Selasa, 20 Desember 2016

Menyala Dan Bahagia

Sebelas, tiga belas, tujuh belas. Dan aku tidak tahu jika Tuhan merancangku untuk bisa menyala diumurku yang ke duapuluh sekian. Semua perjalanan, semua kegagalan terpahami ketika aku mulai menginjak kepala dua. Sekalipun saat itu aku masihlah manusia awam mengenai pemahaman tentang kata cinta, sekalipun saat itu untuk pertama kalinya aku mengenal adanya kekasih dari sosok setengah nyata bernama idola.
.
Setiap sesi kehidupan ini menghadirkan sendiri pelajaran yang sangat berarti. Aku pernah tersesat, mendewakan begitu tinggi pada beberapa sosok bernama manusia, tanpa sadar jika perbedaanku dan mereka hanyalah ada pada segumpal otak dan hati yang tersemat didalam masing-masing raga. Aku terlalu malu untuk mengakui diri bahwa aku tersesat saat itu, aku terlalu nyaman menduduki bangku tahtaku dan mengakui bahwa itu bukanlah jabatan yang benar. Dengan berbagai trik dan tipudaya aku berhasil menyingkir dari jalanan yang saat itu terlihat mulus dan tanpa hambatan. Mulai mengakui diri bahwa aku kalah dan inilah saat yang tepat untuk mengalah. Detik pertama ketika akhirnya cahaya itu menunjukkan kekuatan terpendamnya. Aku menyala ditengah keterpurukan. Cahayaku menyiramkan sinarnya tepat ketika aku membutuhkan bimbingan, jalan terang dan tiang untuk berpegang.
Aku pernah hancur. Beberapa nama mengagungkanku dan menempatkannya pada baki termahal yang pernah ada. Menghadiahiku dengan berbagai macam senyum yang kesemuanya berpotensi mengakibatkan diabetes. Lalu kemudian dengan senyum yang sama nama-nama itu mulai meremukkanku sekali jadi. Tak ada kata permisi, ataupun salam basa-basi. Semua lara tercipta begitu saja tanpa ada resep istimewa sekalipun sakitnya harus mendera dan mengendap sekian tahun lamanya. Hari itu aku percaya, tidak segala keindahan dirancang untuk menimbulkan kebahagiaan. Pada beberapa nama, keindahan bisa dijadikan alat untuk menelanjangi lalu meremukkan tanpa salam permisi sebelumnya. Senyum dan tutur dari nama-nama itu tak terkecuali, kesuksesan mereka membuatku menjadi kepingan adalah awal dari sebuah sadar. Sadar yang lalu menekan sendiri tombol aktif untuk kebangkitan sebuah masa pembelajaran. Aku kembali menyala sekalipun sinarnya harus berserak menjadi remah dan kepingan. Sinarku merebak seluas bintang yang menyeraki langit hitam dimusim kemarau. Perjalanan untuk langkahku yang paling awal ternyata memaksaku berpikir ulang. Gelap yang menyapa diujung pintu adalah pertanda, bahwa didepan sana tidak ada keabadian bagi petir dan hujan yang hendak menjegal dan menyapa. Aku terkenyangkan oleh tangis dan pembelajaran.
Selain tersesat dan hancur, akupun pernah merasai yang namanya jatuh kepada cinta. Dan sesi kehidupan satu itu tak luput dari kata pembelajaran juga. Hal yang kusangkakan berisi gumpalan putih, bersih semacam kapas ternyata menyimpan juga sisi kelam. Sayangnya kali itu aku tak bisa menyalahkan. Sang Kuasa adalah pemegang kontrak untuk sesi jatuhku saat itu. Sekalipun aku menduka, lara, bahkan hancur sekalipun. Aku tidak berhak menyalahkan. Aku jatuh pada cinta yang seharusnya. Tapi ketika objek dari cinta itu mendadak harus pulang aku kelimpungan untuk mencari pegangan, cintaku tergantung diplafon kamar, cintaku terpantul tembok dan tak bisa tersampaikan. Sekalipun berat, harus diakui saat itu tak ada pilihan lain bagiku selain kembali bangkit dan menyala.
.
.
.
Dari semua kegagalan yang berhasil membuatku menyala.. tersesat, hancur dan jatuh cinta adalah tiga hal paling dominan ketimbang remah lainnya. Hati dan pikiran manusia dirancang untuk hancur dan kecewa. Karena diantara keduanya tercipta tangga bernama harapan yang konon juga adalah tiket menuju keajaiban. Harapan, sesuatu yang membuat manusia begitu mendamba sebelum akhirnya jatuh gila.
.
Aku lebih menyukai bagaimana Tuhan menyetelku untuk bisa merasakan bahagia dan menyala sekaligus diumur duapuluh sekian. Jika aku terlebih dulu disodori kebahagiaan ketimbang kemampuan untuk menyala, mungkin yang terjadi sekarang adalah aku tengah menggumami kata sesal. Sebaliknya jika aku menyala terlampau awal disaat bahagia adalah hanya sejenis mitos semata. Maka yang terjadi selanjutnya adalah kegilaan dan krisis rasa percaya pada makna keajaiban.
.
Tidak ada yang lebih kusyukuri keberadaannya didunia ini ketimbang kenyataan bahwa kemampuanku untuk menyala datang bersamaan dengan kemampuanku untuk mendeteksi sinyal tentang lahirnya sebuah kebahagiaan. Dominasi antar keduanya mungkin berbeda. Tapi keduanya pun memiliki ruang dengan sekat diantara masing-masing. Tak ada cahaya yang telat untuk menyala. Tak ada bahagia yang datang terlambat kepada pemiliknya. Dan duapuluh adalah awal untukku memeluk keduanya. Terimakasih Tuhan. Terimakasih alam. Terimakasih waktu karena telah mempertemukan. Bagiku, kemampuan untuk menyala dan datangnya bahagia tak ubahnya seperti kisah kasih Rama dan Sinta. Ketepatan yang sempurna. Memancarkan energi nyata ketika keduanya berjabat dan berangkulan bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar