Minggu, 18 Desember 2016

Membakar Hujan

Waktu sanggup merubah segalanya. Dan kini aku percaya.
.
.
.
Hujan tak pernah datang semesra sore ini, dikala semburat oranye diufuk barat mulai bersiap menunjukkan diri, tetes-tetes hujan yang menimpa atap rumah menjadi melodi pembuka yang teramat pas. Aku sekarang menyukai hujan. Ari memanusiakan rintik besar-besar itu lebih dari sewajarnya. Ketika dulu hujan menawarkanku bangku bersalju, maka sekarang hujan menghadiahiku sepotong kerinduan dengan nama Ari didalamnya.
.
Lagi-lagi aku merasa hujan tak pernah semesra yang turun pada sore menjelang petang ini. Dalam balutan rinainya yang saling berbaris rapi, aku merasakan kehangatan bak sepasang kaus kaki. Dalam rintik besar-besar yang datang keroyokan, aku melihat tangan besar kasat mata menggapit tubuh kecil ini sebelum akhirnya menceburkannya pada segentong besar perasaan iri. Rasa iri pada banyaknya pohon bambu yang saling meneteskan peluh ketika petir melewati sela-sela pucuk daunnya. Rasa iri pada sehelai daun bayam yang rela menundukkan diri demi bisa memeluk batang pohon yang terciprat tetesan air hujan. Rasa iri pada dua kilat yang menyempatkan diri untuk bergumul dibalik awan hitam sebelum turun menyambar. Rasa iri bahkan pada rintik yang saling berkejaran sebelum akhirnya melumer dalam lautan kebahagiaan. Aku rindu Ari dengan kekuatannya memanusiakan hujan.
.
.
Jika saja petang ini Ari berada dalam jangkauan, niscaya sepasang kaus kaki bermanik kepala beruang itu tak lagi dibutuhkan. Dalam rengkuhannya, kami berdua akan membakar hujan dan menyulapnya menjadi entakan ranjang. Selain memiliki kekuatan memanusiakan hujan, Ari juga menyimpan kekuatan mendatangkan tsunami. Badai yang diracik perlahan melalui sentuhan dan tiupan ringan sungguh sanggup menimbulkan lengsernya lempengan iman. Ari tahu betul kapan saat yang tepat untuk surut, menerjang dan menyemburkan hingga tertinggi air dalam luapan. Seringnya aku hanya bisa pasrah. Merelakan diri ditelan air tsunaminya, merelakan diri dihempaskan oleh tinggi dan kuat inginnya. Membiarkan hujan mengiringi dan menyirami lagi dataran yang tengah terengah dilanda hasrat yang rindu untuk mampir ke daratan.
.
Andai petang ini Ari berada dalam dekapan, niscaya segentong iri tak akan eksis di paragraf ini. Yang ada hanyalah alam yang tunduk khidmat menyalami aku dan Ari karena perasaan takjubnya akan kekuatan kami berdua dalam membakar hujan. Andai petang ini Ari berada dalam jangkauan, niscaya daun bayam akan tersipu malu mendengar kecipak air hujan yang turun sebelum tanah sempat membasahi diri. Niscaya pucuk-pucuk daun bambu akan rela memayungi petir dan menyabotase tujuan kehadirannya, memelintirkan fungsinya menjadi nyanyian indah yang hanya akan didengar oleh telinga-telinga yang tengah berbahagia. Niscaya kilat-kilat akan saling menyambarkan diri diatas sana, menjadikannya semacam kembang api dengan awan hitamnya sebagai latar belakang.
.
.
Ari membuatku mendekap rindu pada hujan petang ini, membuat rintik-rintiknya terdengar semesra bisikan-bisikan khas ketika tengah bercinta. Ari memanusiakan hujan dengan sangat tepatnya, hingga lupa didalam diri manusia terdapat sisi hewani yang suatu saat butuh untuk ditaklukkan. Milikku tak terkecuali. Sentuhan itu, bisikan itu, dan dekapan itu seakan semuanya adalah ornamen-ornamen yang sangat pas jika dipasangkan pada sepotong hujan. Badai tsunami tak pernah dipuja dan diinginkan sebelum Ari datang dan menghendakinya demikian. Badai tsunami petang ini tidak akan datang, hanya kerapnya rintik hujan yang memboyong kerinduan. Dan Ari tak pernah tahu dirinya semenakjubkan awan hitam, bagi manusia lain mendung berati saatnya bersiap membentengi diri dari hujan yang membanjur, bagiku awan hitam pertanda kebahagiaan yang tengah dalam perjalanan, kilat dan petir adalah bak tanda peringatan bahwa pesawat tengah lepas landas dan hanya tinggal menunggu hitungan sebelum akhirnya bersentuhan dengan pesawat itu, si hujan.
.
.
.
Dan kini aku percaya, waktu dapat merubah segalanya. Tubuhku yang dulu selalu menggigil ketika tertimpa butiran air hujan, kini justru menunjukkan kesediaan dan kerelaannya untuk diterjang. Sendi yang dulu selalu meradang kedinginan disaat awan hitam usai menuntaskan bebannya, kini selalu siaga dengan adanya lonjakan-lonjakan dari beban yang diangkut aliran darah. Jantungku tak pernah sesigap ini menerima tamu agung bernama kerinduan. Sepotong rasa yang selalu hadir dibawa oleh rintik hujan. Dan lagi-lagi Ari tak pernah tahu bahwa dirinya semenarik awan hitam. Membuatku bersiap, berpraduga dan jika memungkinkan menyiapkan payung agar tak kehujanan.
.
.
Hujan tak pernah semesra sore ini, rangkaian melodi yang mengalun dari pengeras suara tak sanggup menandingi nikmatnya perasaan ini. Kerinduan akan adanya rengkuhan, bisikan-bisikan ringan, dan akan datangnya badai tsunami yang Ari ciptakan. Ah..andai alam tahu, kekasihku berpotensi menjadi alat yang sanggup mendeteksi akan datangnya bencana menyenangkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar