Sabtu, 28 November 2015

Father And River

Aku memandangi pembunuhmu dengan tatapan seribu makna. Melempari batu satu demi satu hingga tertelan jejak mereka. Bagaimana bisa ? Bagaimana mungkin sungai dangkal yang ketenangannya menghadirkan kedamaian justru memdekapmu hingga habis nafas ?
Sebelum ini, sanggup kuhabiskan berjam-jam waktu milikku dengan hanya duduk diam menatapi aliran airnya. Aku menyukai bagaimana keheningan yang dihadirkan sungai mengikis dengan sabarnya segala tinggi dari kegagahan egoku. Harum sungai selalu bisa menyandingkanku pada perasaan setara orang melayang. Aku terbebas, segala keresahan dan kekacauan yang menimpa hati perlahan pergi mengalir bersama air. Aku sungguh sangat menyukai bagaimana aroma sungai menyiramiku dengan kedamaiannya. Aku sangat, sangat, sangat menyukainya hingga sempat kuangkat penjahat itu sebagai sahabat. Sampai kemudian dengan ketenangannya pula ia mengajakmu menyeberangi batas sangkala, menyambut sang pemutus kontrak hidup dan engkau terlena hingga mengikuti langkahnya tanpa sadar batas nafas hanya sebatas rongga hidung saja.
Sungai itu membunuhmu dalam sosok imutnya
.
.
.
Seperti baru kemarin ketika aku melihat wajahmu, menghampiriku dan menjejalkan padaku tawa lepas yang tak pernah kulihat sebelumnya. Menyodorkan padaku banyak pesan tentang dunia baru yang dalam hitungan hari akan kumasuki. Pesanmu tak pernah tersampaikan dengan begitu tepatnya hingga kemudian tersadar aku harus bekerja keras mengingat semua yang pernah kau ucapkan. Andai aku tahu, apa yang akan terjadi esok hari. Andai aku tahu bahwa tawa itu yang akan menjadi kenangan penutup setelah sekian puluh tahun kita bersama.
.
Andai dulu aku tahu apa yang aku tahu hari ini. Andai dulu aku tidak berdiri dengan segala kebodohan dan keangkuhan diri, akan kudekap engkau dengan segala kehangatan. Akan ku taburi engkau dengan senyum yang jarang kau dapatkan. Akan ku kerahkan segala daya demi membaca lukamu yang hanya sanggup bercerita melalui retina. Berterima kasih akan kasih berbeda yang pernah kau tunjukkan ataupun yang tak sempat engkau perlihatkan. Memaafkan segala kekuranganmu yang terus kurongrong agar menjadi sanggup hadir sempurna. Andai, sungai nan manis itu belum membekapmu hingga habis nafas.
.
.
.
Hari ini aku tersuruk sendiri dalam kesendirian dan kerinduanku. Terasa seperti sanggup kuserahkan segalaku demi bisa mendengar suaramu lagi, mendengar kata banggamu akan diriku, mendengar pesan-pesan yang dulu tak pernah ku dengar dengan baik.
Maafkan aku, karena telah mengacuhkanmu. Maafkan karena telah menyalahkan untuk ketidaksempurnaanmu. Untuk semua ketidakberdayaanku memahamimu. Maafkan aku. Telah kugores hatiku dengan melukaimu.
.
.
.
Terkadang, hatiku terasa hancur. Namun tak pernah sudi untukku mengakuinya. Terkadang, yang aku inginkan hanyalah lari dan sembunyi, terus sembunyi. Namun aku..itu dirimu. Yang selalu kurindukan adalah dirimu. Bersembunyi tak akan memberi banyak arti, karena engkau sanggup hadir dari celah tak terduga sekalipun. Dan, sangat berat sungguh bagiku mengucapkan selamat tinggal.
.
.
.
.
.
Dari segala misteri yang ditinggalkan sungai melalui namamu, kutemukan terlalu banyak tanya mengambang dan tak mengalir kemana-mana. Statis yang berubah fungsi menjadi gundam pemukul kepala. Maukah kau memberitahuku apa yang telah kuperbuat dan salah dimatamu ? Maukah kau membantuku memahami kenapa semua ini terjadi ? Membantuku memahami kenapa engkau justru harus pergi dalam ketenangan yang kusukai ? Apakah engkau kecewa denganku, hingga tak sudi memberi salam perpisahan yang lebih manis ketimbang kenangan mengerikan ? Sudahkah aku membanggakanmu dengan segala pesan yang engkau coba sumpalkan dimulutku ?
.
.
.
Terasa seperti akan sanggup kulakukan apapun demi satu kesempatan lagi untuk membalas tatapanmu. Dan melihatmu membalas menatapku. Terasa seperti akan sanggup kulakukan apapun demi bisa memeluk lukamu yang kian menganga dengan kebodohanku. Maafkan untuk ketidakberdayaanku memahamimu, untuk ketidakberdayaanku memeluk luka dan membaca luka itu hadir dimatamu. Maafkan aku, telah kugores luka dihatiku dengan melukaimu.
.
.
.
Dan andai aku mempunyai satu lagi hari untuk bisa bersamamu. Akan kucurahkan segala rindu yang tak tertampung semenjak kepergianmu. Akan ku nyalakan segala sinar dan menyiramimu dengan hanga yang selama ini alpa untuk kusuguhkan. Andai aku mempunyai satu lagi hari untuk bisa bersamamu, akan kudekap engkau erat dalam pelukan hangat yang tak pernah kupersembahkan pada siapapun.
.
.
Terasa sia-sia semua karena memang tak seharusnya kuputar waktu demi puluhan tanya yang tak mau hanyut bersama ragamu. Maafkan aku untuk ketidakberdayaanku memahamimu. Maafkan aku untuk ketidakberdayaanku membaca luka dan perih yang hanya sanggup terbaca melalui retina. Maafkan aku karena ketidakberdayaanku menahan sahabatku untuk tidak menelanmu, untuk tidak menghabisimu dalam satu untaian tenang aliran sungai. Maafkan aku.

Jumat, 27 November 2015

Catatan Tertunda Untuk Firas

Alam Semesta,
.
.
.
.
.
.
.
Pertemuan ini akhirnya menjadi nyata. Sesuatu yang membuat tiap perjalanan jarum jam menjadi berlipat lebih menegangkan. Sebuah penantian yang menguras kesabaran. Namun aku menikmati setiap pergerakan yang tersalurkan hangat melalui dinding perut. Menikmati setiap detak jantung yang merasuk dalam tiap pejaman mata. Engkau akhirnya melihat dunia.
Batasan yang selama ini menjauhkan aku dan engkau agar hanya saling mengenal sebatas antar perasaan saja akhirnya pupus dalam waktu singkat. Satu jam yang menjungkirbalikkan persepsiku selama sekian tahun tentang adanya kehidupan. Satu jam yang mengantarku lebih dekat kepada sang pencabut kontrak hidup, namun belum diizinkannya untukku membubuhkan paraf tanda pengakhiran.
Kita akhirnya bertemu sayang. Kita baru saja bertemu, namun aku yakin kita akan menjadi teman baik. Berbagi kebahagiaan dalam setiap langkah dan kita akan selalu bersama.
Tanganmu terasa begitu asing, seperti awan wangi yang baru saja keluar dari tempat cetaknya. Tanganmu terasa begitu asing dalam genggaman, seperti cokelat padat yang bertemu pemanas. Terasa melelehkan.
Redup kecil retinamu terasa begitu asing, seperti bohlam menyala didalam gelapnya kamar, menyiram hingga setiap sudut dengan sinar keemasan yang nyaman.
.
.
.
.
.
Perjalanan panjang yang kita lalui ini. Dimana semuanya membuat kita bertambah kuat. Perjalanan ini, kita akan melakukan dan terus menapakinya dengan bersama-sama.
.
.
.
.
.
Kaki mungilmu mulai menapaki alam, menyapa satu demi satu tumbuhan dan bebatuan. Membelai angin yang menyapu lembut raut wajah nan menggemaskan milikmu. Dan aku menyukai setiap ketakjuban yang terpancar dari bola rapuhmu. Kekaguman yang selalu lolos dari binar matamu. Juga, kehebohan dari setiap pengalaman pertamamu.
.
Langkah baru, pemahaman baru. Dalam kehadiranmu yang baru saja dan terasa seperti hitungan jam bagiku, engkau telah mendatangkan sebuah dunia baru. Seluruh dunia terasa baru.
Dengarlah sayang, alam menyapa kita..mereka menyambut kedatanganmu. Siap memanggil aku dan engkau dalam petualangan baru yang lebih menantang sekaligus menakjubkan.
.
.
.
.
Perjalanan panjang yang kita lalui ini. Dimana semuanya membuat kita bertambah kuat. Perjalanan ini, kita akan melakukan dan terus menapakinya dengan bersama-sama.
.
.
.
Dalam langkah yang masih menjadi misteri. Dalam dunia yang maha tak terjangkau ini, tersungkur dan bahkan jatuh mungkin akan terjadi. Tapi aku tahu, aku yakin itu yang akan menempa juga mengajarimu menjadi lebih kuat. Mereka yang akan membukakan matamu untuk lebih bisa belajar tentang adanya titik rendah dan juga spasi, koma sebuah babak baru.
Lewat alam yang menyuguhkan begitu banyak keajaiban dan berlimpahnya sajian. Lewat matahari dan hujan kita akan belajar tentang kehidupan.
Jika kehadiranmu adalah sebuah momen dimana engkau dengan caramu mengajariku kesabaran dan ketabahan. Maka perjalanan kita nanti akan menjadi episode baru, dimana engkau akan mengajariku lebih tentang banyak sudut yang selama ini tertutupi selaput peka yang mengikis seiring bertambahnya usia. Mereka akan melihat tanganmu lah yang dibalut erat pengamanan dariku demi tercapainya langkah baru, tanpa tahu jika sesungguhnya akulah yang tengah engkau tuntun untuk melangkahi tapak baru dalam dunia yang baru juga. Kita tengah belajar bersama tentang kehidupan. Dan tumbuh bersama.
.
.
.
.
.
.

Perjalanan panjang yang kita lalui ini. Dimana semuanya membuat kita bertambah kuat. Perjalanan ini, kita akan melakukan dan terus menapakinya dengan bersama-sama.
.
.
.
.
.
Lihatlah betapa mengagumkannya semua ini. Lihat betapa dekatnya kita. Bukan lagi terbatasi oleh selaput ari dan juga dinding perut, apalagi terbatasi oleh teka-teki ilahi yang selalunya menyisakan tanya dan juga misteri. Lihatlah betapa jauh sudah perjalanan kita yang kita lakukan. Berawal dari sebuah ikatan tanpa unsur kesengajaan. Berawal dari kata 'Ya' yang tak pernah memiliki ujung ataupun hulu demi sebuah pertanyaan kenapa. Berawal dari nol yang menjembatani ribuan kata teruntai hingga detik ini.
Sungguh, engkau tidak pernah tahu betapa kehadiranmu telah dengan sangat pas menyempurnakan kelengkapan bahagiaku. Dan aku bersyukur untuk keajaiban itu. Dan aku bersiap untuk melangkah, menanti adanya jurang, menembus segala daya yang alpa untuk diperjuangkan. Dan aku bersiap untuk menjadi tembok bagi dunia yang hendak meruntuhkan juga menjegal langkahmu.
Lihatlah betapa mengagumkannya semua ini. Lihat betapa dekatnya kita sekarang, dan berapa jauh sudah kita menapakkan langkah. Namun ini barulah awal. Permulaan langkah.
Didepan sana perjalanan masih panjang, dan bila langkahku tak sanggup mengantar pada derap terakhirmu, semoga engkau ingat bagaimana awal dari perjalanan ini. Semoga engkau engkau ingat, kita telah berbagi ruang, berbagi cinta dan berbagi kebahagiaan.
.
.
Sayang dengarlah, mereka memangil aku dan engkau. Dalam perjalanan baru untuk dunia yang juga baru.

Sabtu, 21 November 2015

Catatan Selepas Hujan

"Kita memang tak pernah tahu apa yang dirindukan sampai sesuatu itu tiba di depan mata. Kita tak pernah menyadari ketidaklengkapan hingga bersua dengan kepingan diri yang tersesat dalam ruang-waktu...-AKAR-"
.
.
.
.
.
.
.
Purbalingga. Nov'21
.
.
Kabut petang membayangi dengan jelas dari balik kaca ventilasi kamar. Uap air hujan semakin memburamkan pandangan langit luar. Yang terlihat di kaca hanyalah pantulan diriku yang tengah menatap sendu menikmati keheningan. Adzan isya baru saja selesai berkumandang, menandakan masih terlalu awal untuk mata ini terlelap dan menjemput mimpi. Dan lagi, menjadi tuna karya sepertiku memberikan peluang lebih untuk bisa menikmati tidur siang, jadi, tak ada alasan lain untuk pergi tidur sekarang, alih-alih otak dikepala memang tengah sibuk berputar.
.
.
.
Malam ini, adalah tepat bulan keempat aku resmi menyandang status baru sebagai seorang Istri. Status membanggakan yang untuk mencapainya diperlukan tak hanya tetes keringat tapi juga
tetesan darah. Bagaimana tidak, Ayahku tercinta meninggal dunia justru 40 hari tepat sebelum hari paling sakralku. Apa kiranya yang lebih meremukkan batin dan membuatnya hancur ketimbang paksaan untuk tersenyum lebar menjemput tamu kondangan disaat bayangan ayah terbujur kaku justru masih segar diingatan. Terlepas dari pontang-pantingnya mengurus finansial tentu saja. Tapi aku beruntung, disampingku, di sekelilingku berdiri manusia-manusia tangguh yang sanggup menyulap aroma duka menjadi gelak tawa.
Ibu adalah yang pertama, kendati beliaulah yang menangis paling lama dihari meninggalnya Ayah, tapi Ibu adalah jawaban terkuatku untuk bisa kembali menatap ke depan.
Ari, yang saat itu masih berstatus sebagai pacar. Keberadaannya adalah seperti nyala bohlam. Terang yang membuatku tetap membuka mata. Terang yang memicu secuil harapan muncul disaat sebuah ketakutan akan keyakinan bahwa hariku tidak akan lebih terang setelah kepergian Ayah. Dan ia membawa terang itu dengan binar penuh kehangatan.
Keluarga besar, yang tanpa tangan, kaki juga pemikiran mereka maka status "Istri" milikku pasti ribuan kali akan lebih berat untuk kusandang.
Dan terakhir, yang bahunya tak akan pernah dilupa. Para sahabat juga adik yang rela menyodorkan punggung tangan demi ikut menghapus duka.
.
.
.
.
.
.
Lelehan air jatuh dari retina. Perlahan. Tetes demi tetes.
Aku hari ini, tidak akan pernah hadir selengkap dan sebaik ini tanpa mereka. Nama-nama yang terlalu berharga untuk sekedar diucapi kata terimakasih. Pemahaman diri yang kupelajari jauh-jauh hari seperti terlepas begitu saja dari ingatan. Aku yang berdiri gagah menjulang tak akan pernah bisa meski hanya sekedar bernafas tanpa bantuan mereka. Lalu kenapa terkadang masih kubiarkan monster yang hidup didalamku memperlihatkan gigi juga menampakkan cakar ? Aku merasa buruk rupa. Maafkan aku.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Rintik hujan kembali mengguyur tanah, menambah senyap dari gelap yang tak pernah bertuan.
Tuhan, aku sungguh merasakan betapa buruk rupanya diriku. Dengan segala daya menyajikan ego juga kekanakan pada mereka yang pernah hadir menyuapiku kehangatan.
.

Tuhan, untuk malam ini. Lepaskan aku untuk menapaki luasnya cakrawala aksara ini dan membagi secuil kehangatan pada salah satu nama berharga milikku. Ia, adik kecilku..yang lima hari lalu tengah berbahagia untuk keduapuluh tahun tepat hari kelahirannya. Ia yang pernah bergandengan tangan bersamaku menapaki masa-masa tak terlupakan. Ia yang punggung tangannya hadir disaat kepergian Ayah. Ia yang tengah dalam jalan menuju pendewasaan. Ia yang kuharapkan memiliki jiwa sekokoh mimpinya. Ia yang kuharapkan paham dengan segala tipu daya dunia fana. Ia yang kuharapkan sanggup belajar pada waktu, pada setiap perubahan yang menghampirinya. Ia yang kuharapkan juga sanggup belajar juga bertahan dari segala sakit, kecewa, dan kehancuran yang mungkin akan mendatanginya.
Ia yang kuharapkan mengerti tentang arus hidup yang kadang lucu, kadang membingungkan. Ia yang selalu kuharapkan kebahagian menyertai deru nafasnya. Sekalipun jika aku, sahabatnya, atau bahkan orang yang dicintainya tak sanggup lagi ada untuk bergandengan bersamanya. Ia yang selalu kuharapkan sanggup menemukan tempat berteduh bagi dirinya sendiri disaat aku atau siapapun tak ada disisi untuk memayunginya.
.
.
.
.
Dear adik kecil, mungkin engkau akan menemukan catatan ini dan mendengar semua harapanku atau mungkin juga tidak. Tak apa, tidak pernah ada harapan yang salah alamat, tidak pernah ada doa yang tak sampai selama kita merangkul Yang Kuasa sebagai perantaranya. Disini, semoga engkau menemukan kehangatan yang secara pribadi kubagi denganmu.
Dear adik kecil, jadilah semakin kuat sayang seiring dengan bertambah usiamu. Jadilah sesuatu yang baik sekalipun jika itu hanya engkau dan Tuhan yang tahu. Teruslah menjadi pribadi putih sekalipun dunia ini hitam, buas dan mengancam. Belajar dan terus belajar berteman dengan dirimu sendiri maka engkau tidak akan pernah kesepian. Semoga engkau paham.
Selamat malam. :-)

Senin, 16 November 2015

Otak Melata

Aku bukanlah orang baik lagi ketika mulai menyatakan diri bahwa aku adalah orang yang baik.
Aku berhenti menulis ketika mulai mendeklarasikan diri sebagai penulis.
Aku mulai kesepian seusai mencatat dengan teliti siapa saja nama teman-teman.

.



Ayahku pergi tepat ketika aku selesai berfikir bahwa aku merindukan sosok nyata seorang ayah.

Buku pertamaku tetaplah yang pertama dan hanya jadi yang pertama tepat ketika aku mulai berbangga diri bahwa aku memang bisa.
Sepi yang awalnya tercium samar keberadaannya, mulai menusuk tepat ketika aku mulai menunjukkan pada sebuah nama betapa beruntung karena aku memilikinya.
.
Hidup ini, tidak akan menjadi lebih aneh lagi jika aku bisa mengendalikan semuanya. Tidak akan menjadi lebih membingungkan lagi jika aku bisa berdamai dengan segalanya.

.

Kepalaku. Tidak mungkin hanya berisi cairan dan gumpalan-gumpalan zat yang tak kuketahui namanya. Aku percaya, disana terdapat seonggok nyawa. Aku percaya disana terdapat sebuah nama. Sesuatu yang mengatur dari pergerakan kaki hingga saluran darah. Tidak, bukan itu. Aku tau yang engkau semua maksudkan. Tapi maaf, aku adalah sesuatu anomali.

.

Disela ketidaksibukanku akan ketiadaan kegiatan yang harus kulakukan. Dengan tumpukan protein yang setiap hari kujejalkan. Tidak bisakah seorang aku mulai berfikir tentang adanya sesuatu yang janggal ? Atau mungkin mulai membedah dan mencari sendiri apa yang menjadi parasit dengan menumpang hidup seenak jidatnya didalam kepalaku ?
Aku mulai gila.

.

Sore ini, didalam skala kecil rumah. Dan bukan dalam alam pikiran. Aku mulai menggelisahkan sesuatu. Ibu. Sekian hari berkutat dalam atap dan atmosfir sama dengannya mulai membuatku berfikir. Ia. Kenapa perkataan seringnya (re; cerewetnya) selalu memusingkan kepala ? Tidak. Aku belajar sesuatu sekarang. Aku tidak ingin kehilangan ibuku untuk saat ini. Dan belum siap untuk saat kapanpun. Ya! Bom yang kuledakkan diawal paragraf adalah ketakutan terbesarku sekarang. Bom yang kuledakkan diawal paragraf adalah pelajaran yang harus kutelan cepat-cepat.

.
Bagaimana ini bisa terjadi. Aku. Seseorang ter-ndableg yang pernah kutahu, ternyata mulai menakutkan sesuatu yang bahkan belum terjadi. Bagaimana bisa ? Ataukah ini efek lelah karena jam tidur yang berlebihan ? Ataukah ini keresahan yang lama muncul namun tak izinkan muncul ke permukaan ?
Aku mencemaskan terlalu banyak hal.
Dari pemikiran wajar seperti, "bagaimana jika koneksi internet putus disaat aku meng-upload catatan ini?"
Sampai pemikiran yang terkadang kurang masuk akal, "bagaimana jika ternyata ular hidup didalam bantal yang kupakai?", "bagaimana jika ternyata aku ini bukan manusia utuh, tapi setengahnya berdarah cicak?"

.
Aku tau, aku harus mulai menekan pemikiran-pemikiran menyimpang milikku. Aku tau, aku harus mulai percaya bahwa aku manusia sepenuhnya dan bukan blasteran cicak melata. Aku harus mulai percaya bahwa aku tidak membunuh ayahku hanya karena aku pernah menginginkannya untuk hadir dalam format yang berbeda. Aku harus mulai percaya bahwa buku kedua, ketiga dan seterusnya akan hadir tepat pada waktunya. Aku harus percaya bahwa suami adalah teman terbaik dan mungkin tak seharusnya ku elukan ia kedalam paragraf panjang seperti aku mengelukan banyak temanku sebelumnya.
Aku akan mulai percaya bahwa sebenarnya aku bukanlah anomali atau sesuatu yang lain hanya karena sadar didalam kepala mungkin tumbuh nyawa.
.
.
Apa arti semua ini ? Bagaimana mungkin aku bertanya sebodoh ini ?
Kepalaku tidak menyimpan seonggok nyawa tentu saja. Tapi disana tersimpan juga ekor, taring, bahkan cakar milikku. Disana tersimpan keinginan juga hasrat terdasarku yakni keinginan untuk memanjat, merayap, melata. Mungkin juga, sesuatu yang selalu kukira ular didalam bantal pastilah itu aku yang tengah bertransformasi menjadi diriku yang lain.
Bagaimana bisa aku sejenius ini ! Meresahkan sesuatu hal yang bahkan tidak ada, lalu menuangkannya dalam sebuah cerita, lalu mempertanyakan sendiri apa kiranya keresahan yang tengah kuhadapi, lalu..lalu..wush ! Lagi-lagi aku menduga didalam kepalaku juga terdapat jemari, ia yang menjabarkan sendiri setiap keresahan dan mencocokkannya dengan jawaban.
Semua ini apa ? Apa yang kutakutkan ? Apa yang selalu menggigilkan tubuhku ? Gempa bumi ? Siapa dia ?

.

Shit ! Ini bukan jenius ! Aku tau nama yang lebih pas untuk mewadahi segala argumen ini. Mimbar ketinggian itu, mikrofon yang menggemakan itu, lampu yang menyorot dan menyilaukan itu. Semuanya tai cicak ? Jadi..panjang lebar aku menulis semua ini, hanya seperti ini tema keresahannya ?


.
.
.
.
.
.
.
.
.

Waktu ternyata adalah sejenis dinding. Serakus apa keinginanku untuk melihat semua sebelum saatnya. Hanya akan membuat telapak tangan dan kakiku halus tanpa kapalan. Semuanya akan datang seiring dengan luasnya dinding yang kujelajah. Semuanya akan datang seiring dengan waktu yang ditapaki.
Lalu kenapa pernah kuinginkan untuk bisa terbang ? Menjadi cicak itu jauh lebih menyenangkan. I swear ! ;-)