Rabu, 15 Agustus 2018

Mengakhiri Kegilaan

Sebelumnya aku ingin meminta maaf untuk sesuatu yang akan ku sampaikan di sini. Dan sebelumnya juga, jika di perkenankan, aku ingin kita berjabat tangan, bukan untuk saling menyapa ataupun memaafkan, tapi karena aku sendiri tidak yakin akan bisa melakukannya ketika harus menerima ucapan terima kasih beserta jabat tangan tanda perpisahan darimu. Kita sebelumnya saling mengenal, aku yakin namaku ada meskipun tidak dalam daftar teratas milikmu, tapi disana namaku tertandai dengan sangat khas warna mencolok spesial untukku. Bagaimana tidak, kita terikat dalam sebuah garis yang tidak begitu mulus namun saling mengingatkan. Namamu tertulis di garis kehidupan milik masa depanku. Namamu pernah tercatat sebagai yang terkasih di garis kehidupan milik segalaku. Risih untuk mengakui ini, tapi maaf, aku membencimu.

Sekali lagi aku ingin menegaskan, bahwa kita mungkin bukan teman, aku tidak bisa menyebutmu teman, setelah semua mimpi buruk yang selalu menghajarku dengan sayatan. Sebelumnya aku sungguh tidak pernah tahu jika mimpi pun ternyata memiliki sisi tajam, karena awalnya aku mengira mimpi hanyalah ilusi, mati, dan terkubur di bawah kelopak mata. Namun rangkaian mimpi-mimpi tentangmu berhasil menjungkirbalikkan persepsiku. Mimpiku melukaiku. Menggores dengan pasti keyakinan yang dengan susah payah tengah ku bangun. Mengikis sedikit demi sedikit pondasi yang baru jadi setengah jalan. Menciptakan ragu yang menggapai-gapai bak tangan amfibi meraih daratan. Aku tidak ingin berandai-andai, aku tidak ingin menarik sebuah garis merah, ketakutan terbesar yang sebelumnya tak pernah mau untuk aku ungkapkan, yakni tentang kehilangan. Sungguh hanya Tuhan dan engkau yang tahu, apa sebenarnya tujuan kedatanganmu di malam-malam pekatku. Bagaimana aku bisa melabeli dirimu dengan kata teman? Sementara masa lalumu terpaut erat dengan sesuatu yang kini berdampingan pasti bersamaku dalam menyongsong masa depan. Oh tuhan, wahai yang mengetahui segala isi hati, jika ternyata aku salah dengan caraku menggenggam paksa sesuatu yang ku kira itu milikku, adakah cara yang bisa Kau tunjukkan agar aku bisa membenahinya menjadi sesuatu yang bisa di terima nalarnya, karena jujur saja, kedatangan nama satu itu, yang secara konstan meluluhkan pertahanan rapatku, membuatku harus berpraduga, dan yang terburuk adalah...aku tidak berminat mengucapkannya di sini. Maaf. Aku membencimu, maaf, dan mengucapkannya dengan lantang ternyata melunturkan kadarnya, mendengar namamu, bahkan atau sekedar apa binatang kesayanganmu, dan di mana tempat favorit untuk menghabiskan waktu berakhir pekanmu adalah sesuatu yang menyimpan mantra, aku bisa seketika alergi begitu mendengarnya.

Milikku tidak begitu memahami betapa kebencian itu menggumpal bak kotoran hidung yang karena begitu besarnya sanggup menyumbat pernapasan, ia mencekikku, namamu menggorok habis lubang tempat pita suaraku, bukan dengan dengung yang menjemukan, tapi dalam desis yang begitu melilit membahayakan.

Aku ingin kita berhenti di sini, di daratan yang tak satupun dari kita pernah menapakkan kaki. Berhenti di area ular, karena jujur saja, mengejar ekor sendiri selain tindakan bodoh juga salah satu hal yang begitu melelahkan. Kau, berhenti membayangiku dengan masalalu sampahmu, kau, berhenti menyatroni mimpi-minpi pekatku dan mendobrag pertahanan terbaikku, kau, berhenti menjelaskan apapun hal yang tak pernah ingin aku dengarkan. Maka aku akan melepaskan. Melepas semua keraguan dan praduga. Hanya jika kita bisa saling berbicara, andai saja.