Minggu, 29 Juni 2014

Kura Dan Si Pemancing Sayu

Paragraf untuk satu sel rumit yang tapaknya tengah dalam luaran radar.

Bait mengalir tanpa adanya sendatan, titik dan koma adalah batu kali yang menjadi pijakan. Ia melaju tanpa adanya titah, mengaliri apapun yang digariskan Penciptanya.
Dear engkau yang tak bernama...luasmu adalah seni juga kesedihanku. Dalammu menenggelamkanku melalui riaknya tanya, menelan dalam diam segalanya. Akankah memang engkau didesain tercipta untuk menyiksa?

Puluhan rubik tenggelam didasar kali. Indah, jika kau memandangnya dari dataran atas. Tapi tidak ketika kakimu menjelajah dalam buta diatasnya, mereka menggelincir, mereka menyandung, mereka membuatmu luka.

Dan ini adalah hanya cerita tentang si pemancing amatir, mencelupkan ujung pancing dalam dinginnya air hidup, menyapu segala yang melewatinya..menunggu sebuah nyawa.
Hanya menunggu tangan abstraknya menemukan nyawa. Luasnya kemungkinan dari segala sisi mematikan asa si pemancing untuk menjelajah. Ia hanya menginginkan satu nyawa dalam genggaman..ia hanya membutuhkan satu nyawa ikan yang mau bertahan.

Derap rintik hujan menimpa hijaunya si daun pisang penadah. Menjadi saksi akan satu kegigihan ditepi kali. Tak ada yang memahami, tak ada yang mengerti. Samar yang semakin memburam tersiram rintik menunjukkan satu aliran. Bukan pada si kali, tapi ada pada ujung mata si pemancing sayu itu. Dalam samar juga terdengar ia menggumam, melafalkan pinta, mengigaukan harap.

Dear engkau yang luasnya tak tercakup jari, tak sanggupkah engkau menundukkan satu menara ego milikmu? Bukan karena aku bersimpati pada si pemancing sayu dibawah guyuran hujan, tapi karena langkahmu juga tak tercakup olehku. Aku tak menginginkan untuk menggenggam satu nyawa milikmu. Atau mungkin mengharapkan bisa menyentuh dasaran tanpa menggoyahkan letak rubik dialas luasmu. Tidak, kulitku tak sehalus aliran airmu. Nadiku tak sehangat buaian jerammu. Dan aku hanya ingin sampai pada tujuanku..diseberang sana yang entah berujud apa.

Nyawa tercipta tak lain untuk menyelesaikan sebuah tanya, tanda agung yang dititipi Sang Pencipta justru sebagai bekal. Agar umatnya selalu sadar akan tugas. Sesingkat itu tujuan manusia tercipta sebenarnya.

Dear pemancing sayu, aku tak mengenalmu..kita bukan teman. Tapi satu hal tentang menaklukkan adalah jaring yang membelit kita untuk saling berjabatan. Ya..kita sama-sama tengah menunggu kali berbaik hati, menyerahkan keluasan juga kekuasaannya pada kecilnya ingin kita. Dunia mungkin akan berpikir aku dan engkau adalah manusia terlalu keras kepala yang tak sanggup menaklukkan aliran bernama kali. Tidakkah mereka tau bahwa sebenarnya ialah yang terlalu kuat membentengi diri dari dekapan kita?
Dear pemancing sayu, kita bukan teman..tapi untuk satu ini kita sepakat harus menjadi kawan. Luasnya ia meruntuhkan kesabaranmu, dalamnya ia menghancurkan nyaliku. Mungkin jika kita bersatu si kali akan menyurutkan tinggi juga derasnya aliran.
Hanya saja sayang, kita bukan teman..kita tak akan sanggup berteman. Engkau adalah sejenis hampir sempurna bernama manusia, sedang aku adalah seekor kura.

Dear aliran kali, biarkan detik ini aku menangis, menyelami lagi rasa nikmat akan sulitnya menaklukkan luasmu. Biarkan detik ini guyuran hujan menyamarkan aliran air dibutiran kecil mataku. Engkau yang selalu bersekongkol dengan dunia dan menganggap aku makhluk tak berdaya, engkau dengan kebesaran tembokmu yang sanggup mengikis bahkan kerasnya cangkangku, menelanjangiku dalam ribuan tanya, membiarkanku menggigil dalam kutukan diammu juga.

Aku tak memiliki ingin agung untuk menggenggammu, luasmu terlalu sulit untuk kulalui. Yang aku inginkan hanyalah berjingkat rapi tanpa menyentuh rubik agungmu, lolos dalam jerat palungmu, dan..dan..berhasil mendarat pada dataran lain.
Dear aliran kali, dunia berpikir aku terlalu keras pada inginku..dunia berpikir aku terlalu keras pada diriku. Yang sebenarnya adalah engkau yang terlalu luas untuk kujangkau..engkau yang terlalu rapat untuk ku sentuh. Dan mataku tak sekuat cangkangku, bisakah aku meneteskan lagi airmata ini? Diammu bertubi menyakitiku. Membunuhku.

Sabtu, 28 Juni 2014

Dalam Pelukan Alam

Aku memiliki nama, satu tragedi bernama kelahiran menyerahkan padaku satu tanda. Dan dedaunan tak akan pernah sekalipun mempertanyakan kenapa ia harus tumbuh menggapai matahari sementara akar justru alam biarkan meranggas ke dalam.
Dan ini bukan tentang kelahiran, tapi tentang sebuah kehadiran. Ya, kehadiran.

Suatu hari aku bertanya kepada cermin, dalam ucapan yang hanya tersalurkan tanpa suara. Kenapa aku berbeda? Kenapa aku tak bersuara? Kenapa mereka sanggup berucap kata beraneka rupa?

Getaran-getaran halus pembangun traumatik akan adanya guncangan alam kembali menyapa. Alam diam, namun artefak bernyawaku mengirimkan sinyal dan berkata alam memintaku bercanda. Jadilah aku seonggok tubuh tanpa rasa. Bayangan membentengi keraguan akan adanya pembohongan massal. Dan adakah yang meragukan kejujuran dari sebuah cermin?

Ribuan tanya melayang diudara tentang kenapa, bagaimana, juga dimana. Menangkap mereka satu demi satu hanya menimbulkan kengerian semata. Aku tak sanggup menjabarkan untaian tanya itu. Yang aku bisa hanyalah memandangi, menikmati sisi lucu dari sebuah keabstrakan lugu.

Aku mulai mengenali diriku, melalui cermin, sesuatu yang sanggup ku percaya didunia ini. Sesekali disana, aku meringis, tertawa, menangis juga bertanya. Kadang juga hanya diam memandangi partitur berirama yang tercipta diantara lipatan mata dan rambut diatasnya. Cermin sekali lagi membuatku tercengang kemudian tertawa, tubuhku ternyata benaran artefak bernyawa. Lekuk juga bagiannya saling menyapa juga bertautan menciptakan gerakan. Terkadang samar kudengar kakiku berteriak marah, hanya karena setiap saat harus menginjak ibu kandung alamiahnya. Tanah.
Engkau memang tergariskan untuk menapakinya sayang, dan tanah tak akan bersedih selama ia berada dalam pijakanmu, bukan diatas raga dan mengurukmu.

Aku kembali mengenali siapa diriku, aku terbelah dalam banyak jiwa yang menyembunyikan diri dalam setiap bagian berbeda namun terikat dalam satu artefak sama. Tak pernah lagi ada tanya tentang siapa diriku, hanya jawab yang memastikan keberadaan penjelasan diluar nalar. Dan kemudian tanya beranak tanya, jika hanya aku yang sanggup mengetahui siapa sebenarnya diriku..lalu akankah ada manusia diluaran sana yang akan bertahan dengan ketidakhadiranku? Sel paralel menyelubung didasar batok kepala kembali bekerja, mengais lagi jawaban dari tak terhingganya ruang diudara.

Dan daun mulai merasakan sentuhan tanah, ketika ia berhenti untuk tumbuh, ketika ia berhenti untuk berobsesi.

Udara. Alam kembali menunjukkan kuasanya yang seketika membuatku terdiam gagu. Haruslah sesosok dewa yang sanggup menjadi temanku. Bukankah hanya dewa yang dibawah kekuasaan alam sanggup mendeteksi pergerakan alam itu sendiri? Atau mungkin juga hanya udara kosong yang sanggup ada bersama ketidakhadiranku. Dan alam..bisakah aku mencintaimu sayang? Keluasanmu adalah kekuatan tersendiri untuk bisa menandingi cakaran akarku di hampir seluruh kerak bumi.

Bisakah aku mencintaimu sayang? Saling ketidakhadiran kita yang justru nanti akan menjadi rel bagi perbedaan mutlak kita. Serahkan padaku magnet terbesarmu yang sekiranya sanggup menjaga isi bumi tetap pada letaknya. Karena pada hari penyatuan kelak kita. Tak akan kuizinkan sepotong kayupun terdiam dalam geram. Semua melebur. Akan.
Bisakah aku menginginkanmu alam? Ketidaksanggupanku mengimbangi permainan manusiawi, keluguanku menyikapi sebuah alibi, dan ketidakberayaanku memerangi diri yang hanya sanggup memasrah pada cermin. Bisakah memahami kenapa aku diasingkan didasar mars? Menyebutku penghuni asal hanya karena bercabangnya tangan-tangan otakku sementara milik penghuni bumi lurus tanpa adanya kelokan.

Dan aku menunggu, alam menjatuhkan karma sakral nan agungnya pada sosok abnormal sepertiku.Menunggu titahnya yang terbawa hembusan angin menusuk kepekaanku. Dan tidakkah engkau merasa bahwa hanya aku yang sanggup merekam hingga jejak terhalusmu, alam?

Dadu berputar anggun dimeja judinya. Enam sisi kepunyaannya yang menunjukkan pada dunia tentang sisi tak sebenarnya. Menghadirkan tanya yang oleh mereka justru disebut sebagai pertanda.

Aku..aku dan cermin adalah sama, tapi aku yang berdiri didalam sana lebih hebat ketimbang aku yang terbungkus artefak bernyawa ini. Semua mengalir dengan tanpa paksaan juga tanpa tatapan mencurigakan. Dan seketika sebuah tanya kembali menyeruak dari balik kayu berpernis pembingkai kaca. Siapkah engkau?

Tetes air menerjang hangat atap, alunan piringan hitam dialam komedi, tanah yang menyerpihkan diri. Semua mendadak terasa nyata. Semua terasa hadir. Menjadikanku seseorang terbodoh abad ini. Untuk apa aku hadir pada mereka yang tak pernah menginginkan aku ada? Untuk apa aku hadir pada mereka yang tak pernah menganggapku nyata? Getar halus menyapa lagi..bukan guncangan alam, lagi dan lagi artefak bernyawaku yang mengirimkan sinyal. Tanda unik bahwa aku hanya harus percaya. Pada kehidupan. Akan kehadiran alam.

Jumat, 13 Juni 2014

Koma Di Langit Tua

Apa saja..apapun itu yang sekiranya bisa kalian telan tanpa harus berusaha mengunyah terlebih dahulu, aku ingin menulisnya. Menghabiskan sepertiga malam dalam lumatan hangat deretan abjad yang tertata. Tentang aku, tentang malaikat tak bersayap, tentang cuaca, tentang lebah dengan putik sari favoritnya.

Udara menyekap dalam aroma yang tak jauh beda seperti malam kemarin karena aku berada diruang yang sama, antara percampuran asin yang menguap, residu penyedap rasa juga wangi cendana. Ini kamarku, sekat dimana kuhabiskan lebih dari setengah waktuku ketika tengah lepas dari ruangan kerja. Ini kamarku, aliensi kotak raksasa yang menjadi saksi semua kegiatanku. Aku tidak sedang ingin memperkenalkan ruang tercintaku kepada mata dunia tentu saja, aku hanya ingin berbicara tentang persamaan lainnya, sekat antar makhluk non-melata, aku-kamu dan mereka.

Sebelum ini, sebelum malam ini menyahut segala rasa rindu akan kegilaanku bersama paragraf tampan, aku memiliki teman..cukupan kubatasi ia hanya sekedar teman karena alasan yang mana hanya waktu yang sanggup menjelaskan tanpa menghasilkan efek drama. Aku tak mempercayai kata sahabat, ruang sakral dimana didalamnya tak ada batasan, sedangkan dalam gelombang nyata antara tak ada batas juga penghianatan hanya dipisahkan kulit tipis ari.
Ia adalah sesuatu yang ingin terus kupertahankan ada. Ia adalah sesuatu yang ingin kujaga kebersamaannya. Ia adalah sosok yang ingin kujadikan saudara. Dan aku bersumpah lidahku gatal ingin sekali memanggilnya "sahabat".

Aroma panas terik bercampur segarnya pucuk daun padi yang terbakar matahari disuatu siang yang telah lalu adalah saksi, saksi ketika segala perbedaan juga kehadiran belum menjadi spasi yang menganga. Memisahkan.
Aku merindukan saat itu, ketika tangan-tangan kami saling melayangkan tinju, meruapkan segala kenakalan yang terkadang melewati batas wajar. Dibawah terik, ditengah gempuran dunia padi, didalam gubuk.
Aku merindukan saat ketika mereka adalah penduduk mars yang tengah bertamu ke hamparan bumi, sedangkan tanah luas ini adalah milikku, miliknya, milik kita.

Semuanya terasa indah, semua terasa mencengangkan ketika detik ini kusadari ia hanyalah tinggal sebatas kenangan. Dalam hati aku bersorak riang, karena telah kuprediksikan gelombang ini akan menyerbu ruang kelabu antara aku dan ia yang tak kuketahui nama belakangnya. Dan aku bersiap lebih daripada yang siapapun pernah mengira. Bukankah memang tak ada kata selamanya didunia ini? Dan semuanya terjawab sekarang. Langkah kami tetap berderap menuju arah yang kemungkinan sama namun memiliki ruap suara yang berbeda. Keinginanku untuk terus menjaganya ditelan paksa oleh unsur bernama kenyataan. Ia tak lagi membutuhkan kehangatanku, tak lagi memerlukan kehadiranku, lalu haruskah aku memaksa untuk tetap menjaganya? Kurasa ada yang salah disini. Sesuatu, terkadang harus terhenti bukan karena ia tidak lagi peduli, namun karena sadar kepeduliannya tak lagi diartikan. Dan aku memilih jalan berjingkat kebelakang, menyusuri lagi tapak yang sejatinya jika dibahasakan dalam kata tak bersamar akan terucap menjadi kesendirian. Merenungi pelajaran apa yang sanggup ku cerna dari semua tadi tanpa harus melukai dinding usus, karena memang tak ada perpisahan yang tak menyakitkan. Membaui lagi aroma hangat yang pernah tercipta, dikandang kambing, ditengah kerumunan sepeda bermotor diparkiran, didalam gubuk, ditengah gempuran sunyi kamarnya, hanya aku dan dia.
Ah...semuanya kenapa terasa masih didepan retina? Tidak bisakah ini berefek juga seperti cara kerja mie-instan rasa kaldu ayam diruang indra pencecap? Yang mana engkau tak akan lagi mengingat aroma dari kepulan asap dirongga bergigi ketika menyiramnya dengan segelas air. Kuat dan lenyap seketika.

Ia yang kini kulepas bersama senyum miliknya yang kuadoni dari percampuran rasa sayang juga sesendok airmata. Ia yang hanya bisa kupandang jauh dengan mulut tak berhenti mengucap mantra. Mengingatkannya. Menunjukkan padanya bahwa sepertinya ia salah memilih jalan setapak, bahwa seharusnya cinta miliknya tak seharusnya membutakan dan melanggar norma sekalipun aku harus berkata tak apa jika tsunami kebahagiaan itu menyapu lenyapkan kebersamaan kita. Dan norma adalah batu ditengah kali yang berserak acak tanpa bisa siapapun melenyapkan karena ia akan terus terlihat ada sepanjang aliran itu berjalan. Dan norma adalah sepertinya tak lain seperti hantu yang bercokol dibelakang pintu, benci ketika menyadari mereka ternyata ada tapi tak punyai kuasa untuk mengusirnya. Hanya butuh diam dan tidak mengusiknya.

Kawan, betapa ingin aku meneriakkan ini..betapa ingin aku meluruskan apa yang sekiranya dunia pandang benar..tapi bahkan menyentuh waktu juga tanganmu adalah hal mustahil sekarang. Aku tak di ijinkan, untuk lebih peduli, untuk lebih memperhatikan..karena kita adalah teman.

Dan penutup dari sepertiga malam ini adalah koma, tergantung manis dan melambai diangkasa. Memutar piringan hitam bergambar kita. Namun aku memiliki jalan. Yang lain.