Minggu, 11 Juni 2017

Jembatan Yang Lain

Aku lupa kapan tepatnya waktu ketika hari itu ada. Yang tak akan pernah kulupa adalah raut wajahku saat itu. Sekalipun di sana tak ada cermin untuk berkaca, bisa dipastikan wajahku berubah pasi dengan warna ungu atau biru. Ya. Sebagian elemen ragaku terlalu bingung untuk mencerna apa yang sebenarnya salah satu bagian tubuhku inginkan. Melelehkah ? Atau membendung aliran derasnya ?
.
.
Dalam separo jalan menuju pemakaman, aku dan dia terduduk manis di atas jembatan kecil. Ada apa sebenarnya antara aku dan sungai beserta jembatan penyeberangannya ? Terlalu banyak cerita yang harus terlahir di atas keduanya. Dan semuanya merupakan cerita separo bahagia. Atau justru malah utuh berujud duka. Lagi-lagi aku lupa, apa yang menjembatani perbincangan panjang kami. Kekakuan yang terlahir malam lalu, ketika aku mulai menuturkan bahwa aku memuja setengah mati lelaki yang kelak menjadi pendamping hidupnya, mencair bersama derasnya air yang mengalir di bawah kaki kami. Aku sama sekali tidak merasa bersalah. Jujur bukankah tidak termasuk dalam daftar kejahatan ? Beban yang selama berminggu-minggu menyelimutiku seawet kabut pagi di musim kemarau, telah termuntahkan. Malam itu, kami menangis, untuk alasan berbeda. Dan pagi harinya, sekalipun udara begitu sejuk nyaris menggigilkan badan, dan kedamaian yang melambai dari arah pemakaman, ternyata tak bisa meredam keanehan yang menyeruak dari dalam raga. Hari itu. Di atas jembatan kecil dengan udara membungkus menyejukkan, aku justru melafalkan niat untuk bergabung bersama mereka yang tengah terdiam damai di seberang sana. Mengakhiri hidup bukan pilihan yang tepat, tapi tidak terlalu buruk juga saat itu.
.
.
Aku linglung oleh keputusanku. Mulutku mengingkari hati yang terus menyalak meminta pemenangan. Jelas saja aku tak bisa. Menang berarti mengalahkan. Dan aku tak mau dia yang tengah terus mengoceh tentang masa depan bersama lelaki yang namanya telah terukir manis di setiap hari-hari membosankanku, harus merasakan sebuah kekalahan. Aku terus bersitegang dengan suara asing di dalamku. Ragaku terlalu bingung untuk menentukan sebuah pilihan. Hingga memandangi hamparan tumbuhan padi dengan rakus adalah kompensasi yang tepat untuk semuanya. Aku akan menyalahkan angin sejuk ketika ternyata nanti butiran-butiran kecil lolos dari bulatan retinaku. Hari itu telah kutukar kepahitan takdir dalam separo jalan menuju pemakaman, dengan kenangan yang terus membungkus sampai entah kapan.
.
.
.
.
Tiga tahun mungkin telah berlalu. Dan sebuah lagu mengingatkanku dengan tempat satu itu. Jembatan kecil dalam separo jalan menuju pemakaman. Aku bahkan masih bisa membaui aroma tumbuhan padi yang menghampari sekitar. Keputusanku untuk menahan ledakan air mata hingga membuat wajahku berubah ungu hari itu ternyata membuahkan hasil manis hari ini. Aku tak tahu apa yang akan terjadi, jika saat itu kurealisasikan keinginan gila untuk menjadi penghuni tetap pemakaman. Tak ada yang akan terjadi mungkin. Hanya saja akan terkenang sebagai makhluk terkonyol abad ini mungkin saja. Namaku akan menghantui masa depan mereka, mengawasi setiap bahagia yang menyelimuti keduanya. Entah sampai kapan. Andai saat itu benar kurealisasikan ide gila untuk melenyapkan diri, akan terdengar ganjilkah ? Masih eksiskah patah hati dijadikan alasan untuk bunuh diri ?
.
Aku tidak menyesali keputusanku untuk merubah wajah menjadi ungu, aku tidak menyesali keputusanku untuk duduk berdua di atas jembatan dalam separo jalan menuju pemakaman, aku tidak menyesali keputusanku untuk berpura-pura merelakan. Dan, tidak pula menyesali keputusanku untuk jatuh cinta. Awal dari semua kekakuan yang terjadi di masa depan. Alasan tertepat untuk niat yang pernah terlafalkan dalam separo jalan menuju pemakaman. Awal untuk menggilanya diriku untuk sesuatu yang kusebut cinta, dan itu bukanlah pertama kalinya.
.
.
Jembatan kecil dalam separo jalan menuju pemakaman adalah saksi. Yang menjelaskan betapa robek dan luluh lantahnya hati seseorang hari itu, meski separo daya telah di keluarkan. Tetap saja butiran-butiran bening berhasil meloloskan diri dari muaranya. Aku pernah sekuat itu. Aku pernah setegar itu, menjadi pendengar baik untuk dia yang tengah merencanakan masa depan bersama seseorang yang namanya membuat otakku menjadi separo waras.
.
Kelak mungkin akan kuceritakan pada anakku, tentang bagaimana ibunya memiliki ikatan aneh dengan jembatan. Bagaimana ibunya pernah memuja seorang lelaki hingga setengah gila. Bagaimana takdir memberikan petunjuk melalui sungai dan tumbuhan padi. Bagaimana ibunya dulu pernah dengan sangat terpaksa berkata untuk merelakan. Perlukah anakku tahu ? Atau ia hanya perlu mengetahui hasil akhirnya saja, bahwa ternyata ibunya sekuat batu kali berkat tempaan atau kebodohan yang dilakukan selama masa mudanya. Suatu hari nanti mungkin ia akan membaca ini dan mengambil pelajaran darinya. Bekal untuk hari depannya, agar di masa mendatang tak ada lagi cerita dan air mata yang harus tumpah (lagi) di atas jembatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar