Minggu, 19 Februari 2017

Buku Tentang Berlayar

Andai hidup kita adalah sebuah buku. Aku akan mengawali lembar pertama dengan cerita tentang bagaimana kita bertemu. Lalu lembar selanjutnya akan menjadi saksi bagaimana kehidupan menakjubkan berlalu. Berdua kita berlayar ke sebuah pulau bernama pernikahan. Dan seperti di setiap buku lainnya, maka cerita perjalanan kita pun tak semulus yang terangankan. Selalu ada badai yang menyapa, selalu ada gerombolan perompak yang datang menyerang. Tapi lembar demi lembar telah terlalui dan kita tetap bersama. Ketika kisah kita adalah sebuah buku, maka sekian tahun yang kita lalui bersama adalah secuil jika dibandingkan ribuan lembar kosong di depan sana yang belum terisi dan akan terisi tentang cerita bagaimana perjalanan kita menua. Aku berharap buku ini hanya akan terisi oleh namamu hingga kata 'TAMAT' menyapa. Lembar cerita ketika kita memiliki bayi, semua tepat dengan anganku. Kebahagiaan tak terkira seperti menyerbu tanpa mengenal koma, spasi terlebih titik. Bayi kita memiliki mata indah seperti milikmu. Dan ketika aku memandanginya, maka aku akan menemukan tetesan cintamu di dalamnya.
.
Kau membuatku meresapi seperti apa itu indahnya sebuah dongeng. Sekalipun terdengar sedikit berlebihan, tapi sungguh kedatanganmu seperti kepingan-kepingan mimpi yang menjadi nyata. Mimpi tentang menemukan seorang pangeran, mimpi tentang diperlakukan sebagai puteri, dan entah fantasi mana lagi yang patut kusyukuri karena satu demi satu telah menjadi nyata.
Dan ketika sebuah dongeng mengutip kalimat bahwa kedatangan pangerannya adalah seperti malaikat yang di turunkan Tuhan untuk menjaga sang pemeran utama, maka dalam buku kita akan menjadi lain cerita. Aku selalu merasa engkau di ciptakan untuk menjadi penyeimbangku. Dalam beberapa titik kita mungkin tak akan pernah menyatu, saling mengejar dan melunakkan. Seperti itulah sebuah keseimbangan bekerja. Tak peduli seberapa menggelikannya kalimat berikut ini, tapi sungguh kau mungkin tak akan pernah tau betapa istimewanya dirimu. Aku berharap datang suatu hari nanti kesempatan dimana aku bisa membalas semua cinta dan kasihmu. Sementara yang kulakukan setiap hari adalah mencoba dan mencoba. Engkau patut mendapatkannya, kehidupan menakjubkan seperti milikku yang dihadiahkan olehmu. Sementara yang kurasa setiap hari adalah perasaan bahwa aku belum sesempurna yang mungkin engkau minta. Aku tak pernah menjadi sesempurna itu jika dihadapkan denganmu. Seperti itik buruk rupa yang tengah berkaca pada kejernihan sungai, maka seperti itulah aku selalu merasa adanya diriku, dengan engkau sebagai sungainya.
.
Secuil lembar buku terisi yang menggambarkan tentang cerita kita masih akan terlihat terlalu sedikit jika dibanding halaman-halaman kosong di belakangnya. Aku ingin menikmati, setiap lembaran dengan cermat tanpa harus terburu waktu, peran sebagai putri tak semua perempuan bisa berkesempatan mendapatkannya, sementara berani bersumpah, setiap perempuan pernah memimpikannya atau minimal memasukkannya dalam angan. Dan aku beruntung menjadi salah satu yang langka.
.
.
Jika hidup kita adalah sebuah buku, maka lembar pertama akan terisi cerita tentang bagaimana kita bertemu.
Dan bab terakhir akan berisi kutipan tentang bagaimana aku bersyukur untuk hidup yang kita miliki.
.
Sekalipun kalimat ini terasa sedikit menggelikan, tapi aku akan berkata dan terus berkata bahwa kau mungkin tak akan pernah tahu betapa istimewanya dirimu.
.
Dan harapan terakhir yang kupunya adalah semoga tiba satu hari nanti kesempatan untukku bisa membalas semua cinta, kasih dan kebaikanmu. Seseorang yang telah datang dari sekian banyak mimpi-mimpi. Bukan sejenis malaikat yang menyelamatkan, tapi lebih kepada penyeimbang untuk semua kekurangnormalanku.
Sementara yang kulakukan setiap hari adalah mencoba dan terus mencoba.
Tak ada yang terlalu berlebihan untuk sebuah cinta, sekalipun di hitung dari tahun kebersamaan kita masih akan terlalu awal untuk menyebut bahwa hidup milik kita ini menakjubkan, tapi mungkin tak apa jika aku menamainya dengan bahagia. Kebahagiaan tak terkira yang menyerbu seperti gelombang besar di tengah lautan. Terkadang aku harus menangis sendiri. Menyadari betapa berharganya pernikahan ini. Terkadang aku harus menangis sendiri. Menyadari betapa lemahnya pegangan tanganku pada kemudi. Hingga ketika badai menyapa, ketika gerombolan perompak menghadang, yang selalu merajai pikiran adalah tentang melepaskan. Aku akan mencoba dan terus mencoba, bersabar menanti hari di mana aku siap untuk bisa membalas semua kasihmu. Bersabar dan terus bersabar mengendalikan peganganku pada kemudi hingga akhirnya kata melepaskan tak pernah ada dalam judul buku kita.
.
Jika saja hidup kita adalah sebuah dongeng, maka kau adalah pangeran yang di takdirkan memahat perahu, sementara aku adalah puteri yang diskenariokan menjadi pahlawan di tengah perjalanan. Jadi teruntuk kalian yang berkesempatan menemui buku ini suatu hari nanti, jangan pertanyakan apa kegunaanku dan kenapa diawal cerita aku selalu menyusahkan. Sekian.

Sabtu, 18 Februari 2017

Si Koi Merah Dan Jelaga Hitam

Ari pulang setelah sekian lama berada jauh dari jangkauan. Sebelumnya, tak terhitung berapa kali aku berdoa agar hari cepat berlalu supaya ujud Ari benar-benar terjangkau mata. Ari masih tetap sama, hangat dan menyala. Kepulangannya membawa sebuah bara baru, seperti yang selalu ia bawa ketika kepulangannya yang lalu dan dulu. Kepulangan Ari selalu di nanti, tak hanya olehku, tapi juga oleh semua anggota keluarga. Dan Hara adalah penanti termuda yang bahkan mungkin ia sendiri tak mengerti apa yang ia nanti. Dari semua buah tangan yang ia bawa, ada satu yang merisaukanku bahkan sebelum Ari benar-benar sampai rumah. Peliharaan barunya. Seekor ikan Koi berwarna merah bergaris putih yang besarnya mungkin sekitaran telapak tangan orang dewasa. Ari pernah berkata sebelumnya, bahwa peliharaan barunya tidak akan mempengaruhi apapun termasuk menyita waktu-waktu berharganya bersama Hara. Aku memang sudah memutuskan untuk rela. Kepada Ari yang mungkin akan sulit untuk berbagi adil kepadaku dan penghuni terkecil kami. Tak apa jika aku mulai tak lagi mendapatkan apa yang sudah menjadi jatah wajibku, kecupan ringan itu, tawa renyah itu, aku rela berbagi milikku hanya dengan Hara.
Dan si Koi kecil itu perlahan merenggut kepercayaanku. Waktu berkualitas yang dijanjikan Ari terlalui bersama ikan merah itu, Ari melupakan perjanjian bahwa ranjang adalah tempat sakral dan netral. Aku yang semula terpesona dengan Koi kecil itu perlahan muak. Ari melanggar janji, dan aku memutuskan ikut melanggarnya juga. Kepulangan Ari kali ini tak semenyala ketika kepulangannya yang lalu dan dulu. Karena ternyata, selain si Koi pengganggu, ada hal lain yang membuat sinarnya semakin meredup hampir padam. Sebuah kesalahpahaman yang tak mengenakkan. Terjadi pada hari-hari terakhir keberadaan Ari di rumah. Aku tak ingat persis kejadiannya, yang aku tahu saat itu kadar jenuhku tengah dalam skala menguat. Aku jenuh terhadap segalanya. Bahkan untuk sekedar menyunggingkan senyum atau memberi salam. Aku jenuh terhadap pernikahan kami yang tak pernah menghadapi guncangan berarti. Aku jenuh mengunyah isi dari kata-kata bijak tentang pernikahan yang ku ciptakan sendiri. Bahwa menyatukan banyak kepala ternyata sesulit meleburkan air dan minyak. Bahwa ternyata pernikahan sanggup mematikan salah satu sisi dari seseorang, memutasinya menjadi pribadi baru yang layak edar. Sementara aku, kerasnya hati dan kepalaku bersaing ketat dengan kerasnya kerikil di pekarangan rumah. Aku tak mau peduli jika kemasanku tak masuk standar menantu-menantu dan kakak ipar idaman. Aku tak mau peduli jika diriku ternyata tak layak edar. Aku akan bereaksi sesuatu mulai menggangguku. Aku akan diam ketika pengganggu itu mengendap terus di dasar lambung, tak bisa termuntahkan. Dan Ari tak menyukai itu. Ia memaksaku untuk membenahi diri, ia memaksaku untuk memasuki pasaran tanpa peduli jika kemasanku telah rusak terpapar keadaan. Satu lagi alasan untuk meredupkan nyala Ari. Dan kesalahpahaman itu menyisakan abu. Yang mungkin akan menempel sebagai jelaga dan tak akan pernah hilang. Ya, aku tak sepenuhnya setuju dengan adanya pemaksaan. Ide Ari untuk memasarkan produknya sebelum memantau kelayakan edar adalah sebuah kesalahan besar. Karena sekarang aku mulai mempertanyakan kejujuran dan cinta Ari. Mungkinkah pesaingku tidak hanya Hara ? Tapi ada nama-nama di luar sana yang meski aku tahu tapi tak mau kusebutkan siapa ? Mungkinkah di belakang, Ari hanya memegang tali kendaliku tanpa mau memilikinya ? Aku merasa hancur di kepulangan Ari kali ini. Kesalahpahaman tak mengenakkan itu meluluhkan sebagian dinding rasaku. Aku mulai meragu, takut yang dari dulu menghinggapi mulai menunjukkan dayanya. Aku bukanlah yang utama. Kesalahpahaman itu telah menunjukkan padaku bahwa aku memang bukanlah yang utama. Tak apa jika Hara yang mengambil alih separo jatahku, aku hanya tak pernah mau rela jika nama lain yang mengambilnya. Itu saja. Dan Ari tetap memaksakan kehendaknya. Jenuh yang semula berada diujung kepala mendadak luber dan menyalakan tombol tersembunyiku. Aku mengutuk kepulangan Ari kali ini, setelah rasa iri yang ditimbulkan Koi merah, lalu kesalahpahaman tak mengenakkan itu melengkapinya. Bak potongan bawang merah yang di tabur di atas semangkuk acar. Begitu pas dan sempurna.
.
Bara yang biasa dibawa pulang Ari, yang selalu kujelang dan kunanti, membakarku dalam seketika. Menyisakan abu dan jelaga yang keberadaannya mengekal di jurang sana. Aku tak lagi sama, perasaanku kepada Ari tak lagi sama. Jelaga itu menutupi separo kemurnian dan menelannya dalam hitam. Tak apa jika Hara adalah seseorang yang harus membuatku rela. Tapi tidak dengan nama yang lain. Ari dan pernikahan ini tak akan lagi sama. Aku hancur dalam pemaksaannya. Jenuh yang meluber telah mengenai sasaran dengan tepatnya. Aku bahkan ragu ataukah akan kembali berdoa untuk kepulangan Ari esok supaya hari berlalu dengan cepat seperti selalu ketika ia tengah jauh, Ari tak lagi hangat dan semenyala seperti sebelumnya. Dan aku kecewa.

Jumat, 17 Februari 2017

Catatan Si Penyu Cacat

Seekor penyu tengah dalam masa bimbangnya. Termangu sendiri di atas pasir tak jauh dari pohon kelapa roboh yang akarnya terkopyok isi lautan. Tak pernah sekalipun hadir bahkan dalam bayangan ia akan dihantam gelombang seganas kemarin petang. Semuanya datang tanpa dulu mengucap salam, melahap semua yang ada. Dan menelannya dalam sekali jadi.
.
.
.
Suara gemuruh yang menguat seiring dengan semilir angin yang kian tak wajar mendatangiku sore itu, aku dan beberapa kawananku tengah menikmati pasir hangat sisa panggangan siang. Beberapa kepiting melewati kerumunan kawananku dan menawarkan untuk berbagi makanan mereka. Dan tepat ketika para kepiting tengah membuka kotak bekal adalah saat terakhir aku mendengar suara. Karena seperti yang telah kukatakan sebelumnya, gelombang besar datang tanpa salam permisi, tak sempat bagi kami untuk meneriakkan kekagetan, mulut-mulut tersumpal air yang mengguyur lalu menenggelamkan. Suara kami terendam didalamnya. Lima belas menit yang terasa seperti selamanya. Aku dan kawananku memang tidak seberuntung itu untuk bisa bertahan dari amukan gelombang. Belum saatnya bagi tubuhku dan kawananku untuk bisa bertahan di dalam air. Belum saatnya. Tapi garis tak mengerti kata belum, ia tetap memaksaku dan kawananku untuk tenggelam dan sekian kali terhantam pepohonan. Gelombang mengerikan.
.
Dan pagi ini, matahari membangunkanku layaknya kecupan seorang Ibu. Pantai yang terlihat seperti bak sampah adalah hal pertama yang kusadari, dan kemudian, aku masih hidup. Sendiri. Tawa meledak diantara tangisku yang menderai. Aku terlalu bingung untuk berkata-kata, akankah aku harus berbahagia atau sebaliknya. Sejauh mata memandang belum kudapati tanda-tanda bahwa semua kawananku seberuntung aku, hidup setelah gelombang besar memaksa bertamu. Aku benaran tidak tahu apa yang tengah merasukiku, sekian waktu setelah tawa usai meledak, yang kulakukan adalah terpaku memandang nanar sekitar. Entah kepada siapa aku harus bertanya. Sementara ketika mataku menabrak sinar mentari saat itulah aku merasakan sesuatu terasa sangat kuat di dalam cangkangku. Sebuah nyeri tak terkira. Mungkin kakiku patah ketika terhantam di tengah gelombang atau apa, aku belum bisa merasai sepenuhnya. Hanya nyeri di titik itu yang merajai seluruh tubuhku. Kulihat cangkangku rusak, seperempat bagian atasnya robek dan memperlihatkan isinya. Kembali mataku memanas karenanya. Aku benar-benar bingung antara harus bersyukur atau mengeluh atas keadaanku.
.
.
Wahai Tuhan yang selalu melihat. Dimanakah Kau ketika air itu tengah menelanku dan juga kawananku ? Lalu apakah ini sebuah lelucon ? Aku terselamatkan hanya seorang diri, dimana kawananku ? Bukankah mereka juga sebaik diriku ? Lalu kenapa hanya aku yang mendapati kesempatan untuk melihat lagi dunia ? Rumahku rusak, separo badanku terlihat dari luar, dan entah engsel sebelah mana yang tak dapat lagi berfungsi seperti sebelumnya. Aku terlalu takut untuk memeriksa, aku tak siap menghadapi diriku yang tak lagi utuh sebelumnya.
.
.
Sore menjelang dengan begitu cepat, aku masih terpaku di tempat pertamaku membuka mata. Dan memang tak ada siapapun yang ku lihat hidup sepanjang hari ini, kecuali beberapa gagak yang mengitari pantai dan meneriakkan dendang pilu. Lewat mulutnya akan tersiar kabar kepada seluruh penghuni alam bahwa sebuah gelombang telah meluluh lantahkan sebuah kawasan, bahwa aroma kematian tercium dari segala sudut, bahwa mungkin para penghuni alam perlu berkabung sejenak untuk memanjatkan doa bagi para penghuni yang telah berpindah alam. Yang lupa gagak sampaikan kepada seluruh penghuni alam adalah bahwa ternyata gelombang mengerikan itu masih menyisakan aku. Seekor penyu berumur hitungan jari, dengan cangkang yang pecah disana sini, dan juga cacat.
.
.
Aku tak berani menatap bayanganku yang terpantul dari sinar matahari, petang beberapa jam lagi akan datang. Dan aku masih tak memiliki niat untuk beranjak. Jika garis memintaku untuk menikmati hidup sekali lagi, maka akan kuhabiskan masa itu hingga remah-remahnya. Sayup-sayup kudengar di kejauhan suara debur ombak yang entah kenapa terasa sangat empuk dan merdu. Sampah teronggok di setiap jengkal pasir, tak hanya sampah manusia tapi juga sampah sisa-sisa alam. Dedaunan kering, patahan ranting, pohon tercerabut, semuanya memperlihatkan duka dan duka. Aku tak tahu, mungkin kawananku ada diantara tumpukan sampah-sampah itu, mungkin juga tertimbun pasir, atau mungkin terbawa arus. Membayangkan tentang hidup adalah hal mengerikan yang kurasakan saat ini. Keindahan, harapan, mimpi, semua mengepakkan sayapnya seketika. Pergi menjemput cakrawala yang konon lebih menjanjikan ketimbang seluruh isi dunia.
Menyisakan aku sendiri, bahkan para gagakpun tak berhasil melacak denyut hidupku. Seekor penyu berumur hitungan jari dengan cangkang retak dan cacat.