Sabtu, 23 Januari 2016

Abu dan Abu

Petang itu tak memiliki aroma beda seperti petang kemarin dan sebelumnya. Langit tak mengirimkan tanda apapun selain remang yang lumrah datang karena memang sudah saatnya. Suasana tak semencekam sekian jam yang akan datang. Aku yang selalu bangga akan kelebihanku untuk lebih peka pada sesuatu yang dikirimkan rasa masih belum mendeteksi adanya kedukaan. Aku seharusnya tahu engkau tengah mengamatiku dari tempat yang sangat dekat. Aku harusnya tahu, engkau telah pulang sebelum semua orang menyadari engkau hilang.
.
Udara mulai terracuni kecemasan. Bayang-bayang bersamamu mendadak berputar cepat seperti kamera film rusak yang tak memiliki tombol berhenti dan mati. Aroma duka mulai meluncur perlahan dari sudut-sudut atap rumah. Aku seharusnya tahu lebih awal, engkau telah pulang dan kesiaan semata bagi mereka mencarimu kesegala penjuru daya. Karena memang engkau telah pulang. Kerumah yang kusebut abadi.
.
Suara tangis adalah sejenis mala yang sanggup menulari makhluk sekitar. Sejenis virus yang sanggup menyebar tanpa harus adanya perantara. Dan isak Ibu adalah pencetus kenapa retinaku membasah dan sedikit mulai hilang akal. Sudut-sudut rumah menembakkan aroma duka yang dalam sekejap membuyarkan segala keyakinan. Aku masih percaya engkau hanya bersembunyi, entah disemak belukar, entah dipelukan ajal. Aku masih percaya engkau tak akan pergi hari ini, dengan cara seperti ini. Satu, tiga, sepuluh tetangga mulai berdatangan pulang. Usaha mencarimu ternyata sesulit itu. Aku dengan keyakinan yang telah tersirami duka, hanya sanggup menatap nanar pada semua yang datang. Aku tak beranjak kemanapun semenjak kecemasan mulai merasuki dada. Aku tak pergi ke semak belukar manapun atau menemui sang penjemput ajal..mencoba menanyakan keberadaanmu yang mulai dinyatakan hilang. Aku masih terdiam duduk menatap nanar pada semua yang membisikkanku kata sabar.
.
.
.
Detik dimana sebuah bahu menyodorkan diri padaku, dan detik ketika raungan mulai berdatangan dan mulai terdengar kian mendekat adalah detik dimana aku melihatmu mengucapkan selamat tinggal. Aku mengisak, hanya mengisak. Karena otak dan hati masih berkeyakinan erat bahwa semua hanyalah impian semata. Aku tak menjerit seperti yang mereka lakukan, hanya karena paham ketika aku membiarkan tangisku mengalir lepas, maka itu akan menjadi pertanda bahwa keyakinan besarku akan petak umpet yang tengah kau mainkan adalah sebuah kesalahan. Engkau tidak bersembunyi, engkau pergi.
.
.
.
Dalam jarak yang begitu dekat, engkau tak terdekap. Dalam jarak yang begitu nyata, engkau memburam dan mulai melebur bersama khayal. Aku seharusnya tahu, dalam keriuhan yang membakar ruang, tanpa siapapun ketahui engkau telah lama pulang. Aku seharusnya tahu, dalam kedukaan yang menyelimuti engkau ada disini, menyaksikan lara mengudara dan menyesaki langit malam.
.
.
.
Duka dan duka menghiasi sepanjang perjalanan jarum jam. Langit dan petang telah bersekongkol melenyapkan tanda kepergianmu dariku. Aku merasa buta, aku merasa tak berdaya. Dari sekian nama yang membisikiku kata sabar, tak satupun dari mereka yang membuatku tersadar pada adanya kenyataan bahwa aku telah kehilangan. Dari sekian mata yang merebak dan meneteskan air beningnya, tak ada satupun yang berhasil membangunkanku dari mimpi bahwa engkau masih ada.
.
Kehilangan tak pernah setega ini mencekik leherku. Kehilangan tak pernah sesadis ini mendatangkan diri dalam duka yang begitu lara. Dan dalam kabut yang menghalangi penglihatan, entah apa yang sedang kau lakukan. Tersenyumkah ? Menangiskah ?
.
Ragamu terseret waktu, terselimuti misteri yang tetap menjadi tanya hingga pagi. Perpisahan ini terlalu manis untuk disegerakan. Perpisahan ini terlalu nyaman untuk ditanggalkan. Dan kepergianmu mengakibatkan sakit perut berkepanjangan. Percampuran antara sesak tak terhingga, dan goyahnya akal membuat lambung tergores dan baret. Serbuk keyakinan yang mulai hilang menaburi irisan luka membuatnya semakin menganga. Keberadaanmu tak sekompleks kepergianmu. Duka dan duka yang menyatu menciptakan entitas baru sejenis lara. Dan aku sedikit kecewa engkau pergi tanpa meninggalkan jejak terakhir dimemori. Engkau pergi dalam ujud yang kian membayang. Engkau pergi dituntun matahari, tatkala sinarnya terbenam dimakan malam, saat itulah engkau mulai mengucapkan selamat tinggal.
.
.
.
Nanar terus membayang tanpa lagi mengenali pagi atau siang. Duka yang terlalu mendalam tak sanggup menyamarkan diri menjadi empati. Aku menunduk dan terpuruk. Menanti letupan tangis yang tak kunjung menetes. Aku menunduk dan terpuruk, mempertanyakan kepada alam kemana kiranya ragamu tersembunyikan. Aku yakin bukan disemak belukar. Dan sebagian besar yakinku masih mempertahankan bahwa engkau hanya bersembunyi dalam pelukan ajal. Tak sudi pergi menapaki batas alam ini. Aku menunduk dan terpuruk. Menantimu yang ternyata telah lama datang. Menantimu dalam ujud yang sanggup ku peluk. Namun pagi ternyata datang. Memutuskan segala kesempatan dan harapan. Engkau resmi hilang.

Kamis, 21 Januari 2016

Menamai Garis Alam

Entah takdir apa yang dituliskan Sang Pencipta akan keterkaitanku dengan hujan.
.
.
.
Ketika kecil aku begitu membenci hujan. Berlarian mengikuti kemanapun gerak air yang menetes dari atap rumah adalah hal terindah masa itu, membiarkan kaki berkecipak menginjaki genangan air adalah hal paling menyenangkan juga. Tapi belum seperempat jalan dari waktu langit untuk menuntaskan hasratnya mengguyuri bumi, selalu ada suara menggelegar yang menggiringku masuk ke dalam rumah dengan raut wajah tertekuk lesu, bukan suara petir dari langit yang mengantarkanku pada selimut tebal ditengah derasnya hujan. Tapi teriakan Aki yang selalu mengagetkan. Kakekku satu itu tak pernah membiarkan cucunya barang sejenak menikmati masa paling mengagumkan sebagai anak-anak. Beberapa kali tangan dan kakiku harus membiru terkena gebukan tangan besar Aki karena kemurkaannya mengetahui cucunya mencuri-curi kesempatan bermain air hujan. Jika sudah seperti itu, aku hanya akan mengadu dan tersedu kepada Ibu, dengan kesabarannya lalu Ia akan membalurkan banyak-banyak minyak kayu putih diseluruh badan sembari berkata bahwa air hujan bisa mengantarkanku pada ruangan penuh alat-alat aneh yang selalu kuhindari, ruangan dengan lelaki berjas putih yang akan melukai tangan-tangan mungilku dengan suntikan-suntikannya, tak lupa pula tabung besar disisi ranjang. Aku tidak menyukai rumah sakit, namun karena kenakalanku menentang titah Aki, beberapa kali aku justru harus berbaring pasrah tempat itu. Bayangan Ibu yang dengan mata sembab dan cemas akan menyuruhku diam tanpa tahu ada gumpalan batu besar didalam dadaku yang membuatku merasa berat untuk bernafas. Lalu seorang lelaki dan beberapa perempuan akan sibuk melakukan entah apa. Bayangan seperti itu terekam pasti dimata kecilku, hingga aku sempat berjanji pada diri sendiri untuk selalu mendengarkan perintah Aki. Dan sepertinya memang air hujan yang tanpa sengaja kutelan menyimpan sihir karena membuat wajahku harus dibekap masker besar. Apa hujan semengerikan itu ?
.
.
.
Disaat teman-temanku tertawa riang saling membanjurkan air yang menggenang dilekukan tanah, aku justru hanya bisa memandangi iri dari balik kaca. Ibu seringnya merasa kasihan padaku, tapi ia tak memiliki kuasa untuk menentang perintah Aki. Sebagai alibi, Ibu lalu menyuntikkan dongeng yang menceritakan tentang kejahatan si hujan kepadaku. Menurut cerita Ibu, hujan sebenarnya adalah makhluk dengan kekuatan jahat karena memiliki tanda-tanda mengerikan seperti petir yang menggelegar sebelum kedatangannya. Sementara matahari adalah makhluk dengan kekuatan baik yang akan memberi hangat serta bahagia bagi penduduk dunia. Aku iri melihat raut puas diwajah teman-teman karena asyiknya bermain dibawah air hujan tanpa pernah ada larangan. Aku begitu iri sampai-sampai rasa suka terhadap hujan bermutasi menjadi rasa benci. Aku membenci hujan hanya karena aku tidak memiliki izin untuk bersenang-senang dengannya. Aku membenci hujan karena ia membuat kebahagian lenyap lantaran matahari enggan menampakkan diri dan halilintar sebagai ajang pembukanya memang benar sangat mengerikan. Kakekku sendiri mengajari cara menumbuhkan benci dihati bocah polos yang bahkan masih belum memiliki malu ketika harus bertelanjang dada menikmati guyuran hujan diluar rumah. Dan Ibuku sendiri tidak menyadari bayangan apa yang tengah menanti dan mengancam dimasa-masa mendatang hidup putri kecilnya.
.
.
.
Memasuki umur belasan, disaat aku sudah memiliki alasan untuk malu bertelanjang dada didepan umum, justru masa itulah yang menjadi patokan untuk membalas hutang dimasa lampau. Tak ada yang melarangku memanasi si kuda besi meski rintik gerimis mulai menyapa, tak ada yang melarangku menerjangi serbuan hujan dengan alasan jam sekolah memiliki batasan dan tak mengenal kata ampunan terlebih untuk alasan menunggu hujan yang mereda. Disaat aku memiliki alasan untuk berlarian riang dibawah air hujan, disaat aku memiliki kesempatan untuk menikmati sajian air tumpah dari langit, justru waktu dan kesehatanku yang tak mengizinkan aku untuk melakukannya. Entah permainan konyol apa yang direncanakan Tuhan, kali ini aku yang marah. Aku tak diberi-NYA kesempatan untuk bersenang-senang. Masa kecilku harus tersita dibawah dekapan selimut tebal. Setelah beranjak dewasa, haruskah tetap aku berakhir ditempat yang sama ketika musim hujan mulai tiba ? Tiga puluh menit adalah waktu toleransi terpanjangku berada dalam lumatan air hujan. Lewat darinya, kembali aku harus merasai bekapan masker besar dengan tabung yang besar juga disisi ranjang. Aku sudah cukup pandai untuk mengetahui apa nama yang dipakai untuk menamai batu yang menyumpal pernafasanku. Membuatku menanggung berat hanya untuk sekedar menarik oksigen. Yang belum aku pahami dalam tahap sedewasa ini adalah, entah takdir apa yang dituliskan Sang Pencipta tentang keterikatanku dengan hujan. Entah garis apa yang melingkupi takdirku kedepan dengan kuasa alam bernama hujan.

Rabu, 20 Januari 2016

Hujan dan Manusia Berotak Granat

Hujan mengguyur dengan sangat derasnya, mengurung aku dan sebuah nama untuk tetap bertahan menunggu reda. Disalah satu bangku panjang diemperan taman kota. Bunga-bunga merunduk tak kuat lagi menahan beban siraman air hujan. Sudah hampir satu jam alam menumpahkan berpuluh-puluh ember pasokan airnya, seakan dilangit sana terdapat sumur raksasa yang siap menampung air untuk dibagi-bagikan gratis kepada seluruh bagian penduduk bumi. Dan dalam pelukan dingin yang dihantarkan hujan ternyata masih bisa kutemukan kehangatan. Sebuah nama yang mendasari kenapa cerita panjang ini bermula.
.
Wajahnya memiliki rahang yang halus, hidungnya menjulang bak menantang alam, dari alisnya sanggup kubaui aroma melati..bulatan matanya mengingatkanku pada bunga beraroma tajam satu itu. Mampu meninggalkan kesan dalam format mungilnya. Wajahnya terlalu anggun untuk ukuran laki-laki pada umumnya. Namun bukan itu yang menarik minatku untuk bercakap lebih ketimbang sekedar basi-basi perkenalan dan merutuki hujan.
Otaknya menyimpan begitu banyak granat. Terbukti ketika bibirnya mulai terbuka dan kata-kata meluncur dari mulutnya, sanggup membuatku berdecak kagum dan pekikan-pekikan kecil pertanda betapa mahirnya ia menciptakan suasana. Otaknya menyimpan begitu banyak granat, membungkamku dalam ledakan-ledakan tawa yang muncul dari mulut lebarnya. Aku menemukan sosok yang pas untuk melupakan hujan, aku menemukan sosok pas untuk mencairkan dingin yang terus menggigiti seluruh badan. Sejenak aku diseret paksa dalam dunianya, menjadi saksi bagi kisah-kisahnya yang entah kenapa begitu empuk dan nyaman untuk diperdengarkan. Dalam kurun waktu hampir satu setengah jam, tak dibiarkannya aku menguliti sisi-sisi hidupku. Bulatan melatinya terus menyanderaku dalam tatapan harumnya. Granat-granat diotaknya berhasil meledak dan meluluh lantahkan tak hanya waktu tapi juga keadaan sekitar. Aku mengikhlaskan indra pendengarku untuk dilumat cerita-ceritanya. Hujan mempertemukanku dengan manusia setengah teroris.
.
.
.
Petang ini, satu pekan berlalu semenjak perkenalanku dengan si manusia berotak granat. Dan entah kemalangan atau kemujuran..aku bertemu lagi dengannya tanpa terduga disalah satu emperan toko. Lagi-lagi hujan yang mempertemukan. Membalut cerita ini menyisakan embun-embun yang menempel dikaca. Bajunya sedikit kuyup oleh banjuran air langit. Senyum itu terpasang pasrah diwajahnya, lagi-lagi aku merutuki kenapa tak bisa menemukan padanan lain untuk bola matanya yang seharum bunga melati. Menatapnya hanya akan membuat terlena. Dan terbayang apa yang akan terjadi jika membaui aroma melati lama-lama ? Aku keracunan tatapannya ! Manusia satu ini sungguh sangat berbahaya.
.
Hujan yang menyapa petang ini tak kalah lebatnya dari deras yang diturunkan ditaman kota sepekan lalu. Akan percuma jika dipaksa pulang, seragam kerja memang sudah terlanjur basah tapi kuda besiku tidak tahan hujan, seringkali ia ngambek ditengah tingginya air yang menutupi badan jalan. Ketimbang menuntun si kuda besi ditengah terpaan hujan, aku lebih rela barang beberapa waktu semua indraku diledakkan oleh granat yang dimuntahkan belahan bibirnya. Aku jatuh cinta ? Tentu tidak. Aku tidak segila itu untuk mengikhlaskan hati agar terus-menerus dibombardil granatnya ketika nanti aku menjatuhkan hati pada lubang cintanya.
.
Mata itu menatapku sedikit lebih dekat hari ini. Aroma melati dengan sangat tajamnya merobek indra penciuman dan mengobrak-abrik nalar. Hujan lebat memaksanya untuk lebih mendekatkan wajah ketika berbicara agar suaranya tertangkap telingaku. Hujan sekali lagi mengirimkan pemanas untuk mencairkan dingin yang kembali menggigiti badan. Dan tanpa aba-aba tangan yang sedari tadi terus saling mendekap hangat dibadan terulur tiba-tiba menyampirkan jaket hitamnya dipunggung. Ia membaca beku yang mulai menjalari wajahku. Ia mulai membaca cakaran dingin yang tak lagi mempan ditandingi pemanas dari percakapannya. Petang ini kembali aku merasakan bahaya hanya karena menerima maksud baik dari si manusia berotak granat ! Bagaimana jika aku jatuh cinta ? Sanggupkah aku menciptakan sistim imun agar kebal dari tusukan-tusukan aroma melatinya ? Sanggupkah aku tetap hidup menyadari hari-hari didepan nanti hatiku akan diledakkan oleh simpanan granatnya ? Manusia ini sangat berbahaya !
.
Secepat kilat aku menyarungi kata-kata diluar nalar yang mendadak muncul diotak. Hujan mulai mengancam melalui datangnya yang tiba-tiba dan menghadirkan pula makhluk tak terduga. Hujan mulai membuatku khawatir tentang bagaimana jika aku jatuh cinta, tentang bagaimana jika hingga larut derasnya tak kunjung mereda. Sementara didepan sana, dibahu jalan si kuda besiku mulai meringis menahan dingin tak tertahan. Sementara dibelakang sana aku menyimpan kenangan buruk tentang hujan dan aliran airnya yang melenyapkan seseorang dengan nama yang akan terus terkenang. Aku tidak tahu apa salah hujan, aku hanya takut jatuh cinta kembali pada aliran mematikannya.

Selasa, 19 Januari 2016

Tarian Kejujuran

Aku mengenali suara, yang bergaung dan menjalar cepat melalui ruang hampa. Aku mengenali suara, yang merembes melalui celah dinding warna hijau tua. Cermin besar tertempel disemua lembar dinding ruang, namun mataku tak kunjung berhenti mengedarkan pandangan.
Sebuah nama terus berputar diudara, mencekik nalar yang kian menipis dilumat bayangan. Semu mengaliri tiap persendian dan perlahan menaik turunkan tangan menciptakan sebuah gerakan. Gerakan anggun, gerakan tak beraturan berpadu mengisi udara yang tak mau berjabat tangan. Aku menarikan sebuah kejujuran, tanpa perlu bantuan adanya latihan atau sang pelatih juga. Diruang bercermin yang sekiranya sangat pas bagiku melihat segala sudut diri tanpa perlu lagi meminta nyawa lain untuk mengapresiasi.
.
Aku menarikan sebuah kejujuran, menyeimbangkan dengan birama dan ketukan. Menciptakan komposisi pas tanpa lagi mengingat kearah mana tangan dan kaki meliukkan badan. Aku hanya ingin bergerak, menari, mengunci segala emosi dan meluruhkannya lewat tetes-tetes peluh yang jatuh membasahi lantai. Aku menarikan sebuah kejujuran disebuah ruang hampa dengan seonggok buket bunga krisan dipojok ruangan, menunggu sentuhan, menunggu saat yang tepat untuk sebuah belaian dan ciuman.
.
.
.
Seekor cicak memandangi dalam remang, pantulan dudukan lampu menjadi tempat nyamannya bersembunyi dan mengintai. Tetes demi tetes berjatuhan seiring dengan banyak gerakan tak beraturan yang kutarikan. Aku tidak menyuguhkan tarianku bagi siapapun, termasuk kepada kawan lama yang tengah mengintai dalam remang. Aku yang tengah menikmati aksi peluruhan emosi tak lagi peduli aksi protes paru-paru yang ternyata kewalahan memasok oksigen demi menyeimbangkan banyak putaran. Tiga langkah depan, dua langkah menyamping. Tarian kejujuran berlalu tanpa iringan dan hanya menyisakan air asin berceceran, perpaduan antara peluh dan cairan bening yang mengalir dari retina. Ritual belum berakhir disini. Tidak akan berakhir sebelum bau wewangian ruang berganti menjadi bau anyir kehidupan. Tidak akan berakhir sebelum cermin-cermin besar disepanjang lembaran dinding memantulkan kolam merah yang mengaliri lantainya. Darah bukanlah cairan terakhir sebagai tanda adanya kehidupan. Dan sebuah tarian kejujuran tidak akan mencapai titik klimaks sebelum ruang hampa dengan ujung pintu berornamen cantik itu menghadirkan aura remang, sebelum buket bunga krisan dipojokan hidup dan kembali segar karena teraliri darah dari tarian kejujuran.
.
Seekor cicak meneteskan air mata. Cairan beningnya bak nila yang jatuh dibelanga penuh susu berwarna putih tulang. Begitu asing dan terasa benar keanomaliannya.
Seekor cicak dipersembunyian kesetrum energi yang ditarikan raga. Aku berhasil menitipkan secuil jiwa segar ditengah aksi membunuh diri. Seonggok buket krisan dipojokan ruang secara misterius tersenyum memandangi retinaku yang mulai perih dan mengeras. Seonggok buket krisan dipojokan menundukan tangkainya berucap terimakasih atas sebuah kejujuran yang berhasil kupersembahkan. Aku tidak menarikan kejujuran bagi siapapun, aku tidak hendak menyajikan gerak lihaiku bagi siapapun nama dan siapapun nyawa. Tarian berpeluh darah murni kupersembahkan kepada seonggok buket krisan dipojokan. Berharap didalam tangkai-tangkainya tersemai setetes air murni yang kelak dapat kugunakan untuk membangkitkan kewarasan. Tarian berpeluh darah murni kupersembahkan bagi seekor cicak dibalik celah remang yang tertutup dudukan lampu. Kepada mereka-merekalah aku sudi mengadu sedan. Menaklukkan banyak gerakan dan meluruhkan emosi dalam ujud tarian kejujuran.
.
.
.
Tubuhku terpelanting keras dilantai. Mengakibatkan bunyi kecipak yang disertai lenguhan lara. Cermin-cermin disepanjang lembaran dinding tak lagi murni terang. Disana terdapat bercak merah. Ragaku mengisyaratkan titik lemahnya. Namun cermin itu memantulkan senyum. Aku berhasil tersenyum. Ditengah genangan merah darah, ditengah kepungan aroma anyir, aku berhasil tersenyum. Didalam ruang terang dengan semua pantulan sudut diri terpampang, aku melihat adanya kelegaan. Total empat kali aku melihat seekor cicak diatas sana menjatuhkan air asinnya. Ah, kawanku satu itu..sejauh ini, aku hanya berhasil mengajaknya berbincang melalui tatapan mata. Membiarkan darah anomali saling menyapa dan berkawan. Dan kali ini, dalam hitungan waktu yang tak bisa kugenggam, aku berhasil membuatnya meneteskan air mata. Tarian kejujuranku ternyata berhasil menyentuhnya. Berhasil mendaratkan seekor cicak yang beberapa waktu lalu sempat menghilang dari perederan.
Dan kepada seonggok buket bunga krisan dipojokan. Terimakasih untuk kesudiannya menundukkan keras tangkai-tangkainya. Terimakasih untuk kesudiannya mendengarkan dan menyaksikan tarian kejujuran. Tak lagi penting ataukah aku akan beranjak dari kolam tetesan darahku atau tetap membiarkan semuanya seperti sedia kala. Aku hanya ingin menikmati, aroma emosi yang mencair melalui pori-pori badan. Menikmati senyuman yang selama ini terus alpa untuk dihadirkan.

Senin, 18 Januari 2016

Memoar Bunga Sakura

Kuncup-kuncup bunga sakura tersenyum menebarkan wewangian diudara. Helai demi helai daunnya jatuh menyapa tanah yang selalu bereuforia bersama penduduknya merayakan kedatangan yang hidup didahan.
Kelopak-kelopak sakura jatuh berguguran tepat didepan mata, ikut membanjiri hati yang tengah takjub pada pesona cinta pertama. Helai demi helah dedaunannya jatuh ikut meramaikan perasaan berbunga ketika kulit tangan mulai merasakan sengatan-sengatan kecil akibat menemukan tautan.
.
.
.
Aku tidak lahir di negeri yang alamnya aktif memproduksi bunga sakura disetiap tahunnya. Tapi aku sanggup membaui aroma per helai kelopak cantiknya, hanya karena aku tengah jatuh cinta.
Aku bahkan tidak begitu paham bentuk dan warna pasti si bunga sakura, ataukah bulat bergerigi kasar, atau bermotif sama seperti bunga mawar. Namun aku berani meyakinkan diri, bahwa aku melihat banyak sakura berguguran menyapu hidung dan bulu mata hanya karena aku tengah duduk manis disamping si pemilik cinta pertama.
.
.
.
Aku mungkin terlalu banyak berhalusinasi. Tapi ketika kulit ariku dan kulit arinya besentuhan, aku merasa kuncup-kuncup sakura didalam hati mulai membetot keluar dari kurungan. Tapi ketika bola hitamku dan bola karamelnya mulai beririsan, aku merasakan kuncup-kuncup dihati yang tengah bersorak sorai merayakan kemenangan untuk kemudian bersiap mekar.
Cinta pertama memang tidak selalunya menghangatkan, tapi ia justru membakar. Sanggup membumi hanguskan segala medan negatif, yang ada hanyalah perasaan mekar. Seperti bunga sakura yang mulai beranjak dewasa
.
.
.
Seperti sanggup kuberlari mengelilingi tiap sudut bumi dan menanamkan pohon sakura disetiap pintu hati insan manusia. Seperti sanggup kusentuh empuknya awan dan kusirami datarannya dengan kelopak-kelopak sakura yang terus muncul berguguran dari udara hanya karena aku mulai terbayang senyuman mematikannya.
Tubuhku terasa ringan dan menjadi sangat ringan ketika aku mulai berkhayal. Tubuhku perlahan bermutasi bak helai-helai daun sakura yang merelakan diri gugur demi bisa menyentuh sakralnya tanah. Ringan yang menyenangkan.
.
.
.
Aku mungkin berhalusinasi, tapi seperti masih tetap bisa kuingat betapa lembutnya perpaduan dua bibir yang sebelumnya tak pernah saling mengenal apalagi bersalaman. Cinta dan ciuman pertama datang dengan begitu pasnya seperti paket yang tak bisa dipisahkan. Dan aku masih sanggup mengingat manis keduanya sejelas aku membaca buku ditanganku. Terkutuklah mereka yang saling menyakiti dengan beralaskan cinta. Nyatanya..untuk pertama kalinya mengenal cinta dan menjadi satu-satunya cinta yang pernah kukenal..ia memiliki pemahaman lain diotakku. Cinta itu manis, terlalu manis hingga terkadang aku takut terlalu sering menyapa kulit arinya justru akan menimbulkan diabetes. Cinta itu manis, terlalu manis hingga terkadang aku takut karena terlalu seringnya membelai lembut bibirnya justru akan menjadikanku si penderita komplikasi, antara diabetes dan kelainan jantung.
Aku tidak pernah datang ke negeri yang alamnya aktif memproduksi bunga sakura. Tapi kapanpun waktu aku tengah menggenggam tangannya. Kapanpun waktu aku tengah memamerkan calon milikku pada penduduk dunia. Kapanpun waktu aku tengah memadukan dua belahan dalam keempukan belitannya. Aku selalu melihat sakura-sakura disekelilingku. Terkadang bunga jatuh menyentuh hidung tepat ketika bibirnya selesai mencicipi dititik itu juga. Terkadang aroma bunga menabrak daun telinga ketika bibirnya mulai meniupi lingkaran siputnya, yang berakibat pada perasaan ringan seperti sanggup menerbangkan raga. Bunga-bunga sakura menjadi saksi. Bunga-bunga sakura menjadi objek ter-magis selama proses pendekatan dengan si cinta yang pertama kali hendak singgah. Bunga sakura terbang keluar dari matanya yang sesekali terpejam. Beribu bunga sakura tumbuh dan mekar didalam kepala ketika kulit ari tangan dan juga lembut perpotongan bibirnya mulai menyapa, menyentuh, hingga merengkuh. Aku merasa seperti sanggup menandingi alam milik si negeri sakura dalam memproduksi kelopak-kelopak cantiknya.
.
.
.
Sebelum mengenalnya, aku tidak pernah tahu jika ada jenis cinta dengan rasa semanis gula asli. Aku tidak pernah tahu, jika manusia sebenarnya diciptakan dalam format terkuatnya, sanggup berkali-kali sembuh dari kerikuhan si diabetes dan si kelainan jantung yang kerap muncul ketika mulai jatuh cinta.
.
Bunga-bunga sakura jatuh ditanah menyapa saudarinya, daun kering yang pada masanya tumbuh bersama kuncup dan kelopak si sakura. Bunga-bunga sakura jatuh ditanah berbaur bersama cacing, daun kering dan juga ranting membentuk humus-humus. Dan seperti halnya sakura, perpaduan antara waktu, cinta dan enzim lainnya, maka didalam cinta terciptalah satu spesies baru bernama rindu. Memupuk banyak rindu hanya akan mencekik. Memupuk banyak rindu hanya akan membangunkan memori tentang dua tangan yang bergandengan, membangunkan kenangan rasa tentang dua belahan empuk bibir yang saling bersilat mesra. Membangunkan pula kenangan jatuhnya kelopak si sakura.

Sabtu, 16 Januari 2016

Perburuan Kisah Berkarat

Kekasihku bergelantung manja dileher. Bertalikan pengalung warna hitam, menemaniku menjelajah hingga sudut tak terlewatkan. Medan terjal, jalanan terang, hingga tanah lapang yang kian menggulita seiring perputaran jarum jam adalah makanan. Aku yang bertugas merasai tiap keping perjalanan sedangkan kekasihku bertugas mengabadikannya menjadi lembar-lembar kenangan juga pembelajaran.
Petualangan kami tak pernah memiliki batas ataupun ruang. Setiap butir waktu adalah padi berharga yang tergantung malu-malu diujung tangkainya. Setiap satu saja tarikan nafas adalah kepulan panas yang dinantikan dan terbang manis diatas penanak nasi. Aku dan kekasihku mengemban misi memotret remah-remah tercecer yang tak mungkin mau dipungut oleh siapapun mereka. Mereka yang terlalu sibuk mencari dimana ujung bahagia dan pangkal nestapa.

.
.
.
Ia adalah sebuah alat pemotret. Benda yang kudapat dari nenek tua lewat perkataannya yang membangunkan titik sadar. Sebelumnya, aku tak pernah mempunyai kesempatan untuk memiliki apapun. Melalui nenek tua lah akhirnya aku terbangun dan mulai meramu sayang untuk benda yang kelak kuangkat ia pada titik setara kedudukan pacar. Kekasihku tak berkaki, ia hanya mampu berjalan jika leherku mau menampung beban lewat tali pengikatnya. Kekasihku tak bertangan, tapi ia mampu dengan tepat menunjukkan tempat dimana aku harus duduk, condong atau bahkan bersujud total. Kekasihku tak berhidung, letak penciumannya ada pada seberapa peka kulitku menyapa juga menjamahi tiap lekuk tubuhnya. Kekasihku memiliki mata, hanya mata. Ia mengajariku melihat, membaca dan juga memangsa.
.
.
Hari ini, aku dan kekasihku berburu potret pada kisah yang menumpang hidup pada sebuah nama. Sebuah kisah yang menyimpan nada sumbang disetiap tetes tinta salah satu paragrafnya. Sebuah kisah yang konon mengharamkan bagi siapapun untuk merangka lebih detail apa dan siapa yang telah membuat kisah itu sendiri sekarang berkarat dan mati. Aku mengenali nama dari pemilik kisah itu, ia sosok penuh misteri. Dan perburuan kali ini mengekalkan tekad milikku dan sang kekasih untuk bisa merekamnya secara detail dan tanpa penghalang. Mata lensaku menyukai petualangan, hari ini mungkin badanku tak harus tertelan lumpur dalam demi mengabadikan dengan cermatnya proses mengepaknya burung berbunyi sengak. Kekasihku tak harus berlumur dingin seperti ketika kami hendak mengabadikan tetes romantikal sebutih salju pertama. Perjalanan kami hari ini akan melalui rute yang berbeda. Terbang hanya akan menyia-nyiakan banyak kesempatan, mengarungi hanya akan membuat semua tanda tujuan justru hilang dan terlupakan. Hari ini kami menggunakan jalan dalam. Menyusup bak tikus liar diparit-parit hingga tanpa siapapun mengenali derap jejaknya. Aku dan kekasihku memulai dengan mengulik sebuah nama. Bukan nama yang asing. Bahkan aroma nafasnya masih bisa kubaui dengan baik. Penyusupan dimulai.
.
.
.
.
.
.
Satu hari..dua hari..tiga bulan..seperempat tahun berlalu. Tas selempang yang selama ini hanya tersampir dibahu sebagai formalitas saja akhirnya memiliki guna. Lensa pembidikku terlelap dalam senyum bangganya. Memotret selalu bisa menambah porsi bahagia.
Kisah itu dimulai dari pengejaan sebuah nama. Nama yang kelak hidup dalam pengajaran ketat sang waktu. Dilembar pertama, yang berhasil lensa pembidikku tangkap hanyalah ruangan hampa..aku tak mengenali dimana dan apa. Lembar kedua datang mengagetkanku. Inilah kisah yang mengarat itu, ia mati terkulai dengan damainya. Jejak-jejak tintanya mulai memudar tertimpa tetes air hujan. Kisah mengarat itu memperlihatkan sang empunya nama tengah dalam masa remuknya. Aku bisa merasa, pemotret tua yang setia bergelantung dileher berhasil menceritakan semuanya. Cinta, bahagia, obsesi, mimpi yang kemudian berganti menjadi marah, lelah, kecewa dan perasaan sia-sia.
.
Dear pemilik nama misterius, inikah kisah yang kau biarkan mati dan berkarat itu. Aku berhasil menyingkap tirainya sekalipun tetap banyak buram menghiasi sudut-sudut gambarnya. Aku masih bertanya, aku memiliki banyak tanya, ribuan tanya. Engkau pernah sejatuh itu ternyata, pernah pula engkau setenggelam itu. Keikhlasan yang terus engkau coba terapkan patut mendapat penghargaan. Karena bahkan sosok ratu dan malaikat pun berhasil dengan rela engkau lepas. Dear sebuah nama, jika bisa bagiku dan kekasihku menarik benang dari semuanya. Benar adanya memang jika waktu adalah pengajar terhebat sepanjang masa. Engkau pernah jatuh pada cinta yang tidak dangkal. Engkau pernah terlena pada kasih yang akarnya berserabutan. Namun akhir dari semuanya, engkau justru terpelanting dalam mimpi yang sama sekali tak disengaja. Dan engkau bertumbuh teramat kuat kini.
.
.
.
.
.
Petang menyapa dalam kecupan rinai hujan, kisah berkarat itu masih menjadi target perburuan yang menarik, sekalipun sampah tetaplah sampah tak peduli dimana mereka meringkuk. Kisah berkarat itu mungkin telah lama selesai. Aku tak lagi peduli. Tantangan hari ini selesai dan kami sangat merindukan kembali kepada alam.

Rabu, 13 Januari 2016

Lelaki Tertampan

Ia bukanlah jenis lelaki yang diidamkan banyak wanita. Kulitnya hitam akibat terlalu sering terpapar sinar matahari. Kakinya penuh bekas luka di kiri dan juga di kanan, entah itu karena jatuh atau tergores atau bekas alergi atau malah cinderamata dari panas knalpot si kuda besi. Bulatan matanya tidak begitu putih dan jernih, tapi bola kecil hitamnya menyimpan bongkahan banyak bara. Ditelapak tangannya terdapat banyak kapal, kulit mati yang kian mengeras dan menimbulkan efek aneh disaat telapak itu ia gunakan untuk meraba dan menyentuh. Keras yang akan mengingatkanmu pada masa-masa berseragam, keras yang terasa seperti gumpalan tanah liat kering ditelapak tangan sisa membuat prakarya. Mungkin seperti itu. Ia, aku tegaskan sekali lagi bukanlah jenis lelaki yang diperebutkan banyak wanita. Namun aku, manusia dengan jenis kelamin dipertanyakan ternyata berhasil ditaklukkannya.
.
.
Dulu, aku selalu memiliki anggapan bahwa lelaki tampan adalah mereka yang memiliki kulit putih dan semulus pualam. Mereka yang memiliki tatanan rambut menarik dengan sedikit lencir di ujung tengkuk. Mereka yang bermata putih yang saking jernihnya sanggup terpantul bayangan objek di depan lewat bola matanya. Aku selalu menganggap lelaki tampan ialah mereka yang berkaki jenjang, berbulu jarang, dengan kuku-kuku lentik bersih. Dulu aku selalu menganggap tampan adalah apa yang sanggup dicerna oleh retina, bukan apa yang dihasilkan dari perpaduan debat banyak indera. Dulu aku selalu berkhayal bisa menyentuh kulit-kulit bak pualam milik idola ternama, berkayal juga bisa meneliti setiap jengkal leher mulus mereka, menangkupnya dalam resapan jemari, membiarkan tangan-tanganku menikmati sajian halus yang sekali lagi kuibaratkan mirip pualam.
.
.
.
Dan itu adalah aku yang dulu, aku yang masih mencari jawaban kenapa aku ada, aku yang masih berkeliaran menangkapi ribuan tanda tanya. Sekarang, aku telah memiliki. Dengan bangga aku akan memamerkan diri bahwa aku telah memiliki. Lelakiku bukanlah jenis yang banyak diidamkan para wanita. Kulitnya legam, rambut ikal halus dan tak tertata, matanya hampir menyerupai warna abu, kakinya pun penuh cinderamata. Namun alam berhasil menyihirnya menjadi lelaki penuh misteri. Setidaknya sihir itu benar-benar bekerja padaku. Bagiku ia teramat tampan. Lelakiku adalah jenis yang hanya ada satu dialam ini, ia terlahir istimewa untuk menyempurnakanku. Untuk itulah aku tak pernah alpa mengucap syukur karena berhasil memilikinya. Aku tau, dari semua yang pernah kumiliki..dari yang tergenggam ataupun terikhlaskan. Dengan percaya diri kunyatakan bahwa aku masihlah yang paling beruntung diantara semuanya.
.
Namanya Ari. Ariku. Aku selalu suka memandangi kelopak matanya lama-lama, mengecupi hingga bibirku mati rasa. Binar retinanya selalu menyimpan bongkahan banyak bara. Memandanginya lama-lama sanggup menularkan asa, harap dan tak lupa juga kehangatan. Matanya adalah bagian terindah yang bisa kuapresiasi hingga saat ini. Sorotnya membuatku aman sekaligus nyaman, berada jauh dari mata itu selalu mendatangkan takut berlebih, khawatir tak beralasan. Aku selalu suka membenamkan mukaku dikerumunan helai ikal halusnya. Menyesapi aroma shampo yang tertinggal disana, menyisir helai itu hingga tengkuk dan membiarkan jemariku beristirahat dipangkalnya. Mendekapnya adalah hal terbaik yang pernah kulakukan hingga hari ini. Membiarkannya meringkuk dalam dekapan menghadirkan padaku perasaan agung melebihi jatuh cinta. Pernahkan engkau terhanyut pada perasaan hingga titik itu ?
Aku selalu suka menautkan jemariku pada jemarinya, menyalurkan energi baginya yang tak pernah sudi memperlihatkan luka. Aku tahu ia makhluk terkuat yang pernah kutemui. Jemari kasarnya selalu menyadarkanku lagi dan lagi bahwa aku adalah perempuan. Ya, alam selama ini mengombang-ambingkan pengetahuanku, terkadang aku merasa gagah seperti kaum adam, terkadang aku merasa jelita seperti halnya kaum hawa. Dan ia selalu berhasil membuatku merasa perempuan, ia selalu berhasil membuka tabir yang melumuti waktu bahwa aku sudah seharusnya memiliki kehalusan dan kelembutan seorang wanita yang selama ini sangat asing bagiku. Ia membuatku merasa sempurna.
.
.
.
Dulu aku menamai idola tampanku sebagai si malaikat tanpa sayap. Kini, ketika aku terbangun dari tidurku dan menyadari Ari berada lelap mendekapku, saat itulah aku merasa bahwa Tuhan begitu sayang kepadaku. Malaikat tanpa sayap tak lagi ada dalam format idola, ia hadir nyata. Dulu aku selalu bermimpi untuk bisa mengecupi iris karamel idolaku, kini lagi-lagi aku merasa Tuhan terlalu menyayangiku. Ari yang tengah terlelap lebih mendamaikan ketimbang memandangi air terjun niagara di seberang sana. Dulu aku selalu berdoa untuk bisa meski hanya satu kali saja melihat idola tampanku tanpa penghalang layar kaca. Dan kini, Ari bagiku adalah lelaki tertampan yang pernah berhasil kudekap erat-erat, lebih dari itu karena kini dan entah kapanpun nanti..aku telah berhasil memilikinya. Lelaki berhargaku. ARI. :-)

Selasa, 12 Januari 2016

Catatan Pendaki Gunung Amatiran

Aku melihat hijaunya batang padi ditengah sawah melambai. Gemericik suara sungai kecil dibawah kaki..jalanan yang tidak bisa dikatakan sempit untuk ukuran jalan menuju pemakaman. Kombinasi yang aneh, dari tempat dudukku sekarang hanya berjarak tak lebih dari satu kilometer menuju tempat pembaringan umat manusia. Disambungkan oleh jalan berbatu kasar, dikelilingi hijau sawah disepanjang mata memandang. Diujung penglihatan, tertangkap jalanan aspal beserta hilir mudik beban dibadannya. Kendaraan mengkerdilkan diri dari tempatku kini. Dan aku, aku duduk dipintu masuknya. Di salah satu bangku panjang di bawah naungan pohon bambu dan aliran sungai yang dibelah oleh kokohnya semen jembatan. Dengan sebuah buku bersampul hitam ditangan, "Kundalini". Ya, kundalini adalah salah satu metodi setara meditasi (mungkin, aku kurang begitu paham). Aku tengah berjuang menenangkan diri, memenangkan diri, menyembuhkan diri. Karena kemarin lusa, aku telah terluka..atau mungkin melukai..atau mungkin justru tengah berlatih mengoyak diri demi mengetes seberapa panjang batas tahan warasku. Dan alasan aku memilih berdiam diri disini sekarang adalah karena mungkin hanya disinilah satu-satunya tempat didunia dimana aku bisa melihat bukti betapa dunia ini sangat sempit. Dengan berada ditempat dudukku kini, aku sanggup mengapresiasi betapa indahnya alam ini..namun hanya dengan beberapa langkah saja, aku disodori tempat tidur terakhir dan terdamai yang justru tiket menuju kesana malah sangat ditakuti bagi sebagian manusia. Lucu bukan ? Dua medan yang tak lagi bertolak-tolakan. Tapi bersandingan, berjejeran saling mengingatkan manusia-manusia lupa. Terlepas dari alasan itu, adalah karena aku menyukai alam. Tempat dudukku sekarang sangat asri untuk disinggahi. Udaranya begitu membelai dan menyejukkan. Cocok untuk membangun konsentrasi memahami isi kundalini yang rencananya hendak kulahap dengan harapan sanggup mengenyangkan juga menambal dinding hati malang yang disetiap jengkalnya terdapat lubang bekas tusukan dan sayatan.
.
.
.
Aku tidak duduk hanya bersama kundalini ditangan sebenarnya. Tapi ada sosok disebelahku. Sosok kompleks yang keberadaannya sangat membingungkan. Sosok yang dalam satu waktu ingin kumasukkan ia ke dalam toples lalu mendekapnya dan membakarnya dalam waktu yang bersamaan. Tidak ada runutan antara mendekapnya dahulu lalu membakarnya, atau membakarnya lalu baru mendekapnya. Tidak. Aku ingin melakukan keduanya bersama dalam satu kerjapan mata. Ia adalah guru yang ingin terus kupuja, ia adalah kakak yang ingin terus kujaga, ia adalah sahabat yang ingin terus kuikat, ia adalah ibu yang ingin terus ku ingat, ia adalah musuh yang ingin terus kulihatnya menderita. Ia sekompleks itu. Tidak ada yang tahu...tapi pernah kuangkat bendera putih tanda menyerah pada kokohnya egoku demi bisa bersanding menggenggam tangannya. Tidak ada yang tahu...tapi pernah kuangkat ia menjadi setingkat lebih tinggi dari sekedar teman, yakni menjadi anggota keluarga. Tidak ada yang tahu...tapi pernah kuletakkan baki berisi bahagiaku tepat dikedua bola matanya.
.
.
.
.
.
Dan hari ini, lima tahun telah berlalu semenjak hari penyembuhanku bersama kundalini dikursi jembatan itu...aku ingin melepas kekompleksannya. Meletakkan ia pada posisi yang tak terduga. Aku hendak menyama ratakan ia seperti abu, yang akan habis termakan udara, yang akan habis dilahap cerobong asap atau dihisap indra pembau manusia. Siapa yang peduli ? Aku hanya menginginkannya pergi..bertahun-tahun menjejalkan ilmu ikhlas ternyata tak semulus yang diharapkan. Aku tidak berkata aku menyerah, aku juga tidak ingin mengklaim diri bahwa aku lelah. Aku hanya sadar bahwa didunia ini memang tak ada yang bisa tergenggam. Dunia ini penuh kabut. Ada saatnya aku harus memandang dalam jarak yang sangat dekat. Ada saatnya aku harus meracuni rongga paru-paru karena memenuhinya dengan kabut berracun. Ada saatnya juga aku harus paham dan melihat, bahwa aku hanya perlu untuk terus berjalan bukan malah berusaha menggenggam kabut dalam tangan. Aku mengibaratkan diri tengah mendaki gunung sekarang, kabut dikaki bukit telah tercemar..namun aku harus tetap menatap puncak. Setelah bebas dari kabut kaki gunung yang sempat menggoyangkan iman, kini saatnya aku menemui jalan baru. Mungkin akan berliku, mungkin juga penuh semak tajam, atau bahkan tak ada jalan lurus didepan sana. Tak ada yang tahu, tugasku hanyalah bernafas. Terus bernafas dan menggerakkan raga menapaki misteri yang terpampang didepan mata. Entah aku akan mati hilang nafas ditengah perjalanan atau akan mati di kawah gunungnya sekalipun, tak jadi soal. Yang terpenting sekarang aku telah bebas dari salah satu penggoda iman. Kaki gunung kini bisa dengan bebas kupandang. Aku pernah hampir terjebak dan memilih mati karena kabut tercemarnya. Aku pernah hampir pulang kerumah tanpa dapat apa-apa. Karena aku sadar, bahagiaku tak akan lengkap jika terus berkutat dikubangan kaki gunung berkabut. Untuk itulah aku memutuskan tetap bernafas dan berjalan.

Sabtu, 09 Januari 2016

Setoples Manisan

Mentari bersinar malu-malu diperaduan ufuk timur. Tanah lembab bersemburat manis menaburkan aroma khasnya. Hawa yang sangat cocok
untuk kembali meraih selimut dan menggumuli sisa-sisa mimpi.
Selamat pagi dunia. Selamat pagi teman kecil disurga. Pagi adalah kabut manis yang kedatangannya selalu dinanti, seperti juga
kehadiranmu yang tak pernah alpa disebut dalam doa.
Cakrawala aksaraku, betapapun luasnya, aku tahu tidak akan sampai untuk bisa terbang mengepakkan asanya menembusi langit dan menyampaikan salam hangatku pagi ini. Tapi tak mengapa, seperti halnya
doa, cakrawala milikku memiliki jalan dan caranya sendiri untuk bisa mengetuk setiap hati, terlebih untukmu yang masih berpangkat putih dan suci.
Malam tadi aku melukiskan banyak tentang engkau wahai yang masih tertitipkan.
Tentang bagaimana aku akan menamaimu, tentang apa yang akan ku persembahkan bagimu, dan tentang cinta yang tengah aku dan kepingan pasku persiapkan demi membantumu berkembang dan menjadi manusia. Andai
engkau tahu, sengatan-sengatan kecil kebahagiaan memberondong inchi
demi inchi hati disetiap aku menyebut namamu. Lihat ? Sebelum engkau berujud nyata pun aku sudah direngkuh perasaan bahagia. Sanggupkah aku
ditelan perasaan yang membeludak ketika engkau nanti benaran sudah datang dipangkuan ?
.
.
.
-
.
.
.
Dear kepingan pas milikku, Tuhan akan mendengar doamu, cepat atau
lambat hanyalah soal kesabaranmu. Ia akan datang sayang, teman kecil
kita. Peri mungil yang sekarang masih bersembunyi di surga. Ia akan
datang dengan membawa segala kemisteriusan dan keajaibannya. Ia akan
bangun dan mendatangi kita tanpa dugaan sebelumnya.
Aku mulai meraba seperti apa ujudnya. Lengkung mata yang indah, semburat-semburat manis di lesung pipinya. Lihat sayang, ia benaran
racikan pas dari perpaduan kita.
.
.
.
-
.
.
.
Burung berkicau mesra menyambutku membuka jendela. Udara pagi
mengantri tertib memasuki paru-paru. Terasa sangat nikmat bahkan ketika sadar aku tak memiliki uang, udara pagi tetaplah makanan lezat
yang akan membuat dunia sempurna.
Apa yang harus dirisaukan ? Seperti juga pagi yang menyapa diujung hari, aku juga sempurna dalam penantian ini. Menyadari malaikat telah datang ada dan melindungiku. Menyadari peri kecil tengah tertidur
lelap di surga menanti waktu yang tepat untuk datang kepangkuan. Aku
tahu, keputusanku melepas masa lajang beberapa bulan lalu adalah tiket untuk melepaskan diri dari pengapnya dunia. Karena setelahnya, melalui ruang gelap sekalipun sanggup kulihat surga. Kebahagiaan ini, ingin kutuang semanis mungkin dalam secawan judul. Memolesi dinding cakrawala dengan sebanyak mungkin percikan kembang
api diujung kepala. Berharap siapapun yang berkunjung sanggup mendulang juga bahagia yang disuguhkan. Setoples manisan dalam ujud
ketikan. Menyapa, merangkul lidah-lidah bertuan untuk sanggup betah dalam masa perjamuan.
Selamat datang.