Rabu, 07 Juni 2017

Surga Bertabur Kue Lapis

Hamparan luas rumput hijau mengelilingiku. Aku tah tahu sebelumnya jika kebun surga pun sama seperti kebun di dunia. Hijau, dan menyejukkan. Ya! Aku tengah berada di surga saat ini. Sesuatu telah menerbangkanku hingga sejauh ini. Mengepak ragaku menjadi seringan mungkin hingga capung pun mungkin kuat mengangkatku dalam punggungnya. Aku tidak sedang berdusta. Sepertiga malamku telah berakhir dalam seputaran maraton para jemariku. Aku mulai menulis lagi malam ini. Setelah absen selama hampir dua bulan lamanya mungkin. Dan masih menjadi misteri apa yang menjagaku tetap waras dalam waktu absenku itu. Mungkin Hara. Si kecil menggemaskan itu memang selalu menyuguhkan keajaiban tersembunyi.
.
.
Aku merasakan hamparan hijau mendamaikan dengan potongan langit biru di atasnya. Tak ada apapun dan siapapun di sekitar. Karena memang, surga itu sengaja eksklusif ku ciptakan untuk diriku seorang. Entah kapan aku mulai membiasakan diri untuk menulis. Mencerna apa yang tak sanggup di kunyah retina. Dan mengalirkannya perlahan dalam ujud guyuran ringan.
.
.
Sekalipun aku tak pernah melihat apalagi merasainya secara langsung, tapi aku yakin bahwa surga yang kuciptakan sedahsyat ketika para pecandu mulai memetiki daun ganjanya. Menulis memberikan efek setara mengisap mariyuana. Setiap lekuk kata meliuk genit bak bunga mereka yang tumbuh menjulang di setiap pucukan. Aku mencintai setiap molekul yang dikandung oleh sebatang pohon malam. Aku hanya perlu merasainya agar terbiasa, sebelum akhirnya mereka-mereka yang berujud entah seperti apa, bekerja dengam caranya sendiri, melemparkanku ke dalam awang-awang hingga kemudian mencapai nirwana. Tak ada yang pernah tahu seperti apa sensasinya. Seperti juga para pemakai yang harus mendulang sendiri remukan daun ganja pada mulut-mulut yang haus akan rasanya mencicipi indah nirwana. Tak ada yang berbeda. Aku dan mereka berdiri di pelataran yang sama. Terbelenggu dalam keheningan yang membekap semuanya. Dan di butuhkan sebuah bogem untuk bisa memuntahkan segalanya. Membaui kami sama saja seperti kucing yang menjilat ekor sendiri. Hal bodoh.
.
.
Aku baru saja menyelesaikan sebuah paragraf beberapa jam yang lalu. Dan ini adalah yang kedua untuk malam ini. Dua lintingan bersama kepulannya yang membuat ruangan 4 x 4 milikku mendadak melebar menjadi seluas lapangan terbang. Ternyata memang benar. Semua kunci kehidupan ada pada satu titik yakni kesadaran. Batu tetaplah seperti itu. Kayu tetaplah seperti itu. Tapi ketika kunci sadar mulai berputar, segalanya terasa menjungkir balikkan diri sesukanya. Pernah melihat batu yang di stek hingga kemudian tumbuh menjadi kayu ? Aku pernah.
.
.
Surga adalah kata dengan seribu satu makna yang tetap sulit untuk di jelaskan. Jauh-jauh manusia berandai, bahwa surga adalah tempat tak berbentuk dan tak tercapai, sementara di sini, dalam sekian jam di sepertiga malamku, aku berhasil menetaskan dua buah tangga menuju ke sana. Salah satunya tengah masih dalam proses mengerami. Aku tak ingat apa yang mendasari tulisan ini, hanya yang pasti, aku telah mengentaskan sebuah beban dalam ujud tulisan beberapa waktu lalu. Dan kemudian surga itu datang, hamparan hijau dengan sepotong langit biru menghampiriku. Aku mendadak terbang dan menjadi seringan tiupan angin. Lalu aku teringan pada sebuah cerita tentang sebuah pekerjaan memetik daun ganja. Mariyuana lalu datang menghampiriku, menawari diri untuk disandingkan dengan tulisanku. Bukankah mereka berdua berefek kejut yang sama ? Dan ah, aku mungkin juga akan mencintai setiap molekul yang tumbuh pada sebatang pohong ganja. Jika suatu hari nanti jemariku tak sanggup lagi berlari, jika suatu hari aku kehilangan daya untuk menelurkan tangga menuju surga.
.
.
Hamparan hijau menyelimutiku dalam luas. Dan dalam keringanan raga yang tak pernah sekalipun kuperhitungkan, aku dibawa dalam lembah temaram. Sebuah candu yang mengungkung. Aku telah merasai itu lama. Saat ketika tak ada ruang yang tersisa untukku sebentar saja menyalurkan. Ketika rasa ingin itu tetiba hadir tanpa melihat situasi, waktu terlebih kemampuan. Hei, menulispun butuh ketelatenan.
.
.
Rasa manusiaku perlahan bangun, merobek hamparan hijau luas dengan sepotong langit biru di atas sana, warna yang mengingatkanku pada memori tentang kue lapis yang berjajar manis di etalase toko. Aku lapar. Dan rasa itu berhasil membuyarkan. Aku tak tahu apa yang tengah kulakukan. Yang mulai membanjiri kepala sekarang adalah setruman-setruman akan aroma yang menjalar dari salah satu sudut ruang.
.
.
Jangan terbuai, tak ada yang abadi dalam dunia ini kawan, termasuk mimpi, termasuk surga yang menyenangkan. Dan jika engkau yang tengah menikmati paragraf ini tetiba terusik karena isinya yang mendadak melenceng. Salahkan saja rasa manusiaku yang datang tanpa di duga. Selamat tinggal surga bertaburkan kue lapis. Aku lapar. Sekian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar