Senin, 26 Juni 2017

Sederhana

Penantianku berada di ujung lidah, hanya menunggu waktu untuk di telan dan menghilang. Aku menanti bara. Yang terkandung dalam balutan jins belel dan kaos bergaris vertikal. Aku harap kepulangannya kali ini tak akan kembali membuatku menelan kecewa. Penantianku mengaratkan waktu, membuat jarum jam seakan hanya jalan di tempatnya saja. Aku menunggu kepulanganmu.
.
.
Harus ku akui, ada sesuatu yang menghambarkan penantianku kali ini. Sebuah spasi yang menahan bara lain untuk terus berkobar. Dan aku tak menginginkan adanya kesalahpahaman. Lagi. Karena jujur saja, aku merasa cukup lelah dengan peperangan melawan bayangan kali ini, waktu yang seharusnya kugunakan untuk memupuk cinta justru terbuang sia-sia karena rasa curiga. Tolong, jangan membuatku berprasangka. Karena ketika otakku mulai menelan sebuah kemungkinan. Maka ia akan terus mencernanya hingga menjadi kotoran. Aku benci menjadi pencipta sampah di antara kita semua.
.
.
Mengenai dia, yang namanya masih enggan untuk kusebut. Aku tak akan menjungkir balikkan apapun. Termasuk persepsi dan daya ingatku. Aku masih belum bisa. Maaf. Sekalipun jika dikepulanganmu kali ini nama itu akan mengekor dengan indahnya, aku mungkin tetap tak akan bisa. Aku telah terluka oleh rasa kecewa. Tidakkah kau peduli dengan apa yang kurasa ? Aku tidak sedang memintamu menimbang apapun, karena takaran apapun tak kan ada yang mampu menempatkan semuanya dalam posisi pas. Aku hanya memintamu untuk tidak membuatku kembali curiga dan berprasangka. Bukankah pernah ku bilang sebelumnya ? Bahwa tak ada yang lebih melelahkan ketimbang perang melawan bayangan. Aku ingin kita semua berdamai. Entah apapun itu makna dari kata berdamai, yang pasti hanyalah, jangan biarkan diriku terombang-ambing dalam sebuah keraguan. Ragu akankah aku adalah nama yang tepat untuk bersanding denganmu, ragu akankah namaku tepat untuk berada di tengah-tengah keluargamu.
.
.
Jangan lepaskan penantian ini dengan begitu sia-sia sayang. Jangan biarkan lidahku terbakar karena asa yang begitu bersemangat mengangkut bara.
Kalaupun jika dalam akhir kisah ini aku tetap tak memahami. Maka biarkan lidahku kembali menggantung dan tak bertuan.
.
Aku lelah sayang, harus terus menelan kepura-puraan. Aku lelah hingga pada satu titik tak lagi kupahami yang mana rasa lelah dan rasa sayang. Kehambaran itu akhirnya berhasil teruraikan, tanpa lebih dulu harus membuatku gila. Kehambaran itu berawal dari sana. Jurang yang menanti di bawah tangga tali yang telah kita ikat bersama. Pulanglah dengan bara lain sayang, bara yang sanggup melebur tulang kita berdua hingga menjadi abu. Aku merelakan ruangku di penuhi jelaga jika itu memang bara yang dapat membumi hanguskan segalanya. Termasuk rasa cemburu, rasa curiga, rasa kecewa dan juga prasangka.
.
Kadang aku bertanya dalam diam. Masihkah aku memiliki sisa rasa untuk mencintaimu ? Masihkah rasa itu sama ketika dulu kau pertama kali datang dalam perjalanan hidupku. Aku bukanlah musafir yang begitu dahaga akan nama cinta. Karena memang aku berbeda. Dan kedatanganmu tak pernah berarti apa-apa hingga kemudian, yea..rasa itu muncul dengan tiba-tiba. Aku tak jatuh cinta pada pandangan pertama. Tapi aku jatuh pada bara yang membara pada percikan pertamanya.

Selasa, 13 Juni 2017

Matahari Yang Gagal Terbit

Sekian tahun berjalan bersama membuatku mengerti sesuatu. Bukan tentangmu, tapi ini adalah tentang pengandungmu. Aku melihat kasihnya sejelas menangkap siluet gelas di atas meja di hadapanku. Aku tidak menyalahkan apapun, termasuk kasihnya yang menetes melimpah untukmu. Sekali lagi kujelaskan, aku memahami semuanya karena akupun pernah berada dalam ruang penuh pertarungan dengan nyawa sebagai hadiahnya. Meskipun usianya baru akan menginjak sekian bulan, tapi seperti aku dapat menghadiahkan sebuah bulan jika memang itu yang ia inginkan. Seperti tak ada lagi kata takut dalam kamus hidupku sekarang. Apalagi memang yang perlu dibuktikan jika nyawa saja pernah kupertaruhkan ? Aku menyayanginya dengan segenap raga. Dan aku mulai takut jika kelak nanti rasaku justru akan membebani kehidupan pembaruannya. Aku takut aku tak bisa melepaskannya kepada sebuah nama yang memang ditakdirkan untuknya.
.
Kepadamu, resah ini tak akan berani kuserahkan secara gamblang. Engkau tak akan mungkin memilih dan menjadikanku satu diantara dua pilihan. Tak ada yang perlu di nomor duakan. Aku dan pengandungmu harusnya sejajar. Harusnya. Jika saja jahat tidak terlanjur merasuk ke dalam nadiku. Aku menerima kucuran kasih yang berjalan tenang. Akupun harus bersabar dan teliti untuk memilah yang mana nafsu dan yang mana kasih sayang. Dalam sepersekian kecil curahan yang kudapat, haruskah masih juga kubagi si satu itu dengannya ?
.
.
Kepadamu yang tak akan mungkin menemukan catatan ini, mari kita berbincang santai di antara ketiadaan ruang. Mari melebur bersama untuk pertama kalinya dalam keterikatan kita. Aku ingin kau memahami tentang betapa rumitnya cita-cita patner hidupmu ini. Aku bukanlah sebuah nama yang memiliki kata berbagi sebagai bekal hidupku. Aku tak mengenal itu, sesuatu yang lain telah mendasari. Aku ingin kau menyadari betapa kerasnya perjuanganku selama ini untuk menetralkan rasa tak nyaman yang terus menggeliat-geliat dari bawah pori meminta pembebasan. Aku mungkin tak menggenggam kecakapan seorang wanita dewasa yang lazimnya di miliki oleh seseorang yang telah berpasangan. Aku terlalu bodoh untuk memenuhi kriteria sebagai istri ideal karena yang ku tahu dan terus kucoba dan kupertahankan, adalah sebuah keyakinan bahwa aku harus menjadi anak baik. Hanya itu. Aku tak ingin mengecewakan siapapun, tak ingin pula membuat hancur siapapun. Sekalipun salah satu ruang dalam ragaku menyimpan sesosok monster mengerikan, yang perlu kau tahu adalah aku telah dengan segenap dayaku menekan untuk tidak menerjang, mencakar, bahkan mungkin mengayunkan pedang. Aku telah bersabar. Sesuatu langka yang tak mungkin kau dapatkan dariku dalam kesempatan lain.
.
Dan aku terkecewakan. Pengandungmu sepertinya masih saja ragu untuk sepenuhnya menyerahkanmu kepada makhluk sepertiku. Terbukti dengan rintikan kasih yang tak pernah berhenti menetes untukmu, seakan jika ia tak menyiramimu maka kau akan mati seketika, seakan jika bukan ia yang melakukannya maka tak akan ada yang mampu membuatnya demikian. Aku merasa terluka dan tersisihkan. Satu rasa yang tak pernah kubiarkan engkau untuk tahu. Dan tak pernah kubagi pula dengan siapapun. Sekali lagi kutegaskan, aku takut membuat hancur tak hanya seseorang tapi mungkin banyak. Aku tak menyalahkan siapapun saat ini. Karena sungguh, akupun merasa sangat yakin tak akan ada yang sanggup menandingi banjiran kasih teruntuk nyawa baruku yang baru menginjak umur sekian. Tapi tetap saja, separo harga diriku terluka. Aku merasa bukan siapa-siapa. Aku merasa tak sanggup memuja pengandungmu setulusku memuja pengandungku, karena memang di sana terdapat banyak sandungan. Aku di ragukan. Aku. Seseorang yang tak mengenal kata berbagi dan bersabar, harus di ragukan oleh seseorang ?
.
.
Mungkin benar jika cintaku tak akan seagung pengandungmu. Bahkan setelah menuangkan ini, yang kurasa justru adalah kehambaran yang ganjil. Sesuatu di dalamku seperti merasa tak berdaya untuk terus memperjuangkan. Andai kau tahu, aku lelah dengan semua pertengkaran melawan bayangan ini. Kapan semua ini akan terpahami ? Sekian waktu berjalan semakin memperparah sakit setengah warasku. Aku tak ingin terus terlihat jahat karena membuat pengandungmu sebagai sainganku. Itu bukannya tak waras ?
.
.
Aku ingin menangisi semua ini. Mengadu hanya akan membuatmu tak berdaya dan tergugu. Sekali lagi ku tegaskan, engkau tak akan mungkin memilih satu di antara dua pilihan. Biarlah perempuan tak sadar diri ini menyelami keresahan tak masuk akalnya sendirian. Menangis hanya akan menjadi ajang untuk menunjukkan kelemahan. Satu-satunya hal yang terus kulakukan dan ku usahakan adalah menjadi diam. Aku ingin terus menjadi diam. Sediam batu di dasar palung yang terjal. Karena aku memang tak layak untuk di menangkan. Dan keadilan yang ku harapkan. Adalah piala kosong hasil imajinasi yang terlampau tinggi. Karena jika ikatan kalian memang tercipta dengan sedemikian kuatnya, aku tak ingin lagi menjadi penghalang. Aku ingin menyerah dan menjadi sudah.

Minggu, 11 Juni 2017

Jembatan Yang Lain

Aku lupa kapan tepatnya waktu ketika hari itu ada. Yang tak akan pernah kulupa adalah raut wajahku saat itu. Sekalipun di sana tak ada cermin untuk berkaca, bisa dipastikan wajahku berubah pasi dengan warna ungu atau biru. Ya. Sebagian elemen ragaku terlalu bingung untuk mencerna apa yang sebenarnya salah satu bagian tubuhku inginkan. Melelehkah ? Atau membendung aliran derasnya ?
.
.
Dalam separo jalan menuju pemakaman, aku dan dia terduduk manis di atas jembatan kecil. Ada apa sebenarnya antara aku dan sungai beserta jembatan penyeberangannya ? Terlalu banyak cerita yang harus terlahir di atas keduanya. Dan semuanya merupakan cerita separo bahagia. Atau justru malah utuh berujud duka. Lagi-lagi aku lupa, apa yang menjembatani perbincangan panjang kami. Kekakuan yang terlahir malam lalu, ketika aku mulai menuturkan bahwa aku memuja setengah mati lelaki yang kelak menjadi pendamping hidupnya, mencair bersama derasnya air yang mengalir di bawah kaki kami. Aku sama sekali tidak merasa bersalah. Jujur bukankah tidak termasuk dalam daftar kejahatan ? Beban yang selama berminggu-minggu menyelimutiku seawet kabut pagi di musim kemarau, telah termuntahkan. Malam itu, kami menangis, untuk alasan berbeda. Dan pagi harinya, sekalipun udara begitu sejuk nyaris menggigilkan badan, dan kedamaian yang melambai dari arah pemakaman, ternyata tak bisa meredam keanehan yang menyeruak dari dalam raga. Hari itu. Di atas jembatan kecil dengan udara membungkus menyejukkan, aku justru melafalkan niat untuk bergabung bersama mereka yang tengah terdiam damai di seberang sana. Mengakhiri hidup bukan pilihan yang tepat, tapi tidak terlalu buruk juga saat itu.
.
.
Aku linglung oleh keputusanku. Mulutku mengingkari hati yang terus menyalak meminta pemenangan. Jelas saja aku tak bisa. Menang berarti mengalahkan. Dan aku tak mau dia yang tengah terus mengoceh tentang masa depan bersama lelaki yang namanya telah terukir manis di setiap hari-hari membosankanku, harus merasakan sebuah kekalahan. Aku terus bersitegang dengan suara asing di dalamku. Ragaku terlalu bingung untuk menentukan sebuah pilihan. Hingga memandangi hamparan tumbuhan padi dengan rakus adalah kompensasi yang tepat untuk semuanya. Aku akan menyalahkan angin sejuk ketika ternyata nanti butiran-butiran kecil lolos dari bulatan retinaku. Hari itu telah kutukar kepahitan takdir dalam separo jalan menuju pemakaman, dengan kenangan yang terus membungkus sampai entah kapan.
.
.
.
.
Tiga tahun mungkin telah berlalu. Dan sebuah lagu mengingatkanku dengan tempat satu itu. Jembatan kecil dalam separo jalan menuju pemakaman. Aku bahkan masih bisa membaui aroma tumbuhan padi yang menghampari sekitar. Keputusanku untuk menahan ledakan air mata hingga membuat wajahku berubah ungu hari itu ternyata membuahkan hasil manis hari ini. Aku tak tahu apa yang akan terjadi, jika saat itu kurealisasikan keinginan gila untuk menjadi penghuni tetap pemakaman. Tak ada yang akan terjadi mungkin. Hanya saja akan terkenang sebagai makhluk terkonyol abad ini mungkin saja. Namaku akan menghantui masa depan mereka, mengawasi setiap bahagia yang menyelimuti keduanya. Entah sampai kapan. Andai saat itu benar kurealisasikan ide gila untuk melenyapkan diri, akan terdengar ganjilkah ? Masih eksiskah patah hati dijadikan alasan untuk bunuh diri ?
.
Aku tidak menyesali keputusanku untuk merubah wajah menjadi ungu, aku tidak menyesali keputusanku untuk duduk berdua di atas jembatan dalam separo jalan menuju pemakaman, aku tidak menyesali keputusanku untuk berpura-pura merelakan. Dan, tidak pula menyesali keputusanku untuk jatuh cinta. Awal dari semua kekakuan yang terjadi di masa depan. Alasan tertepat untuk niat yang pernah terlafalkan dalam separo jalan menuju pemakaman. Awal untuk menggilanya diriku untuk sesuatu yang kusebut cinta, dan itu bukanlah pertama kalinya.
.
.
Jembatan kecil dalam separo jalan menuju pemakaman adalah saksi. Yang menjelaskan betapa robek dan luluh lantahnya hati seseorang hari itu, meski separo daya telah di keluarkan. Tetap saja butiran-butiran bening berhasil meloloskan diri dari muaranya. Aku pernah sekuat itu. Aku pernah setegar itu, menjadi pendengar baik untuk dia yang tengah merencanakan masa depan bersama seseorang yang namanya membuat otakku menjadi separo waras.
.
Kelak mungkin akan kuceritakan pada anakku, tentang bagaimana ibunya memiliki ikatan aneh dengan jembatan. Bagaimana ibunya pernah memuja seorang lelaki hingga setengah gila. Bagaimana takdir memberikan petunjuk melalui sungai dan tumbuhan padi. Bagaimana ibunya dulu pernah dengan sangat terpaksa berkata untuk merelakan. Perlukah anakku tahu ? Atau ia hanya perlu mengetahui hasil akhirnya saja, bahwa ternyata ibunya sekuat batu kali berkat tempaan atau kebodohan yang dilakukan selama masa mudanya. Suatu hari nanti mungkin ia akan membaca ini dan mengambil pelajaran darinya. Bekal untuk hari depannya, agar di masa mendatang tak ada lagi cerita dan air mata yang harus tumpah (lagi) di atas jembatan.

Batu Kali

Aku ada. Berdiam diri di sini. Tempatmu biasa mencari kejernihan dan kesejukan. Atau malah justru tempatmu buang air dan juga mandi telanjang ?
.
Aku ada, dan jika kamu bertanya siapa aku, maka diriku adalah sebuah batu. Jangan tanyakan apakah itu batu kali atau batu yang di poles dan bersama perak memeluk jari-jemari kaum kebanyakan. Aku menyatu bersama kumpulan batu yang lain. Tergilas ban mobil, sepatu bahkan kaki kucing. Aku menganggap diriku istimewa, sekalipun sekian lama ada di tempatku sekarang berpijak, tak seorang pun yang sudi memungutku untuk kemudian di poles lalu dipajang-pajang. Aku menganggap diriku istimewa bukan karena menjadi sebuah ajang pameran. Tapi aku istimewa karena aku berbeda. Aku hidup berdasarkan prinsip yang kupungut dari sisa ludah manusia. Aku hidup sedamai anomali yang menemukan kawanan tak beresnya. Aku hidup dengan sudut pandang yang tak mungkin bersanding dengan akal manusia. Karena aku adalah batu kali.
.
Aku ada di sini. Tempatmu biasa menongkrong dengan terik menyembur tepat di atas ubun-ubun demi mencongkeli si muka badak yang tumbuh di halaman tanpa takut mati. Dibuang, tumbuh lagi. Dicongkel, subur lagi.
.
Karena aku adalah batu kali. Yang memungkinkan untuk hidup dimanapun otakku menginginkannya. Aku melihat banyak drama, manusia-manusia yang terobsesi menjadi sempurna dengan mengorbankan segalanya. Aku melihat banyak drama, manusia-manusia yang terobsesi melihat kesempurnaan dengan melafalkan banyak jalan. Dan yang terus kulakukan adalah melihat. Menjadi penonton memberikan kenikmatan sekaligus ketegangan tersendiri. Aku melihat jajaran batu yang dipoles cantik warna-warni untuk kemudian di sejajarkan di sepanjang jalan. Aku melihat sejumput batu mengawang di udara, menjadi patner bagi tanah dan tumbuhan yang di elu dan di sayang-sayang oleh si empunya. Aku melihat segerombol lainnya mengumpul di cekungan salah satu kelokan sungai, menjadi hunian bagi ikan-ikan kecil di sekitaran. Aku melihat dan menontoni semuanya kadang dengan di iringi rasa kagum, terikut bahagia.
.
Menyangkut diriku. Aku tak pernah bercita-cita menjadi apa-apa. Aku mati rasa terhadap adanya keajaiban bernama harapan. Bukan, aku bukannya membenci kehidupan ini. Aku hanya terlalu paham apa dan seperti apa ujud partikel yang menjadi pembentukku. Sekilas jika disejajarkan dengan kawanan batu lain, hampir pasti tak akan kalian temukan adanya perbedaan. Tapi aku mengenali diriku lebih dari siapapun dan apapun di dunia ini. Kumpulan batu lain akan mengira aku ini pendiam. Sebagian lainnya akan berkata bahwa aku ini terbuka. Tapi kenyataan yang ada hanya satu. Partikel pembentukku memiliki gen sarat makna. Dalam jiwa yang gampang tersulut api, aku selalu memiliki secangkir air untuk sekedar mematikan nyalanya. Dalam jiwa yang terlalu ringkih, aku memiliki hasrat seteguh dan sekeras ujudku. Dalam jiwa yang terlalu berakal, aku ialah satu-satunya orang tergila di dunia.
.
.
Tak perlu menjadi takut untuk dekat denganku. Keberadaanku yang meski telah kuakui memiliki sedikit pergeseran dari apa yang kalian sebut normal, tak akan menjadi sebuah ancaman dalam bentuk apapun. Aku tak pernah membiarkan diriku melebur dengan siapapun. Sekalipun aku terikat dan terbungkus, melebur adalah sesuatu langka yang mungkin tak akan pernah kulakukan. Aku tak pernah terbiasa untuk berlatih menjadi selunak kayu. Karena aku adalah batu. Sekali lagi kutegaskan, jangan dulu merasa terancam. Aku akan tetap diam. Aku akan tetap setia menjadi penonton.
.
.
Aku adalah sejenis batu yang akan terus mencoba untuk tetap diam. Karena jika aku mulai melayang bisa dipastikan seseorang atau makhluk lain akan terluka karenanya.
.
.
Karena aku adalah batu. Untuk itulah mungkin benar jika tidaklah perlu untuk kulunakkan diri agar menjadi senyaman kayu. Karena aku tetaplah batu.

Rabu, 07 Juni 2017

Surga Bertabur Kue Lapis

Hamparan luas rumput hijau mengelilingiku. Aku tah tahu sebelumnya jika kebun surga pun sama seperti kebun di dunia. Hijau, dan menyejukkan. Ya! Aku tengah berada di surga saat ini. Sesuatu telah menerbangkanku hingga sejauh ini. Mengepak ragaku menjadi seringan mungkin hingga capung pun mungkin kuat mengangkatku dalam punggungnya. Aku tidak sedang berdusta. Sepertiga malamku telah berakhir dalam seputaran maraton para jemariku. Aku mulai menulis lagi malam ini. Setelah absen selama hampir dua bulan lamanya mungkin. Dan masih menjadi misteri apa yang menjagaku tetap waras dalam waktu absenku itu. Mungkin Hara. Si kecil menggemaskan itu memang selalu menyuguhkan keajaiban tersembunyi.
.
.
Aku merasakan hamparan hijau mendamaikan dengan potongan langit biru di atasnya. Tak ada apapun dan siapapun di sekitar. Karena memang, surga itu sengaja eksklusif ku ciptakan untuk diriku seorang. Entah kapan aku mulai membiasakan diri untuk menulis. Mencerna apa yang tak sanggup di kunyah retina. Dan mengalirkannya perlahan dalam ujud guyuran ringan.
.
.
Sekalipun aku tak pernah melihat apalagi merasainya secara langsung, tapi aku yakin bahwa surga yang kuciptakan sedahsyat ketika para pecandu mulai memetiki daun ganjanya. Menulis memberikan efek setara mengisap mariyuana. Setiap lekuk kata meliuk genit bak bunga mereka yang tumbuh menjulang di setiap pucukan. Aku mencintai setiap molekul yang dikandung oleh sebatang pohon malam. Aku hanya perlu merasainya agar terbiasa, sebelum akhirnya mereka-mereka yang berujud entah seperti apa, bekerja dengam caranya sendiri, melemparkanku ke dalam awang-awang hingga kemudian mencapai nirwana. Tak ada yang pernah tahu seperti apa sensasinya. Seperti juga para pemakai yang harus mendulang sendiri remukan daun ganja pada mulut-mulut yang haus akan rasanya mencicipi indah nirwana. Tak ada yang berbeda. Aku dan mereka berdiri di pelataran yang sama. Terbelenggu dalam keheningan yang membekap semuanya. Dan di butuhkan sebuah bogem untuk bisa memuntahkan segalanya. Membaui kami sama saja seperti kucing yang menjilat ekor sendiri. Hal bodoh.
.
.
Aku baru saja menyelesaikan sebuah paragraf beberapa jam yang lalu. Dan ini adalah yang kedua untuk malam ini. Dua lintingan bersama kepulannya yang membuat ruangan 4 x 4 milikku mendadak melebar menjadi seluas lapangan terbang. Ternyata memang benar. Semua kunci kehidupan ada pada satu titik yakni kesadaran. Batu tetaplah seperti itu. Kayu tetaplah seperti itu. Tapi ketika kunci sadar mulai berputar, segalanya terasa menjungkir balikkan diri sesukanya. Pernah melihat batu yang di stek hingga kemudian tumbuh menjadi kayu ? Aku pernah.
.
.
Surga adalah kata dengan seribu satu makna yang tetap sulit untuk di jelaskan. Jauh-jauh manusia berandai, bahwa surga adalah tempat tak berbentuk dan tak tercapai, sementara di sini, dalam sekian jam di sepertiga malamku, aku berhasil menetaskan dua buah tangga menuju ke sana. Salah satunya tengah masih dalam proses mengerami. Aku tak ingat apa yang mendasari tulisan ini, hanya yang pasti, aku telah mengentaskan sebuah beban dalam ujud tulisan beberapa waktu lalu. Dan kemudian surga itu datang, hamparan hijau dengan sepotong langit biru menghampiriku. Aku mendadak terbang dan menjadi seringan tiupan angin. Lalu aku teringan pada sebuah cerita tentang sebuah pekerjaan memetik daun ganja. Mariyuana lalu datang menghampiriku, menawari diri untuk disandingkan dengan tulisanku. Bukankah mereka berdua berefek kejut yang sama ? Dan ah, aku mungkin juga akan mencintai setiap molekul yang tumbuh pada sebatang pohong ganja. Jika suatu hari nanti jemariku tak sanggup lagi berlari, jika suatu hari aku kehilangan daya untuk menelurkan tangga menuju surga.
.
.
Hamparan hijau menyelimutiku dalam luas. Dan dalam keringanan raga yang tak pernah sekalipun kuperhitungkan, aku dibawa dalam lembah temaram. Sebuah candu yang mengungkung. Aku telah merasai itu lama. Saat ketika tak ada ruang yang tersisa untukku sebentar saja menyalurkan. Ketika rasa ingin itu tetiba hadir tanpa melihat situasi, waktu terlebih kemampuan. Hei, menulispun butuh ketelatenan.
.
.
Rasa manusiaku perlahan bangun, merobek hamparan hijau luas dengan sepotong langit biru di atas sana, warna yang mengingatkanku pada memori tentang kue lapis yang berjajar manis di etalase toko. Aku lapar. Dan rasa itu berhasil membuyarkan. Aku tak tahu apa yang tengah kulakukan. Yang mulai membanjiri kepala sekarang adalah setruman-setruman akan aroma yang menjalar dari salah satu sudut ruang.
.
.
Jangan terbuai, tak ada yang abadi dalam dunia ini kawan, termasuk mimpi, termasuk surga yang menyenangkan. Dan jika engkau yang tengah menikmati paragraf ini tetiba terusik karena isinya yang mendadak melenceng. Salahkan saja rasa manusiaku yang datang tanpa di duga. Selamat tinggal surga bertaburkan kue lapis. Aku lapar. Sekian.

Obat Pertama Di Separo Tahun

Kita akhirnya bertemu. Setelah sekian lama, setelah sekian nama. Aku tidak ingat persis detailnya, tapi dapat kupastikan dalam sekejap pertemuan kita, aku terkenyangkan. Dahaga dan rasa tanya yang dulu membeludaki kepala mulai pamit meninggalkan diri. Aku tahu engkau tidak marah. Untuk remah dosa yang kulakukan di antara celah ruang asmaraku. Wajahmu terlihat begitu menyejukkan dengan senyum samar yang bahkan tak sanggup terbaca retina. Dalam sepetak ruang berukuran 3 x 4 ini, kita berhasil menuntaskan apa yang sempat tertahan dan menjadi bulan bulanan. Engkau melihatnya bukan ? Aku tetap pengikut sejatimu. Sekalipun aku tak pernah mengatakannya, aku memujamu bak manusia yang terlahir dari rahim dewa. Sekalipun aku tak benar yakin ataukah dewa itu memiliki kantong untuk menimbun embrio atau tidak. Seperti juga kepergianmu yang tak terduga, aku sama sekali tak menyangka dalam sepertiga malam ini kita akan dipertemukan. Engkau selalu begitu bisa mengejutkan.
.
.
Satu rasa yang mungkin absen kuucapkan, adalah pernyataan bahwa aku tak pernah berhenti untuk merindukan. Luapan tanya dan dahaga mungkin telah terkenyangkan. Tapi banjiran satu itu tak pernah terpadamkan. Aku sekarat dalam penantian untuk bisa merasakan yang namanya kematian. Ya. Sekronis itulah rasa rinduku bila engkau ingin tahu.
.
.
Derak gerak kipas angin menjadi lagu pengiring pertemuan kita. Dan satu lagi kata yang lupa untuk kuselipkan di sekejap pertemuan kita adalah sebuah maaf. Untuk ketidak berdayaanku memahami semuanya. Bahwa mungkin tangisku justru hanya akan membuat percikan api di sekelilingmu kian membara. Bahwa mungkin ketidakrelaanku selama ini justru adalah tali kekang tersendiri bagi dirimu untuk melebur sepenuhnya dalam nirwana. Maaf.
.
.
Dalam sekelebat pertemuan kita, bukankah engkau melihatnya ? Aku telah menjungkir balikkan segalanya demi menjaga yang tersisa. Andai aku yang hari ini berhasil kutembus ketika masih kumiliki adanya daya dan kebebasan, mungkin engkau saat ini belum menjadi sudah. Aku akan bisa menggelindingkan meski hanya separo dari apa yang selalu menyebabkan keningmu berkerut dan mengeriut. Dan si kecil Hara, bukankah engkau juga melihatnya ? Aku tak pernah bisa mengira sebanyak apa kebahagiaan yang akan ia terima jika kau masih ada. Jatah yang seharusnya ia terima, telah kau hapus dalam sekelumit malam penuh cerita, dua tahun yang lalu. Andah engkau belum sudah. Aku tak mengerti apa padanan kata yang pas untuk memanusiakan kepergianmu. Karena pada dasarnya, sejengkal rasa marah, kecewa, tak berdaya masih sesekali menapaki pelataran hati. Meremukkannya dalam sekali jadi, lalu mendaur ulang semuanya dalam sebungkus kemasan berjudul rindu. Tak ada rasa yang kusuka jika itu tentang mengingatmu, karena semua yang muncul adalah goresan dan lubang. Kepergianmu tak pernah terrelakan.
.
Aku telah salah, menilai dan menulis isi dari paragraf singkat ini. Tadinya aku mengira sekejap pertemuan kita berhasil menuntaskan apa yang selama ini terus tertahan. Tapi nyatanya, tak ada yang tertuntaskan selama tanganku belum berhasil meraup dan menyentuhmu. Yang sayangnya waktu itu entah kapan akan datang. Aku masih merindukan. Aku masih berduka.
.
.
Tak pernah kubagi rasa ini dengan siapapun juga. Aku benar-benar duplikat sejatimu bukan ? Miris sekali aku baru menyadarinya ketika engkau justru telah menjadi sudah. Dulu aku mengira aku ini membencimu, bukan, kata benci terlalu kejam untuk diucapkan. Aku kecewa karena ketidak berdayaanmu. Maaf, mata bocahku saat itu belum terasah waktu. Aku masih sepenuhnya manusia yang melihat semuanya berdasarkan harta. Proses pendewaanku terjadi ketika kita tak lagi bersinggungan. Apa memang selalu seperti ini ? Harus ada yang pergi agar bisa melengkapi ? Aku tak membenci sedikitpun darah yang menjadi penopang separo ragaku. Aku membanggakannya, hanya saja terlambat untuk menyadarinya. Aku memampatkan rasa ini tepat di ulu hati, tak sanggup membeludakkannya pada siapapun yang memiliki nyawa, terlebih nama. Karena manusia, aku belum sanggup mempercayai mereka. Dalam seperempat abad umurku, tempat ini masihlah menjadi yang terbaik sebagai pendengarku. Dan apakah engkau tahu ? Aku berhasil memecahkan sandi gen milikmu, dan menurunkan sepersekian porsennya pada si kecil Hara. Aku selalu terenyuh ketika siapapun mulai berkata bahwa ia terlihat separo mirip denganmu. Alam bekerja dengan sangat lucu bukan ? Alih-alih membuatmu menjadi sudah, mereka justru membagi kemiripan dengan penerusku. Engkau akan selamanya terkenang. Terlebih dalam benak pengikut sejatimu. Tak ada yang bisa mengalahkan, bahkan jika masanya nanti akupun menyusul untuk menjadi sudah.
.
Terlepas dari semuanya, aku bahagia karena engkau telah sudi datang. Dengan senyum samar yang berhasil kuraba melalui atmosfir dan bukan retina. Aku bahagia untuk ketulusanmu memaafkan. Aku bahagia untuk dahaga dan tanya yang berhasil terkenyangkan melalui sekejap saja pertemuan kita. Terimakasih.