Jumat, 13 Juni 2014

Koma Di Langit Tua

Apa saja..apapun itu yang sekiranya bisa kalian telan tanpa harus berusaha mengunyah terlebih dahulu, aku ingin menulisnya. Menghabiskan sepertiga malam dalam lumatan hangat deretan abjad yang tertata. Tentang aku, tentang malaikat tak bersayap, tentang cuaca, tentang lebah dengan putik sari favoritnya.

Udara menyekap dalam aroma yang tak jauh beda seperti malam kemarin karena aku berada diruang yang sama, antara percampuran asin yang menguap, residu penyedap rasa juga wangi cendana. Ini kamarku, sekat dimana kuhabiskan lebih dari setengah waktuku ketika tengah lepas dari ruangan kerja. Ini kamarku, aliensi kotak raksasa yang menjadi saksi semua kegiatanku. Aku tidak sedang ingin memperkenalkan ruang tercintaku kepada mata dunia tentu saja, aku hanya ingin berbicara tentang persamaan lainnya, sekat antar makhluk non-melata, aku-kamu dan mereka.

Sebelum ini, sebelum malam ini menyahut segala rasa rindu akan kegilaanku bersama paragraf tampan, aku memiliki teman..cukupan kubatasi ia hanya sekedar teman karena alasan yang mana hanya waktu yang sanggup menjelaskan tanpa menghasilkan efek drama. Aku tak mempercayai kata sahabat, ruang sakral dimana didalamnya tak ada batasan, sedangkan dalam gelombang nyata antara tak ada batas juga penghianatan hanya dipisahkan kulit tipis ari.
Ia adalah sesuatu yang ingin terus kupertahankan ada. Ia adalah sesuatu yang ingin kujaga kebersamaannya. Ia adalah sosok yang ingin kujadikan saudara. Dan aku bersumpah lidahku gatal ingin sekali memanggilnya "sahabat".

Aroma panas terik bercampur segarnya pucuk daun padi yang terbakar matahari disuatu siang yang telah lalu adalah saksi, saksi ketika segala perbedaan juga kehadiran belum menjadi spasi yang menganga. Memisahkan.
Aku merindukan saat itu, ketika tangan-tangan kami saling melayangkan tinju, meruapkan segala kenakalan yang terkadang melewati batas wajar. Dibawah terik, ditengah gempuran dunia padi, didalam gubuk.
Aku merindukan saat ketika mereka adalah penduduk mars yang tengah bertamu ke hamparan bumi, sedangkan tanah luas ini adalah milikku, miliknya, milik kita.

Semuanya terasa indah, semua terasa mencengangkan ketika detik ini kusadari ia hanyalah tinggal sebatas kenangan. Dalam hati aku bersorak riang, karena telah kuprediksikan gelombang ini akan menyerbu ruang kelabu antara aku dan ia yang tak kuketahui nama belakangnya. Dan aku bersiap lebih daripada yang siapapun pernah mengira. Bukankah memang tak ada kata selamanya didunia ini? Dan semuanya terjawab sekarang. Langkah kami tetap berderap menuju arah yang kemungkinan sama namun memiliki ruap suara yang berbeda. Keinginanku untuk terus menjaganya ditelan paksa oleh unsur bernama kenyataan. Ia tak lagi membutuhkan kehangatanku, tak lagi memerlukan kehadiranku, lalu haruskah aku memaksa untuk tetap menjaganya? Kurasa ada yang salah disini. Sesuatu, terkadang harus terhenti bukan karena ia tidak lagi peduli, namun karena sadar kepeduliannya tak lagi diartikan. Dan aku memilih jalan berjingkat kebelakang, menyusuri lagi tapak yang sejatinya jika dibahasakan dalam kata tak bersamar akan terucap menjadi kesendirian. Merenungi pelajaran apa yang sanggup ku cerna dari semua tadi tanpa harus melukai dinding usus, karena memang tak ada perpisahan yang tak menyakitkan. Membaui lagi aroma hangat yang pernah tercipta, dikandang kambing, ditengah kerumunan sepeda bermotor diparkiran, didalam gubuk, ditengah gempuran sunyi kamarnya, hanya aku dan dia.
Ah...semuanya kenapa terasa masih didepan retina? Tidak bisakah ini berefek juga seperti cara kerja mie-instan rasa kaldu ayam diruang indra pencecap? Yang mana engkau tak akan lagi mengingat aroma dari kepulan asap dirongga bergigi ketika menyiramnya dengan segelas air. Kuat dan lenyap seketika.

Ia yang kini kulepas bersama senyum miliknya yang kuadoni dari percampuran rasa sayang juga sesendok airmata. Ia yang hanya bisa kupandang jauh dengan mulut tak berhenti mengucap mantra. Mengingatkannya. Menunjukkan padanya bahwa sepertinya ia salah memilih jalan setapak, bahwa seharusnya cinta miliknya tak seharusnya membutakan dan melanggar norma sekalipun aku harus berkata tak apa jika tsunami kebahagiaan itu menyapu lenyapkan kebersamaan kita. Dan norma adalah batu ditengah kali yang berserak acak tanpa bisa siapapun melenyapkan karena ia akan terus terlihat ada sepanjang aliran itu berjalan. Dan norma adalah sepertinya tak lain seperti hantu yang bercokol dibelakang pintu, benci ketika menyadari mereka ternyata ada tapi tak punyai kuasa untuk mengusirnya. Hanya butuh diam dan tidak mengusiknya.

Kawan, betapa ingin aku meneriakkan ini..betapa ingin aku meluruskan apa yang sekiranya dunia pandang benar..tapi bahkan menyentuh waktu juga tanganmu adalah hal mustahil sekarang. Aku tak di ijinkan, untuk lebih peduli, untuk lebih memperhatikan..karena kita adalah teman.

Dan penutup dari sepertiga malam ini adalah koma, tergantung manis dan melambai diangkasa. Memutar piringan hitam bergambar kita. Namun aku memiliki jalan. Yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar