Sabtu, 21 November 2015

Catatan Selepas Hujan

"Kita memang tak pernah tahu apa yang dirindukan sampai sesuatu itu tiba di depan mata. Kita tak pernah menyadari ketidaklengkapan hingga bersua dengan kepingan diri yang tersesat dalam ruang-waktu...-AKAR-"
.
.
.
.
.
.
.
Purbalingga. Nov'21
.
.
Kabut petang membayangi dengan jelas dari balik kaca ventilasi kamar. Uap air hujan semakin memburamkan pandangan langit luar. Yang terlihat di kaca hanyalah pantulan diriku yang tengah menatap sendu menikmati keheningan. Adzan isya baru saja selesai berkumandang, menandakan masih terlalu awal untuk mata ini terlelap dan menjemput mimpi. Dan lagi, menjadi tuna karya sepertiku memberikan peluang lebih untuk bisa menikmati tidur siang, jadi, tak ada alasan lain untuk pergi tidur sekarang, alih-alih otak dikepala memang tengah sibuk berputar.
.
.
.
Malam ini, adalah tepat bulan keempat aku resmi menyandang status baru sebagai seorang Istri. Status membanggakan yang untuk mencapainya diperlukan tak hanya tetes keringat tapi juga
tetesan darah. Bagaimana tidak, Ayahku tercinta meninggal dunia justru 40 hari tepat sebelum hari paling sakralku. Apa kiranya yang lebih meremukkan batin dan membuatnya hancur ketimbang paksaan untuk tersenyum lebar menjemput tamu kondangan disaat bayangan ayah terbujur kaku justru masih segar diingatan. Terlepas dari pontang-pantingnya mengurus finansial tentu saja. Tapi aku beruntung, disampingku, di sekelilingku berdiri manusia-manusia tangguh yang sanggup menyulap aroma duka menjadi gelak tawa.
Ibu adalah yang pertama, kendati beliaulah yang menangis paling lama dihari meninggalnya Ayah, tapi Ibu adalah jawaban terkuatku untuk bisa kembali menatap ke depan.
Ari, yang saat itu masih berstatus sebagai pacar. Keberadaannya adalah seperti nyala bohlam. Terang yang membuatku tetap membuka mata. Terang yang memicu secuil harapan muncul disaat sebuah ketakutan akan keyakinan bahwa hariku tidak akan lebih terang setelah kepergian Ayah. Dan ia membawa terang itu dengan binar penuh kehangatan.
Keluarga besar, yang tanpa tangan, kaki juga pemikiran mereka maka status "Istri" milikku pasti ribuan kali akan lebih berat untuk kusandang.
Dan terakhir, yang bahunya tak akan pernah dilupa. Para sahabat juga adik yang rela menyodorkan punggung tangan demi ikut menghapus duka.
.
.
.
.
.
.
Lelehan air jatuh dari retina. Perlahan. Tetes demi tetes.
Aku hari ini, tidak akan pernah hadir selengkap dan sebaik ini tanpa mereka. Nama-nama yang terlalu berharga untuk sekedar diucapi kata terimakasih. Pemahaman diri yang kupelajari jauh-jauh hari seperti terlepas begitu saja dari ingatan. Aku yang berdiri gagah menjulang tak akan pernah bisa meski hanya sekedar bernafas tanpa bantuan mereka. Lalu kenapa terkadang masih kubiarkan monster yang hidup didalamku memperlihatkan gigi juga menampakkan cakar ? Aku merasa buruk rupa. Maafkan aku.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Rintik hujan kembali mengguyur tanah, menambah senyap dari gelap yang tak pernah bertuan.
Tuhan, aku sungguh merasakan betapa buruk rupanya diriku. Dengan segala daya menyajikan ego juga kekanakan pada mereka yang pernah hadir menyuapiku kehangatan.
.

Tuhan, untuk malam ini. Lepaskan aku untuk menapaki luasnya cakrawala aksara ini dan membagi secuil kehangatan pada salah satu nama berharga milikku. Ia, adik kecilku..yang lima hari lalu tengah berbahagia untuk keduapuluh tahun tepat hari kelahirannya. Ia yang pernah bergandengan tangan bersamaku menapaki masa-masa tak terlupakan. Ia yang punggung tangannya hadir disaat kepergian Ayah. Ia yang tengah dalam jalan menuju pendewasaan. Ia yang kuharapkan memiliki jiwa sekokoh mimpinya. Ia yang kuharapkan paham dengan segala tipu daya dunia fana. Ia yang kuharapkan sanggup belajar pada waktu, pada setiap perubahan yang menghampirinya. Ia yang kuharapkan juga sanggup belajar juga bertahan dari segala sakit, kecewa, dan kehancuran yang mungkin akan mendatanginya.
Ia yang kuharapkan mengerti tentang arus hidup yang kadang lucu, kadang membingungkan. Ia yang selalu kuharapkan kebahagian menyertai deru nafasnya. Sekalipun jika aku, sahabatnya, atau bahkan orang yang dicintainya tak sanggup lagi ada untuk bergandengan bersamanya. Ia yang selalu kuharapkan sanggup menemukan tempat berteduh bagi dirinya sendiri disaat aku atau siapapun tak ada disisi untuk memayunginya.
.
.
.
.
Dear adik kecil, mungkin engkau akan menemukan catatan ini dan mendengar semua harapanku atau mungkin juga tidak. Tak apa, tidak pernah ada harapan yang salah alamat, tidak pernah ada doa yang tak sampai selama kita merangkul Yang Kuasa sebagai perantaranya. Disini, semoga engkau menemukan kehangatan yang secara pribadi kubagi denganmu.
Dear adik kecil, jadilah semakin kuat sayang seiring dengan bertambah usiamu. Jadilah sesuatu yang baik sekalipun jika itu hanya engkau dan Tuhan yang tahu. Teruslah menjadi pribadi putih sekalipun dunia ini hitam, buas dan mengancam. Belajar dan terus belajar berteman dengan dirimu sendiri maka engkau tidak akan pernah kesepian. Semoga engkau paham.
Selamat malam. :-)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar