tanpa aba-aba, yang mulai menyalami map-map, baju dan tas mereka. Dan hujan ternyata tak hanya menyiramiku dengan kesejukkan air yang dibawanya, tapi ia juga mengajariku pelajaran berharga. Bahagia bisa pula menjelma bak rintik gerimis dikala matahari tengah berada dalam puncaknya. Turun seketika lalu menghilang begitu saja. Aku harus memerah otak monsterku. Mengolah sekuali cinta yang disuguhkan Ari dan memasaknya dalam tungku penuh bara. Agar kebahagiaan ini tidak hanya tersaji dalam hitungan jari, agar puncak dari kesejukan ini bisa dinikmati tak hanya dalam sekejap mata. Aku ingin mengukuhkannya selama mungkin, sepanjang mungkin.
.
Ari mungkin tak mengerti, bahwa aku tidak pernah terkesima pada keindahan warna-warni pelangi. Aku tak pernah benar-benar terpukau pada keajaiban yang disajikan oleh hujan sekejap mata. Aku lebih menyukai rintik hujan yang telaten membasahi, menggenapinya dengan membubuhkan beberapa imaji pada sesi-sesi melamun sembari menikmatinya. Aku ingin mengolah seberapa kecilpun bahan yang disuguhkan Ari. Dalam dapur agung milikku, dimana keajaiban yang lebih menyilaukan ketimbang pelangi diharapkan sanggup terhidang dimeja saji sebelum akhirnya diantara kami mati. Aku ingin meresapi, membumbui kepolosan cinta Ari dan sekali lagi meramunya dalam kuali diatas bara api. Aku tidak sanggup lagi mendustai apa yang terus menerus menjadi layangan di kepalaku. Aku mencium aroma kekekalan disetiap nafas yang di hembuskan Ari, aku mengendus adanya keabadian dari binar-binar matanya. Entah apa nanti yang terjadi jika hujan berhenti menyirami, entah apa nanti yang akan terjadi jika Ari mati. Aku tengah berkubang didataran penuh bahagia, bukan puncak karena memang tak pernah kuinginkan adanya jurang. Aku tengah berkubang didataran yang keluasannya terus kuperbesar. Satu rintik, dua rintik, jika hujan nanti mulai lelah mengairi, jika nanti Ari mulai menginginkan berhenti. Maka sekuali besar racikan kuharap sanggup menjadi pelepas dahaga. Sekuali besar racikan kuharap sanggup menjadi tongkat yang mengucurkan mantra pelekat. Agar hujan senantiasa rindu untuk kembali, agar Ari tak pernah memiliki secuilpun niat untuk berhenti.
.
.
.
Petang tidak pernah datang sendirian, bisa dipastikan ia selalu hadir membawa secuil remang. Menguliti setiap debur pekat dan menjadikannya pelajaran bagi yang sanggup dan menginginkan. Termasuk langit berpayung kelabu petang itu, yang mengajarkan dan menawariku sesuatu yang baru. Sekuali besar racikan. Lebih dari sekedar secangkir kopi panas yang menyenangkan, tapi ia justru mengenyangkan. Dalam pelajaran-pelajaran yang sebelumnya tak pernah terpikir akan menjadi sesuatu, terlebih menjadi sajian. Otak monsterku berputar secepat derasnya tetes hujan. Mengolah resah dan menjadikannya segulung adonan. Agar hujan senantiasa rindu untuk datang. Agar Ari selalu tahu kemana dirinya harus pulang.

Jumat, 15 April 2016

Ini Tentang Kita

Aku tidak pernah menjadi apa-apa dan siapa-siapa.
.
.

Mereka menempati setiap keping waktu dengan begitu pasnya. Aku, denganku putaran jam hanya berlalu lantas menjadi abu. Tanpa menyisakan sedikitpun bara. Sementara mereka mengekal, telah mengekal. Mendiami begitu banyak tempat yang akan terus membayang. Cakrawalaku tak seindah ketika belum kupunguti onggok-onggok mayat di rumahmu itu. Harusnya kau bakar saja mereka, harusnya kau tidak terburu-buru amnesia, harusnya kau mengingat dimana saja celah ruang yang pernah kau jadikan arena untuk bercinta. Agar kekekalan itu tidak ada. Agar ketika aku berkunjung ke rumahmu tak lagi kutemui remah-remah pecahan kaca. Andai kau tau, amnesiamu membuatku terluka. Engkau sungguh tak sepintar itu untuk membangun sebuah samsara. Sementara aku, aku tidak pernah seberuntung itu untuk mendapatkan sekedar sebuah pengakuan, karena sesungguhnya aku tidak pernah menjadi apa-apa dan siapa-siapa.
.
Aku adalah sebatang pohon di pekarangan. Tumbuh rimbun, kenyang terpaan sinar. Namun bunga mawarmu membuatku tak bisa bernafas bebas, yang bisa terus kulakukan adalah menjulang dan terus menjulang. Menghilang dari pandangan hingga engkau tak sadar bahwa aku ada menaungimu dari terik dan hujan. Aku tak seberuntung itu untuk bisa terlahir tumbuh secantik mawar yang pernah engkau banggakan. Aku tidak seberuntung itu untuk sekedar mendapat pengakuan.
.
.
.
Aku terlahir sebagai awan. Menggantung manis di tengah jalan menuju tangga kekekalan. Aku menikmati damai dan empuknya hunian. Tapi lagi-lagi, sesuatu menghambat pernafasan. Peri kecilmu yang bersembunyi malu di ujung pintu langit meledekku. Menyadarkan bahwa aku bukan apa-apa dan siapa-siapa. Lagi-lagi aku tak seberuntung itu untuk bisa tercipta sebagai peri kecil nan menggemaskan. Aku tidak seberuntung itu untuk sekedar mendapat pengakuan.

.
.
Aku menerima jika mawar tercintamu telah layu setelah dengan sengaja menikammu dengan duri-duri tajamnya. Aku pun menerima ketika peri kecilmu telah menemukan tempat yang lebih pas ketimbang cekungan ruang dari hatimu. Aku menerima ketika mereka berdua telah mati. Yang tidak bisa aku terima adalah ketika nyatanya. Cakrawala aksara ini, ruang teragung bagiku ketika tak ada lagi nyawa yang mau menerima, justru harus pula kutemui mayat-mayat berserakan. Ditempat dimana selalu kutemukan kesempurnaan dan kedamaian ini, nyatanya harus pula kutemui pecahan kaca menyambuti di pintu masuknya. Aku terluka sekali lagi untuk pengakuan yang tak kunjung ku sandang.
Harus menjadi apakah aku, agar bisa menyaingi cantiknya mawar dan juga melampaui indahnya peri kecil milikmu ? Sementara denganku, waktu hanya berlalu lantas menjadi abu. Disaat mayat mereka mengekal dalam kolong-kolong rumah aksaramu, nyatanya tak seinchipun ruang tersisa untuk sekedar mengakui kehadiran. Aku tidak pernah menjadi apa-apa dan siapa-siapa. Kenapa aku tak kunjung mendapati pengakuan seperti mereka ? Engkau selalu benar, tak seharusnya aku menjadikan bayangan sebagai lawan. Tak seharusnya ku angkat sampah dari permukaan. Tapi ketika kutemui lagi sisa-sisa pergumulanmu yang sekalipun telah lalu itu, masih kurasakan luka dan lara. Sadar bahwa aku tetaplah bukan apa-apa dan siapa-siapa.

Sabtu, 05 Maret 2016

Suku Cadang Tersembunyi

Aku tidak mengerti apa itu arti kata dari samsara. Atau ketidakseimbangan yang biasa disebut chaos. Aku tidak benar-benar memahami arti kata mereka, yang aku paham, mereka indah ketika harus bergandengan dengan aksara-aksara lainnya.
.
Hari ini seorang teman datang membukakan mata, ia adalah termasuk jenis manusia yang disirikkan banyak lainnya. Ia memiliki kelengkapan nilai materialistik yang sempurna, kakinya jarang menyentuh tanah dikarenakan banyaknya lapisan semen yang mendasari kesehariannya. Aku adalah salah satu yang dulu pernah mengangankan betapa indahnya jika aku bisa menggantikan posisi mewahnya. Sebelum akhirnya suatu hari aku sadar, kekayaan ada karena datangnya rasa cukup. Aku yang dulu selalu mengeluh sakit kaki karena perjalanan panjang yang harus di tempuh hanya untuk sekedar urusan mandi, justru mulai menikmati bahkan mencintai urusan satu itu. Aku bisa lebih lama bercengkerama dengan alam, karenanya bisa pula lebih lama berakrab-akrab ria dengan tanah. Yang notabene adalah leluhurku.
.
Aku kaya karena merasa cukup dengan apa yang aku miliki. Misi dan visi hidupku yang tidak pernah muluk-muluklah yang menciptakan kekayaan itu. Aku selalu merasa bahwa aku hanya akan hidup hari ini. Esok adalah teka-teki, misteri yang terlalu indah untuk dirusak dengan adanya rencana. Kata orang Jawa bilang aku ini manusia kelewat 'ndableg'.
.
Untuk semua segi aku menerapkan pandangan itu, maka maklum saja jika yang kukenakan konstan kaos bersablon yang lama-lama memolos dengan sendirinya plus ventilasi di ujung sana-sini. Bukan karena ketidak mampuanku membeli, tapi kenyamananlah yang berat untuk ditinggalkan. Maka maklum saja jika suatu hari salah satu dari kalian menemukanku melenggang santai di jalan raya dengan sendal beda warna bahkan beda ukuran. Hidupku tidak mengusung konsep gengsi atau kesempurnaan. Kenyamanan adalah yang utama, sekalipun nyaman tetaplah memiliki elastisitas lalu apa salahnya berjalan dengan jepit beda warna ?
.
Sekali lagi aku merasa kaya. Bukan karena tidak ada kerikil-kerikil nakal yang menghalangi jalananku. Tapi karena mungkin aku sudah lolos dari lubang satu itu, dengan entah cara apa yang aku sendiri sudah lupa, dengan metode apa pula aku bisa melangkah hingga sejauh hari ini.
.
Aku merasa cukup dengan memasrahkan masalah perut pada apapun yang di racik dan di masak Ibu, sesekali request pastilah wajar. Aku merasa cukup dengan memasrahkan segala angan tercantel manis di awan. Bukannya tidak memiliki keinginan lebih untuk meraih apa yang diingini. Tapi aku merasa sudah cukup memiliki masa untuk bermimpi, aku hari ini ingin hidup sehidup-hidupnya. Menikmati kegiatan bernapas yang bagi sebagian lain adalah remah semata, menikmati kegiatan melihat juga merasa lebih intens ketimbang sebelumnya. Aku merasa cukup dengan memasrahkan urusan hari esok pada satu nama. Ari. Nama yang seringnya memboyong realita pada pondok abu-abu saja. Sama seperti halnya aku pasrah pada apa yang akan di jejalkan Ibu untuk masalah perutku, seperti itu jugalah aku selalu manut pada apa yang akan disajikan Ari untuk masa mendatang. Aku yang terlalu goblog atau terlalu tidak punyai semangat hidup ? Sampai-sampai masa depanpun dititipkan pada seseorang. Pasti karena seseorang itu bukanlah nama dengan sembarang pangkat. Ari adalah sebagianku. Ia berhak atas sepenuhnya aku, lalu jika aku ingin memasrahkan tidak hanya diri tapi juga harapan apa itu salah ? Ayahku sudah lama pulang ke rumah abadinya. Dan satu keresahan yang terus menghantui hingga hari ini adalah karena pernah merindukannya selagi Ayah masih ada di depan mata. Tak terkira betapa lebar lubang yang menganga akibat kehilangannya. Aku harusnya masih menuntut hakku untuk sekedar sesuap makan. Tapi Ayah justru pergi membisu tanpa seucap kata. Kepergiannya otomatis memindah penuhkan pikulan yang dulu masih setengah-setengah kubawa. Tanggung jawab itu ada di pundakku bahkan sejujurnya sudah jauh lama ada disana. Kematian Ayah adalah peresmian perpindahan dari pundak ke pundak itu.
.
Menemukan Ari seperti oase tersendiri bagiku. Mungkin ia bisa kuajak berbagi beban yang ku pikul selama ini. Dan masa kehamilan adalah kompensasi yang pas untuk ditukar dengan masa rehat totalku dari dunia uang. Sekali lagi aku memasrahkan masa mendatangku padanya. Ari adalah sebagianku. Sekalipun tetap saja terkadang ia bertanggung jawab akan rasa nyeri yang melanda hati. Bagaimana tidak, kedekatan dengan keluarga besarnya terkadang menyisakan cemburu tak beralasan bagiku. Dalam alam raya seluas ini aku hanya memiliki satu yaitu Ari dan masih pula harus bisa berbesar hati untuk berbagi Ari dengan mereka yang memiliki dua, tiga bahkan lengkap ? Untuk alasan satu yang kurasa cukup itukah aku dilarang marah ? Ari memang tak selalunya memahami. Ia tak pernah paham telah sepenuh apa kuserahinya pikulan tak hanya perkara sandang dan pangan tapi juga masa depan. Sepenuh aku menyerahkan diri dan harapan. Karena bagiku Ari adalah mutlak milikku. Meski ia tak paham dan tak sadar.

Jumat, 04 Maret 2016

Elemen Penyirep

Hal yang paling aku ingat tentang pantai adalah ketenangannya. Aku selalu menyukai air, bukan sekedar air yang tertampung dalam ember-ember di belakang rumah, tapi air yang bernyawa, hidup dan mengalir. Tak terhitung seberapa sering aku menyatroni jembatan hanya untuk menikmati air yang berlarian di bawag sana, tak terhitung pula berapa kali aku mengikrarkan cita-cita bahwa suatu saat aku akan memiliki hunian di pingir pantai, tak lain jelas agar aku bisa dengan puas memandangi air laut tanpa batasan waktu. Aku sebegitu tergila-gilanya terhadap objek air, hingga pernah suatu ketika salah satu teman iseng berkata bahwa aku telah terkena sirep si penjaga sungai. Kurang ajar.
.
Bagiku elemen air adalah yang paling menawan diantara beberapa lainnya. Ia dengan segala tenang dan keganasannya mempesona hingga batas kalap. Aku selalu mengira elemen satu itu adalah sosok dewa tampan yang menjelma dalam ujud persembahan alam.
.
Tak terhitung sudah berapa banyak waktu yang ku habiskan untuk berlama-lama menatapi mesranya air laut yang bergelung dengan pasir pantai. Tanpa lelah, tanpa mengenal rasa terpuaskan.
Melalui laju gulungan ombaknya, aku merasa seperti diriku bukanlah si raga yang tengah berdiri menikmati hening yang di semburkan angin pantai. Aku lebih luas dari sekedar bongkahan daging bertangan dan berkaki belang. Ombak yang menghantam persendian seperti membangunkan sadar, apapun yang tengah mengganggu pikiran, apapun yang tengah menghinggapi kepala tak lain hanyalah remah-remah tak terbaca. Aku lebih luas dari apa yang bisa kurasa. Aku adalah semesta ini.
.
Mungkin benar kata salah satu temanku, penjaga sungai telah meniupkan mantra padaku. Terbukti tak hanya kepada aliran tenang sungai, kepada ganasnya ombak di laut pun telah membuatku linglung dan kasmaran. Aku jatuh cinta pada elemen yang hakikatnya akan melebur hilangkan diriku. Tanah.
Aku dengan sadar merelakan di dekap dalam aliran sihirnya.
.
.
.
Bagi sebagian orang, berdiam diri di atas jembatan atau justru tergolek pasrah di bangku pinggir pantai adalah hal yang menyia-nyiakan. Tapi untukku memiliki makna berbeda. Memandangi debur ombaknya selalu bisa memancing penghuni terdalamku untuk memuntahkan segala penyebab tersumbatnya aliran nutrisi otak. Tanpa tedeng aling-aling, tanpa basa-basi juga. Kepadanya dan hanya kepadanyalah aku sanggup keluar dari kepalaku yang pengap. Membagi apapun yang mungkin menurutnya pasti hanya sekedar remah-remah tak berguna. Hanya kepadanya pula aku sanggup mengoceh dari cerita manis hingga mendongeng yang sanggup membuat pipi beranak pinak.
.
Tak ada yang bisa memahami bagaimana air telah dengan sangat sempurnanya memahami apa yang tak sanggup terpahamkan oleh sesama. Sedalam itulah hubunganku dengan elemen bercorak biru muda.
.
.
.
Dan hari ini adalah tepat menjadi hari terlamaku tak menginjakkan kaki di tepian pantai, aku telah dengan sangat lama tak mengunjungi obat penenangku. Bukan karena terdesak waktu, tapi memang belum ada keresahan yang menguliti hingga habis sabar. Seseorang telah datang menggantikan keberhargaan air pantai. Meskipun sosoknya tidak sesempurna itu menempati ruang pasnya, tapi setidaknya ia hadir dan menuntaskan keresarahan dalam ujud pelepasan yang berbeda. Ari menggantikan perjalanan melelahkanku mengunjungi pantai dengan satu saja dekapan. Ari menggantikan penat yang menggantung di ufuk barat dengan banyak senyuman. Ia tidak setepat itu tentu saja dalam melengserkan kecintaanku pada air. Sihir yang ditiupkan Ari masih kalah adu dari mantra yang di rapal penjaga sungai. Alam tetaplah sang juara. Tak peduli jika kucuran dana berhenti mengairi kantong-kantong lapar, tak peduli jika hangat dekapan harus perlahan luntur tergantikan dingin yang mencekam. Alam tetaplah sang juara yang tak terkalahkan.
.
Mungkin karena aku adalah tanah. Elemen pangkal yang selalu manut pada ketukan. Sehingga ketika kepolosan air menyirami hingga lubang pori, terjatuhlah aku pada suatu pengakuan. Seakan didunia ini, hanya airlah satu-satunya elemen yang pas denganku. Seakan didunia ini, akulah satu-satunya elemen yang akan berhasil menuntunnya pada tahap keabadian. Karena pada dasarnya tanah adalah sebuah unsur, yang sanggup menyimpan namun juga meluluh lantahkan. Dan air adalah kepingan pas yang selalu berhasil membuaku luluh dan luruh tanpa harus terhanyut.
.
Oh alam, kandunganmu terasa begitu mengagumkan. Dan baris tema kali ini seperti membangunkan lagi keinginan terpendam yang kian dalam masa tanamnya, yakni sebuah cita-cita muda untuk memiliki hunian di pingir pantai. Jelas agar kelak jika aku memerlukan pengaduan, hanya dengan membuka daun jendela maka ia ada. Berlarian sepanjang nafas menari tanpa mengenal kata lelah. Karena memang aku menyukai air, bukan pada air yang tertampung di ember-ember belakang rumah. Tapi pada air yang mengalir, bernyawa dan hidup. Semoga ungkapan cintaku tersampaikan meski ini adalah rentang terlama aku tak berkunjung di jembatan ataupun di pinggiran pantai nan jauh disana.

Lepaskan Saja Kawan

Bertahun-tahun menjadi orang yang kau sandangi pangkat kawan membuatku paham, bola birumu tak pernah sesukses itu memendarkan kesedihan. Lingkaran bening disana selalu bisa membuatku berkaca, melihat lagi jalan sesat yang mungkin hendak ku tapaki. Lewat matamu engkau berbicara, menjagaku dengan pergerakan lincah bola biru di tengahnya. Dan hari itu merubah segalanya. Aku melihat duka, kejernihan yang selayaknya kaca tengah terkopyok lara. Aku sanggup melihat duka dimatamu. Tergambar jernih, sejelas aku membaca not patah yang jatuh menumpangi air asin dari pelupukmu. Sahabatku tengah terseok memunguti kekuatan, untuk menerima lalu tertatih belajar mengikhlaskan.
.
Bertahun-tahun menjadi nama terdekat yang tidak hanya paham wangi tapi juga aroma borokmu, membuatku sedikit mengerti tentang duka yang tengah mengeroyokmu. Engkau adalah pemilik rasa termurni yang pernah aku tahu, namanya tak pernah alpa hadir dalam doamu sebelum mimpi menyapa, bahkan nama itu telah menyatu padu bersama detak jantung dan setiap perjalanan darahmu. Aku seperti tidak pernah melihat orang sejatuh dirimu, ledakan perdanamu tak segemerlap apa yang di angankan, kembang apimu tak memental jauh ke langit melainkan tersulut dengan kecepatan diatas ambang batas hingga tanpa sadar api itu justru membakarmu, melukaimu.
.
Aku memahami kedalaman yang sempat menelanmu sekonyong-konyong. Senyuman mata itu memang terlalu mematikan untuk sekedar dianggap angin lewat, engkau terpeleset tepat di lingkaran hitam retinanya, senyumnya mendorongmu untuk tersuruk jatuh dalam dan lebih dalam lagi. Si astronot amatir dalam penerbangannya yang gagal sebelum sempat lepas landas. Bulan itu tak tercapai, langkahmu tertahan di bumi namun kini pijakannya ratusan kali lebih membebani ketimbang sebelumnya. Sahabatku adalah astronot malang yang kini merangkul pijakan besar
.
.
.
Sudah lepaskan saja kawan, relakan ia untuk menjadi milik dari nama yang masuk dalam jajaran kesayanganmu. Relakan saja ia bertualang, hingga suatu saat sadar bahwa engkaulah daratan yang tercipta paling pas untuk pendaratannya. Tak perlu mengulum sesal, karena memang tak ada cinta yang hadir tanpa meninggalkan buah tangan. Tak perlu menggenggam dendam, ia yang sekarang mendapatkan buruanmu adalah murni sebuah keberuntungan, jangan membenci faktor beruntung dari siapapun, karena bola itu suatu saat tiba tepat di pangkuanmu. Pada saatmu.
.
Lepaskan saja kawan, lepaskan dan lepaskan. Jika engkau tahu aku bahkan masih bisa ikut merasakan nyerimu itu. Tak ada yang akan sebanding dari sebuah keikhlasan. Karena konon itulah level pembelajaran tertinggi umat manusia. Lepaskan saja kawan, lepaskan. Ia yang engkau relakan adalah tebing tertinggimu, tebing yang belum tentu sanggup di daki oleh dirinya yang beruntung itu. Engkau telah berada dalam puncak berbeda dari siapapun mereka, dan karena ketangguhanmu itu patut kuhadiahi sujud takjub padamu. Lepaskan saja kawan, biarkan langkahmu melenggang ringan menapaki ketinggian.
.
Karena aku tak sanggup lagi melihat duka itu bersarang di matamu. Mengetahuinya seperti akan sanggup meremuk redamkan hingga persendian. Sungguh tak pernah kutemui satupun makhluk yang sejatuh dirimu. Aku tahu engkau mulai bosan bernafas di bawah bayang-bayang. Cinta itu masih bersarang dan bersemayam dengan nyamannya disana, aku masih bisa melihat rindu menetes di setiap ujung bibirmu ketika ia mulai melemparkan sapa. Bahkan kekaguman itu masih menempati ruang pas dengan sangat manisnya. Lepaskan saja kawan, nama itu telah termiliki oleh seseorang. Lepaskan saja kawan, ia hadir di hidupmu tertakdir bukan untuk menjadi penghuni hatimu, tapi ia adalah tamu sayang, dan sungguh tak sopan menahan seorang tamu yang masuk hanya sekedar menandaskan dahaga lalu di paksa untuk tetap tinggal. Biarkan tsunami yang engkau sembunyikan itu berlalu, karena nama itu telah damai menjalani hidup dengan seseorang yang lain. Relakan, relakan dan relakan. Biarkan hantu yang mendiami sudut hatimu pergi, bersamaan membawa cinta yang belum tersampaikan itu. Biarkan hantu yang bercokol di tiang penyanggamu itu terbang, terbawa angin lalu tertelan awan. Sungguh kawan, tak ada jalan yang lebih mulia ketimbang belajar merelakan. Tak ada jalan yang lebih menggembirakan timbang rasa yang terikhlaskan. Jangan malu, jangan menangis, jangan bersedih kawan. Cinta pertamamu mengajarkan tentang pelajaran paling mahal. Bagaimana mungkin engkau harus berduka menerimanya ? Cinta pertama menghadiahimu ciuman terdalam. Melumat segala nafas hingga tanpa sadar engkau tercekik dan menangis terbuai nikmat yang disajikannya. Tak apa kawan, relakan dan relakan. Biarkan ia bahagia bersama layang-layang miliknya. Bukankah engkau pernah berkata jika bahagianya adalah bagian dan milikmu juga ? Lepaskan duka itu dari bola birumu. Tak tahan lagi aku melihatmu tersiksa. Tercekik cinta yang enggan lepas dari dekapan. Terlumat lara yang enggan turun dari gendongan.
.
.
.
Lepaskan saja ia kawan, lepaskan.

Minggu, 28 Februari 2016

Mengurai Isi Kotak Bekal

Semburat oranye membingkai langit dengan begitu cantiknya. Aroma petang menjemput siapapun untuk kembali ke peraduan malam. Meninggalkan siang beserta segala isi kotak bekalnya dan meninggalkan mereka di laci nakas. Siap atau tidak, mau ataupun tidak. Ketika dulu masih berumur jagung, aku sangat menyukai benderang siang. Malam dalam segi pikirku adalah sebuah kotak hitam yang akan menelas siapapun dalam ruang pekatnya. Aku takut tenggelam, aku takut terlelap dan pagi terlambat menjemputku untuk menikmati poros roda mentarinya. Aku terlalu takut Tuhan akan lupa membangunkan aku, dan justru membiarkan aku damai dalam lelap ketimbang harus bergumul dalam mainan maha besar bernama siang. Saat itu yang ada di dalam kepalaku bahwa masa emas sang matahari terbit adalah sebuah kesenangan, permainan dan hanya tentang bermain.
Sedikit beranjaknya umur, aku mulai bisa menerima kehadiran malam. Gulita ternyata tidak semenakutkan yang terkira sekalipun tetap saja tak akan sudi kubiarkan diri ditelan pekat tanpa seujung sinarpun menemani. Alhasil, bohlam di dalam kamar menjadi serenyah kripik kentang, cepat habis. Mati.
.
Dan seperti juga malam yang dengan pasti akan melengser keberadaan siang, aku dewasapun harus mengakui sebuah keanehan. Siang yang dulu teramat menyenangkan sekarang berubah ujud menjadi format yang mengerikan. Jika dulu sanggup ku sulap apapun menjadi mainan selama mereka masih berada dalam dekapan sinar mentari, maka sekarang semuanya menjadi berkebalikan. Dalam satu masa aku justru merasakan sebuah ketakutan yang ganjil, aku takut disapa pagi, aku takut mendengar kokok ayam mengudara, aku takut ketika siang mulai menjelang. Karena dalam kotak yang kesemuanya tak bisa di hadapi dengan kepolosan, aku menemukan format dunia menjadi mengerikan. Siang tak lagi memberikan kesempatan untukku bermain, dan justru dalam siraman siang akulah yang mereka jadikan permainan. Mereka ? Siapa mereka ? Uang. Waktu. Substansi. Aku dewasa lebih memilih di sekap pekat ketimbang harus dilumat ketiganya. Uang, apa yang bisa di lakukan manusia tanpa uang ? Itu pertanyaan yang sangat aku benci. Bumi masih tetap bulat, rerumputan tetap saja hijau menyegarkan, capung tetap menari mengitari bebungaan dan sungai. Lalu kenapa uang menjadikan dirinya sepenting udara ? Seakan jika mereka absen ada maka para manusia akan berhenti bernafas, lalu mati. Ironisnya manusia-manusia di bumi ini rela saja di jadikan tunggangan oleh mereka yang menumpuk lebih banyak uang. Dengan dalil kebutuhan dan jawaban lainnya yang akan membuat mereka terlihat semakin terlihat manusiawi (re;serakah). Aku dewasa menemukan banyak kejanggalan, terutama tentang kenyataan bahwa manusia sekarang ternyata telah menjelma sebagai kuda balapan. Jika manusia yang di ibaratkan sebagai penontonnya masih mending, tapi uang..dialah yang justru nyatanya duduk manis di kursi penonton menikmati si kuda atau manusia dalam artian aslinya, saling lari, berlomba, mencekal satu sama lain, memburu dan tak pernah terpuaskan. Dan sialnya aku masihlah salah satu dari mereka yang berkebutuhan, menjadi kuda dan tengah berjuang lari dari arena lalu keluar menjadi kuda liar.
.
.
.
Waktu. Manusia selalu merasa jika waktu hidup mereka berkuota. Entah setahun, sepuluh atau esok sekalipun mereka sadar akan menjadi sebuah nama. Tiada.
Manusia hanya sadar bahwa waktu mereka berkuota, lalu dengan kecanggihan otaknya mereka akan berlomba berfikir, titel apa yang harus mereka raih sebelum menyandang gelar almarhum, bangku apa yang harus mereka duduki sebelum kuota mereka sekarat, lalu dengan kecanggihan otaknya pula akan tercipta sebuah stigma. Gelar adalah segalanya. Mereka sekali lagi lupa, bahwa jejak adalah yang terpenting ketika kita menjadi tiada, semakin kita sadar bahwa waktu tidak setergesa-gesa itu kendatipun esok tetaplah misteri, maka semakin nikmatlah dunia ini. Mereka yang sadar akan mati 50 tahun lagi tidak akan bisa merasakan megahnya perhelatan menyambut mekarnya kuncup daun bambu di pagi hari. Yang mengaliri embun abadi, mencicipi kesadaran tanpa batas waktu.
.
.
.
Substansi. Adalah salah satu kotak yang tidak kusukai. Ujudnya adalah dua penggabungan dari uang dan waktu yang menjalin ikatan sesakral pernikahan. Terlalu ngeri membayangkan manusia-manusia di bumi bak peselancar yang menginjaki papannya dan berusaha menembusi dinding air. Mereka merasa hebah tanpa sadar tengah di jadikan mainan oleh dua oknum berwajah elok bernama ombak dan papan selancar. Mereka adalah korban dari waktu dan uang telah membelitkan diri seerat mungkin dalam pemikiran dan pemahaman.
.
.
.
Hasratku malam ini tercapai. Karena kembali pada masa seumur jagung yang mengenal pancaran sinar mentari adalah mainan itu sesuatu yang tidak mungkin. Maka aku dewasalah yang menyesuaikan diri, menjadikan gelap yang dulu menakutkan, dan menangkatnya sebagai teman. Hanya dalam gulita aku sanggup bercengkerama dengan alam, menghabiskan waktu bersama semburat oranye, bermain dengan indahnya misteri gulita.

Sabtu, 27 Februari 2016

Peretas Malang

Matanya kosong menatapi kumpulan anak-anak yang tengah bermain di pelataran rumah. Entah gumpalan apa yang tengah bersarang di dalam kepalanya. Yang pasti, hari ini aku melihat Sid dalam format yang berbeda. Rapuh dan sendiri. Nama lengkapnya Sidharta. Kakak yang juga merangkap peran sebagai Ayah bahkan semenjak sosok itu masih ada diantara kami semua. Ketidak beruntunganku mendapat kasih sayang yang tepat dari sosok ayah menjadikan Sid semacam karet penambal ban motor. Melegakan sekaligus melengkapi disaat yang vital. Umur kami terpaut 10 tahun lebih mungkin, aku hanya selalu ingat bulan lahirnya saja, yang secara kebetulan bebarengan dengan bulan kelahiranku. Bedanya aku perdana melihat dunia di ujung penutup bulan, sedangkan Sid terlahir di ujung pembuka bulan. Kami sama-sama berzodiak gemini, sekalipun aku tidak terlalu mempercayai tentang horoskop tetap saja kesamaan itu membantuku meyakinkan diri bahwa hanya Sid lah sosok yang tepat untuk memahamiku. Setidaknya, itulah yang kupercayai hingga hari ini.
.
.
.
Perawakannya kurus, rambut ikal menumpuk halus diatas kepalanya. Sedangkan wajahnya dibingkai dua bola kristal yang indah. Hidungnya mencuat tinggi berbeda dengan milikku yang timbul hanya seadanya. Dulu aku sering mempertanyakan perihal perbedaan mencolok itu kepada Ibu, tapi seringnya beliau hanya tersenyum sembari mengacak halus rambutku. Harus diakui Sid tampan, ketampanan yang terpancar dari sorot tajam matanya. Jika ada hal yang patut disyukuri hadir didunia ini, aku yakin Sid adalah dalam urutan pertama. Ia tampan, ketampanan yang tersembunyi dalam raut kusut dan badan tak terurusnya. Lebih dari itu, ia tampan karena selalu berhasil menjinakkan alarm bom yang melengking-lengking di dalamku.
.
.
.
.
Hari ini Sid berbeda, jarak dudukku darinya tak lebih dari radius tiga meter. Aku bisa memastikan bahwa matanya tengah menyimpan duka. Duka yang tak pernah ia bagi dengan siapapun juga termasuk aku dan Ibu. Setelah kepergian Ayah, Sid semakin hebat dan lihai dalam menyembunyikan diri. Dunianya seakan hanya miliknya saja. Semua lara dan duka termasuk aksesoris yang tak akan ia bagi bahkan denganku, adiknya. Dulu kami selalu berbagi semangkuk mie, sekalipun ia lelaki tapi harus diakui masakan buatannya sangat enak. Dulu kami berbagi kotak tempat dvd, waktu itu keping dvd masihlah yang paling canggih. Dan Sid memiliki banyak koleksi keping dvd dari film laga sampai film kartun-pesananku-.
.
Pernah waktu kecil aku berbagi duka dengan Sid, bercerita tentang cinta monyetku yang ternyata disambar teman yang juga tetanggaku. Aku sedih bukan main saat itu, tapi Sid dengan sabarnya memberitahuku untuk merelakan. Kita lihat saja suatu saat nanti karma pasti berlaku, itu yang selalu diucapkan Sid diakhir penghiburannya padaku. Sekalipun diumurku yang saat itu baru menginjak angka belasan, belum benar-benar paham apa makna dari kata karma, tapi pesan itu selalu terngiang dan terus ku ingat seperti juga pesan-pesannya yang lain.
.
.
Ini aneh, aku tumbuh besar dengan tingkat ego yang meledak-ledak juga mengerikan. Tapi Sid dan kata-katanya selalu bisa menjadi mantra penenang dan pemenang. Setiap bulir kalimat yang terucap dari mulutnya selalu bisa menjinakkan duri-duri didalam diri. Hanya Sid. Dan bahkan hubunganku dengan Ayah tidak semulus itu. Kami terlalu banyak diam. Menjadikanku anak yang tak pernah bisa keluar dari kepala jika tengah bersamanya.
.
Sid berbeda, ia memegang kunci penjinakku. Ia mengerti betul mantra yang pas untuk melunakkanku. Dulu aku selalu berkata, siapapun kelak yang mendapatkan gelar sebagai istri dari kakak tertampanku, pastilah ia perempuan yang sangat beruntung.
.
.
.
Dan seiring waktu berjalan, terkuak jugalah segala misteri yang terus bersembunyi di kantong saku ajaibnya. Perempuan itu memang beruntung, tapi Sid tidak. Itu menurut pandangan pasku yang selama bertahun-tahun tak pernah lepas mengagumi dan mengenali Sid. Entah kepergian Ayah atau momen yang lain, Sid berubah menjadi lebih penyendiri dan pemurung. Kata-kata yang dulu terdengar sangat menenangkan sekarang hanya keluar seperlunya saja. Senyum itu sama manisnya seperti Sid yang selama ini ku kenal, tapi mata itu memancarkan lain. Mengindikasikan bahwa perempuan beruntung itu tak cukup berhasil memboyong semesta Sid untuk mereka berdua. Sid masih tetap terkurung dalam dunianya, yang begitu misterius dan dewasa.
.
.
Hari ini aku ingin menghampirinya, menemaninya memandangi pelataran penuh anak yang tengah sibuk dengan mainannya. Gugus kami sama dan aku selalu percaya bahwa Sid adalah pawang untuk semua benang kusutku. Dan hari ini aku ingin meyakinkannya, jika tak lagi ada sosok lain di dunia ini yang paham dengan segala kemelut dan nalarnya, maka ia patut mencobaku sebagai obat pereda. Karena memang kita sama. Bedanya Sid dilahirkan dengan takdir menjadi si penjaga di pintu pembuka. Sedangkan aku dilahirkan dengan takdir menjadi si penjaga di pintu penutup. Entah apapun itu artinya nanti.

Rabu, 24 Februari 2016

Pesta Menjelang Fajar

Kuncup bunga membatu di telan dinginnya pagi. Serbuk salju berlomba-lomba menembusi jaringan kulit ari. Segala daya dikerahkan demi menjaga, agar butiran kristal tak jatuh tanpa makna.
.
.
.
Seonggok daging bergetar dibalik selimut tebal, merayakan hari jatuhnya butiran-butiran kristal. Tak peduli jika kokok ayam belum ramai menyapa, perayaan tetap perlu dilakukan demi menjaga kewarasan.
.
.
.
Aku adalah seorang perempuan. Dengan hati yang diciptakan lebih rapuh ketimbang sesamanya. Aku mengira diriku telah tumbuh sekuat baja, tak perlu kuceritakan sebesar apa ombak yang pernah kutaklukkan, karena itu tidak akan membantu menjelaskan seberapa kuatnya diriku. Namun ternyata, sejentik saja cipratan berhasil merobohkan dan mengoyak pernapasan. Aku sekarat, ditengah euforia tentang adanya kehadiran makhluk surga. Aku sekarat ditelan keserakahan yang menjelma bak bulu domba. Aku sekarat mengetahui bahwa hati telah ternodai oleh satu lagi janji.
.
.
.
.
.
Seseorang pernah berkata, "semahal apa harga kecewa jika di jual oleh hati yang terlanjur percaya..?"
.
.
Perempuan berbaju baja menangis dikala fajar, kristal-kristal yang mendiami pelupuk mata terlalu berat untuk dibopong terlalu lama. Segumpal daging dibalik selimut tebalnya pun sama, teronggok kaku dan membeku. Ditelan butiran-butiran salju kedukaan. Senja yang lalu telah menorehkan lara, tidak hanya sekedar melukai satu nama, tapi dua nyawa yang teremukkan seketika. Tanpa aba-aba, tanpa salam permisi sebelumnya.
.
.
Kuncup bunga berbahan daging mulai kehilangan sadarnya. Meronta dan memaki diri yang selalu hanya sanggup mengurung sepi. Tak lagi ada tempat menolehkan kepala, terlebih untuk dipinjami bahunya. Perempuan berbaju baja yang malang, kepercayaannya telah terjual dengan sukarela. Terbeli oleh kecewa yang menganga-nganga. Tak ada kata yang sanggup menggambarkan kengerian, ketika hancur telah berada tepat diujung mata.
.
.
Hawa dingin menusuki pergelangan tangan, menyuntikkan rasa cemas berlebihan. Tak peduli seberapa kuat perempuan berbaju baja, dingin tetaplah senjata mematikan yang hanya sanggup dihadirkan alam. Nafas tercekat satu-satu. Menanti ajal yang dibawa si pembawa berita kematian. Aku adalah jenis perempuan kuat di bawah standar. Yang tak memiliki makna, hanya kata. Untuk itulah selalu dipersilahkan bagi siapa-siapapun yang hendak menjajal kemampuan untuk mematahkan dan melenyapkan.
.
.
.
Kepada separuhku, kuharap engkau mendengar aku memanggilmu. Kepada separuhku, kuharap matamu terbuka, lihatlah seberapa mahal kecewa yang berhasil ditorehkan oleh mereka yang selama ini terus engkau jaga.
Aku hanya membutuhkan satu dan itu namamu. Karena ketidakserakahanku, maka mungkin tak apa jika aku meminta hadirmu datang dengan segala keutuhan, bukan yang terbagi apalagi terjalin separuhnya. Aku tahu tragedi senja yang lalu bukanlah murni kesalahanmu. Tapi darah yang mengaliri ragamu, aku membencinya. Tapi darah yang mengaliri diseparuh nyawamu, aku kecewa padanya. Entah akan datang sebagai apa nanti ketika kepulanganmu menjadi nyata. Entah akan kuperlakukan sebagai apa nanti ketika engkau telah datang di depan mata.
.
.
.
Seonggok daging bergetar dibalik selimut tebalnya. Merayakan hari jatuhnya para kristal berharga. Tak ada yang bertanya tentang seberapa mahal harga kecewa. Tak ada yang sempat melongok goresan lara di dalam dada, menanyakan apakah aku baik-baik saja.
.
.
.
Aku adalah seorang perempuan. Yang mempunyai hati lebih ringkih ketimbang sesamanya. Aku selalu mengira telah tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan mempesona. Tapi lubang-lubang yang menyekapku, lubang-lubang yang digali oleh mereka yang kubekali rasa percaya. Aku tak sanggup mengira-ngira selemah apa keberadaanku dimata mereka sehingga dengan rela dan nyatanya dipatahkanlah percaya itu untuk kemudian diriku dijebloskan dalam perangkap busuk bernama janji dan kepura-puraan.
.
.
.
Aku terlahir di dunia dengan bekal seadanya. Tak mengira jika...jika bekal yang hanya seadanya itu di curi rampas oleh makhluk-makhluk yang kupercaya. Aku tak sanggup menyebut mereka manusia. Aku selalu mengira sesosok monster tengah mendiami ragaku, nyatanya ia justru adalah sejenis penjaga. Yang menampakkan diri ketika tahu aku tengah dalam bahaya. Namun nyatanya, monster sebenarnya telah berganti kostum menjadi malaikat penjaga. Menyodori senyuman dan kehangatan, menyembunyikan tanduk dan ekor dibalik bajunya.
.
.
Aku selalu mengira telah tumbuh menjadi pribadi yang kuat. Mengira hati ini telah terlindungi kostum baja. Tapi nyatanya..tak ada yang harus aku percayai lagi di dunia ini.
.
.
Kecewa itu begitu mahal, terlebih ketika dijual oleh perempuan yang hanya berilusi telah mengenakan kostum baja.
.
Tak ada lagi kata. Senja lalu telah mengubur segala makna dalam lubang kengerian yang selama ini terus kuhindari. Tak ada siapapun yang perlu kuserahi rasa percaya untuk menjaga hati, karena memang tak ada yang sanggup menjaganya selain aku dan monster kesayangan didalamku. Selamat fajar.

Selasa, 23 Februari 2016

Rumah Tanpa Ventilasi

Rumah. Penjelasan tentang kata satu itu seringnya membuatku linglung. Bukankah normalnya definisi rumah adalah sebuah bangunan, berpintu, berventilasi dan bermeja kursi ? Lain jika kaum pembahasa yang menjabarkan. Rumah bagi mereka adalah sesosok atau mungkin sebuah perkumpulan yang membuat nyaman. Dengan adanya kasih, cinta dan juga pembagian masa-masa sengsara. Sebuah kotak jika digaris besarkan.
.
.
Hari ini aku memasuki sebuah komunitas, salah satu dari si empunya menyodoriku formulir formil tentang identitas nyata. Dan yang sanggup aku berikan adalah data senyatanya. Memangnya di mana aku tinggal ? Menjadikan bumi sebagai jawaban sama anomalinya dengan bernafas ketika ada yang bertanya apa yang tengah aku lakukan. Dan aku tidak ingin meninggalkan kesan buruk pada hari pertamaku bergabung.
.
Dulu sekali, aku tidak tahu jika tempat ini kelak akan kunamai rumah. Karena jika aku tahu..mungkin peletakan batu pertama pembuatannya akan ku isi halaman perkenalan dengan kata-kata mempesona nan menghanyutkan. Sialnya yang justru terabadikan sebagai kalimat pembuka adalah kalimat-kalimat khas manusia setengah matang, yang kalau dibaca dalam keadaan setengah sadar pun akan langsung menimbulkan mual. Jika dulu aku tahu kalau kelak tempat ini akan kunaikkan jabat sebagai rumah, mungkin tepat di hari pembuatannya, akan kuadakan syukuran, pemotongan tumpeng dan mungkin tahlilan.
.
Rumah ini lahir dengan seada-adanya. Memang di landasi dengan adukan cinta, tapi pondasi cinta saja tidak akan cukup untuk memantapkan bangunan. Tahun pertama berdirinya, hanya di isi dengan tulisan masih khas isi kepala manusia setengah matang. Saat itu aku belum yakin benar untuk apa membuat sebuah bangunan, selain hanya untuk bergaya saja. Seiring berpindahnya hari, aku mulai merasa menemukan kehangatan, disaat aku terluka, masa-masa menggilai idola, saat dimana aku mulai jatuh cinta, lalu terluka dan tumbuh lagi. Tempat ini menampung segalanya. Tidak hanya merekam jejak antara dua umat saja. Tapi di setiap halaman menyimpan keresahan-keresahan yang sejujurnya tak lazim di pertontonkan di jalanan maya. Aku masih ingat, pernah menuliskan cerita tentang indahnya bercinta, mengagumi suami orang lain. Melukiskan tentang cicak telanjang di dalam kamar, atau tentang dedaunan yang mulai bersimphony ketika turun hujan. Aku menulis tentang apapun yang singgah di perjamuan retina. Dan selayaknya rumah, tempat inipun memiliki dapur, letaknya ada pada persimpangan jemari, hati dan juga gumpalan acak di dalam kepala. Dan alam adalah pasar yang menyediakan semuanya. Ketika bola mata ini berhasil membelanjakan fungsinya dan menemukan bahan, maka hati akan bergerak gesit memilah yang mana kiranya sajian alam yang patut di masak dan di hidangkan di meja makan. Alam begitu kaya, melalui udara aku sanggup menjadi pencerita, melalui celah diantara tanah mengering sanggup mengubahku menjadi pendongeng, melalui kabut yang hadir pada jam ayam berkokok saja sanggup memintalku menjadi pujangga beraroma dewa. Terlalu banyak bahan di sekitar, dan kematangan sajian tergantung pada si pengemban tugas selanjutnya. Gumpalan acak di dalam kepala, atau manusia normal biasa menyebutnya otak. Melalui gumpalan itulah nasib bahan-bahan tadi di olah sajikan. Tidak segampang itu tentu saja, karena ada si pengemban tugas lain yang belum terjabarkan. Yakni jari jemari. Aku selama ini percaya, menjadi penulis adalah tentang perpaduan kemampuan menyihir dan menyulap mantra. Ketika keduanya di gabung maka akan tercipta sebuah karya yang tidak hanya indah tapi juga mengenyangkan. Atau lebih sederhananya adalah, aku mengibaratkan ide menulis adalah sejenis makanan. Para jemari mungkin selalu siap menyomot makanan itu lalu menjejalkan ke dalam mulut. Tapi nyatanya, aku makan hanya jika, otak berhasil bernegoisasi dengan hati maka akan memerintahkan demikian. Karena aku lapar, berada dalam waktu yang memungkinkan maka aku makan. Sebuah karya yang mengenyangkan adalah hasil perpaduan banyak pengemban. Dan sialnya, dapur rumah ini hanya mengepul jika sang Maha koki datang menyapa. Tidak peduli waktu dan cuaca, tidak peduli jika tidak ada siapapun yang harus di suguhi makanan terbaiknya, karena nyatanya rumah ini terdedikasikan hanya untuk jiwaku. Aku dan judul-judul didalamnya adalah rekan karib yang saling memberi kenyamanan. Aku dan aksara-aksara di rumah ini adalah patner yang selalu siap menghabiskan dentang jam demi memburu sebuah kenikmatan. Tengok saja tahun-tahun awal halaman rumah ini, aku sendiri terkadang heran kenapa bisa menciptakan sebuah paragraf yang mengerikan. Benar-benar khas isi otak manusia setengah matang. Lalu siapa yang akan peduli ? Ini adalah rumahku. Yang memberikan kenyamanan juga menyajikan banyak kehangatan. Aku bukan penulis tenang saja, aku tidak memiliki kemampuan menyihir itu. Aku hanya sebuah nama yang empat tahun lalu tanpa sengaja membuat bangunan tanpa ventilasi dan pintu, lalu kemudian merasa nyaman dan mengangkat pangkat bangunan itu sebagai rumah.