Minggu, 06 November 2022

Membuat Cerita

Beberapa hari kebelakang aku seperti melihat Hara yang lain. Dia sering diam dan selalu berkutat dengan gambar-gambarnya saja. Dia mulai sering membicarakan dirimu, entah kepada Alfa atau sekedar memutar koleksi ingatannya ketika bersamamu kepadaku. Dia bahkan beberapa kali melukis tentang bagaimana dirimu sekarang. Semuanya terlalu terlihat jelas seperti mendapati pantulan diri yang terjebak di dalam cermin. Dia merindukanmu, sangat merindukanmu, lebih dari sekedar itu, dia membutuhkanmu lebih dari pada aku. Dulu aku pernah berkata bahwa ada dua wanita yang terluka dalam oleh kepergianmu, yakni aku dan ibumu. Tapi aku melupakan satu perempuan lain lagi, dan dia adalah Hara. Untuk sesaat aku lupa siapa dirimu untuknya dan dimatanya. Kamu adalah cintanya, mimpinya, tiangnya dan 
payungnya. Dan aku tidak bisa memahami perasaan ketika harus kehilangan semua itu dalam satu waktu. Aku selama ini terlalu egois karena hanya merasa diri sendiri paling menderita. Dan yang paling genting dari semuanya adalah ketika aku tidak tahu cara untuk mengobati kehilangannya. Maafkan ibumu nak, suatu hari nanti kau akan melihat ini dan memahami betapa jauh-jauh waktu berlari dengan membawa beban dipundak ibumu yang berlipat karena ada tambahan rasa bersalah pada anak-anaknya. Aku selalu merasa harus menjadi dan memberikan yang terbaik meski yang bisa kulakukan hanyalah mencoba dan mencoba. Aku masih ingat betul bagaimana selama ini telah memakai topeng manusia lain. Mengajari Hara tentang rasa bersyukur untuk setiap detail hidup ini, aku memberinya contoh tentang keadaan buruk di luar sana. Beberapa tidak bisa makan setiap hari, beberapa tidak memiliki orangtua sama sekali, beberapa tidak memiliki tempat untuk berteduh, dan yang terkejam aku menakutinya dengan berkata diluar sana ada yang tidak pernah diberi pelukan. Aku bekerja sekeras itu untuk membuatnya merasakan surga ditengah lunglainya kaki mengarungi gunung pasir. Dan ada bagian diriku yang merasa bahwa semua ajaran itu harusnya diteriakkan untuk telingaku sendiri, bukan untuk Hara. Kelemahanku untuk berdamai dengan duka ini menjadi kemunduran bagi Hara untuk bisa kembali bangkit segera. Dan dia layak mendapatkan pengobatan segera. Tapi aku bisa apa? Yang bisa kuberikan hanyalah pelukan dan waktu, sisanya adalah semangkuk masakan dengan bumbu cinta. Dan sosokmu, dimana aku harus mencarinya? Dengan apa aku harus menggantinya? Atau bagian mana yang harus kuambil dari dirimu untuk kujadikan contoh peran? Dirimu tidak sempurna, tapi peranmu iya. Ini sedikit aneh, kepergianmu justru hanya menamparku pada satu hal, yakni pengakuan betapa kurang ajarnya aku dan betapa baiknya dirimu. Kudapati itu ketika dalam perjalanan menuju paragraf ini. Mataku sejauh ini hanya bisa melihat rekaman kebaikanmu dan hanya itu, 

Dear Ari, jika suatu masa di waktu tunggumu itu ada kekuatan untuk membaca semua ini, maukah kau melihatnya? Rasakan betapa hancurnya kami disini, semua keadaan berjalan kembali normal bagi mata orang diluar sana, akupun mengakui bahwa kehidupan ini sudah kembali baik-baik saja, tapi rindu serta kebutuhan akan hadirnya sosokmu enggan sekali kuusir pergi. Dia bercokol disana, mendekapku ketika suasana sedang sendu, hanya untuk membuatku tergugu dan menjilat asinnya air mata. 
Dear Ari, jika entah dengan cara apa dirimu bisa mengetahui semua ini, lihatlah betapa aku telaten dalam memupuk cerita, agar kelak ketika kita bisa kembali bertemu tak ada waktu kosong di antara kita, aku akan menjejalimu dengan banyak sekali protes dan tabungan cerita, aku akan melihat dirimu yang tersenyum karena melihatku merengek dan merajuk ketika melakukan semuanya. Aku akan bekerja begitu keras untuk membuatmu mengusap kepalaku sambil berkata bahwa dirimu begitu bangga dan tidak salah karena menitipkan anak-anak pada sosok sepertiku. Aku akan berusaha keras lagi agar bisa melihatmu mengusap air mataku ketika tengah menceritakan ulang betapa kerasnya hidup setelah kepergianmu. Bukankah esok kita kembali bertemu? Tolong berbisiklah iya, karena jujur saja hanya harapan itu satu-satunya pelita yang menerangi jalanku sekarang.
Kepada Alfa dan Hara, tolong genggam erat tangan ibu. Jangan biarkan aku beranjak dan lari dari kesadaran ini. Tumbuhlah lebih bahagia dan selalu bahagia. Aku akan berusaha menjadi sosok yang lebih baik, aku ingin mengisi kekosongan itu dengan tepat, kepingan puzzle yang dibawa pergi Ari, aku akan berusaha menempatinya juga. Tolong tunggu ibumu ini berproses, tidak mudah untuk begitu saja mengurai ikatan dengan duka, diperlukan doa, waktu, atensi dan juga lebih dari sekedar tenaga. Tapi aku akan berusaha. Jangan mengendurkan pelukan kalian, atau aku akan terjatuh dan terbang. Jangan mengeluhkan keadaan kalian, atau aku akan runtuh dari ujung karang. Karena senyum kalian lebih berharga dari apapun isi dunia ini. Dan ya, yang kumaksud adalah lebih dari apapun. Apapun. 

















 

Kamis, 12 Mei 2022

Segumpal Tanah

Aku adalah sebongkah tanah yang terbiasa berada di bawah. Aku adalah sebongkah tanah yang biasa terinjak dan menengadah. Bukan hanya secara harfiah tapi juga dalam artian yang sebenarnya. Ibuku menamaiku tanah, entah karena jika menamainya dengan nama langit atau mentari akan menjadi sesuatu yang terlihat sangat muluk atau memang murni bertujuan agar aku selalu sadar siapa diri ini bermula.

Hidupku selalu berdampingan dengan air, aku berteman dengannya, mengaguminya, lalu mengutuknya. Tapi kini aku terbiasa memandangi air sebagai kawan biasa, seperti Draco yang memperlakukan Harry pasca perang. Kita tetap bisa berdamai dengan efek yang ditimbulkan oleh masa lalu, sekelam apapun masa itu pernah terlalui.

Ari adalah sejenis pot bunga yang mengangkatku dari bawah sana dan memperkenalkan dunia baru beserta keindahan yang di tawarkannya. Ari datang begitu saja pada suatu waktu yang tengah berbadai. Ari datang begitu saja, memungutku, membuatku berharga, membuatku memiliki nama dan menghasilkan juga. Tanah yang dulu selalu terinjak dan berada di bawah kaki akhirnya menemui masa untuk bisa naik ke atas meja, di siram setiap hari, di rawat, di sayang-sayang untuk kemudian di pamerkan. Tanah yang dulu hanya bisa melihat tapak kaki manusia kini bisa sejajar dengan mata si empunya, ketika ada istilah sombong maka itulah definisi yang tepat untuk menggambarkan betapa melayangnya situasiku berkat keberadaan Ari. Aku tidak membandingkan hidupku dengan tanah liat di luar sana yang di proses begitu rumit untuk dijadikan sebuah maha karya, aku tidak membandingkan hidupku dengan tanah galian manapun, yang mencoba di angkat namun tetap harus berakhir di bawah juga. Aku hanya membandingkan hidupku dengan kehidupanku juga selama Ari belum datang. Aku berangan, aku bermimpi, aku menyentuh pelangi, aku memeluk rembulan, bahkan pernah kuagendakan diri untuk memetik bintang. Segala hal mustahil yang pernah di larang untuk sekedar kubayangkan satu persatu mulai kunikmati, mulai kujelajahi. Ari seperti melemparkanku pada bulatan bumi yang benar-benar lain dan baru. Aku tidak pernah tahu sebelumnya bahwa ada jenis keindahan seperti itu di atas muka bumi ini. Aku tidak pernah tahu sebelumnya bahwa aku akan sanggup melangkah sejauh ini, ketika dulu yang terbayang olehku hanyalah bagaimana aku akan menua, terkurung dalam dunia mencekam dan menakutkan. Aku terbang, bukan sesuatu yang bisa kulakukan memang, tapi aku berhasil merasakan sensasinya. Lagi-lagi Ari berperan dalam hal itu. Seakan segala hal yang melingkari kehidupan baruku adalah kreasi dan tak akan terjadi tanpa campur tangan dari seorang Ari. Seonggok tanah ini mulai lupa diri, bukan hanya sombong tapi sangat tidak sadar diri. Bahwasanya ada yang lebih berkuasa pada diri setiap makhluk yakni Penciptanya.
Dan hari itupun datang, setelah gelap melanda, dan Ari membiarkanku menari di atas danau bercerminkan kerlip bintang. Setelah cerahnya padang canola memeluk dan aku lari melepaskan diri, menjauh dari jangkauan Ari sekedar untuk mengetahui seberapa besar inginnya untuk bisa menangkapku.
Dan sekali lagi, hari itu datang, dimana tempat biasa kubernaung dari segala kejahatan dan ketidak amanan yang ada dibumi ini mendadak jatuh dan untuk pertama kalinya melepaskan kesiagaannya untuk melindungi diri ini. Aku yang semula tak berbebat untaian benang, merasa memiliki arti setelah berada dalam eratnya pelukan Ari. Aku yang semula merasa tak memiliki makna, perlahan memiliki nama, angan, sebelum akhirnya harus kembali di paksa merasa rawan dan telanjang. Sang Pemilik merasa sudah saatnya melepas segumpal tanah ini dari pelukan potnya. Sang Pemilik secara tidak sengaja dalam tanda kutip membuat Ari terjatuh, terpecah dan tercerailah dirinya dari segumpal tanah ini. Aku menangis. Tangisan terbesar dan terdalam yang pernah kulakukan selama hidup, bukan yang terkeras, karena kuasa akan raga ini telah memudar seiring informasi yang datang dan tercerna mengenai proses jatuhnya Ari. Ketakutan terbesar yang bahkan belum sempat kubayangkan itu terjadi. Ketakutan yang tak pernah berani kuangankan mendadak menjadi sebuah nyata yang membetot hingga separuh akar yang mengikat nyawa. Seonggok tanah ini telah porak poranda. Seonggok tanah ini ikut menelan serpihan Ari yang jatuh tanpa aba-aba, hingga ketika dunia harus mengumpulkan remahan Ari untuk kemudian dikebumikan, ada bagian dariku yang terikut dalam pemakamannya.
Dunia mungkin hanya melihat aku dan Ari seperti pot dan tanah yang lainnya, seperti ribuan bahkan jutaan lain yang ada di dunia. Yang tidak dunia tahu adalah bagaimana Ari telah mencemplungkanku pada dunia baru, mengangkatku dari keterpurukan dan memberiku kehidupan. Aku tidak mengutuk apapun, aku tidak membenci siapapun. Aku menerima semuanya seperti halnya menikmati takdir yang membuatku menjadi tanah, dan bernasib juga bernama sama pula. Bukan karena keberadaan Ari kurang berharga, bukan pula karena kurangnya rasa cintaku padanya. Aku hanya merasa Ari tidak pernah melepaskan pelukannya. Aku hanya masih belum percaya semua kesudahan ini adalah sebuah nyata. Aku hanya masih menyimpan asa bahwa suatu masa nanti entah di kehidupan yang mana kami akan kembali bertemu dan kembali menjadi satu. Itu saja.
Sang Pemilik yang selalu berkuasa, mencabut apapun sekehendakNya, segumpal tanah yang selalu bersombong diri inipun akhirnya harus terisak dan berkaca. Segala hal di muka bumi ini memiliki pemilik, bahkan untuk sebutir debu, bahkan untuk setetes keringat. Dan pemilik di atas segala yang paling berhak untuk memiliki. KepadaNya harus kutumpahkan segala rasa yang mendera.
Tuhan, aku terluka, aku sakit, aku sekarat, aku mati rasa, dan aku di paksa untuk tetap hidup dan menikmatinya.
Memang apalagi yang masih tersisa? Ari adalah segalanya. Sang Pemilik membuatku pergi ketempat baru, berjumpa dengan banyak gumpalan lain yang memiliki takdir sama atau bahkan lebih buruk dari pada aku. Sang Pemilik membukakan pintu lain dari sudut lain bumi ini namun pandanganku tetap saja terpaku. Segala keindahan yang kutemui seperti tak bisa lagi menyentuhku. Beberapa nyawa mencoba berempati dan berusaha, tapi aku sudah terpuruk terlalu dalam untuk bisa diselamatkan. Aku memang menerima segalanya, tapi kehilangan ini benar-benar nyata dan tidak lantas membuatku bisa berkata bahwa aku sudah baik-baik saja. Dan aku tidak yakin jika waktu memang bisa bekerja sesakti itu untuk bisa menyembuhkan luka jenis satu ini.

Di suatu petang yang telah lalu, aku mencoba menengadah ke langit lepas, pekatnya masih sama seperti dulu ketika kami masih bersama, ada bintang tergantung di sana, ada rembulan yang menyembul malu dari persembunyiannya, dan.....ada Ari di antara semuanya, duduk berayun di salah satu awan, memandang turun ke bumi, matanya menghujam tepat menemuiku. Ada yang ingin dia sampaikan namun suaranya tertahan oleh perbedaan dimensi dan waktu.
Aku tahu dia ingin menyemangatiku, ingin memberikan kata-kata penghiburan yang selalu bisa menyalamatkan mental hampir matiku. Seperti yang selalu dia lakukan sebelum-sebelumnya di kehidupan ini.
Aku kembali pergi ke jalan lama, ingin kembali melihat apakah dunia masih berputar seperti biasa atau ikut macet mengarat seperti duniaku, tapi tak kutemui apa-apa, selain fakta bahwa aku melihat Ari beserta segala kenangannya saat kami masih bersama-sama. Aku seperti tengah berada di tengah bioskop dimana layarnya hanya menampilkan potongan-potongan gambar yang telah lalu. Dan aku harus kembali tergigit oleh perasaan ngilu. Luka ini seperti tak ada kata-kata yang bisa hadir untuk mendefinisikan. Luka ini, seperti tak ada satu manusiapun yang bisa menyentuh apalagi ikut merasakan sedikit saja legit perihnya.

Segumpal tanah ini kehilangan pelindung terbaiknya, kehilangan pendengar terbaiknya, kehilangan satu-satunya temannya, kehilangan oli pengatur putaran rodanya, seperti waktu yang sanggup mengarat, begitu pula nafasku selama ini tersendat. Segumpal tanah ini masih belum sepenuhnya percaya bahwa makhluk sekuat Ari bisa amblas begitu saja dalam satu pukulan. Segumpal tanah ini masih belum percaya bahwa di dunia ini ada sesuatu yang tak akan bisa kembali hadir untuk memeluknya meski dengan apapun caranya. Segumpal tanah ini hanya hidup berbekal asa bahwa di kehidupan selanjutnya kami akan kembali bertemu dan dipersatukan, itu saja.

Aku sering berandai pada semua momen mengambil keputusan yang datang di depan hidungku. Akan bereaksi seperti apa Ari jika kini ia masih ada dan mengalami juga melihat semua yang tengah kulihat? Aku hampir menanyakan pertanyaan satu itu di setiap kesempatan, mengulangnya ribuan kali sejauh ini.
Dulu ketika jatuhnya Ari masih berada dalam hitungan hari, aku sering bertanya kepada Sang Pemilik kehidupan, kenapa bukan aku saja yang pergi? Biarkan Ari tetap utuh, ada dan melanjutkan semuanya. Aku segumpal tanah yang buta, pemarah dan rentan tersesat. Jika hari ini aku masih tetap berada di jalan yang benar, maka itu tak lain adalah berkat dari Ari sebagai pemandu navigasinya. Kenapa bukan aku yang kehilangan kuasa untuk bersuara, mendengar dan merasa, lalu kembali menjadi tanah yang tak berdaya
seperti fitrahnya?
Kehilangan Ari berati kehilangan rumah terbesarku, kehilangan Ari berati kehilangan pakaian terbaikku. Kehilangan Ari berati kehilangan perisai terkuatku.
Segumpal tanah ini seketika merasa telanjang, merasa rentan, tak aman dan tak nyaman.
Segumpal tanah ini selalu kehujanan meski musim tengah gersang, selalu di dera dingin meski terik mentari tengah berada di puncaknya. Aku harus kembali menjadi anomali yang mempertanyakan fungsi denyut nadi, mempertanyakan guna matahari, tapi segumpal tanah ini tak akan pernah kembali kepada waktu di mana Ari masihlah sebuah teka-teki. Aku terpuruk, tapi Ari telah menyentuhku. Meninggalkan banyak kenangan selama kami berjalan bersama, dan saat ini, itu cukup untuk menjadi penopangku. Aku akan kembali melangkah, entah menjadi apa diriku nanti, entah singgah dimana, dan entah seperti apa bentukku saat ini, itu semua tak lagi penting. Yang terpenting adalah memulainya, entah dengan merangkak atau berjalan, entah berupa remahan atau hanya sebagian.
Semua lelah yang kudekap hanya akan menjadi milikku sepenuhnya. Semua resah yang menghampiri hanya akan menjadi spasi bagi kelanjutan gerakku. Aku tidak sedang berjanji, aku hanya sedang membangun tongkat penyangga bagi diriku, aku tak lagi sanggup berdiri sendiri, aku memerlukan tongkat hingga segala tremor ini menghilang.

Dan kepada Ari, maaf jika aku terlalu egois karena meminta Dia untuk selalu mengahadirkanmu dalam mimpiku. Engkau kini tengah di sibukkan dengan urusan dunia barumu, tak akan lagi sempat menilik dunia kecil yang kau tinggalkan ini. Tapi aku disini, hidup, terikat pada masa lalu dan tidak hilang ingatan. Semua kenangan tentangmu masih sama segarnya seperti saat engkau masih ada. Aku masih menangis tiba-tiba, masih menemukanmu di setiap sudut rumah ini, bahkan meski jika aku keluar. Maka hadirmu meski hanya dalam dunia gelap alam bawah sadar akan menjadi sebuah morfin yang memacu nadiku untuk lebih bersemangat dalam mendenyutkan darahnya.
Dan kepada Ari, maaf jika selama ini aku masih belum menjadi yang terbaik dan hanya selalu mencoba. Aku tahu engkau lebih dari layak untuk mendapatkan yang lebih dari pada semua itu. Tapi waktu tidak memberiku kesempatan lebih untukku mempersembahkan darah dalam mencobanya.
Aku akan menjaga mereka, menjadikannya tangga bagiku dan bagimu agar bisa kembali bersua di surga. Sungguh tak ada lagi pecut yang lebih dahsyat daripada sebuah ingin untuk menemuimu lalu melanjutkan kisah kita.
Dan kepada Ari, maaf jika kelak aku akan menerima dengan lapang dada ketiadaanmu. Seperti aku yang semula memaki air lalu kemudian berteman dengannya, maka akan seperti itu jugalah nanti keadaanku sepertinya, berdamai dengan masa lalu. Tidak peduli sedramatis apa luka ini. Tidak peduli sejauh apa aku terjatuh dalam keputusasaan. Karena aku yakin engkau akan lebih berbahagia ketika melihatku bangun dan tertawa. Meski aku tidak yakin masih mengingat caranya.


Kita tetap bisa berdamai dengan efek yang ditimbulkan oleh masa lalu, sekelam apapun masa itu pernah terlalui. Semoga saja. 

Kamis, 31 Maret 2022

Petang itu

Aku tidak akan melupakan perjalanan petang itu. Ketika senja mengirim rintik gerimis. Saat ketika aku harus melewati tempat dimana dirimu meregang nyawa dan di tempat yang sama aku masih berpikir harus membawa bekal pakaian apa saja jika harus merawat inapkan dirimu nanti. Luka itu tidak membutuhkan perawatan berlanjut rupanya, tidak ada yang harus di tunggui sampai harus menginap di bangunan besar berbau disinfektan itu. Engkau begitu cepat, bahkan terkesan tegesa-gesa, hingga lupa untuk pamit, lupa untuk menyematkan doa di kepala si kecil seperti kebiasaanmu ketika hendak pergi. Semuanya menghilang secepat senja yang di telan malam. 

Jumat, 04 Februari 2022

Kepada Hara

Kepada Hara, aku harus berimajinasi sedemikian rupa untuk menjelaskan dimana sekarang dirimu berada. Pertama aku menggambar bola dunia, lalu matahari beserta planet-planetnya, di luar itu semua aku membuat sebuah tempat tersendiri yang kunamai surga, di sana kamu tengah duduk menunduk kebawah yang kuandaikan sebagai dirimu yang selalu mengawasi dan melihat setiap perilaku anak-anaknya. Untuk itu Hara harus rajin mengaji, bersikap baik dan menurut sama mamanya. Kemudian imajinasi itu di revisi oleh kenyataan. Aku memberitahu Hara yang sebenarnya, masih memakai imajinasi meski dengan gambar berbeda. Kali kedua aku membuat sebuah tempat dimana ragamu bersemayam. Aku menggambar bola yang di andaikan sebagai rohmu yang pergi dari alam dunia, lalu selanjutnya kubuat sebuah lingkaran besar, kujelaskan bahwa ini bernama alam tunggu. Disana tempat para roh2 orang yang telah pergi dari raganya berkumpul. Alam surga masih jauh dari itu,
"Selama ini mama berbohong dengan bilang bapa sudah di surga, yang sebenarnya terjadi adalah bapa masih di alam tunggu. Sampai hari kiamat tiba, lalu saat itulah amal baik dan buruk setiap manusia di timbang. Jika lebih berat amal baik dia masuk surga, jika lebih berat amal buruk maka dia masuk...."
"Neraka!" Hara selalu menyelesaikan kalimatku dengan benar pada akhirnya.
Kepada Hara, di halaman selanjutnya aku menggambarkan sebuah timbangan besar dengan kendi di masing-masing tempat duduknya, sengaja kubuat sebelah lebih besar dari satunya, dan di atasnya kugambari koin-koin beterbangan yang tengah mengantri untuk masuk ke dalam kendi besar itu.
"Ini adalah doa-doa, sedekah yang dikirimkan oleh Hara dan mama, juga oleh orang-orang yang sayang sama bapa, sama Alloh diubah jadi koin lalu dimasukkan ke kendi amal baiknya bapa, jadi semakin sering kita berdoa dan bersedekah, semakin penuh deh kendi amal baiknya bapa,"  sengaja kubuat timbangan itu semakin miring sebelah.
"kalau kendinya penuh gimana ma? Hara kan sekarang rajin berdoa."
"kalau kendinya penuh ya tinggal di ganti aja sama yang lebiih besar."
Hara begitu suka dengan pengandaian kendi dan timbangan itu, dia berimajinasi sendiri tentang bagaimana jika koin-koin itu meluber dan tak tertampung lagi, tentang bagaimana kamu akan tertawa-tawa di tempatmu begitu tahu ada banyak koin berjatuhan yang datangnya dari doa anakmu.
Selanjutnya, aku menggambar tentang deretan antrian panjang manusia-manusia tanpa wajah menenteng kendi di kedua tangannya. Hara bersikukuh bahwa manusia pertama di barisan gambar itu adalah kamu, lalu aku, kemudian dia. Aku menjelaskan bahwa itu adalah hari penimbangan. Hari penentu ataukah kita akan di celupkan di neraka atau di masukkan ke surga.
Sampai di sana aku sudah tidak bisa berimajinasi lagi. Aku hanya mampu mengakhiri cerita itu dengan menggambar sebuah bangku di sebuah taman. Ada beragam jenis bunga dan berbagai macam buah serta tumbuhan lainnya. Sungai yang airnya memantulkan sinar keemasan mentari di penghujung hari terlihat berkelok-kelok di kejauhan sana, membelah daratan-daratan seindah mimpi. Aku memberinya nama surga. Lalu disana, di bangku itu duduk aku dan kamu. Hara dan adik tengah bermain menangkapi kupu-kupu yang beterbangan kesana kemari. 
"Jika Hara berhasil menjadi anak baik, rajin bersedekah, nurut sama mama, dan rajin berdoa. Insyaalloh kita akan berkumpul kembali dengan bapa di tempat indah ini."

Kepada Hara aku tidak bisa terus berbohong dengan mempertahankan cerita bahwa kamu sudah berada di tempat yang indah dan di damba oleh semua doa. Aku ingin Hara tahu bahwa kamu masih membutuhkan dirinya, membutuhkan doa, sedekah-sedekah dan tingkah baiknya. Aku ingin Hara tahu bahwa sisa hidupnya adalah satu-satunya kesempatan untuk "mengumpulkan koin" agar bisa kembali bertemu denganmu. Karena aku tahu di banyak kesempatan, meski tidak berbicara tapi dia merindukanmu lebih daripada aku. Aku ingin Hara tahu bahwa kamu tidak pergi terlalu jauh sampai lupa dengan tugasmu yakni menjaga dan mengawasi setiap tindak tanduknya. Aku ingin Hara mengerti bahwa kamu tidak pergi terlalu jauh, tapi hanya melangkah masuk dan sekarang hidup di dalam hatinya. Aku ingin Hara termotivasi untuk tetap mempertahankan cintanya, sayangnya pada sang idola, yakni ayahnya. Karena aku tahu waktu bisa memudarkan segalanya. Waktu bisa memutuskan apa saja. Bahkan waktu bisa menghilangkan apapun sesuka kehendaknya. 

Terlepas dari itu semua. Aku hanya tidak ingin kita berpisah begitu saja, harus ada kelanjutan dari kisah yang terjeda tanpa aba-aba ini. Di sini aku tengah menabung banyak cerita, Hara dan aku tengah berlomba dengan waktu untuk mengisi kendi kami dan juga milikmu. Supaya di tempat yang kugambar indah dan kunamai surga itu, kita semua bisa kembali bersama. Semoga saja.