Jumat, 15 April 2016

Ini Tentang Kita

Aku tidak pernah menjadi apa-apa dan siapa-siapa.
.
.

Mereka menempati setiap keping waktu dengan begitu pasnya. Aku, denganku putaran jam hanya berlalu lantas menjadi abu. Tanpa menyisakan sedikitpun bara. Sementara mereka mengekal, telah mengekal. Mendiami begitu banyak tempat yang akan terus membayang. Cakrawalaku tak seindah ketika belum kupunguti onggok-onggok mayat di rumahmu itu. Harusnya kau bakar saja mereka, harusnya kau tidak terburu-buru amnesia, harusnya kau mengingat dimana saja celah ruang yang pernah kau jadikan arena untuk bercinta. Agar kekekalan itu tidak ada. Agar ketika aku berkunjung ke rumahmu tak lagi kutemui remah-remah pecahan kaca. Andai kau tau, amnesiamu membuatku terluka. Engkau sungguh tak sepintar itu untuk membangun sebuah samsara. Sementara aku, aku tidak pernah seberuntung itu untuk mendapatkan sekedar sebuah pengakuan, karena sesungguhnya aku tidak pernah menjadi apa-apa dan siapa-siapa.
.
Aku adalah sebatang pohon di pekarangan. Tumbuh rimbun, kenyang terpaan sinar. Namun bunga mawarmu membuatku tak bisa bernafas bebas, yang bisa terus kulakukan adalah menjulang dan terus menjulang. Menghilang dari pandangan hingga engkau tak sadar bahwa aku ada menaungimu dari terik dan hujan. Aku tak seberuntung itu untuk bisa terlahir tumbuh secantik mawar yang pernah engkau banggakan. Aku tidak seberuntung itu untuk sekedar mendapat pengakuan.
.
.
.
Aku terlahir sebagai awan. Menggantung manis di tengah jalan menuju tangga kekekalan. Aku menikmati damai dan empuknya hunian. Tapi lagi-lagi, sesuatu menghambat pernafasan. Peri kecilmu yang bersembunyi malu di ujung pintu langit meledekku. Menyadarkan bahwa aku bukan apa-apa dan siapa-siapa. Lagi-lagi aku tak seberuntung itu untuk bisa tercipta sebagai peri kecil nan menggemaskan. Aku tidak seberuntung itu untuk sekedar mendapat pengakuan.

.
.
Aku menerima jika mawar tercintamu telah layu setelah dengan sengaja menikammu dengan duri-duri tajamnya. Aku pun menerima ketika peri kecilmu telah menemukan tempat yang lebih pas ketimbang cekungan ruang dari hatimu. Aku menerima ketika mereka berdua telah mati. Yang tidak bisa aku terima adalah ketika nyatanya. Cakrawala aksara ini, ruang teragung bagiku ketika tak ada lagi nyawa yang mau menerima, justru harus pula kutemui mayat-mayat berserakan. Ditempat dimana selalu kutemukan kesempurnaan dan kedamaian ini, nyatanya harus pula kutemui pecahan kaca menyambuti di pintu masuknya. Aku terluka sekali lagi untuk pengakuan yang tak kunjung ku sandang.
Harus menjadi apakah aku, agar bisa menyaingi cantiknya mawar dan juga melampaui indahnya peri kecil milikmu ? Sementara denganku, waktu hanya berlalu lantas menjadi abu. Disaat mayat mereka mengekal dalam kolong-kolong rumah aksaramu, nyatanya tak seinchipun ruang tersisa untuk sekedar mengakui kehadiran. Aku tidak pernah menjadi apa-apa dan siapa-siapa. Kenapa aku tak kunjung mendapati pengakuan seperti mereka ? Engkau selalu benar, tak seharusnya aku menjadikan bayangan sebagai lawan. Tak seharusnya ku angkat sampah dari permukaan. Tapi ketika kutemui lagi sisa-sisa pergumulanmu yang sekalipun telah lalu itu, masih kurasakan luka dan lara. Sadar bahwa aku tetaplah bukan apa-apa dan siapa-siapa.