Kamis, 12 Mei 2022

Segumpal Tanah

Aku adalah sebongkah tanah yang terbiasa berada di bawah. Aku adalah sebongkah tanah yang biasa terinjak dan menengadah. Bukan hanya secara harfiah tapi juga dalam artian yang sebenarnya. Ibuku menamaiku tanah, entah karena jika menamainya dengan nama langit atau mentari akan menjadi sesuatu yang terlihat sangat muluk atau memang murni bertujuan agar aku selalu sadar siapa diri ini bermula.

Hidupku selalu berdampingan dengan air, aku berteman dengannya, mengaguminya, lalu mengutuknya. Tapi kini aku terbiasa memandangi air sebagai kawan biasa, seperti Draco yang memperlakukan Harry pasca perang. Kita tetap bisa berdamai dengan efek yang ditimbulkan oleh masa lalu, sekelam apapun masa itu pernah terlalui.

Ari adalah sejenis pot bunga yang mengangkatku dari bawah sana dan memperkenalkan dunia baru beserta keindahan yang di tawarkannya. Ari datang begitu saja pada suatu waktu yang tengah berbadai. Ari datang begitu saja, memungutku, membuatku berharga, membuatku memiliki nama dan menghasilkan juga. Tanah yang dulu selalu terinjak dan berada di bawah kaki akhirnya menemui masa untuk bisa naik ke atas meja, di siram setiap hari, di rawat, di sayang-sayang untuk kemudian di pamerkan. Tanah yang dulu hanya bisa melihat tapak kaki manusia kini bisa sejajar dengan mata si empunya, ketika ada istilah sombong maka itulah definisi yang tepat untuk menggambarkan betapa melayangnya situasiku berkat keberadaan Ari. Aku tidak membandingkan hidupku dengan tanah liat di luar sana yang di proses begitu rumit untuk dijadikan sebuah maha karya, aku tidak membandingkan hidupku dengan tanah galian manapun, yang mencoba di angkat namun tetap harus berakhir di bawah juga. Aku hanya membandingkan hidupku dengan kehidupanku juga selama Ari belum datang. Aku berangan, aku bermimpi, aku menyentuh pelangi, aku memeluk rembulan, bahkan pernah kuagendakan diri untuk memetik bintang. Segala hal mustahil yang pernah di larang untuk sekedar kubayangkan satu persatu mulai kunikmati, mulai kujelajahi. Ari seperti melemparkanku pada bulatan bumi yang benar-benar lain dan baru. Aku tidak pernah tahu sebelumnya bahwa ada jenis keindahan seperti itu di atas muka bumi ini. Aku tidak pernah tahu sebelumnya bahwa aku akan sanggup melangkah sejauh ini, ketika dulu yang terbayang olehku hanyalah bagaimana aku akan menua, terkurung dalam dunia mencekam dan menakutkan. Aku terbang, bukan sesuatu yang bisa kulakukan memang, tapi aku berhasil merasakan sensasinya. Lagi-lagi Ari berperan dalam hal itu. Seakan segala hal yang melingkari kehidupan baruku adalah kreasi dan tak akan terjadi tanpa campur tangan dari seorang Ari. Seonggok tanah ini mulai lupa diri, bukan hanya sombong tapi sangat tidak sadar diri. Bahwasanya ada yang lebih berkuasa pada diri setiap makhluk yakni Penciptanya.
Dan hari itupun datang, setelah gelap melanda, dan Ari membiarkanku menari di atas danau bercerminkan kerlip bintang. Setelah cerahnya padang canola memeluk dan aku lari melepaskan diri, menjauh dari jangkauan Ari sekedar untuk mengetahui seberapa besar inginnya untuk bisa menangkapku.
Dan sekali lagi, hari itu datang, dimana tempat biasa kubernaung dari segala kejahatan dan ketidak amanan yang ada dibumi ini mendadak jatuh dan untuk pertama kalinya melepaskan kesiagaannya untuk melindungi diri ini. Aku yang semula tak berbebat untaian benang, merasa memiliki arti setelah berada dalam eratnya pelukan Ari. Aku yang semula merasa tak memiliki makna, perlahan memiliki nama, angan, sebelum akhirnya harus kembali di paksa merasa rawan dan telanjang. Sang Pemilik merasa sudah saatnya melepas segumpal tanah ini dari pelukan potnya. Sang Pemilik secara tidak sengaja dalam tanda kutip membuat Ari terjatuh, terpecah dan tercerailah dirinya dari segumpal tanah ini. Aku menangis. Tangisan terbesar dan terdalam yang pernah kulakukan selama hidup, bukan yang terkeras, karena kuasa akan raga ini telah memudar seiring informasi yang datang dan tercerna mengenai proses jatuhnya Ari. Ketakutan terbesar yang bahkan belum sempat kubayangkan itu terjadi. Ketakutan yang tak pernah berani kuangankan mendadak menjadi sebuah nyata yang membetot hingga separuh akar yang mengikat nyawa. Seonggok tanah ini telah porak poranda. Seonggok tanah ini ikut menelan serpihan Ari yang jatuh tanpa aba-aba, hingga ketika dunia harus mengumpulkan remahan Ari untuk kemudian dikebumikan, ada bagian dariku yang terikut dalam pemakamannya.
Dunia mungkin hanya melihat aku dan Ari seperti pot dan tanah yang lainnya, seperti ribuan bahkan jutaan lain yang ada di dunia. Yang tidak dunia tahu adalah bagaimana Ari telah mencemplungkanku pada dunia baru, mengangkatku dari keterpurukan dan memberiku kehidupan. Aku tidak mengutuk apapun, aku tidak membenci siapapun. Aku menerima semuanya seperti halnya menikmati takdir yang membuatku menjadi tanah, dan bernasib juga bernama sama pula. Bukan karena keberadaan Ari kurang berharga, bukan pula karena kurangnya rasa cintaku padanya. Aku hanya merasa Ari tidak pernah melepaskan pelukannya. Aku hanya masih belum percaya semua kesudahan ini adalah sebuah nyata. Aku hanya masih menyimpan asa bahwa suatu masa nanti entah di kehidupan yang mana kami akan kembali bertemu dan kembali menjadi satu. Itu saja.
Sang Pemilik yang selalu berkuasa, mencabut apapun sekehendakNya, segumpal tanah yang selalu bersombong diri inipun akhirnya harus terisak dan berkaca. Segala hal di muka bumi ini memiliki pemilik, bahkan untuk sebutir debu, bahkan untuk setetes keringat. Dan pemilik di atas segala yang paling berhak untuk memiliki. KepadaNya harus kutumpahkan segala rasa yang mendera.
Tuhan, aku terluka, aku sakit, aku sekarat, aku mati rasa, dan aku di paksa untuk tetap hidup dan menikmatinya.
Memang apalagi yang masih tersisa? Ari adalah segalanya. Sang Pemilik membuatku pergi ketempat baru, berjumpa dengan banyak gumpalan lain yang memiliki takdir sama atau bahkan lebih buruk dari pada aku. Sang Pemilik membukakan pintu lain dari sudut lain bumi ini namun pandanganku tetap saja terpaku. Segala keindahan yang kutemui seperti tak bisa lagi menyentuhku. Beberapa nyawa mencoba berempati dan berusaha, tapi aku sudah terpuruk terlalu dalam untuk bisa diselamatkan. Aku memang menerima segalanya, tapi kehilangan ini benar-benar nyata dan tidak lantas membuatku bisa berkata bahwa aku sudah baik-baik saja. Dan aku tidak yakin jika waktu memang bisa bekerja sesakti itu untuk bisa menyembuhkan luka jenis satu ini.

Di suatu petang yang telah lalu, aku mencoba menengadah ke langit lepas, pekatnya masih sama seperti dulu ketika kami masih bersama, ada bintang tergantung di sana, ada rembulan yang menyembul malu dari persembunyiannya, dan.....ada Ari di antara semuanya, duduk berayun di salah satu awan, memandang turun ke bumi, matanya menghujam tepat menemuiku. Ada yang ingin dia sampaikan namun suaranya tertahan oleh perbedaan dimensi dan waktu.
Aku tahu dia ingin menyemangatiku, ingin memberikan kata-kata penghiburan yang selalu bisa menyalamatkan mental hampir matiku. Seperti yang selalu dia lakukan sebelum-sebelumnya di kehidupan ini.
Aku kembali pergi ke jalan lama, ingin kembali melihat apakah dunia masih berputar seperti biasa atau ikut macet mengarat seperti duniaku, tapi tak kutemui apa-apa, selain fakta bahwa aku melihat Ari beserta segala kenangannya saat kami masih bersama-sama. Aku seperti tengah berada di tengah bioskop dimana layarnya hanya menampilkan potongan-potongan gambar yang telah lalu. Dan aku harus kembali tergigit oleh perasaan ngilu. Luka ini seperti tak ada kata-kata yang bisa hadir untuk mendefinisikan. Luka ini, seperti tak ada satu manusiapun yang bisa menyentuh apalagi ikut merasakan sedikit saja legit perihnya.

Segumpal tanah ini kehilangan pelindung terbaiknya, kehilangan pendengar terbaiknya, kehilangan satu-satunya temannya, kehilangan oli pengatur putaran rodanya, seperti waktu yang sanggup mengarat, begitu pula nafasku selama ini tersendat. Segumpal tanah ini masih belum sepenuhnya percaya bahwa makhluk sekuat Ari bisa amblas begitu saja dalam satu pukulan. Segumpal tanah ini masih belum percaya bahwa di dunia ini ada sesuatu yang tak akan bisa kembali hadir untuk memeluknya meski dengan apapun caranya. Segumpal tanah ini hanya hidup berbekal asa bahwa di kehidupan selanjutnya kami akan kembali bertemu dan dipersatukan, itu saja.

Aku sering berandai pada semua momen mengambil keputusan yang datang di depan hidungku. Akan bereaksi seperti apa Ari jika kini ia masih ada dan mengalami juga melihat semua yang tengah kulihat? Aku hampir menanyakan pertanyaan satu itu di setiap kesempatan, mengulangnya ribuan kali sejauh ini.
Dulu ketika jatuhnya Ari masih berada dalam hitungan hari, aku sering bertanya kepada Sang Pemilik kehidupan, kenapa bukan aku saja yang pergi? Biarkan Ari tetap utuh, ada dan melanjutkan semuanya. Aku segumpal tanah yang buta, pemarah dan rentan tersesat. Jika hari ini aku masih tetap berada di jalan yang benar, maka itu tak lain adalah berkat dari Ari sebagai pemandu navigasinya. Kenapa bukan aku yang kehilangan kuasa untuk bersuara, mendengar dan merasa, lalu kembali menjadi tanah yang tak berdaya
seperti fitrahnya?
Kehilangan Ari berati kehilangan rumah terbesarku, kehilangan Ari berati kehilangan pakaian terbaikku. Kehilangan Ari berati kehilangan perisai terkuatku.
Segumpal tanah ini seketika merasa telanjang, merasa rentan, tak aman dan tak nyaman.
Segumpal tanah ini selalu kehujanan meski musim tengah gersang, selalu di dera dingin meski terik mentari tengah berada di puncaknya. Aku harus kembali menjadi anomali yang mempertanyakan fungsi denyut nadi, mempertanyakan guna matahari, tapi segumpal tanah ini tak akan pernah kembali kepada waktu di mana Ari masihlah sebuah teka-teki. Aku terpuruk, tapi Ari telah menyentuhku. Meninggalkan banyak kenangan selama kami berjalan bersama, dan saat ini, itu cukup untuk menjadi penopangku. Aku akan kembali melangkah, entah menjadi apa diriku nanti, entah singgah dimana, dan entah seperti apa bentukku saat ini, itu semua tak lagi penting. Yang terpenting adalah memulainya, entah dengan merangkak atau berjalan, entah berupa remahan atau hanya sebagian.
Semua lelah yang kudekap hanya akan menjadi milikku sepenuhnya. Semua resah yang menghampiri hanya akan menjadi spasi bagi kelanjutan gerakku. Aku tidak sedang berjanji, aku hanya sedang membangun tongkat penyangga bagi diriku, aku tak lagi sanggup berdiri sendiri, aku memerlukan tongkat hingga segala tremor ini menghilang.

Dan kepada Ari, maaf jika aku terlalu egois karena meminta Dia untuk selalu mengahadirkanmu dalam mimpiku. Engkau kini tengah di sibukkan dengan urusan dunia barumu, tak akan lagi sempat menilik dunia kecil yang kau tinggalkan ini. Tapi aku disini, hidup, terikat pada masa lalu dan tidak hilang ingatan. Semua kenangan tentangmu masih sama segarnya seperti saat engkau masih ada. Aku masih menangis tiba-tiba, masih menemukanmu di setiap sudut rumah ini, bahkan meski jika aku keluar. Maka hadirmu meski hanya dalam dunia gelap alam bawah sadar akan menjadi sebuah morfin yang memacu nadiku untuk lebih bersemangat dalam mendenyutkan darahnya.
Dan kepada Ari, maaf jika selama ini aku masih belum menjadi yang terbaik dan hanya selalu mencoba. Aku tahu engkau lebih dari layak untuk mendapatkan yang lebih dari pada semua itu. Tapi waktu tidak memberiku kesempatan lebih untukku mempersembahkan darah dalam mencobanya.
Aku akan menjaga mereka, menjadikannya tangga bagiku dan bagimu agar bisa kembali bersua di surga. Sungguh tak ada lagi pecut yang lebih dahsyat daripada sebuah ingin untuk menemuimu lalu melanjutkan kisah kita.
Dan kepada Ari, maaf jika kelak aku akan menerima dengan lapang dada ketiadaanmu. Seperti aku yang semula memaki air lalu kemudian berteman dengannya, maka akan seperti itu jugalah nanti keadaanku sepertinya, berdamai dengan masa lalu. Tidak peduli sedramatis apa luka ini. Tidak peduli sejauh apa aku terjatuh dalam keputusasaan. Karena aku yakin engkau akan lebih berbahagia ketika melihatku bangun dan tertawa. Meski aku tidak yakin masih mengingat caranya.


Kita tetap bisa berdamai dengan efek yang ditimbulkan oleh masa lalu, sekelam apapun masa itu pernah terlalui. Semoga saja.