Kamis, 15 Desember 2016

Aku, Manusia Dan Malam

Hujan membuat sore datang lebih cepat hari ini. Aroma tanah yang masih membumbung semakin tergilas tergantikan oleh bau petang. Setelah seharian membungkus tubuh kecil ini dengan sehelai daun, membuatku semakin terasa nyaman. Jangan kira kaum nyamuk sepertiku tidak pernah merasakan sakit, demam yang menjelangku semenjak malam kemarin adalah salah satu contohnya. Semua kaki dan tanganku masih lincah bergerak tapi perut juga kepalaku memberikan sinyal tanda tak sehat. Ibuku bilang mungkin karena jiwa manusia yang kucucus darahnya kemarin itu sedang dalam keadaan tidak stabil. Entah penjelasan medis apa yang bisa menjelaskan relasi antara antara demam dan jiwa labil. Tapi aku percaya, karena sungguh sekian lama hidup tak ada yang bisa mengukuhkan tentang adanya kebenaran perkataan selain yang keluar dari mulut Ibu. Bagiku Ibu adalah semacam dewa. Setiap perkataannya adalah titah sekaligus hal yang tak patut untuk diragukan kebenarannya. Sekalipun penjelasan tentang alasan demamku sedikit terasa konyol tapi aku hanya bisa percaya. Lagipula..untuk apa mempertanyakan hal yang sudah lewat ? Dan juga, aku sudah sembuh hari ini. Kalau saja bukan karena kebutuhan, aku tidak ingin bangun hingga pagi menyapa. Perutku menunjukkan tanda protesnya, seharian menahan beratnya kelopak mata membuatku lupa untuk mencucus tubuh manusia. Dan petang ini, aku ingin berburu.
.
.
Hujan masih menyisakan riaknya, sementara petang kian meluaskan taburan jaring gelapnya. Hewan malam mulai membunyikan alarm masing-masing. Semoga masih ada manusia yang mau keluar dari hunian dalam cuaca yang seperti ini. Ketika sore datang, kaum manusia akan dengan sigap mengunci diri mereka dalam benteng pertahanan. Semua jendela dan pintu tertutup rapat-rapat. Mengantisipasi kedatangan kaumku yang selalunya kian merebak ketika malam menjelang. Manusia ternyata tidak setangguh dan sebesar badannya. Demi menghindari kaumku yang besarnya saja hanya sekitaran besar upil manusia, mereka mempertaruhkan segalanya. Memblokir semua akses agar tak bersentuhan dengan udara luar, tanpa tahu jika malam kian menebarkan pesona jika dinikmati dalam keadaan remang. Manusia menempatkanku dan kaumku menjadi semacam bahaya terburuk sepanjang masa.
.
.
.
Mataku berhenti mencari ketika indra penciumku mendapati adanya aroma manusia. Ada yang lain dari manusia satu ini, darahnya tercium begitu manis. Bebauan wangi yang menyelimuti hampir seluruh tubuhnya tak menutupi aroma manis yang kian terkuar. Aku harus mendapatkan mangsa. Perutku tak lagi mau mendengar kata menunggu.
.
Benar saja, ketika selesai mengisi penuh perut kecilku, aku merasakan dahaga yang melumer oleh siraman air gula. Darah manusia satu ini begitu manis. Ataukah karena demam lusa yang menyebabkan minum darah kali ini begitu istimewa ? Tak jadi soal apapun itu, yang jelas perutku telah terkenyangkan.
.
Ibuku selalu berkata aroma angin malam akan membangkitkan rasa lapar berlipat dari waktu siang, itulah kenapa kaum nyamuk disarankan untuk mengistirahatkan badan ketika pagi datang.
Aku harap manusia tidak mengetahui titik lemah kaumku, ataupun membaca ceritaku ini. Karena bagaimanapun, otak manusia tercipta dengan segala kerumitannya. Memahami sedangkal pemikiran kami akan menjadi hal yang sangat sulit. Tidak diragukan lagi, meski pernah terbesit sebuah ingin tapi nyamuk dan manusia memang tertakdir sebagai musuh alami. Dan bagiku pribadi, ini adalah jenis permusuhan paling elegan yang pernah ada. Kendati api yang membara dipikiran manusia kuyakini sanggup membakar sebuah bangunan sekalipun. Entah kenapa manusia gemar sekali menumpuk dendam, menjadikannya bak bejana kristal yang harus disimpan baik-baik dan penuh perhitungan. Menjadikan dendam sebagai bom waktu yang suatu saat nanti bisa saja justru menghabisi pemiliknya sendiri.
.
.
.
Tidak perlu mencela, tidak perlu meributkan apapun kebiasaan buruk makhluk hampir sempurna itu. Toh hubungan kami berdua tak mungkin akan beranjak kemana-mana. Selamanya manusia dan nyamuk akan menjadi patner yang hanya menguntungkan dari satu sisi saja. Seberapa kuatpun keinginanku untuk menjabat tangan manusia tak akan berhasil tanpa lebih dulu sesuatu merelakan nyawa. Nyawa kaumku. Seberapa tak menyenangkanpun perlakuan manusia terhadapku dan keluarga, aku hanya bisa melihat, memaklumi dan mengacuhkannya. Bangsa nyamuk tak memiliki hasrat untuk mendendam, aku sendiri lebih memikirkan keberlangsungan hidup anak cucuku kelak ketimbang menjunjung tinggi ego permusuhan.
.
.
.
Tak ada yang mengganjal, tak ada batu rintangan. Hidup dan pola pikir kaum nyamuk semulus dan sepolos dua mangsa tanpa busana yang sering kutemukan tengah bergulat vertikal ditengah rerimbunan diwaktu malam. Entah apapun yang tengah mereka lakukan, yang terlihat dimataku hanyalah makanan dan makanan. Manusiakah mereka ? Bukankah kaumnya selalu takut dengan kegelapan dan selalu menghindar ? Apapun itu, yang jelas aku selalu berbahagia untuk manusia yang rela memoloskan tubuh ditengah remang untuk kami makan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar