Sabtu, 18 Februari 2017

Si Koi Merah Dan Jelaga Hitam

Ari pulang setelah sekian lama berada jauh dari jangkauan. Sebelumnya, tak terhitung berapa kali aku berdoa agar hari cepat berlalu supaya ujud Ari benar-benar terjangkau mata. Ari masih tetap sama, hangat dan menyala. Kepulangannya membawa sebuah bara baru, seperti yang selalu ia bawa ketika kepulangannya yang lalu dan dulu. Kepulangan Ari selalu di nanti, tak hanya olehku, tapi juga oleh semua anggota keluarga. Dan Hara adalah penanti termuda yang bahkan mungkin ia sendiri tak mengerti apa yang ia nanti. Dari semua buah tangan yang ia bawa, ada satu yang merisaukanku bahkan sebelum Ari benar-benar sampai rumah. Peliharaan barunya. Seekor ikan Koi berwarna merah bergaris putih yang besarnya mungkin sekitaran telapak tangan orang dewasa. Ari pernah berkata sebelumnya, bahwa peliharaan barunya tidak akan mempengaruhi apapun termasuk menyita waktu-waktu berharganya bersama Hara. Aku memang sudah memutuskan untuk rela. Kepada Ari yang mungkin akan sulit untuk berbagi adil kepadaku dan penghuni terkecil kami. Tak apa jika aku mulai tak lagi mendapatkan apa yang sudah menjadi jatah wajibku, kecupan ringan itu, tawa renyah itu, aku rela berbagi milikku hanya dengan Hara.
Dan si Koi kecil itu perlahan merenggut kepercayaanku. Waktu berkualitas yang dijanjikan Ari terlalui bersama ikan merah itu, Ari melupakan perjanjian bahwa ranjang adalah tempat sakral dan netral. Aku yang semula terpesona dengan Koi kecil itu perlahan muak. Ari melanggar janji, dan aku memutuskan ikut melanggarnya juga. Kepulangan Ari kali ini tak semenyala ketika kepulangannya yang lalu dan dulu. Karena ternyata, selain si Koi pengganggu, ada hal lain yang membuat sinarnya semakin meredup hampir padam. Sebuah kesalahpahaman yang tak mengenakkan. Terjadi pada hari-hari terakhir keberadaan Ari di rumah. Aku tak ingat persis kejadiannya, yang aku tahu saat itu kadar jenuhku tengah dalam skala menguat. Aku jenuh terhadap segalanya. Bahkan untuk sekedar menyunggingkan senyum atau memberi salam. Aku jenuh terhadap pernikahan kami yang tak pernah menghadapi guncangan berarti. Aku jenuh mengunyah isi dari kata-kata bijak tentang pernikahan yang ku ciptakan sendiri. Bahwa menyatukan banyak kepala ternyata sesulit meleburkan air dan minyak. Bahwa ternyata pernikahan sanggup mematikan salah satu sisi dari seseorang, memutasinya menjadi pribadi baru yang layak edar. Sementara aku, kerasnya hati dan kepalaku bersaing ketat dengan kerasnya kerikil di pekarangan rumah. Aku tak mau peduli jika kemasanku tak masuk standar menantu-menantu dan kakak ipar idaman. Aku tak mau peduli jika diriku ternyata tak layak edar. Aku akan bereaksi sesuatu mulai menggangguku. Aku akan diam ketika pengganggu itu mengendap terus di dasar lambung, tak bisa termuntahkan. Dan Ari tak menyukai itu. Ia memaksaku untuk membenahi diri, ia memaksaku untuk memasuki pasaran tanpa peduli jika kemasanku telah rusak terpapar keadaan. Satu lagi alasan untuk meredupkan nyala Ari. Dan kesalahpahaman itu menyisakan abu. Yang mungkin akan menempel sebagai jelaga dan tak akan pernah hilang. Ya, aku tak sepenuhnya setuju dengan adanya pemaksaan. Ide Ari untuk memasarkan produknya sebelum memantau kelayakan edar adalah sebuah kesalahan besar. Karena sekarang aku mulai mempertanyakan kejujuran dan cinta Ari. Mungkinkah pesaingku tidak hanya Hara ? Tapi ada nama-nama di luar sana yang meski aku tahu tapi tak mau kusebutkan siapa ? Mungkinkah di belakang, Ari hanya memegang tali kendaliku tanpa mau memilikinya ? Aku merasa hancur di kepulangan Ari kali ini. Kesalahpahaman tak mengenakkan itu meluluhkan sebagian dinding rasaku. Aku mulai meragu, takut yang dari dulu menghinggapi mulai menunjukkan dayanya. Aku bukanlah yang utama. Kesalahpahaman itu telah menunjukkan padaku bahwa aku memang bukanlah yang utama. Tak apa jika Hara yang mengambil alih separo jatahku, aku hanya tak pernah mau rela jika nama lain yang mengambilnya. Itu saja. Dan Ari tetap memaksakan kehendaknya. Jenuh yang semula berada diujung kepala mendadak luber dan menyalakan tombol tersembunyiku. Aku mengutuk kepulangan Ari kali ini, setelah rasa iri yang ditimbulkan Koi merah, lalu kesalahpahaman tak mengenakkan itu melengkapinya. Bak potongan bawang merah yang di tabur di atas semangkuk acar. Begitu pas dan sempurna.
.
Bara yang biasa dibawa pulang Ari, yang selalu kujelang dan kunanti, membakarku dalam seketika. Menyisakan abu dan jelaga yang keberadaannya mengekal di jurang sana. Aku tak lagi sama, perasaanku kepada Ari tak lagi sama. Jelaga itu menutupi separo kemurnian dan menelannya dalam hitam. Tak apa jika Hara adalah seseorang yang harus membuatku rela. Tapi tidak dengan nama yang lain. Ari dan pernikahan ini tak akan lagi sama. Aku hancur dalam pemaksaannya. Jenuh yang meluber telah mengenai sasaran dengan tepatnya. Aku bahkan ragu ataukah akan kembali berdoa untuk kepulangan Ari esok supaya hari berlalu dengan cepat seperti selalu ketika ia tengah jauh, Ari tak lagi hangat dan semenyala seperti sebelumnya. Dan aku kecewa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar