Jumat, 12 Agustus 2016

Si Pengacau Jalan

Ia begitu tampan. Dengan rambutnya yang melebihi rata-rata patokan kaum adam. Bersamaan juga dengannya kulit yang membungkus seputih susu, dan mata itu..sejernih pualam. Entah dengan mantra apa, ia bisa menetaskan benih-benih rasa ketertarikan dan juga..keterikatan. Sekalipun aku sadar. Dan iapun tak menutupi bahwa dirinya bukanlah sejenis manusia yang bernafas dan berjalan.
.
.
.
.
.
Aku tengah dalam perjalanan menuju pulang sore itu. Kegilaanku pada sesuatu yang dulu kunamai cinta memboyong begitu banyak akal dan nalar. Bagaimana tidak, wajahnya begitu menyegarkan, dengan mata yang senantiasa tersenyum menawarkan bangku peristirahatan. Dan lengkung bibir yang tak pernah berhenti untuk terus mengundang, bagaimana mungkin aku tidak jatuh cinta ? Ia memiliki sejuta pesona. Memendam kagum hanya menelurkan kegilaan yang suatu masanya nanti merubah semua menjadi petaka.
.
Aku menamainya si makhluk dua huruf. Pada lalu yang telah lewat pernah kuceritakan pada kalian betapa ia adalah sosok yang sangat mempesona. Aku terjebak pada sorot senyum yang entah kenapa selalu bertengger di kedua pupil matanya. Aku, yang sebelumnya tak pernah merasakan jatuh pada jurang asmara, begitu kelimpungan mencari padanan kata untuk menyelaraskan euforia bahagia yang tengah kurasa hanya karena menatapi rautnya. Aku, yang sebelumnya hanya berjudi dengan dadu mainan, kali ini bertekad mengadunya dengan dadu berornamen unik dan bertahta berlian. Aku siap terjun. Aku siap bertandang. Yang lupa kusiapkan adalah hati untuk melihat kenyataan bahwa medan yang hendak dan siap ku terjuni adalah medan perang. Aku dengan mata butaku tak sempat memikirkan tentang jalan pulang. Kuayunkan segala teknik pemegangan samurai ditangan. Bekalku berhambur manis dilapangan tanpa sempat kusentuh dan kumakan. Pertarungan sengit yang meloloskan sebuah ketulusan. Ya, saat itu aku hanya bisa menarik satu simpul bernama ketulusan. Nama yang kurasa tepat untuk mengobati luka sisa-sisa perang dengan kekalahan ditangan. Aku bertekad akan mengikhlaskan.
.
.
.
Kegilaan menyembunyikan akal dan nalar. Tak pernah kutahu jika sore itu aku akan bisa melukai banyak mata dengan kedahagaan yang tengah kupuaskan. Kegilaan membuat kata ikhlas dan tulus terdengar seperti sampah saja. Aku rela mengantar si makhluk dua nama menapaki jalan terang, meski tak jauh didepan kami ada seseorang dengan tatap terluka yang lebih berhak mengantarnya, kunikmati setiap gelak tawa yang disuguhkannya, aku begitu rakus melahapi senyum yang tersaji bola matanya, menikmati semuanya seakan hanya itulah yang akan berhasil melepas dahaga dan kerontangku, seakan hanya itulah waktu yang kumiliki untuk bisa menikmatinya mengabaikan seseorang terus teriris didepan mataku, seakan hanya namanya yang akan mengenyangkanku. Dan, ujung jalan itupun terlihat, persimpangan terang yang memisahkan juga menyadarkan aku pada kenyataan. Jalan kami berbeda. Ia telah dimiliki. Kami tak digariskan untuk sejalan, bergandengan. Dan satu-satunya hal yang harus kulakukan adalah melambaikan tangan dan mengucap selamat tinggal.
.
.
.
.
.
Aku kembali pada realitaku, menapaki jalan pulang yang sebelumnya tak pernah kutahu dan kusadari akan begitu gelap dan menakutkan. Kenapa ujung persimpangan disana begitu terang ? Kenapa aku harus membalikkan badan sendiri jika tak yakin aku memiliki keberanian ? Tapi lagi-lagi kegilaan menuntunku, meyakinkan bahwa senyumnya sanggup menjadi bekal dan juga teman diperjalanan.
Gelap. Yang kulihat hanya gelap yang membelah disepanjang garis pemakaman. Kenapa berjalan dengannya bisa mengaburkan pandangan ? Bukankah tadi pemakaman itu tidak ada ? Atau, aku yang tak sanggup melihatnya ?
Dengan tekad menipis aku meyakinkan diri akan pulang. Aku bisa pulang. Aku berani pulang.
.
Kabut-kabut membumbung menyimpan mantra, kabut bergumul, menghadang dan
sebelum sempat kusadari, aku telah sengah jalan dalam sebuah tali ketertarikan. Ia begitu tampan, dengan rambutnya yang melebihi patokan rata-rata kaum adam. Bersamaan juga dengannya, kulit yang membungkus seputih susu, dan mata itu..sejernih pualam. Aku marah ketika tangan dinginnya mulai berani menjegal langkahku menuju pulang. Ada kejengkelan yang terasa kental, ketika lagi-lagi ia dalam bahasanya yang tak terucap berani menahanku agar tidak pulang. Ia pikir dirinya itu siapa ? Aku berhak pulang ! Aku tidak sepengecut itu untuk gentar menapaki kegelapan ! Bahkan sekalipun ia mengakui bahwa dirinya bukan dalam jenis manusia dan begitu tampan, aku tidak lantas tertarik dan ingin membelot dari tujuan awal. Aku ingin pulang. Aku ingin pulang. Aku ingin pulang.
.
.
Dalam kejengkelan yang kian meninggi, lamat-lamat aku mulai menyadari sesuatu. Rasa akrab yang sering menghampiri. Sebuah ketertarikan. Pada sosok dingin dan bisu itu ? Yang tak pernah berjalan dengan menyentuhkan kakinya ditanah itu ?
Oh tidak..siapapun tolong aku. Aku harus pulang. Siapapun namamu makhluk tampan, lepaskan aku untuk pulang.