Sabtu, 28 Juni 2014

Dalam Pelukan Alam

Aku memiliki nama, satu tragedi bernama kelahiran menyerahkan padaku satu tanda. Dan dedaunan tak akan pernah sekalipun mempertanyakan kenapa ia harus tumbuh menggapai matahari sementara akar justru alam biarkan meranggas ke dalam.
Dan ini bukan tentang kelahiran, tapi tentang sebuah kehadiran. Ya, kehadiran.

Suatu hari aku bertanya kepada cermin, dalam ucapan yang hanya tersalurkan tanpa suara. Kenapa aku berbeda? Kenapa aku tak bersuara? Kenapa mereka sanggup berucap kata beraneka rupa?

Getaran-getaran halus pembangun traumatik akan adanya guncangan alam kembali menyapa. Alam diam, namun artefak bernyawaku mengirimkan sinyal dan berkata alam memintaku bercanda. Jadilah aku seonggok tubuh tanpa rasa. Bayangan membentengi keraguan akan adanya pembohongan massal. Dan adakah yang meragukan kejujuran dari sebuah cermin?

Ribuan tanya melayang diudara tentang kenapa, bagaimana, juga dimana. Menangkap mereka satu demi satu hanya menimbulkan kengerian semata. Aku tak sanggup menjabarkan untaian tanya itu. Yang aku bisa hanyalah memandangi, menikmati sisi lucu dari sebuah keabstrakan lugu.

Aku mulai mengenali diriku, melalui cermin, sesuatu yang sanggup ku percaya didunia ini. Sesekali disana, aku meringis, tertawa, menangis juga bertanya. Kadang juga hanya diam memandangi partitur berirama yang tercipta diantara lipatan mata dan rambut diatasnya. Cermin sekali lagi membuatku tercengang kemudian tertawa, tubuhku ternyata benaran artefak bernyawa. Lekuk juga bagiannya saling menyapa juga bertautan menciptakan gerakan. Terkadang samar kudengar kakiku berteriak marah, hanya karena setiap saat harus menginjak ibu kandung alamiahnya. Tanah.
Engkau memang tergariskan untuk menapakinya sayang, dan tanah tak akan bersedih selama ia berada dalam pijakanmu, bukan diatas raga dan mengurukmu.

Aku kembali mengenali siapa diriku, aku terbelah dalam banyak jiwa yang menyembunyikan diri dalam setiap bagian berbeda namun terikat dalam satu artefak sama. Tak pernah lagi ada tanya tentang siapa diriku, hanya jawab yang memastikan keberadaan penjelasan diluar nalar. Dan kemudian tanya beranak tanya, jika hanya aku yang sanggup mengetahui siapa sebenarnya diriku..lalu akankah ada manusia diluaran sana yang akan bertahan dengan ketidakhadiranku? Sel paralel menyelubung didasar batok kepala kembali bekerja, mengais lagi jawaban dari tak terhingganya ruang diudara.

Dan daun mulai merasakan sentuhan tanah, ketika ia berhenti untuk tumbuh, ketika ia berhenti untuk berobsesi.

Udara. Alam kembali menunjukkan kuasanya yang seketika membuatku terdiam gagu. Haruslah sesosok dewa yang sanggup menjadi temanku. Bukankah hanya dewa yang dibawah kekuasaan alam sanggup mendeteksi pergerakan alam itu sendiri? Atau mungkin juga hanya udara kosong yang sanggup ada bersama ketidakhadiranku. Dan alam..bisakah aku mencintaimu sayang? Keluasanmu adalah kekuatan tersendiri untuk bisa menandingi cakaran akarku di hampir seluruh kerak bumi.

Bisakah aku mencintaimu sayang? Saling ketidakhadiran kita yang justru nanti akan menjadi rel bagi perbedaan mutlak kita. Serahkan padaku magnet terbesarmu yang sekiranya sanggup menjaga isi bumi tetap pada letaknya. Karena pada hari penyatuan kelak kita. Tak akan kuizinkan sepotong kayupun terdiam dalam geram. Semua melebur. Akan.
Bisakah aku menginginkanmu alam? Ketidaksanggupanku mengimbangi permainan manusiawi, keluguanku menyikapi sebuah alibi, dan ketidakberayaanku memerangi diri yang hanya sanggup memasrah pada cermin. Bisakah memahami kenapa aku diasingkan didasar mars? Menyebutku penghuni asal hanya karena bercabangnya tangan-tangan otakku sementara milik penghuni bumi lurus tanpa adanya kelokan.

Dan aku menunggu, alam menjatuhkan karma sakral nan agungnya pada sosok abnormal sepertiku.Menunggu titahnya yang terbawa hembusan angin menusuk kepekaanku. Dan tidakkah engkau merasa bahwa hanya aku yang sanggup merekam hingga jejak terhalusmu, alam?

Dadu berputar anggun dimeja judinya. Enam sisi kepunyaannya yang menunjukkan pada dunia tentang sisi tak sebenarnya. Menghadirkan tanya yang oleh mereka justru disebut sebagai pertanda.

Aku..aku dan cermin adalah sama, tapi aku yang berdiri didalam sana lebih hebat ketimbang aku yang terbungkus artefak bernyawa ini. Semua mengalir dengan tanpa paksaan juga tanpa tatapan mencurigakan. Dan seketika sebuah tanya kembali menyeruak dari balik kayu berpernis pembingkai kaca. Siapkah engkau?

Tetes air menerjang hangat atap, alunan piringan hitam dialam komedi, tanah yang menyerpihkan diri. Semua mendadak terasa nyata. Semua terasa hadir. Menjadikanku seseorang terbodoh abad ini. Untuk apa aku hadir pada mereka yang tak pernah menginginkan aku ada? Untuk apa aku hadir pada mereka yang tak pernah menganggapku nyata? Getar halus menyapa lagi..bukan guncangan alam, lagi dan lagi artefak bernyawaku yang mengirimkan sinyal. Tanda unik bahwa aku hanya harus percaya. Pada kehidupan. Akan kehadiran alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar