Selasa, 12 Januari 2016

Catatan Pendaki Gunung Amatiran

Aku melihat hijaunya batang padi ditengah sawah melambai. Gemericik suara sungai kecil dibawah kaki..jalanan yang tidak bisa dikatakan sempit untuk ukuran jalan menuju pemakaman. Kombinasi yang aneh, dari tempat dudukku sekarang hanya berjarak tak lebih dari satu kilometer menuju tempat pembaringan umat manusia. Disambungkan oleh jalan berbatu kasar, dikelilingi hijau sawah disepanjang mata memandang. Diujung penglihatan, tertangkap jalanan aspal beserta hilir mudik beban dibadannya. Kendaraan mengkerdilkan diri dari tempatku kini. Dan aku, aku duduk dipintu masuknya. Di salah satu bangku panjang di bawah naungan pohon bambu dan aliran sungai yang dibelah oleh kokohnya semen jembatan. Dengan sebuah buku bersampul hitam ditangan, "Kundalini". Ya, kundalini adalah salah satu metodi setara meditasi (mungkin, aku kurang begitu paham). Aku tengah berjuang menenangkan diri, memenangkan diri, menyembuhkan diri. Karena kemarin lusa, aku telah terluka..atau mungkin melukai..atau mungkin justru tengah berlatih mengoyak diri demi mengetes seberapa panjang batas tahan warasku. Dan alasan aku memilih berdiam diri disini sekarang adalah karena mungkin hanya disinilah satu-satunya tempat didunia dimana aku bisa melihat bukti betapa dunia ini sangat sempit. Dengan berada ditempat dudukku kini, aku sanggup mengapresiasi betapa indahnya alam ini..namun hanya dengan beberapa langkah saja, aku disodori tempat tidur terakhir dan terdamai yang justru tiket menuju kesana malah sangat ditakuti bagi sebagian manusia. Lucu bukan ? Dua medan yang tak lagi bertolak-tolakan. Tapi bersandingan, berjejeran saling mengingatkan manusia-manusia lupa. Terlepas dari alasan itu, adalah karena aku menyukai alam. Tempat dudukku sekarang sangat asri untuk disinggahi. Udaranya begitu membelai dan menyejukkan. Cocok untuk membangun konsentrasi memahami isi kundalini yang rencananya hendak kulahap dengan harapan sanggup mengenyangkan juga menambal dinding hati malang yang disetiap jengkalnya terdapat lubang bekas tusukan dan sayatan.
.
.
.
Aku tidak duduk hanya bersama kundalini ditangan sebenarnya. Tapi ada sosok disebelahku. Sosok kompleks yang keberadaannya sangat membingungkan. Sosok yang dalam satu waktu ingin kumasukkan ia ke dalam toples lalu mendekapnya dan membakarnya dalam waktu yang bersamaan. Tidak ada runutan antara mendekapnya dahulu lalu membakarnya, atau membakarnya lalu baru mendekapnya. Tidak. Aku ingin melakukan keduanya bersama dalam satu kerjapan mata. Ia adalah guru yang ingin terus kupuja, ia adalah kakak yang ingin terus kujaga, ia adalah sahabat yang ingin terus kuikat, ia adalah ibu yang ingin terus ku ingat, ia adalah musuh yang ingin terus kulihatnya menderita. Ia sekompleks itu. Tidak ada yang tahu...tapi pernah kuangkat bendera putih tanda menyerah pada kokohnya egoku demi bisa bersanding menggenggam tangannya. Tidak ada yang tahu...tapi pernah kuangkat ia menjadi setingkat lebih tinggi dari sekedar teman, yakni menjadi anggota keluarga. Tidak ada yang tahu...tapi pernah kuletakkan baki berisi bahagiaku tepat dikedua bola matanya.
.
.
.
.
.
Dan hari ini, lima tahun telah berlalu semenjak hari penyembuhanku bersama kundalini dikursi jembatan itu...aku ingin melepas kekompleksannya. Meletakkan ia pada posisi yang tak terduga. Aku hendak menyama ratakan ia seperti abu, yang akan habis termakan udara, yang akan habis dilahap cerobong asap atau dihisap indra pembau manusia. Siapa yang peduli ? Aku hanya menginginkannya pergi..bertahun-tahun menjejalkan ilmu ikhlas ternyata tak semulus yang diharapkan. Aku tidak berkata aku menyerah, aku juga tidak ingin mengklaim diri bahwa aku lelah. Aku hanya sadar bahwa didunia ini memang tak ada yang bisa tergenggam. Dunia ini penuh kabut. Ada saatnya aku harus memandang dalam jarak yang sangat dekat. Ada saatnya aku harus meracuni rongga paru-paru karena memenuhinya dengan kabut berracun. Ada saatnya juga aku harus paham dan melihat, bahwa aku hanya perlu untuk terus berjalan bukan malah berusaha menggenggam kabut dalam tangan. Aku mengibaratkan diri tengah mendaki gunung sekarang, kabut dikaki bukit telah tercemar..namun aku harus tetap menatap puncak. Setelah bebas dari kabut kaki gunung yang sempat menggoyangkan iman, kini saatnya aku menemui jalan baru. Mungkin akan berliku, mungkin juga penuh semak tajam, atau bahkan tak ada jalan lurus didepan sana. Tak ada yang tahu, tugasku hanyalah bernafas. Terus bernafas dan menggerakkan raga menapaki misteri yang terpampang didepan mata. Entah aku akan mati hilang nafas ditengah perjalanan atau akan mati di kawah gunungnya sekalipun, tak jadi soal. Yang terpenting sekarang aku telah bebas dari salah satu penggoda iman. Kaki gunung kini bisa dengan bebas kupandang. Aku pernah hampir terjebak dan memilih mati karena kabut tercemarnya. Aku pernah hampir pulang kerumah tanpa dapat apa-apa. Karena aku sadar, bahagiaku tak akan lengkap jika terus berkutat dikubangan kaki gunung berkabut. Untuk itulah aku memutuskan tetap bernafas dan berjalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar